written by Natasha Violin
“Tunggu” Aku menyuruh seseorang di dalam lift untuk
menahannya.
Ia dengan senang hati mempesilahkanku masuk ke dalam. Aku
balas tersenyum kecil berterima kasih.
Aku melihat tombol lift. Rupanya orang itu juga ingin ke
Lobby.
Saat pintu lift tertutup aku melirik sedikit kearahnya, Ia tak
tinggi tapi… cukup menarik.
Rambutnya pirang , matanya biru yang sejuk dipandang… uhm
sayang aku tidak dapat terlalu melihatnya karena tubuhnya ditutupi jaket.
Baru melewati lantai 7, lift mendadak terguncang hebat .
Lampu lift pun mendadak mati.
Jantungku langsung berdebar kencang.
***
Aku terbangun dari mimpiku. Ergh satu lagi mimpi buruk yang
mengingatkanku dengan phobiaku akan lift.
Aku berusaha kembali ke dunia nyata dan bersiap-siap menuju
kantor tempatku magang sebelum aku masuk kuliah musim gugur tahun ini.
Menjadi suatu kehormatanku mendapatkan pekerjaan di
perusahaan besar di gedung terkenal pula.
Rencanaku , aku magang demi menyumbang untuk panti asuhan
yang sewaktu itu aku kunjungi. Kebetulan saat kesana aku bertemu dengan seorang
donatur tetap disana dan ia menawarkan penawaran sekali seumur hidup itu.
Tentu aku menerimanya demi kegiatan amal. Rasanya bahagia
dapat membantu orang yang membutuhkan.
Hari pertama bekerja kulalui dengan cukup baik. Dan
sebenarnya cukup seru juga. Dengan langkah terburu-buru aku menuju lift ,
menyuruh orang dalam lift untuk menahannya untukku.
“Hold the lift please” pintaku.
Orang yang ada di dalam – orang misterius dengan jaket memencet tombol buka dan
mempersilahkanku masuk ke dalam.
Aku tersenyum kepadanya , berterima kasih.
Baru ingin memencet tombol L , aku melihat tombol L sudah
menyala. Baguslah ia juga ingin ke Lobby. Karena aku tak senang harus sendirian
di dalam lift.
Saat lift mulai turun dan mencapai lantai 5 mendadak lift
berhenti. Aku mulai merasa takut . Ketakutanku semakin menjadi ketika lift
berguncang dan lampu lift mati.
Kepalaku tiba-tiba terasa pusing. Rasanya hal ini seperti
pernah terjadi sebelumnya…
***
Aku menintikkan air mata tak percaya dengan apa yang baru
saja kudengar. Rasanya justru ingin tertawa saking tidak percayanya. Pasti
semua ini hanya candaan salah satu temanku lagi.
“Niall, you have to face the truth. She’s really gone”
“No way. You just pranked me again, didn’t you?”
“I swear, I’m not lying at this moment”
Bayangan buruk kehilangan cewek yang kucintai itu merasuk
otakku. Seketika itu juga aku jatuh terjerembab ke lantai. Aku memegangi
rambutku dan mengacak-acaknya frustasi.
Inilah mimpi buruk yang sesungguhnya.
***
“What’s happened?” Aku mencekik ketakutan. Kutekan tombol
alarm lift disela-sela kegelapan.
Jika orang-orang maintainer tak segera datang dan mengecek
keadaan kami, aku akan segera mati ketakutan.
Untung saja tak lama kemudian lampu di lift menyala. Nafasku
tersengal-sengak tak karuan.
Orang disebelahku yang tertutup dengan jaket tadi ternyata
seorang cowok yang lucunya mirip seperti dengan mimpiku semalam.
“Calm down, they will fix it soon”
Aku mengangguk berharap apa yang dikatannya benar-benar
terjadi.
Tak lama kemudian kami mendengar suara dari security. Mereka
mengatakan akan segera mengirim orang untuk mengecek lift kami.
Sembari mereka membetulkan , kami berdua diminta untuk
menunggu dengan sabar.
Hah seperti aku bisa saja sabar di dalam ruangan sempit yang
pengap. Untung saja aku tidak sendiri seperti dulu aku pernah terjebak lift.
“So where do you work?”tanya cowok itu dengan aksen yang
mirip seperti Irish.
Aku menoleh kearahnya “Uhm, the record company in 7th
floor”
Ia mengangguk-angguk “I also work in there”
“What do you do? You’re an apprentice too?”
Ia menggeleng agak kikuk menjawabnya. “I’m one of the record
artist”
Aku mengangguk mengerti “Cool”
“I’m Niall by the way”katanya sambil mengulurkan tangan.
Aku balas mengulurkan tanganku “I’m Michelle”
Yah karena terjebak di ruang lift yang sama itulah awal
pertemuan kami. Sejak itu kami jadi berteman dan bahkan lebih dari berteman.
***
“Shut the door.. turn the light
off..I wanna be with you..I wanna feel your love…I wanna lay beside you…I
cannot hide this…even though I try
Heart beats
harder…time escapes me…trembling hands touch skin…It makes this hard girl…and
the tears stream down my face…”
Aku tak akan pernah mengira lagu yang kami nyanyikan benar-benar cocok
untuk diriku. Maksudku kami menyanyikan banyak lagu yang lebih berakhir baik…
mengapa harus lagu menyedihkan ini yang benar-benar menimpaku?
Suara Liam yang lembut membawaku terbawa suasana kesedihan. Mereka
semua tau sebenarnya aku belum cukup kuat untuk tampil. Tapi sayangnya aku
tidak bisa lari dari profesionalisme. Aku terikat kontrak dan aku tak bisa izin
begitu saja jika tidak ada alasan yang bagus.
Saat Harry menyanyikan bagiannya rasanya air mata mulai mengalir dari
pelupuk mataku. Sial, aku benar-benar belum mengikhlaskan kepergiannya.
Ketika giliranku bernyanyi solo, suaraku seperti yang kutebak …
bergetar.
“Close the door… throw the key… don’t wanna be reminded… don’t wanna
be seen … don’t wanna be without you… my judgment’s clouded… like tonight’s
sky...”
Liam menoleh kearahku melihatku iba. Ia memberi aba-aba untuk fokus.
Tapi aku tak bisa.
Aku tak kuat lagi.
Untuk pertama kalinya aku lari ke belakang panggung sebelum pada
waktunya.
***
“Why you looked so scared?” tanya Niall mengerutkan dahinya.
Aku mendengus malu harus menyebutkan kelemahanku satu ini. “Uhm…
actually I have phobia with lift. I ever get trapped inside the lift for about
6 hours. Alone”
“You’re not alone now. I will accompany you so you don’t scared
anymore”
Aku mengerjapkan mata agak melayang dengan kata-katanya.
Dude, kami baru saja bertemu dan ia sudah sebaik dan seromantis ini
denganku? Dan yang membuatku tambah terkesima ia berusaha keras untuk membuatku
lupa kami berdua sedang terjebak di lift.
Mungkin karenanya aku bisa jadi tak phobia lagi. Jika tak ada dia
mungkin sekarang aku sudah pingsan karena ketakutan.
“If you don’t mind… how old are you?”
Aku tersenyum “I don’t mind. I’m still young. Going to be 19 this
summer”
“Great”
“You? What’s your age?”
“I’m 19 too”
“Cool. What a funny sameness”
Ia tertawa kecil.
Selanjutnya obrolan kami mengalir begitu saja. Setelah cukup lama
mengobrol lucu juga kami punya kesamaan dalam hal makanan.
Kebetulan aku juga salah satu penggemar Nandos. Walau aku tak
sering-sering juga kesana karena uang jajanku tentu tak cukup jika harus makan
kesana tiap minggu.
Dan lucunya hanya karena obrolan kecil ini, ia berjanji akan
mengajakku keluar makan! Uhmm… sepertinya kerja amalku kali ini tidak hanya
menghasilkan kebahagiaan membantu orang tapi juga… teman kencan.
***
“It’s not funny , Niall. We all know you are in the deep sadness now
but you cant just be unprofessional like this. Do you how many fans of yours
complaining?”
Aku menghela nafas jengah mendengar ocehan Paul. Semuanya karena
profesionalisme.
Mereka semua belum pernah kan merasakan kehilangan sepertiku? Tidak ada yang bisa mengerti perasaanku
sekarang.
Aku tau aku terdengar lembek seperti cewek sekarang.. namun siapa yang
peduli?My judgment is clouded now….
NiallOfficial I’m so sorry guys! None of people
understand my feeling now… none
Aku melihat respon yang masuk ke twitterku. Tentu saja banyak fans
yang kecewa karena aku ‘ngambek’ untuk konser. Toh aku tak menyanyi solo
terlalu banyak.
Tetapi meski begitu masih ada banyak yang mengertiku.
Carolina1D_Niall : that awkward moment when your story end up like
your own song #PrayForNiall @NiallOfficial
Hah benar sekali. Apa aku harus mengakhiri ceritaku seperti lagu
Moments? Haruskah aku membunuh diriku sendiri?
***
Ketika jam sudah menunjukkan pukul 8 malam baru kami berdua dapat
keluar dari lift. Setelah para maintainer berhasil membetulkan tali lift yang
menyangkut.
Niall meninggalkan nomor ponselnya padaku. Dan ia memberi tanda untuk
meneleponku.
Aku tersenyum getir melihatnya. Sepertinya ia cowok menyenangkan. Rasa
keterikatanku dengannya seperti terasa erat sekali. Aku seperti ditakdirkan
untuk dengannya….
Kubaca tulisan nomor teleponnya kemudian kubalik kertasnya. Rupanya ia
meninggalkan pesan kecil yang bertulis :
I like your hair. So natural. And by the way you
have nice smile
Damn. Aku suka sekali cowok ini.
***
Pikiranku melayang ke kejadian beberapa hari lalu saat pertama kalinya
aku mendengar kabar Michelle kecelakaan.
Menurut polisi, Michelle berkendara dalam keadaan mabuk sehingga saat
di perempatan sebuah van menabrak mobilnya dari sebelah kanan. Kemudian sebuah
mobil menabraknya lagi dari arah depan.
Sayangnya airbag di mobilnya tidak bekerja. Sehingga sabuk pengamannya
tidak cukup melindunginya.
Keadaannya diperparah dengan ambulans yang datang terlambat karena
jalanan menjadi macet akibat kecelakaan itu.
Di rumah sakit kondisi Michelle sekarat. Ia mengalami pendarahan dan
luka dalam yang parah menurut dokter.
Sialnya lagi rumah sakit tidak memiliki persedian darah yang cukup
untuk pembedahan besar.
Disaat genting begini untung saja golongan darahku dengannya sama. Aku
tak perlu berpikir untuk mendonorkan darah pada Michelle. Sebanyak apapun itu
bahkan hingga aku sendiri yang harus mati rasanya tak masalah.
Aku ingin ia selamat. Orang sebaiknya terlalu berharga untuk mati.
Maksudku, ia bahkan rela menyumbangkan tiga perempat gajinya demi orang yang
membutuhkan. Padahal ia sendiri bukan orang kaya.
Baginya asal ia dapat makan, berlindung dari panasnya matahari dan
dinginnya hujan, serta menutupi dirinya dengan pakaian… itu semua cukup.
Ia gadis sederhana yang sulit sekali ditemui zaman sekarang.
Cewek-cewek tak akan betah hanya memiliki beberapa helai baju dan harus
memakainya berkali-kali lagi.
Kepolosan dan kesederhanaannya itulah yang membuatku mencintainya
lebih dari yang pernah kurasakan kepada cewek-cewek lainnya.
Cause girl like
you is impossible to find…
***
Berkali-kali kami kencan hingga memutuskan untuk pacaran. Dari awal
hingga sekarang ia selalu memberikan kejutan padaku.
Aku tak pernah tau cowok yang kurasa urat malunya putus ini diam-diam
seorang cowok romantis.
Kejutan pertamanya padaku adalah di saat kencan kedua kami di Nandos.
Ia menceritakan sejujurnya padaku bahwa ia adalah seorang anggota band yang
sedang terkenal, One Direction.
Setelah itu kejutan-kejutan lainnya terus diberikannya padaku. Usahanya
untuk menjadi romantis pun menurutku sangat baik. Ia berhasil membuatku kaget
ketika kami pertama kali pergi sebagai ‘pasangan’ dan ia membawaku ke tempat
syuting single-nya What Makes You Beautiful. Yeah aku tau lokasi video itu ada di amerika… Ia membawaku
ke amerika.
Negara yang ingin kukunjungi sejak dulu.
Kami tidak hanya pergi berdua. Bersama dengan sisa band One Direction
dan teman-teman kencannya , kami ke pantai itu.
Rasanya bahagia tentu saja dapat menjadi orang yang ada disamping
Niall. Yang dapat membuatnya tertawa… ada banyak cewek dari seluruh dunia yang
menginginkan Niall menjadi kekasihnya. Dan akulah cewek itu.
“We’ve already rent this beach just for us” kata Harry pada kami
semua.
Aku mengganggukan kepala sok mengerti. Tak heran mereka dapat menyewa
pantai ini khusus untuk mereka… mereka kan artis besar sekarang.
“Are you ready to party???” tanya Louis
Liam dan Danielle berteriak setuju begitu juga dengan Zayn dan Perrie.
Niall juga berteriak senang.
Aku hanya tersenyum malu-malu. Aku bukan gadis pesta seperti mereka
semua… bagaimanapun aku anak culun yang lebih suka diam di rumah.
Niall melihatku dengan dua bola mata birunya bingung kenapa aku tidak
ikut berteriak dengannya. “Why you just smiling? Are you sick?? You sick!!!”
Niall panik sendiri mendengar kata-katanya. Ia memegang keningku mengecek apa
badanku panas atau tidak.
Aku tertawa “I’m fine, Niall. I just not really know what party you
guys meant”
Kali ini gantian ia yang tertawa. “Just usual party. Talking, chilling
, eating , dancing… you know”
Aku mengangguk mengerti. Aku takut mereka memiliki ritual khusus yang
aneh…yang dapat mempermalukanku.
Party yang Louis maksud tadi ternyata akan dilaksanakan di malam hari.
Saat ini waktunya bermain air.
Danielle lebih memilih berjemur di pasir daripada ikut cowok-cowok
bermain dengan ombak yang deras.
Aku memilih ikut Danielle karena aku tidak terlalu menyukai air laut.
Niall sepertinya juga lupa karena asyik dengan Liam.
Aku curiga mereka berdua benar-benar gay. Tapi tidak ah. Liam terlalu
mencintai Danielle sehinga sulit rasanya mengatakan ia ‘gay’.
“Niall’s lucky he got you” kata Danielle padaku.
Aku melotot kaget “Why? I thought he’s unlucky… I’m not pretty at all”
“Why you thought you’re not pretty? You’re kind. I heard from Niall ,
you do charity works. I mean how many girls in this world willing to do charity
work if they can shopping in mall?”
Aku mendengus. Niall … ia menceritakan segalanya rupanya di
belakangku.
Pipiku memerah karena mendapat pujian dari Danielle “You too , Dan”
Asyik bercengkrama dengan Danielle aku sampai tak sadar Niall ada di
sampingku denngan baju basah ia menempelkannya ke kausku yang kering-ring.
“Ups! I hate seeing you dry when all of us are wet”
Aku mencubit lengannya gemas “But not like this”
Niall tidak peduli. Ia malah menggendongku dan membawaku ke laut. Aku
meronta-ronta dalam gendongannya ingin minta turun. Aku tidak ingin basaaahhhh.
Niall tambah tak peduli, ia menurunkanku di tengah pantai dan saat
ombak besar menerjang kami berdua. Ia mengecup bibirku cukup lama.
Pipiku merona merah… aku menikmati moment ini.
Ketika matahari mulai terbenam, Niall mengajakku jalan-jalan menyusuri
pantai dengan kaki telanjang.
Tak ada satu pun dari kami yang berbicara. Kami menikmati bulir-bulir
pasir memendam kaki kami. Sementara ombak semakin liar di malam hari ikut
menerjang kaki kami.
Niall menghentikan langkahnya tiba-tiba. Aku mengikutinya.
Ia berbalik melihat kearahku. Aneh melihat Niall menjadi serius
begini… biasanya ia selalu tertawa terbahak-bahak…
“I don’t want to be dramatic now…”
“But…” selaku
Niall mengerjapkan matanya “I do love you , Michelle. For real. I’d
rather die than I see you die”
Aku menempelkan telunjukku di bibirnya “Never say like that. People
born and one day they’ll die, Niall. Everyone. Your life is too valuable.
Promise me you wont kill yourself for anyone… including me”
Di bawah senja matahari yang berwarna jingga… dibalik sorot mata
Niall… aku lihat seutas janji yang kuyakini akan terus ia pegang hingga
waktunya nanti.
Ia pun menciumku lagi diiringi dengan matahari yang berangsur
menghilang…
Malam harinya kami menyalakan api unggun- persis seperti di video klip
mereka. Kami duduk berdua dengan pasangan kami masing-masing. Aku dan Niall.
Liam dan Danielle. Louis dan Eleanor. Zayn dan Perrie. Harry dan Kathleen.
Kali ini menurut Niall , Harry mengencani teman sepupunya yang masih
SMA. Well, kurasa mereka tak akan berhubungan lebih lanjut melihat Harry
seperti hanya memainkan si cewek. Kasian cewek itu…
“Okay!!! I cant take this quietness anymore! Harry play the music and
let’s dance, noww!!!” Louis berceloteh pada kami semua.
Harry memasang musik dari handphone nya yang kemudian disambung dengan
speaker.
Lagu mereka, Up All Night mengalun dengan riangnya.
Niall mengulurkan tangannya meminta izin untuk mengajakku menari. Aku
mengelurkan tanganku , menerimanya.
Kemudian yang kulihat pun kami semua berdiri mengelilingi api unggun
dan menari-nari senang.
Niall termasuk enerjik jika disuruh menari. Ia mengeluarkan gaya
andalannya , menggoyangkan pinggulnya. Aku tak kuasa menahan ketawa melihatnya
terlihat lucu begini.
Aku tak menyangka lagu selanjutnya malah lagu band saingan mereka, The
Wanted.
“Really? Glad You Came?”
“Why? I love this song”
Aku baru tau ada band menyukai band saingan mereka sendiri. Hah
industri musik memang tak dapat dipredeksi.
DJ Styles tak memasang lagu ceria lama-lama. Tiba saatnya ia memasang
lagu slow. Pilihan lagunya cukup menarik saat aku mendengar lagu Moments
diputar. Dari semua lagu yang mereka nyanyikan entah kenapa aku lebih merasakan
emosinya di lagu ini. Lagu ini yang membuatku gundah…
Aku menyenderkan kepalaku di bahu Niall. Niall mengelus rambutkutku
lembut kemudian memeluk pinggangku berdansa kecil.
You know I’ll be
your life your voice your reason to be my love my heart is breathing for this
moment… in time I’ll find the words to say… before you leave me today
Niall membisikkan kalimat kecil di telingaku “I love you, Michelle. I
bravely said forever”
“I love you too” bisikku.
***
Aku melihat jalanan dibalik kedua kakiku. Aku tersenyum getir
membayangkan dengan begini aku bisa bertemu dengan Michelle lagi.
There’s a numb in my toes and standing close to the edge……
Hah sempat-sempatnya disaat begini lagu itu terputar di otakku. Lagu
favorit Michelle….
“People born and
one day they’ll die, Niall. Everyone. Your life is too valuable. Promise me you
wont kill yourself for anyone… including me”
Aku terkesiap mengingat kata-kata Michelle di pantai waktu itu.
Janjiku kepadanya tidak akan berbuat bodoh seperti bunuh diri…………
Disaat yang bersamaan , Liam berteriak ketika melihatku berdiri.
Teman-temanku berbondong-bondong keluar , menghampiriku dan menarikku
paksa untuk segera masuk.
“You’re out of control, Niall! Do you think that will solve anything?”
sergah Liam dengan nada yang tak pernah kudengar sebelumnya.
Louis pun juga jauh dari kata ceria kali ini. “You’ll go to hell
instead of heaven”
“Don’t be so stupid , Niall” Zayn menambahi.
“Remember your promise to her that you’ll keep her promise” ujar
Harry.
Tak pernah aku melihat teman-temanku semarah dan sekasar ini padaku.
Well, mungkin aku pantas mendapatkannya kali ini.
***
Aku terbangun dari mimpi burukku. Mimpi terburuk yang pernah
kuimpikan.
Aku tau Michelle sekarang terbaring koma di rumah sakit……. Tapi …. ia
akan sadar! Ia pasti sadar. Meski dokter tidak menjamin kapan itu.
Pembedahan yang dilakukan pada Michelle pun cukup berhasil. Pendarahan
di otaknya dapat berhenti.
Memimpikan ia mati … aku
stress dan berniat bunuh diri… rasanya seperti mimpi buruk yang kutakuti akan
terjadi tak lama lagi.
Sepertinya aku tak perlu menunggu lama ketika handphoneku bergetar dan
pihak rumah sakit menyuruhku datang secepatnya.
Tidak mungkin mimpiku jadi kenyataan…………..
***
Duniaku gelap… Aku
seperti tersesat di tubuhku sendiri. Aku tak dapat menggerakan badanku sendiri. Sendiku seolah mati kaku. Aku
terkulai lemah tak berdaya selama berhari-hari.
Yang kuingat malah kenangan awalku dengan Niall… hari dimana kami
terjebak bersama di lift. Dan dari situlah kami berkenalan kemudian menjadi
seperti sekarang.
Sudah lama sekali rasanya aku tak melihat gerai tawa Niall yang
menghibur hatiku.
Hari itu malam sebelum kecelakaan maut itu… aku bertengkar dengan
Niall. Semakin hari aku semakin lelah harus menghabiskan waktuku dengan artis yang diikuti banyak
cewek-cewek histeris. Tak ada privasi. Ia pergi tour hampir sepanjang tahun.
Dan aku tidak tahan dengan perbedaan ini…
Ditambah lagi aku mendengar gossip beredar saat ia tour di America ,
ia dekat dengan salah satu artis disana dan tertangkap basah pergi berdua.
Oh jadi begitu.
Semakin lama aku merasa tak dihargai lagi… karena perbedaan waktu.
Disaat ia menelponku aku sudah tertidur-tidur sehabis belajar.
Aku berpikir lebih baik rasanya kami akhiri hubungan ini agar ia bebas
dan agar fansnya tidak ingin membunuhku lagi.
Karena aku belum cukup dewasa untuk menerima masalah berat seperti ini
belum lagi karena masalah lain… besoknya aku mampir ke pub dan disitulah aku
mabuk……..
***
“Niall”
Aku menatap satu-satunya cewek yang kucintai itu antara terharu dan
senang melihatnya kembali dapat berbicara… betapa lamanya aku tak mendengar
suaranya yang menenangkanku itu meski sekarang wajahnya penuh banyak luka.
Bagiku kecantikannya tak berkurang sepersen pun.
Michelle membuang mukanya menolak memandangku. Ah aku sudah yakin ia
masih marah denganku.
Pasti sulit rasanya menjadi kekasih orang yang bahkan tak bisa pergi
tanpa bodyguard.
“I’m sorry”
“Why you say sorry? Because your fans follow you? No. That’s not your
fault”
Aku menghela nafas bingung harus berbicara apa. Ini nih yang membuatku
tak mengerti dengan perasaan cewek.
“Niall, I just think you’ll better without me. I mean, I love you. But
being in the band is better you single. Or you’ll not popular”
“Why I care about popular if I had to loose you? I’m not that maniac
to be so popular” kataku tulus.
Kadangkala ada banyak keuntungan menjadi terkenal. Tapi tentu saja ada
juga kekurangannya. Menjadi terlalu terkenal pun tak seenak itu. Berapa banyak
cewek-cewek yang menerjangku setiap kali aku sampai di suatu tempat… badanku
rasanya lelah sekali.
Pintu kamar Michelle dibuka, susternya menyuruhku untuk pulang karena
jam menjenguk telah habis.
Michelle menatapku sekali lagi , ia berdesis kecil seraya suster
memberinya obat bius “You should think about this again, Niall…”
Air mata tergenang di mataku. Aku tersenyum kepadanya… mungkin ia
benar. Aku harus melepasnya dari penderitaan lagi. Aku tak tega melihatnya
harus menderita lagi seperti ini.
***
“Hey….”
Aku melihat pintu kamarku terbuka dan One Direction satu per satu
masuk ke dalam kamarku.
Niall sengaja masuk paling belakangan. Ia terlihat kaku. Jika ia sudah
seperti itu berarti ia ada dalam masalah besar dan ia sedang berusaha
menutupinya.
Sayang ia tidak bisa menutupinya.
“We brought you fruits”
kata Liam padaku.
Aku tersenyum berterima kasih “Thankyou”
“Doctor said you can go home tomorrow” Niall mengatakan dengan nada
datar.
Sebelumnya ia tak pernah sedatar ini denganku… apa aku telah menyakiti
hatinya?
Rasanya aku ingin menangis sekarang.
“Oh, okay”
“I guess we can sing you a song, to cheer you up” kata Harry sambil
melayangkan senyum chaming nya.
Aku menahan air mataku dean tersenyum mengangguk menanggapi Harry.
“Your favorite song is… “ Louis berpikir
“Moments” Zayn menyambung.
Aku kaget juga melihat Zayn bisa tau lagu kesukaanku.
Maka menit selanjutnya yang kudengar adalah suara-suara indah mereka
menyanyi untukku.
Tak butuh waktu cukup lama membuatku meringkuk sedih mendengar Niall
bernyanyi dengan hati. Yeahhh, ia membuatku menangis.
Don’t wanna be
without you… My judgment’s clouded… like tonight sky
Setelah mereka selesai bernyanyi kemudian mengobrol-obrol sebentar ,
mereka pamit untuk pulang karena ada janji interview.
Sebelum mereka pulang… Liam menyelipkan surat di tanganku.
Aku memandangnya bingung kemudian ia memberiku tanda untuk membacanya
setelah ini.
Aku mengangguk dalam kebingungan.
Niall is really sad. He realize with him you are
suffering. He doesn’t want you suffering.
He’s a nice guy, Michelle. You should know , he
donated you packs of blood.
So the blood which flow in your body is Niall’s
blood too.
You are he’s life now.
Sepertinya sekarang sudah terlambat untukku meminta maaf dan berterima
kasih pada Niall. Ia yang menyelamatkan hidupku… dan aku menyia-nyiakannya. Aku
membuatnya sedih. Cewek macam apa sih aku ini…
Kali ini air mata membasahi wajahku. Aku menangis, meraung
sekencang-kencangnya sedih.
Tiba-tiba aku mendengar sebuah suara…
“Don’t cry. Your tears is my blood. You cry , I’ll die soon or later”
Sambil masih menangis aku
memeluknya “I’m sorry, Niall. I promise I’ll love you… no doubt”
“And I’ll promise I will care more”
Maka ia pun menciumku dengan penuh kelembutan. Inilah moment
sesungguhnya yang akan kurindukan….
The End
No comments:
Post a Comment