written by Nabila Hanifia ( @Fiarfn_ )

 “Akhirnya, kau bangun juga! Capek Mom membangunkanmu. Lihat, sudah pukul berapa sekarang! Astaga…sana cepat mandi kalau kau tak mau terlambat di hari pertama sekolahmu!!” Mom beranjak dari kasur. Aku pun ikut bangkit.
Hari ini adalah hari pertamaku di Inggris. Semula, aku tinggal di United States. Berdua saja dengan Mom. Mom dan Dad telah lama berpisah. Kurasa sejak aku berumur 5 tahun Mom&Dad sudah tidak tinggal di satu rumah lagi.
Tapi, bulan ini Mom memutuskan untuk menikah lagi. James Howard. Yap, itulah lelaki yang dipilih Mom sebagai pendamping hidupnya saat ini. Orangnya ramah—aku suka itu. Pintar memasak, dan yah pekerjaannya semacam mendekorasi bangunan. Dia British. Yaaa! Karena itulah aku disini! Di Inggris. Ia membawa Mom dan aku untuk tinggal bersamanya disini. Tadinya aku tak setuju. Sulit untuk beradaptasi dengan orang-orang baru di lingkungan baru! Tapi, yah, kalau aku tak mau ikut Mom pindah ke Inggris…aku pasti menyakitinya. Jadi, kuturuti saja keinginannya…dan keinginan James, tentu saja.
“EM! SUDAHKAH KAU MASUK KE KAMAR MANDI, SAYANG?” Teriakan Mom di lantai bawah membuyarkan lamunanku. aku segera mandi dan memakai seragam sekolahku. Atasan kemeja putih dan bawahan skirt merah, serta kaus kaki hitam panjang. Aku merasa aneh dengan seragam ini!
Cupu parah!!
Aku memiliki dua saudara tiri baru.
Aku duduk disebelah Mom. James disisi lainnya. Lalu… 2 anak laki-lakinya duduk di seberang kursiku. Ya, anak laki-lakinya alias saudara-saudara tiriku. The eldest one, orangnya agak tinggi. Aku melihatnya selalu mengantuk dan seperti tidak memiliki gairah untuk hidup. Gerakan yang ditunjukannya pun lambat….amat sangat lambat! namanya Andy. Andy Howard. Ah ya, nanti namaku akan berganti menjadi….Emily Howard. Haaah.
Dan satu lagi saudara tiriku, namanya Billy. Nama aslinya sih, Wiliam Howard. Billy terlihat sangat berkebalikan dengan Kakaknya, otot bisepnya terlihat besar. I guess he’s an athlete.
08.00 we’re ready to go to school. Ternyata, Andy, Billy, dan aku satu sekolah. Andy 1 tahun lebih tua dari aku dan Billy. Kami ke sekolah dengan mobil bobrok Andy.

*skip* arrived at school.

Bangunan sekolah ini sudah kelihatan tua, tapi that makes this school looks clasic! Aku berjalan ke ruang kepala sekolah, aku melihat papan keterangannya yang sangat besar dari depan pintu masuk tadi.
Setelah mengurus segala urusan yang harus diurus murid baru, aku bisa masuk ke kelas. Kelas pertamaku. Bahasa Inggris. Jam pelajaran berakhir. Kuhembuskan nafas panjang.
Finally, break time! I feel so hungry..
Ketika aku mau beranjak keluar, perempuan blonde yang duduk dibelakangku menepuk bahuku. “Hey, Em! Kau mau makan siang ya?” tanyanya sembari menyunggingkan senyum—menampilkan deret giginya yang berhiaskan behel. “ya..” jawabku dan membalas senyumnya.
“Makan saja bersamaku. Oh ya! My name is Sarah! Hehehe” ia memperkenalkan dirinya diikuti dengan kekehan. “oke….sarah. C’mon, aku sudah sangat lapar.” lalu kami pun berjalan menyusuri koridor menuju kafetaria diujung koridor.
Sesampainya di kafetaria, aku memandang berkeliling.Cukup besar dan bersih.
Kami mengantri untuk memesan makanan, lalu memilih tempat yg kosong. Sedang asik-asiknya makan, tiba-tiba meja dibelakangku dipukul dengan keras. Aku sangat kaget sehingga hampir tersedak oleh makananku. Sialan! Aku menoleh keasal suara itu. Kulihat seorang laki-laki berambut coklat sedang memarahi seorang laki-laki lainnya. Brown-haired boy itu mengambil ancang-ancang ingin memukul. Aku tak tahan lagi. Aku maju untuk menahan pukulannya itu.
Dan… *BRUAK!* Brown-haired boy itu jatuh tersungkur dilantai kafetaria. Anak laki-laki yang ingin dipukulnya tadi tercengang melihatnya. Bukan hanya dia! Kurasa semua orang yang ada di kafetaria ini tercengang dengan adegan tadi. “Heh? Siapa cewek ini?!!” si brown-haired boy tadi bangkit dan memandangiku dengan heran—dan marah? mungkin. Sarah menarikku. Aku menatapnya seolah mengatakan “why?” lalu dia melirik si rambut coklat itu dengan takut-takut lalu kembali menatapku. Aku tau apa yang dia maksud. Kurang lebih seperti ini “kau.cari.gara-gara.dengan.laki-laki.itu.”.
“Maksudmu apa, huh?” dia maju mendekatiku. Setelah semakin dekat aku berancang-ancang untuk melakukan perlawanan. Dia kelihatannya ingin membalas perbuatanku tadi. Kuinjak kakinya ketika sudah sampai jangkauan kakiku. “AUUUCH!!” ia berteriak kesakitan. “kau beraninya dengan anak perempuan saja, hah?” aku menantangnya. Padahal, dalam hati aku sangat ketakutan. Ototnya terlihat besar. Seramkan kalau sampai kena pukul?
Tiba-tiba 4 orang laki-laki—seorang mirip arab, seorang berambut pirang, seorang berambut wavy, dan satu lagi kawannya—menyeruak dari kumpulan anak-anak yang sedari tadi melihat kejadian dorong-mendorong dan injak-menginjakku.
“Hey sudahlah Liam, tenang!” si Arab menenangkan.Ooh jadi namanya Liam?
“Cewek ini ikut campur urusanku, Zayn!!” Liam membentak,
“Sudahlah lupakan saja.” si wavy hair ikut bicara. “Kita ada latihan vocal Liam. Jangan buang-buang waktu lagi. Ayo pergi dari sini!”. Liam menatapku dengan sinis. Dan berpaling pergi diikuti dengan kawan-kawannya.
Aku menghembuskan nafas lega.
Aku masih memikirkan kejadian tadi siang di kafetaria sekolah baruku, saat tangan Sarah mengulurkan minuman kaleng. “Thanks.” kataku.
“Kau masih memikirkan kejadian tadi siang, ya, Em?”
Kubuka minuman kalengku, menimbulkan bunyi “sssh”. Minuman soda. “Memangnya laki-laki tadi itu siapa, sih?” tanyaku sembari menempelkan bibirku ke bibir kaleng.
“Dia itu Liam Payne. Dia atlit basket, Em. Anak itu juga tergabung dalam One Direction bersama 4 kawannya—yang tadi mengajaknya pergi, maksudku. Mereka baru saja meraih Best British Single di Brit Award kemarin. Dan juga mencetak sejarah baru sebagai band UK pertama yang meraih debut pada album perdananya.”
Aku tercengang mendengarkan penjelasan yang—sangat panjang—dari Sarah. “One Direction itu apa?” begitu kata-kata dari mulutku itu melesat keluar, Sarah segera menjerit. Sakit telingaku di buatnya. Ia memandangiku seolah aku ini alien.
“KAU TAK MENGENAL ONE DIRECTION?!” jeritnya. “Aku pernah dengar, tapi tak begitu tertarik. Aku tak terlalu suka musik.” jawabku.
Ia menarik nafas. Lega? mungkin. Ekspresinya susah ditebak. Wajahnya terlihat memerah. Kurasa karena dia menjerit-jerit sedari tadi.
“One Direction itu boyband, Em—” katanya setelah wajahnya kembali ke warna normal—putih pucat. “Mereka itu jebolan X-factor tahun 2010 lalu. Semula mereka bersaing sebagai solois. Namun, para juri memindah-haluankan mereka. Menggabungkan mereka menjadi Group. Yah, akhirnya mereka menjadi juara ketiga di X-factor untuk kategori Group. Dan..”
“Kau fans mereka?” kataku cepat-cepat memotong penjelasannya yang panjang-lebar itu. “Kau tahu banyak,”
“Oh bukan! Tentu saja aku harus tahu banyak tentang segala hal, termasuk boy band itu. Aku masuk ke ekstrakulikuler Jurnalistik. Mengharuskanku memiliki wawasan yang luas..” ia nyengir kuda. Memperlihatkan kawat giginya.
Aku hanya mengangguk-angguk sembari bangkit dari duduk. “Ayo, aku mau pulang.”
Saat sedang asik-asiknya mengobrol, aku melihat Andy melambai-lambaikan tangan dari seberang lapangan. Kulihat sekitarku. Hanya ada aku dan Sarah disini. Itu artinya Andy melambaikan tangan kepadaku.
Aku mengucapkan selamat tinggal pada Sarah dan setengah berlari menyeberangi lapangan untuk menemuinya.
“Sepertinya kau harus menunggu sebentar, aku ada acara kelas.” jelas Andy. Suaranya lemah sekali—dan agak tidak jelas.
“Ha? Temanku sudah pulang tadi, haruskah aku menunggu sendirian?”
“Hanya sebentar..” jawabnya sembari membalikkan badannya dan mulai berjalan menjauh—dengan perlahan.
Kesal aku dibuatnya! Sekarang aku harus menunggu, sendirian pula. Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan-jalan mengitari sekolah ini. Mungkin saat aku kesini lagi, Andy sudah selesai dengan urusannya. Aku berjalan terus, melewati pintu ruangan-ruangan yang sudah tertutup. Sekolah ini bagus sekali. Langkahku terhenti saat aku mendengar suara orang-orang bernyanyi. Kupertajam pendengaranku. Asalnya dari balik pintu disebelahku. Kurapatkan telingaku ke daun pintu dan tiba-tiba..
BRAAAK!—pintu terbuka dengan kerasnya. Menerpa tubuhku. Aku jatuh. Kepalaku pusing karena terantuk pintu itu. “Aduuuh..” aku mengelus kepalaku. Sakit!!! Sungguh!
“Heeey, apa yang kau lakukan?” teriak sebuah suara diatasku. Aku mendongak dan ternyata si pemilik suara adalah….
Liam Payne. Brown-haired boy yang kudorong dan kuinjak kakinya tadi siang di kafetaria. Ia tak sendiri keempat kawannya pun ikut menjengukkan kepala mereka untuk melihatku.
“Eh? Kau? Mau apa kau? Mengintip?” tanyanya sembari menaikkan salah satu alisnya yang tebal itu. Aku tak menjawab, kepalaku masih pusing.
Sial! Kenapa harus dia yang memergokiku seperti ini!! rutukku dalam hati.
“Sebaiknya kita bantu dia berdiri..” si Arab mengulur tangannya untuk membantuku berdiri. Kusambut tangannya.
“Aku tidak mengintip. Aku hanya kebetulan lewat sini, asal kalian tahu saja,” jawabku lantang setelah aku sanggup untuk berdiri tegak. Tiba-tiba kepalaku berdenyut lagi, reflek aku memeganginya lagi.
“Kau pusing ya?” tanya si Arab tadi.
“Bawa dia masuk saja,” kata temannya.
Aku melirik kearah Liam. Tampangnya ditekuk. Keningnya dikerutkan, membuat kedua alisnya hampir menyatu.
Aku masuk dan dipersilahkan duduk di sofa berwarna coklat yang empuk di ruangan ini. Ada gitar, piano, dan beberapa stand-mic di ruangan ini. Si pirang memberikanku es yang sudah dibungkus dengan saputangan. Aku menerimanya. Lantas aku mengompres bagian kepalaku yang terasa berdenyut.
“Maaf ya tadi kami tidak tahu kalau kau ada didepan pintu.” si wavy-hair berbicara padaku. “Itu salahnya Hazz..untuk apa mengintip kita yang sedang latihan.” Liam menimpali.“Aku tidak mengintip siapapun!” hampir aku berteriak saat mengatakan itu, saking kesalnya. Tadi kan aku hanya ingin mendengar suara yang ada dibalik pintu ruangan ini. Kenapa orang ini selalu mengata-ngataiku mengintip?!“Ayolah Liam, kasian dia. Kepalanya sedang berdenyut, jangan kau salahkan Ia terus. Ini juga salahmu membuka pintu terlalu bersemangat..” lelaki yang berambut lebih pendek dari yang lain menenangkan kawannya itu.
Liam hanya diam.
“Kau murid baru ya?” si Arab bertanya padaku. Aku jawab dengan anggukkan. “Pantas aku baru lihat kau hari ini.” katanya sembari menyunggingkan senyum. Manis sekali!
“Siapa namamu?” tanya si rambut pendek. OMG, aku seperti sedang diinterogasi oleh para lelaki ini. Bak penjahat saja aku ini. Melihat responku yang hanya diam, Ia lalu berkata “Aku Louis. Yang disana itu Zayn,” Ia menunjuk si Arab. “Yang pirang itu Niall,” Niall hanya nyengir. “Ini Harry,” Louis menepuk pundak Harry yang duduk disebelahnya. “Dan itu, Liam.” Ia menganggukkan dagunya kearah Liam. Liam tersenyum kecut.
Hih! Tampangnya meyebalkan! kataku dalam hati sembari membuang muka dari Liam. “Aku Emily.” kataku tanpa senyum. Biar saja. Aku memang sedang dalam keadaan worst sekarang!
Mereka hanya mengangguk-anggukan kepala. Tiba-tiba aku teringat Andy. Astaga! Sudah berapa lama aku disini? Aku harus cepat-cepat pergi dari sini kalau tidak mau ditinggal olehnya.
“Aku harus pulang sekarang,” Aku bangkit dari sofa yang nyaman itu dan berjalan kearah pintu—pintu yang membuat kepalaku berdenyut!. “Bagus, akhirnya kau pulang juga. Tadi rencanaku untuk pulang lebih cepat terhambat karena ada kau didepan pintu sana!” Liam berkata lantang sekali sembari menghembuskan nafas panjang.Louis menyikutnya dan memberikan lirikan tajam untuk Liam. Aku mengepalkan tanganku. Kesal.
“Memangnya siapa yang mau berlama-lama disini? Apalagi dengan orang sepertimu! Orang menyebalkan!” aku keluar pintu dengan segera, lalu kubanting pintu itu keras-keras. Aku berjalan cepat sepanjang koridor. Mukaku merah padam karena kesal. Aku ingin menangis tapi tak mungkin! Nanti Andy dan Bill tahu, mereka pasti akan mengolok-olokku. Tidak. Tidak boleh aku menangis disini. Terlihat Andy sedang menungguku dari kejauhan. Aku bisa melihat tampangnya sudah ditekuk-tekuk. Kusut. Mungkin karena terlalu lama menunggu.

***

Aku melihat arlojiku. jam 7.45. Terlalu pagi. Aku baru sadar. Kelas baru akan dimulai jam 08.15 nanti. Hari ini Billy harus berangkat pagi-pagi sekali, entah apa alasannya. Tapi, Andy menuruti keinginannya untuk berangkat setengah jam lebih pagi dari kemarin. Aku berjalan menyusuri koridor. Aku jadi teringat kejadian kemarin kalau seperti ini…
Aku menemukan gerbang yang agak besar didepanku, aku penasaran. Ruangan apa ini? Segera saja aku menjengukkan kepalaku kedalam gerbang itu…
Ternyata itu lapangan basket indoor. Aku memutuskan melangkahkan kakiku lebih jauh kedalam sana. Toh aku tak ada kerjaan sampai jam 8 nanti. Aku coba menggesek-gesekan alas sepatuku dengan lantai. Mencoba apakah lantai lapangan ini licin atau tidak. Ternyata tidak. Kulihat ring yang menjulang tinggi. Tiba-tiba terlintas dipikiranku untuk bermain sebentar saja. Aku mencari keranjang bola—tempat bola biasa disimpan. Sekejap saja aku sudah dapat menemukannya. Ada disudut ruangan ini. Aku berlari dan segera mengambil satu bola berwarna oranye.
Kucoba untuk mendrible-nya lalu lay up. Ketika aku sedang asiknya mendrible tiba-tiba ada sepasang tangan memegang tanganku. Kulihat bayangannya besar dibelakangku. Kupikir orang itu akan memelukku. Tapi ternyata tangannya mencoba menggapai bola yang sedari tadi kukuasai. Begitu aku menengok ke belakang..ternyata itu adalah Liam! Ya! Liam Payne!—orang menyebalkan yang membuka pintu terlalu bersemangat dan membuat aku jatuh tersungkur kemarin sore! Wajah kami dekat sekali saat ini, sampai nafasnya mengenai pipiku.
Saat aku lengah seperti ini dengan sekejap bola yang berada ditanganku berpindah ketangannya. Ia membawanya lari dan melakukan lay up.
“Kau ga lihat ya aku sedang memakai bola itu?” kataku kesal padanya. Ia menggedikkan bahunya. Membuatku semakin jengkel. Akhirnya aku berlari kearahnya untuk mengambil bola itu. Namun, ketika aku sudah sampai didepannya, dengan tiba-tiba Ia membalikan tubuhnya. Membuatku kaget. Tapi dia tidak merespon apa-apa ketika melihat kekagetanku, Ia tetap mempertahankan bolanya.
Aku lantas berusaha untuk merebut bola itu darinya. Tapi apalah daya, tubuhnya lebih besar dan kuat dibandingkan aku! Lantas Ia menggiring bola ketengah lapangan, aku hanya bisa mengejarnya. Tiba-tiba dari tengah lapangan Ia melakukan shooting!Mataku mengikuti bola itu melambung dan…….
“APA YANG KALIAN LAKUKAN DISINI?” Suara itu menggema ke seluruh penjuru ruangan ini. Aku dan Liam menutup telinga, menghindari suara itu. Kencang sekali suara Mrs. Wattson—guru Matematika di sekolah ini—yang sedang berdiri dibawah ring itu.
Tapi, ada sesuatu yang tak bisa dihindari. Bukan oleh aku dan Liam. Tapi oleh Mrs. Wattson……tiba-tiba saja *BUNCH!!*
Ya!! Bolanya!

***

“Ini semua gara-gara kau tahu ga?!”
“Kau juga salah!”
“Tapi, kalau kau ga datang dan mengambil bola yang sedang kumainkan, ga akan seperti ini akhirnya!”
“Apa kau yakin kalau aku tak datang kau ga akan ada disini, hah?”
”YA!” aku mempercepat langkahku, mendahuluinya. Kami harus menghadap Mrs. Julia. Karena, orang bodoh yang berjalan dibelakangku itu telah membuat Mrs. Wattson pingsan di lapangan basket. Aku ikut dihukum karena belum masuk ke kelas pada saat bel masuk sudah lama berlalu.
Ini semua gara-gara Liam!!
Kami harus menghadap Mrs. Ju setelah mendapat secarik kertas yang diberikan oleh guru piket. Guru piket itulah yang kami mintai pertolongan untuk mengangkat Mrs. Wattson ke Ruang Kesehatan.
Ruangan Mrs. Ju ada dibalik belokan depan. Saat akan berbelok tiba-tiba Zayn muncul di balik tembok. Ia mengagetkanku yang sedang berpikir kemana-mana sembari berjalan.
Spontan aku terlonjak kaget dan mundur beberapa langkah. Aku tak sengaja menabrak Liam dibelakangku. Hampir saja aku jatuh karena tersandung kaki Liam. Liam memegangi bahuku, menahanku. Aku meliriknya sekilas. Mata kami bertemu beberapa detik.
Dengan cepat Liam mendorongku.“Jangan dekat-dekat.” katanya dengan straight-faced. Kupelototi dia seolah gerak mataku itu berarti, “Ih! Siapa juga yang mau dekat-dekat!”. Ia hanya buang muka.
“Waduh, maaf Em. Kelihatannya aku mengagetkanmu,ya? Kau baik-baik saja kan?” Zayn memperlihatkan wajah khawatir saat berbicara kepadaku. Aku sampai lupa ada Zayn disana.
“I’m okay.” kataku. “Serius?” selidik Zayn. Aku hanya mengangguk. “Syukurlah,” Zayn tersenyum. God! Manis benar senyumnya! Aku sebagai cewek normal sudah meleleh melihatnya♥
“Kalian ngapain disini?” Zayn melihat kearahku lalu berganti kearah Liam. Alisnya bertaut. “Mau ke ruangan Mrs. Ju, Zayn. Orang ini membuatku harus dihukum!” aku kembali kesal mengingat harus menerima hukuman. “Dihukum?” Zayn memastikan telinganya masih berfungsi dengan normal.
“Iya Zayn, kawanmu yang menimbulkan semua permasalahan ini. Ia membuat Mrs. Wattson pingsan di lapangan basket,” aku melirik kearah Liam. Liam membalas lirikanku, tapi Ia hanya diam.
Kenapa anak ini diam saja? Aneh benar. Tapi, aku senang dibuatnya! Hahahaha.
“Oh My God ckck, yasudah kemarikan kertasmu.” Zayn mengulurkan tangannya.
“Ha?” aku yakin wajahku aneh sekali ketika mengucapkan kata-kata ini. Buktinya Zayn tertawa kecil begitu. Oh no..“Iya, Em kemarikan kertas yang diberikan oleh guru piket tadi.” Ia menyunggingkan senyumnya. Senyum manisnya—yang membuatku meleleh tentu saja.
Akhirnya, kuberikan kertasku itu. Penuh dengan tanda tanya yang berterbangan dikepalaku.
Zayn menerima secarik kertas itu lalu merogoh kantong celananya. Ternyata Ia mengeluarkan Bolpoin berwarna hitam. Lalu, menulis diatas kertas yang telah kuberikan. Aku tidak tahu apa yang Ia tulis disana. “Kau kembali saja ke kelasmu. Aku yang akan menghadap Mrs. Ju.” lantas Ia berjalan menjauh.“Eh?” hanya itu yang bisa kukatakan, karena setelahnya Zayn sudah berbelok dan menghilang dibalik tembok. Aku mencoba mengejarnya tapi aku tak dapat menemukannya.
Cepat benar Ia pergi, kemana dia?
Akhirnya, aku memutuskan untuk kembali ke kelas—sesuai perkataan Zayn.

***


“Zayn baik benar, ya, Em?” aku sedang berjalan ke kafetaria dengan Sarah ketika dia berkata begitu. Aku hanya tertawa kecil, Zayn memang baik. Baik sekali! Senyumnya pun manis..
“Kenapa kau tertawa?—Ah lihat ada bangku yang masih kosong, tuh, Em! Sana kau tempati dulu, biar aku yang memesankan makanan untuk kita.” belum sempat aku membalasnya Ia sudah pergi dari tempatnya. Dasar Sarah. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan mendecakkan lidah. Aku segera duduk di bangku kosong yang ditunjuk Sarah tadi. Aku melihatnya sedang mengantri. Tiba-tiba ada suara di sampingku.
“Hey!”
Aku kaget bukan main! Aku menoleh dan mendapati Zayn sedang duduk di kursi sebelahku sembari tersenyum menatapku. Oh My God…aku kayaknya sudah lumer dikursiku, melihat senyumnya itu…
“Oh..hey..haloo Zayn!!” dengan gugup aku membalas sapaannya itu. Ia terkekeh. Maniiiiiis!
“Oh ya, tadi pagi kau ngapain sih menggantikan aku? Ga dimarahin?” Ia menggeleng sembari tersenyum—kenapa orang ini suka sekali tersenyum. Ah♥.
“Aku ga tega saja ngeliat cewek dihukum, lagipula itu bukan salahmu juga kan? Salah Liam, katamu.” Ha? Apa? Ga tega? God, baik benar orang ini..“Oh begitu? Baik benar kau Zayn, thanks ya.” kusunggingkan senyumku yang termaniiis yang pernah kusunggingkan. Hanya untuk Zayn! Ia membalasnya dengan mengedipkan matanya kearahku. Aku yakin benar aku sedang blushing saat ini! Karena Ia lantas berkata, “Wajahmu merah, Em. Kau kepanasan, ya?” Ia bertanya kepadaku.
Iya, Zayn, aku kepanasan akan api pesonamu. Hahahaha.
Kujawab pertanyaannya dengan gelengan disertai cengiranku. “Oh ya, Sabtu besok, kau ada acara ga, Em?”.. “Ah, tentu saja tidak. Aku kan orang baru disini.” untuk apa dia tanya acaraku Sabtu nanti? Apa jangan-jangan…
“Karnaval kota sudah dibuka Sabtu besok. Kesana yuk!” Ia nyengir memamerkan deretan gigi yang rapih dan putih—aku yakin Ia sudah rajin menggosok giginya sejak kecil.
Kan benar apa perkiraanku..Ia mengajakku pergi. Ah senangnya bukan main! Aku mencoba tetap terlihat tenang didepannya—padahal didalam hati aku ingin sekali meloncat-loncat lalu berdansa lalu salto lalu..lalu..
“Em???” aku tersadar dari lamunanku, “eh? oh! Iya..eh, yuk!!” aku nyengir canggung karena terpergok melamun. Ah..Zayn.“Wah, kau melamun ya? Yasudah deh, sampai ketemu Sabtu nanti ya. Bye, Sweety!” Ia bangkit dari duduknya lalu menghilang dibalik kerumunan orang.
Apa? Dia memanggilku Sweety?!! OMGOMGOMGOMG!!!
Rasanya jantungku ingin meloncat keluar saat ini juga, saking kencangnya berdegub. Kurasakan ada banyak sekali kupu-kupu bertebangan disekelilingku. Indahnya!!!
“Heh,” kurasakan tepukan pelan dibahuku. Hampir saja aku terjengkang kebelakang saking kagetnya. Itu Sarah yang sedang membawa nampan penuh dengan makanan.
“Cepat geser! Atau semua makanan yang sudah susah payah kuambil ini akan jatuh ke lantai!” aku lantas menggeser posisi dudukku. Lalu, membantunya menurunkan makanan-makanan itu.


*Skip - Sabtu sore.

Aku sedang sibuk berdadan untuk pergi ke karnaval kota. Bersama Zayn. Semenjak Ia mengajakku hari Rabu kemarin aku tak pernah melihatnya lagi di sekolah. Kawan-kawannya pun aku tak lihat. Aku agak khawatir rencana pergi ke karnaval ini akan gagal. Habis Zayn tak pernah datang menemuiku untuk menanyakan dimana alamatku.Teknisnya, bagaimana Ia akan datang menjemputku kalau Ia saja tak pernah menanyakan dimana rumahku? Ah. Dasar Zayn, kupikir dia agak lebih pintar. Tapi, lihat saja nanti Ia akan datang atau tidaklah.
Kira-kira jam 6 lebih, ada mobil hitam berhenti didepan pagar rumahku. Sesosok pria dengan jaket varsity biru keluar dari dalamnya. Kukenali wajahnya. Zayn.
Okeee, darimana Ia tahu rumahku? Aku segera berlari untuk berpamitan pada Mom yang sedang menonton TV sendirian di ruang keluarga dan menuruni tangga.
Kutemui Zayn yang sedang berdiri didepan pintu rumahku,
“Cantik benar kau…,” Ia menghentikan kalimatnya, memperhatikan arlojinya. “Sore ini.” Ia sunggingkan senyumnya, like usual, sweet! Aku blushing, “Hmm, thanks.” jawabku malu-malu. “Yuk!” Ia menarik tanganku dan meletakkanya dilengannya. Aku bisa merasakan lengannya bergelombang. Berotot juga, ya, Zayn ini.
Kami mengunjungi Karnaval kota, sesuai janjinya. Tapi, ternyata didepan gerbang Karnaval itu kami bertemu kawan-kawan Zayn.
“Hi, you guys! Maaf menunggu lama, ya?” Zayn menyapa kawan-kawannya.
Ha? Jadi, ini bukan kencan? Ini jalan bareng namanya!
Aku merasa sudah ditipu oleh Zayn. Tapi, apa aku saja yang ke-GR-an dia mengajakku kencan? Ah, aku bingung dan jelas kecewa. Disana ada Liam, Louis dan (kupikir) pacarnya, Niall, dan tentu saja Harry. Aku senyum kepada mereka, tanpa melihat Liam. Hhh, tak tahu kenapa berada didekat Liam selalu mengingatkanku pada peristiwa-peristiwa menyebalkan sebelumnya.
Tiba-tiba, seorang wanita berambut blonde menghampiri kami dan memeluk Zayn.
Aku yang sedang menggandeng tangannya langsung melepas tanganku. Bukan apa-apa, cewek tadi menarik Zayn dari gandenganku.
Siapa cewek ini?! Berani benar!!
Aku geram sendiri melihatnyamtapi tak kutunjukkan. Aku juga bingung siapa cewek ini. Enak saja dia peluk-peluk Zayn yang jelas-jelas sedang kugandeng! Zayn melirikku. Aku tak mengerti apa arti lirikannya. Aku hanya bisa diam saat itu. Aku takut salah bicara,
“Perrie, lama benar kau ke toilet. Zayn sudah menunggumu daritadi.” Niall berbicara.
“Tak baik, lho, membuat pacar menunggu! Hehehe!” Niall melanjutkan sambil terkekeh.
TAK SALAH DENGARKAH AKU? CEWEK ITU PACAR ZAYN? Apa-apaan ini?!
Kalau memang cewek yang mengambil Zayn dari gandenganku adalah pacar Zayn, ada sejuta pertanyaan dikepalaku.
Zayn menganggapku apa?
Untuk apa Ia datang kerumahku untuk menjemputku sore tadi? Untuk apa Ia membiarkanku menggandeng tangannya? Untuk apa Ia…
“EM??”
Tiba-tiba aku tersadar. Niall menepuk bahuku, Ia menatapku dengan heran. Bukan hanya dia, keempat laki-laki itu+pacar Zayn, Perrie, pun menatapku dengan heran.
“Kau baik-baik saja kan?” Louis bertanya padaku. “Wajahmu pucat.”
“Aku ingin pulang.” aku melangkah pergi menuju jalan keluar. Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Aku hanya ingin berada dikamarku sekarang. Aku ingin menangis. Benar-benar menangis sampai besok pagi. Aku tahu orang satu rumah akan bertanya kenapa mataku sembab keesokan harinya. Tapi, aku tak peduli. Aku mau pulang. Aku tak mendengar apapun disekitarku. Entahlah, pikiranku kacau saat ini. Mataku pun sulit untuk berkedip. Aku hanya berjalan terus. Berjalan, berjalan, berjalan hingga aku mendengar klakson mobil disampingku. Tepat disampingku.
Aku menoleh. Kaca mobil itu perlahan turun dan menampilkan wajah yang sangat kukenal didalam mobil itu. Ia tak menatapku. Pandangannya lurus kedepan seolah sedang memperhatikan jalanan didepannya, bukan memperhatikanku yang berada disampingnya.
“Kau salah arah, bodoh.” Ia menoleh menatapku, tepat dimanik mata.
Deg!
Bukan, bukan karena sakit hati dikatai bodoh. Tatapannya. Tatapannya sampai ke hati. Jantungku berdegub kencang saat itu juga. Aku sulit bernapas. Aku membuka mulutku untuk membalasnya. Tapi, tak ada kata-kata yang keluar dari sana. Akhirnya, kupalingkan wajahku, menghindari matanya. Mata Liam Payne.
Aku berdeham.
“Ngapain kau disini?” tanyaku seketus mungkin. Tak seperti biasanya, sekarang aku sulit untuk berkata-kata didepannya. Entahlah, this is the weirdest feeling ever.
“Menunjukkan arah yang benar padamu.” katanya.“Ha?” aku mengernyitkan dahi.“Jalan pulangmu bukan lewat sini. Kau mau pulang, kan?” Aku hanya mengangguk. Okeee, ini memalukan.
Lantas Liam membuka pintu mobilnya dari dalam. Sekarang pintu itu sudah terbuka tepat dihadapanku. Aku hanya memandangi jok yang ada disamping Liam. “Aku gak ngerti kenapa kau lemot benar malam ini!” Ia berkata begitu sembari meraih tanganku dan menariknya. Aku kaget! Aku tertarik kedalam mobil dan terduduk di jok disamping Liam. Aku meliriknya dengan lirikan kesal. Siapa yang tidak kesal ditarik-tarik begitu?
“Aku bukan lemot! Dan jangan tarik-tarik begitu!” kataku padanya.
Dalam gelap, aku melihat Liam menyunggingkan senyumnya. Aku tak yakin, tapi aku sekilas melihatnya tadi. Aku tak tahu apa artinya itu. Tiba-tiba Liam berkata dengan lembut, “Tolong, tutup pintunya, nona.”
Aku terkesima mendengar suaranya yang super lembut tadi.
Inikah Liam yang kemarin selalu berkata dengan kasar? Apa aku tak salah dengar tadi?
Tiba-tiba, Liam mencondongkan badannya lebih dekat kearahku. Lebih dekat. Dan lebih dekat lagi. Saat wajahnya hanya beberapa inci dari wajahku, aku menutup mataku. Tapi setelahnya, aku mendengar suara pintu mobil ditutup. Aku membuka mataku. Liam sedang mencoba menutup pintu mobil sekali lagi. Wajahnya sudah agak menjauh dari wajahku.
Astaga. Kukira dia akan…
Mukaku memerah memikirkan itu. Itu hal yang tak mungkin terjadi, tentu saja! Liam hanya ingin menutup pintu, bukan menciumku! Akhirnya Liam dapat menutup pintu dengan rapat. Ia kembali ke posisi duduknya semula.
“Aku antar kau pulang sekarang, ya?” Ia menyalakan mesin mobil. Aku diam saja. Jantungku masih berdegub dengan kencang karena kejadian tadi. Mukaku pun masih merah. Aku terus menunduk untuk menyembunyikan wajahku yang memerah karena Liam tadi. Ia tidak boleh tahu!
Liam menekan tombol didepanku. Tiba-tiba sebuah lagu terdengar.
I’ve tried playing it cool
But when I’m looking at you
I can’t ever be brave
‘Cause you make my heart race
……


Aku mendongak. “Lagu siapa ini? Bagus!” mataku berbinar-binar saat mengatakan itu. Benar deh, lagu ini bagus sekali! Aku baru pertama kali mendengarnya. Liam tersenyum. Lalu mengetuk-ngetuk dashboard didepanku. Kukira dia menyuruhku untuk membukanya. Akhirnya, kubuka dashboard itu. Ada tempat CD disana. Kulihat dengan seksama.
ONE DIRECTION. UP ALL NIGHT ALBUM.
“Jadi….ini lagumu…” kataku sembari meliriknya takut-takut. Ia tertawa kecil, renyah sekali tawanya. Aku baru pertama kali mendengar Ia tertawa seperti itu. Enak didengar…
“Lagu kami.” Ia membenarkan perkataanku. Aku mengangguk-angguk. Aku menikmati lagu itu sepanjang perjalanan.
…..
But I need that one thing
And you’ve got that one thing
….

Skip – esok harinya.

Aku berjalan di koridor sekolah. Tiba-tiba ada yang menarik tanganku. Zayn berdiri dibelakangku dan memegang tanganku.
“Mau apa?” tanyaku cuek. “Kemarin itu…maaf ya.” Katanya sembari melihat mataku. Aku tak membalas tatapannya. Aku hanya pergi meninggalkannya. Ia mengejarku.
“Kau ga salah, Zayn..” kataku sembari mempercepat langkahku. Zayn berusaha mensejajarkan langkahnya dengan langkahku. “Aku salah, Em. Aku salah.” Aku berhenti dan menatapnya. “Apa salahmu?” Zayn menghembuskan napas. “Aku ga bilang kalau aku..aku sudah punya pacar padamu, Em.” Raut wajahnya tampak sangat kecewa ketika mengatakan itu. Aku hanya menggedikan bahu, dan berjalan meninggalkannya.
****
Kupikir aku dan Zayn saling suka. Tapi, nyatanya Ia sudah memiliki seorang pacar. Cantik pula. Tak seperti aku.
Hubunganku dan Liam semakin lama semakin membaik. Aku suka caranya memperlakukanku. Ia sopan, tidak kurangajar—maksudku. Sudah 3 bulan aku mengenalnya. Dan hari ini aku mendapat SMS darinya.
From    : Liam
To        : Emily
Aku akan menjemputmu pukul  7 pm. Tepat.

Aku melihat arlojiku. Sudah pukul 6. “Ya ampun!” aku berteriak. Aku segera mengobrak-abrik lemari pakaianku.
Akhirnya, pukul 7 kurang 3 menit aku sudah siap. Terdengar pintu kamarku diketuk.
“Em, Liam sudah datang!” terdengar suara Mom yang memanggilku dari luar. Suara Mom terdengar gembira sekali. Ya, Mom memang suka sekali dengan Liam. Liam sopan sekali kalau bertamu kerumahku. Ia pasti menyempatkan diri mengobrol bersama kedua orang tuaku.
Aku membuka pintu dan segera turun kelantai bawah. Dan mendapati Liam sedang mengobrol dengan Dad.
“Hai.” Sapaku.  Ia melirikku, dan tersenyum. “kami pergi dulu ya, Dad, Mom.” Kataku lalu mencium pipi keduanya. Liam segera keluar dan membukakan pintu mobilnya untukku. Ada angin apa dia membukakan pintu mobilnya untukku?
“Kita mau kemana?” tanyaku padanya setelah sudah duduk didalam mobilnya. “Ikut saja.” Katanya sembari menjalankan mobilnya.

***

Ternyata Ia membawaku kesebuah taman bunga. Indaaaah sekali pemandangannya. Sejauh mata memandang hanya ada bunga, bunga, bunga, dan bunga. Berwarna-warni.
“Taman ini indah sekali, aku suka.” Aku bergumam. “Ya, aku juga.” Kata Liam yang mendengar gumamanku. Aku dan Liam duduk dikursi taman yang ada didekat situ. “Sudah 3 bulan kita saling mengenal..” Liam berbicara sembari memandang lurus hamparan bungan didepan kami. Aku mengangguk.
“Pertama kali bertemu denganmu, aku kesal sekali, Liam!” kataku disertai tawa. Liam hanya tersenyum. “Aku ingat kita dihukum oleh Mrs. Ju gara-gara kau melempar bola basket dan mengenai Mrs. Wattson.” Lanjutku.
“Kau tidak dihukum. Zayn menggantikanmu, kan?” Liam menatapku. Aku salah tingkah ditatap seperti itu, aku hanya mengangguk. “Aku…aku yang menyuruhnya menggantikanmu.” Aku kaget mendengar itu. Kutatap matanya, mencari kebenaran. Ia pun menatapku. Ia tidak berbohong, aku yakin.
“Maksudmu?” tanyaku. “Ya,” Liam membenarkan posisi duduknya. “Aku mengirim SMS padanya. Aku..” Ia mengambil napas. “Aku tidak mau melihatmu sengsara karena aku.” Ia menyelesaikan kalimatnya dan menatapku. “Aku ga ngerti, Liam..” kataku lirih.
Kami terdiam cukup lama. Sampai akhirnya Liam buka suara,
“Aku suka padamu, Em. Tapi, aku tak yakin kau punya rasa yang sama padaku waktu itu. Maka aku meminta Zayn untuk menolongmu. Dan, sebenarnya yang ingin mengajakmu ke karnaval malam itu adalah aku. Tapi, aku tau kau kan benci padaku waktu itu. Dan tentu saja aku tak mengharapkan endingnya kau sakit hati melihat Zayn memiliki sudah memiliki kekasih..” Liam menarik napas.
Aku tercengang mendengar ini semua. Jadi, dulu…Zayn hanya membantu kawannya ini? Bukan dia yang menyukaiku, tapi Orang ini? Aku hanya bisa menunduk. Aku tak tau harus bicara apa.
“Emily…” Liam memanggilku dengan suara yang sangat lembut.
Aku menoleh kearahnya. Liam berdiri disampingku sembari memegang mawar putih ditangannya. Tiba-tiba, Ia berlutut dihadapanku. Aku kaget sekali.
“Emily Howard, please be my girlfriend…” Liam berkata sembari menyodorkan mawar putih itu. Tentu saja masih dalam keadaan berlutut. Aku menariknya berdiri. “Liam..”
“Kalau jawabanmu, “Ya” terimalah mawar ini dan peluklah aku. Kalau “Tidak” bawalah mawar ini tanpa memelukku. Tapi kau harus berjanji untuk menyimpannya sampai kelopaknya habis dikamarmu…” Ia menatap mataku. Tatapannya dalam sekali. Aku sampai sulit bernapas dibuatnya.
Aku meraih mawar putih itu. Aku menerimanya. Lalu….
“Aku tidak ingin memelukmu, Liam.” Kataku. Sorot matanya yang penuh harap itu seketika meredup.
“Aku ingin kau yang memelukku, “ kuucapkan kalimat itu dengan cepat lalu tersenyum. Seketika itu, Liam memelukku. Erat. Erat sekali. “Ini artinya kau mau menjadi pacarku, kan?” bisiknya di telingaku. Napasnya membuatku geli. Aku mengangguk.
“I love you, Emily…” Aku membenamkan mukaku ke pelukannya. Aku merasa taman ini menjadi lebih indah dari sebelumnya. Ya, tentu saja. Aku—Emily Howard dan Liam Payne sudah resmi berpacaran sekarang…♥☺


THE END