by @desidhew , 18
“Hey! What are you doing?!” bentak Liam Payne pada seorang gadis yang berdiri di pintu kafetaria, sembunyi-sembunyi sambil memegang kameranya.
“Oh, maaf.” Gadis itu menggigit bibir.
“Kau pikir kau siapa bisa foto aku seenaknya?!” Gadis berambut panjang itu mendekat sambil mengulurkan tangan dan tersenyum ramah. “Hi, my name is Carly. I’m from school magazine. Aku mau buat artikel tentang anggota klub basket.”
“Tidak bisa minta baik-baik?!” sembur Liam.
“Sekali lagi aku minta maaf. Aku—”
“Forget it! You wasting my time!” ujar Liam ketus sambil beranjak pergi.
“Hey, I’m sorry?” teriak Carly pada punggung Liam yang menghilang di balik pintu.
***
Keesokan harinya Carly menghampiri Liam yang sedang membaca buku di taman sekolah. “Kalau sekarang bagaimana?” ia bertanya.
“Am I know you?” Liam menatapnya sinis. Keningnya mengkerut.
“Kalau kamu masih ingat kita ketemu di kafetaria kemarin, berarti jawabannya iya.” Jawab Carly, “Bagaimana? Kamu mau diinterview kan?”
“Tidak lihat aku sedang sibuk?” Liam kembali menghadap buku tebalnya.
“Yang aku lihat kamu cuma sedang membaca.”
“Cuma membaca?” Liam mendengus sambil menutup bukunya keras-keras. Debu-debu halus menyembur keluar dari sela-sela halaman yang terakhir dibacanya. Kemudian Liam mengambil tas ranselnya dan pergi.
“Hey, mau kemana? Aku kan sudah minta ijin kali ini?”
“Cuma sedang tidak ingin bicara padamu.” Jawab Liam sengak tanpa menoleh.
“Just a minute. Please, Liam Payne! Sebentar lagi deadline. Tolong aku! Please, come back!” Carly berteriak pada udara. “Carly bodoh!” dia menjitak kepalanya sendiri.
***
Sehari, dua hari, tiga hari, seterusnya, Carly selalu mengahabiskan waktu istirahatnya untuk mengejar Liam, memintanya untuk jadi narasumber. Tapi hasilnya selalu sama. Liam tidak pernah mau diwawancara, atau pun melihat wajah Carly dan lensa kameranya yang menodongnya setiap saat.
Suatu hari, Liam yang tidak tahan membentak Carly di tengah kafetaria yang sedang ramai-ramainya. “What’s wrong with you?! Are you obsessed with me?! Freak!” Semua orang memperhatikan mereka berdua. Beberapa diantaranya tertawa. Carly yang merasa tidak punya muka lagi hanya bisa menunduk malu sekaligus merasa bersalah.
“All right, I’m sorry. I’ll stay away from you.” Kata Carly penuh penyesalan.
“Good!” Liam bangkit dari kursinya. Dengan wajah yang masih kesal dia mengambil kertas yang ada di mejanya, meremasnya, membuatnya jadi bola, lalu membuangnya ke tempat sampah sebelum ia melesat keluar.
“Nice, Liam!” seorang cowok menepuk bahu Liam sambil tertawa kearah Carly. Carly menghela napas sambil menahan rasa sakit yang mencekik tenggorokannya. Ia dan sisa-sisa harga dirinya kemudian melangkah keluar dari cafeteria dengan puluhan pasang mata yang memperhatikannya.
Hal ini sudah biasa baginya. Cibiran-cibiran yang menyakitkan hati itu sudah seperti kicauan burung yang menyambutnya setiap pagi. Awalnya Carly kesal dan marah—walaupun tidak ada yang bisa dia lakukan untuk menghentikannya. Tapi lama-lama dia capek dan akhirnya memilih untuk tidak peduli lagi.
Saat Carly membuka pintu dia berhenti. Sesuatu menarik perhatiannya. Di sana, di dasar tempat sampah di samping pintu. Bola kertas yang baru saja dibuang Liam. Rasa penasaran yang menguasainya memaksa Carly memasukkan tangannya ke tempat sampah itu.
“Guys lihat, dia mengais tempat sampah! Dasar cewek aneh!” seru seseorang di meja sudut.
“Hey, kalau masih lapar aku masih punya banyak sampah di rumahku!” teriak yang lain.
“Astaga! Anjingku saja tidak sejorok dia!”
“Got it!” Carly menggenggam bola kertas itu dan bergegas keluar kefetaria tanpa mempedulikan semua orang yang mencibirnya. Di lorong kelas dia membuka kertas itu perlahan, sebelum akhirnya terkejut melihat isinya. Kertas yang dibuang Liam begitu saja, adalah formulir audisi X-Factor UK.
***
“Hey, what’s happening?!” Carly menghentikan salah satu dari puluhan murid yang berlari berbondong-bondong melintasi koridor loker.
“Kudengar ada yang baru saja dihajar. Sudah ya!”
“What? Siapa—wait!”
Carly segera mengunci lokernya dan ikut dalam rombongan menuju lapangan. Benar, seseorang baru saja dihajar habis-habisan di sana. Sebagian wajahnya memar dan berdarah. Orang itu terkapar di tanah sambil memegangi perutnya. Seragam basketnya basah karena keringat dan darah.
“Baru bisa diam kau sekarang, ha?!” seseorang meletakkan kakinya yang sebesar kaki troll di dada cowok yang terkapar itu. Seolah darah dan memar di wajahnya masih belum cukup memuaskannya.
Carly seperti tersetrum listrik jutaan watt. Bukan karena tidak ada seorang pun yang menolongnya. Tapi karena cowok yang babak belur itu adalah Liam Payne!
“STOP IT, JOSH!” teriak Carly dari kerumunan penonton. Cowok yang bernama Josh itu menoleh. Wajahnya sangar dan beringas. Badannya besar dan kekar nyaris seperti gorilla.
“How dare you speak to me?!”
Mata Liam yang lebam berusaha mencari tahu siapa gadis yang baru saja bicara. Tapi cahaya yang kelewat silau dan darah membutakan matanya.
“Kenapa? Kau kaget ya?” tantang Carly, padahal tangannya gemetar hebat. Josh langsung tertawa ganas. “Yeah! Aku kaget! Kaget sekali. Ternyata kau bisa bicara!” Seolah ada dirigen yang memberi aba-aba, suara tawa yang mengerikan langsung membahana di seluruh lapangan. Carly nyaris mati karena malu. Tapi bukannya menyingkir dan pergi, ia tetap berdiri di sana dan menghadapinya.
“Leave him alone!” katanya berani.
“Kalau aku tidak mau bagaimana?” Josh berjalan perlahan mendekati Carly. Liam semakin tidak bisa melihat gadis itu karena terhalang oleh tubuh besar Josh.
“Kalau kau tidak mau….” suara Carly gemetar. Matanya berusaha menghindari tatapan Josh. Perlahan ia mundur ke belakang tapi Josh terus berjalan ke arahnya.
“Apa?!” Ada hening yang panjang sebelum Carly menarik napas dalam-dalam, lalu mengucapakan kata-kata itu dengan lantang tepat di depan wajah Josh. “Berarti kau ini loser!”
Ada banyak suara batuk yang aneh terdengar dari kerumunan penonton. Seperti suara tawa yang tertahan. Kecuali mereka ingin nasibnya sama seperti Liam, sebagian besar dari mereka menutup mulut atau menunduk menyembunyikan tawa mereka.
“Dia sudah babak belur seperti itu dan kau masih mau menghabisinya? Pukul saja nenek-nenek ompong kalau begitu! Toh tidak ada bedanya. Dasar pengecut!” Timpal Carly lagi setelah menemukan keberaniannya.
“Well, all right grandma!” Josh yang geram setengah mati mencengkram kerah kemeja Carly kuat-kuat, tidak peduli dia perempuan. Carly menutup matanya siap menerima serangan.
“STOP IT!” jerit seseorang. Semua orang tersentak. Yang barusan bicara itu Liam!
“Ini urusan kita, Josh! Jangan libatkan dia. Please!” Kata Liam memohon. Masih terkapar di tanah dan masih belum tahu siapa gadis pemberani yang membelanya ini.
“Don’t worry, Payne! Aku akan kembali padamu setelah memeberinya sedikit pelajaran!”
“WHAT HAPPENED HERE?!” suara yang menggelegar membubarkan kerumunan penonton. Menyisakan Josh, Liam, dan Carly.
“Seriously, Josh? My room! NOW!” Kepala Sekolah menarik Josh ke ruangannya. Carly segera berlari menghampiri Liam.
“Are you okay?” kata Carly panik sambil menyentuh memar-memar di wajah Liam. “Oh my God, you are so stupid, Carly! Of course he’s not okay!”
“Aww don’t touch that!” Liam mengerang.
“Sorry!”
Liam berusaha membuka matanya yang bengkak. Menyesuaikan pandangannya dari cahaya matahari yang serasa menusuk matanya. Gambaran wajah panik Carly perlahan mampu ditangkap oleh matanya. “You?”
“Tanya-tanyanya nanti saja. Kita bersihkan dulu lukamu!” Carly meraih tangan Liam dan melingkarkannya ke lehernya. “Astaga kamu ini makannya apa sih sampai bisa berat begini?” gumam Carly pelan sambil merangkul Liam sampai ke UKS.
***
“Serius nih tidak ada dokternya sama sekali? Kemana sih mereka? Dasar makan gaji buta!” omel Carly kesal sambil mengacak-ngacak isi lemari, entah apa yang dia cari.
“Shut up!” Liam setengah berteriak. “Lukaku jadi makin sakit tau! Sudahlah, kamu saja yang obati lukaku!”
“Apa?!”
“Ayolah keburu aku mati!” ujar Liam sedikit berlebihan. Carly menatapnya bingung.
“COME ON!!”
“All right, all right!” Carly yang masih bingun dan panik segera mengisi baskom dengan air hangat dan kapas untuk membersihkan darah di wajah Liam.
“AAWWWWW!!!” jerit Liam. Carly hampir terjungkal saking kagetnya.
“Maaf! Tahan ya?”
“Pelan-pelan!” Liam berjenggit kesakitan. Tanpa sadar dia meremas tangan Carly kuat-kuat. Dengan hati-hati Carly membersihkan lukanya. Bagian kanan wajah Liam lumayan parah dengan memar di sana sini. Saat mengusap bibir Liam yang berdarah dengan kapas, entah kenapa tiba-tiba jantung Carly serasa melompat-lompat.
“Nah, sudah.” Katanya salting.
“Oh, thank you...” kata Liam lega, “Carly. Namamu Carly kan?”
“Aaah, glad to know that your brain still working.” Jawab Carly. Liam tertawa kecil, lalu berjenggit karena rasa ngilu di sudut bibirnya.
“Bajumu...” gumam Liam sambil menunjuk kaos Carly yang kotor karena darahnya.
“Ah, tidak apa-apa. Aku punya baju ganti kok di… SEJARAH! Mati, aku telat! Aku pergi dulu ya, Liam!” Carly melambai sambil berjalan terburu-buru.
“Carly?” panggil Liam lemah.
“Ya?” di ambang pintu Carly terhenti.
“Bisa ke sini sebentar?”
Ragu-ragu Carly menghampiri tempat tidur Liam. Sedikit khawatir karena terlambat masuk kelas. “Ada apa?”
Liam menggerakkan jari-jarinya, menyuruh Carly menunduk lalu membisikinya sesuatu, “History is boring!”
Carly menjauh. Ditatapnya wajah Liam yang memar lekat-lekat. “Apa?”
“Tidak usah masuk kelas. Stay here with me!” Liam menarik tangan Carly.
“No, I can’t. Kamu tau sendiri kan guru sejarah itu galak seperti—” Carly tersentak. Tau-tau Liam sudah tidur, dengan jari-jarinya yang masih melingkar di pergelangan tangannya.
Carly tersenyum sambil menatap wajahnya. Masih memar, tapi tetap tidak bisa menutupi ketampanannya. Menjaga agar Liam tidak terbangun, Carly melepaskan tangannya pelan-pelan.
“Kalau aku sampai di skors gara-gara ini, akan kutambah memar di wajahmu, Liam Payne.” Bisik Carly sambil tersenyum.
Klik!
***
Beberapa hari setelah pembantaian itu, Liam mulai pulih. Pagi itu, selain sudut matanya yang masih membiru, Liam tampak baik-baik saja. Segar dan tampan seperti biasanya.
Tempat pertama yang dituju Liam setelah turun dari bus adalah taman, tempat dimana orang yang telah menolongnya berada.
“Hi!” sapa Liam pada lensa kamera Carly. “Can I sit there?”
Klik! Objek foto Carly tiba-tiba berubah dari sekelompok murid yang sedang duduk-duduk di taman menjadi wajah close up Liam yang tersenyum lebar.
“Liam? What—”
“Thank you!” Liam langsung duduk di samping Carly.
“Aku tahu ini sudah telat. Seharusnya aku melakukannya dari dulu, atau paling tidak kemarin waktu kamu menolongku. Aku mau minta maaf.” Kata Liam lagi.
“Minta maaf untuk apa?”
“Karena sudah mengejekmu ‘freak’ waktu itu. Aku benar-benar tidak bermaksud. Waktu itu aku cuma sedang kacau. Aku banyak pikiran, aku—”
“Karena ini ya?” Carly menyodorkan selembar kertas lusuh kepada Liam.
“Hey! Ini kan sudah—”
“Kamu buang begitu saja.” Sahut Carly. “Kenapa dibuang, Liam? Suaramu jelek?”
“Wow, how dare you!” Liam tertawa sinis.
“Ya, aku pernah dengar itu sebelumnya.” Carly langsung membayangkan Josh dan kejadian di lapangan itu. “Why you threw this? It’s X-Factor. Ini kesempatan besar! Kenapa kamu tidak mencobanya? Siapa tau lolos.”
“Kalau tidak bagaimana?”
“Kalau belum dicoba, mana kita tahu!”
“Kalau aku bilang aku sudah pernah mencobanya, dan gagal, apa kamu akan tetap menyuruhku ikut?” Liam menatap Carly. “Aku sudah pernah ikut ini dua tahun lalu, waktu umurku masih 14 tahun. Simon Cowell bilang aku belum siap untuk X-Factor. Dia juga bilang aku bisa kembali di X-Factor selanjutnya. Tapi entah kenapa menurutku itu semua cuma omong kosong. You know, menolak secara halus karena aku masih sangat muda. Kalau saja waktu itu umurku lebih tua, dia pasti mengkritikku habis-habisan.”
“Kalau begitu kamu harus benar-benar ikut kali ini! Tunjukkan padanya kemampuanmu. Buat dia menyesal sudah menggagalkanmu waktu itu!”
Liam tertawa kecil, “I don’t know, Carly.”
“Ah payah!” Carly mulai kesal. “Kamu tidak mungkin ikut X-Factor waktu itu kalau kamu pikir suaramu tidak bagus. Kamu pasti punya potensi dan kamu sadar itu. Jadi kenapa ragu?”
Liam masih bergeming.
“Kamu masih tidak mau diwawancara untuk majalah sekolah kan?” tanya Carly.
“Ya iyalah!”
“Begini saja deh, kalau kamu ikut ini dan berhasil lolos, aku janji tidak akan mengerjarmu lagi. Aku akan cari berita lain walaupun itu berarti masalah besar buatku. Tapi kalau sebaliknya, kamu harus mau jadi narasumberku. Bagaimana?”
Liam terdiam. Berpikir sejenak.
“Kalau ditambah traktir makan es krim, deal!” Liam menautkan alisnya.
“What?!”
“Ya sudah kalau tidak mau—”
“No no no, wait!” Carly menarik tangan Liam yang beranjak pergi.
“Ini sebenarnya yang butuh siapa sih?” gumam Carly pada dirinya sendiri seperti biasa. Liam cekikikan.
“Jadi bagaimana, mau tidak?”
“Tidak mengejarmu lagi dan traktir makan es krim. Deal!” Carly mengulurkan tangannya dan mereka pun bersalaman.
“Senang berbisnis denganmu Miss Ryans.” Kata Liam sambil melirik id card di saku kanan Carly.
***
Jadi Liam pergi audisi dan bertemu Simon Cowell untuk yang kedua kalinya. Sebelum bernyanyi Liam menyapanya. Dan ternyata dia masih ingat dengan bocah 14 tahun yang digagalkannya waktu itu.
Sesaat sebelum bernyanyi Simon menatap Liam tajam. Seolah masih meragukan kemampuannya. Tapi kemudian Liam mengejutkan semua orang termasuk Simon. Suaranya yang luar biasa saat menyanyikan lagu “Cry Me A River” memukau juri dan penonton. Mereka bahkan memberinya standing applause. Dan dua jempol tambahan dari Simon Cowell.
“Absolutely incredible! Four X’s. You through.”
***
“Sepertinya ada yang bakal bangkrut hari ini.” Saat Carly menutup lokernya, tampak Liam berdiri di sampingnya. Tersenyum lebar sambil membawa nomor audisinya.
“Liam?” Carly melirik nomor itu, “OH MY GOD! YOU THROUGH?! Aaaaa!”
Carly histeris. Seolah yang lolos itu dia bukannya Liam, Carly melompat-lompat kegirangan, menjerit, dan memeluk Liam erat-erat.
“Congratulation! I knew you’ll through!”
Entah kenapa Liam merasa senang dipeluk Carly—lebih mirip dicekik daripada dipeluk. Tapi Liam menikmatinya. Rasanya…nyaman.
“Oh I’m sorry!” Carly melepaskan pelukannya. Salting. Liam cuma bisa tersenyum. Sedikit kecewa karena pelukan hangat itu berakhir. Saat Carly melihat sekeliling, tampak orang-orang memperhatikan mereka berdua.
“Come on, let’s get out of here!” Liam menarik tangan Carly. “Kamu harus traktir aku sekarang karena aku sangaaaat lapar!”
***
“Jadi aku menang kan? Aku bebas jadi narasumbermu.” Kata Liam sambil menyantap semangkuk es krim dengan rakusnya.
“Iya kamu menang. Puas kan?” Carly tersenyum.
“Should I apologize to you, Carly? Kamu jadi tidak punya berita deh.”
“Kata siapa? Aku justru punya berita baru yang lebih hebat! Mau tau headline-nya? ‘Bintang Basket Wolverhampton High Taklukkan X-Factor’. Bagaimana? Keren kan?”
“You—”
“I was kidding, Liam. I wouldn’t do that.” Carly cekikikan. Liam mendesah lega.
“Why you did all this?” Liam menatap Carly tajam.
“Did what?”
“This! Membuat taruhan padahal kita tidak saling kenal sebelumnya.”
Hening.
“Aku cuma tidak suka ada orang yang menyia-nyiakan kesempatan. Apalagi kesempatan kedua yang tidak semua orang bisa mendapatkannya. Aku tahu kamu bisa, Liam. Danbukan hanya kesempatan, kamu juga punya peluang untuk menang. Percaya deh!”
“Thank you, Carly. Itu sangat…. Menggugah.” Kedua mata cokelat yang menatapnya itu membuat kaki-kaki Carly lemas seketika.
“Liam…” panggil Carly pelan.
“Ya, Carly?” Liam menatapnya penasaran sebelum akhirnya Carly berkata, “Kenapa kamu makan es krim pakai garpu?”
***
“Hey, bisa foto aku?” tiba-tiba wajah Liam muncul di lensa kamera Carly yang sedang asyik memotret. Sepertinya ini bakal jadi kebiasaan Liam. Muncul di kamera Carly tiba-tiba.
“Liam?” Carly terkikik. “Okey, pose yang bagus ya? Satu...”
“Wait! No! Seriously?”
“Tadi katanya kamu mau difoto?!”
“Ya, I know. I mean, here?”
“Memangnya mau dimana? Di studio? Heh, kau belum jadi artis ya, Liam James Payne!”
“Follow me…” sambil tersenyum jahil Liam menarik tangan Carly.
***
“Oh my God it’s beautiful!” sekali lagi Liam melihat Carly histeris. Begitu sampai di tempat ini Carly langsung heboh dengan kameranya. Klik! Klik! Klik!
Tempat ini indah sekali. Danau di hutan di belakang sekolah. Tidak banyak orang yang tahu tempat ini termasuk Carly. Bagi Liam, tempat ini seperti rumah keduanya. Saat sedang bosan di sekolah Liam pasti ke sini.
“Heh, ingat ya, tujuanmu kesini untuk foto aku!” kata Liam berusaha menyadarkan Carly yang jadi autis karena keasyikan memotret.
“Ha? Oh ya, I’m sorry. Aku suka tidak tahan kalau melihat sesuatu yang indah. Kalau begitu ayo foto!”
“Wait, not without her.”
“Her?”
“Ya. Foto aku dengan dia.” Kata Liam sambil melepaskan tas besar yang dia bawa sejak tadi. Tas hitam besar yang bentuknya menyerupai gitar. Liam membukanya, dan isinya gitar sungguhan.
“Jadi ‘dia’ itu gitarmu?” Carly tertawa. “Siapa namanya? Gigi?”
“No... It’s Carly.” Jawab Liam. “Namanya Carly.”
Carly menahan napas. Terkejut, tersanjung, sedikit terharu.
“Aku baru saja membeli gitar ini. Dan aku pikir dia harus punya nama. Entah kenapa aku langsung teringat padamu.” Liam tersenyum. “Hey, wanna hear some stuff?”
“Ya! Absolutely!” sahut Carly bersemangat.
Liam mengajak Carly duduk di bawah pohon di tepi danau sebelum mulai memainkan gitarnya. Ditatapnya mata Carly dalam-dalam seolah lagu itu dibuat khusus untuknya.
Girl I see in your eyes you’re dissaponted
Cause I’m the foolish one
That you anointed with your heart
I tore it apart
And girl what a mess I made upon your innocence
And no women in the world deserve this
But here I am asking you for one more chance
Carly yang terpesona tersenyum lebar. Bukan hanya karena suara Liam, tapi caranya menyanyikannya, caranya memainkan gitarnya, dan caranya memandangnya seolah Carly adalah seseorang yang istimewa baginya. Klik!
Can we fall one more time
Stop the tape and rewind
But if you walk away
I know I’ll fade
Cause there is noboy else
It’s gotta be you, only you
It’s gotta be you
Only you….
“Bagaimana?” tanya Liam penasaran.
“Wow... It’s great. You’re so talented.” Carle tersenyum lebar sambil bertepuk tangan.
“Yaa, tapi ini belum selesai.”
“Kalau begitu selesaikan!”
“Belum ada inspirasi lagi.”
“Wah, kalau begitu kalian harus bekerja lebih giat lagi. Right, Carly?” Carly mengelus Carly. Liam tertawa kecil.
“Dua hari lagi babak Boot Camp. Kalau aku lolos sih.” Tiba-tiba ekspesi Liam berubah.
“Kenapa? Mau taruhan lagi biar kamu semangat?”
“Memang mau taruhan apa?” Liam melirik Carly.
“I don’t know. Kamu mau apa? Kali ini giliranmu yang menentukan.”
“How about….” Liam rolled his eyes. “Aha! Kalau aku lolos sampai ke Live Show, kamu harus nonton langsung Live Showku tanpa terkecuali sampai aku tereliminasi. Bagaimana?”
“Okay! Kalau kamu yang kalah?” Carly melirik jahil Liam.
“Kalau aku kalah…. Aku akan makan satu ember es krim dengan sendok!”
“DEAL!”
“Well, it solved.” Kemudian Liam berbaring di rumput. Kedua tangannya tersilang di bawah kepalanya.
“Sebental lagi sunset, dan tempat ini akan jadi tempat paling indah yang pernah kamu lihat.” Kata Liam lagi.
“Oh ya?”
“Berbaringlah di sampingku dan lihat saja sendiri.”
Ragu-ragu Carly membaringkan tubuhnya di samping Liam. Jantungnya berpacu. Belum pernah Carly sedekat ini dengan Liam, atau siapapun.
Langit biru perlahan berubah jadi oranye. Berhiaskan burung-burung yang pulang ke sarang mereka yang entah ada di mana.
“Sebentar lagi. Di sana.” Liam menunjuk sesuatu di seberang danau. Ke arah matahari merah yang perlahan turun dari langit.
“Liam?” panggil Carly pelan.
“Ya?”
“Waktu itu, kenapa Josh menghajarmu?”
Ada hening yang cukup lama sebelum akhirnya Liam berkata, “Kami bertengkar.”
“Kenapa?”
“Karena aku menyebutnya asshole.”
“You what?” Carly tertawa. “Kenapa kamu bilang begitu?”
“Karena dia memang pantas mendapatkannya! Dia bilang kamera polaroid itu benda yang kuno dan tidak berguna. Sama tidak bergunanya dengan gadis yang selalu membawa benda itu di lehernya kemana-mana. Lalu aku memukulnya. Dan tau-tau aku sudah babak belur.”
Carly tercengang. Dia menatap Liam dengan pandangan penuh arti. Sambil berbaring mereka saling memandang. Mata Carly panas. Tidak mungkin karena itu. Tidak mungkin karena membelanya Liam dipukuli.
Mungkinkah?
“Lihat, aku tidak bohong kan?” Liam mengalihkan pandangannya dari Carly sambil tersenyum. Di seberang danau sana ada pemandangan yang paling indah yang pernah dilihat Carly—kalau saja sesuatu yang berbaring di sampingnya ini tidak dihitung.
Klik!
***
“CARLY!” panggil seseorang dari ujung lorong kelas yang sepi.
“What’s going on, Liam?”
“I won again!” kata Liam ngos-ngosan setelah berlari mengejar Carly.
“What?! I heard you didn’t through last night?”
“Memang. Awalnya aku tidak lolos, tapi kemudian juri memasukkanku ke kategori group bersama empat orang lainnya!” cerita Liam dengan gembira.
“Great.” Jawab Carly singkat sambil memeluk buku-buku yang dibawanya. Tersenyum kecil.
“That’s it? Great?” tanya Liam.
“What should I say, Liam?” kata Carly pelan sembari menunduk.
“Hey hey, what’s going on?” Liam menghalangi jalan Carly.
“Nothing. You through. Congratulation!”
“Tidak. Pasti ada yang lain. Come on, would you tell me?” Liam meletakkan kedua tangannya di bahu Carly. Menunduk dan menatap matanya.
“Tidak ada, Liam. Kamu lolos. Kamu akan ke Boot Camp.” Jawab Carly lesu. “Lalu aku akan kehilangan model foto sekaligus satu-satunya teman yang aku punya.”
Liam tersentak. Ada banyak kata di ujung lidahnya tapi yang muncul kemudian hanya seutas senyuman. “Hey, Carly, look at me.” Liam lifted her chin softly. “It’s gonna be okay. Lagi pula ini yang kamu mau kan? Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan.”
“Yeah, you’re right.” Carly tersenyum pahit. “Maaf aku sudah egois.”
“Cheer up! Karena satu-satunya temanmu ini sebentar lagi akan jadi artis besar! Dan setelah itu aku harus menerima bayaran dari setiap foto yang kamu ambil!” suara tawa Liam bergema di lorong itu.
“Dasar!” Carly tertawa sambil meninju pelan dada Liam yang kekar. Lalu suara tawa itu memudar dan berganti dengan senyuman tipis. Dua pasang mata cokelat itu saling beradu.
“Better, now?” tanya Liam lembut.
“Yeah, so much better.”
“You never gonna lose me, Carly.” Seketika Liam mengangkat tangannya dan meletakkannya di pipi Carly yang memerah. “Dan aku tidak akan meninggalkanmu begitu saja tanpa memberimu apa-apa…”
Semuanya terjadi begitu cepat bagi Carly. Terlalu cepat. Semuanya. Pertemuannya dengan Liam. Pertemanan yang berawal dari wajah yang berdarah dan taruhan. Dan ini.
Liam mendekatkan wajahnya ke arah Carly. Dekat sekali sampai hidung mereka bersentuhan. Liam mengusap wajahnya perlahan. Lalu semuanya gelap. Yang terakhir kali Carly sebelum ia memejamkan mata adalah wajah Liam yang sempurna. Sedetik kemudian, sesuatu yang lebih lembut dan lebih manis daripada es krim manapun di dunia menyentuh bibirnya.
……………
“Sayang ya, kamu belum jadi artis.” Bisik Carly sambil tersenyum. Kening dan hidung mereka masih bersentuhan.
“Dissapointed?” bisik Liam.
“You think?”
“Tidak setelah aku memberimu yang satu ini.” tib-tiba Liam berputar, mendorong tubuh Carly ke tembok dan menahannya di sana dengan tangannya yang kekar. He kissed her again, slow but passionately.
One second…
Two second…
Three second… Four… Five…
Forever…
Klik!
***
Boot camp, Judge’s House. And finally Live Show. Liam dan groupnya, One Direction berhasil melewati semua babak itu dengan baik. Keputusan juri X-Factor untuk menyatukan kelima cowok itu adalah pilihan yang sangat tepat. Suara Liam dan keempat cowok itu memang bagus, bahkan luar biasa. Tapi saat disatukan, mereka sempurna! It was like… brilian, amazing, extraordinary, fabulous, and phenomenal!
Sekarang sudah masuk minggu keempat One Direction tampil di live show dan mengumpulkan ratusan bahkan ribuan penggemar. Minggu keempat dan tidak pernah sekali pun Carly absen menonton. Dia selalu menjadi yang paling bersemangat di antara penonton. Membawa poster raksasa Liam dan One Direction yang kadang menghalau pandangan penonton dan membuatnya kena masalah.
There’s nothing I can do
Total eclipse of the heart…
Tepuk tangan membahana di studio bersamaan dengan teriakan histeris ratusan penonton. Juri memberikan komentar-komentarnya, tapi mata Liam sibuk mencari-cari Carly di antara penonton. Tidak sulit karena posternya.
Liam melambai. Memberikan kode pada Carly untuk ke backstage setelah show selesai.
“I like your make up, by the way. You look mysterious and stunning at the same time.” Kata Carly sambil menyentuh noda merah di bawah mata dan leher Liam yang seperti bekas cakaran.
“You like it?”
“Of course I like it! Dan aku tidak sabar ingin menghabiskan malam ini dengan vampire ganteng sepertimu.” Goda Carly genit. “Kamu mau kan, Liam jalan-jalan?”
“Tidak sebelum kamu bertemu vampire-vampire yang lainnya. Boys! This is Carly.” Liam membuka pintu yang bertulisan “One Direction”. Empat cowok tampan menatap mereka berdua.
“Your guitar is alive?!” kata seorang cowok imut berambut pirang.
“Ya! Cantik kan?” jawab Carly. The boys yang sedang membersihkan make up vampire mereka pun tertawa.
“No, Niall. Tapi dia yang memberikan inspirasi nama itu.” kata Liam.
“I know, Liam. Aku cuma bercanda. Hai, Carly! I’m Niall. This is Louis, Harry, and Zayn. And we’re One Direction.” Kata Niall sambil menunjuk the boys satu per satu.
“Hi guys!”
“Hi Carly!”
“Vas Happenin’ Carly!”
“Kalian ada waktu? Bagaimana kalau setelah ini kita makan? Aku yang traktir deh. Kalian mau makan apa? McDonalds? Burger King? Nandos?—”
“Nandos!!! Yum!” seru Niall bersemangat.
“Sebenarnya kita tidak boleh keluar, tapi aku akan minta ijin.” Kata Liam.
“Ya! Hit them if they wont let us go to Nandos!” Niall meninju udara.
***
Dan di sanalah mereka. Menikmati makan malam bersama-sama dalam suasana yang hangat. Carly langsung akrab dengan anak-anak One Direction, terutama Niall. Mereka bicara banyak hal. Perjalanan 1D di X-Factor, pengalaman the boys sebelum ikut X-Factor, sampai cerita Carly tentang kamera. Hanya obrolan ringan dan sederhana khas remaja. Sesekali mereka tertawa karena kelakuan konyol salah satu di antara mereka, atau karena jokes yang mereka buat sendiri. It’s just fun.
Setelah makan malam mereka naik bus Double Dekker dalam perjalanan pulang ke X-Factor House. Mereka naik ke atas dan bernyanyi dengan iringan gitar Niall.
“You know, guys? Aku selalu membayangkan kita bisa membuat video klip dengan naik ini, suatu saat nanti.” Kata Louis.
“What? Come on!” jawab Zayn sambil tertawa.
“I think it’s a good idea. That would be epic.” Kata Carly mendukung.
“Yeah, I agree with you! Pasti keren.” tambah Harry.
“Nooo, it’s not! Right, Zayne?” Niall mengajak Zayn toss.
Liam tersenyum melihat Carly dan teman-temannya bisa akrab secepat itu. Melihat tawa mereka itu, rasanya tidak ada hal yang lebih indah lagi.
Semenjak mengenal Carly, Liam merasa hidupnya jauh lebih baik. Tanpa Carly, mungkin Liam masih akan menjadi cowok yang putus asa dan tidak percaya diri. Dia tidak akan ada di sini, di X-Factor. Dan tidak akan ada One Direction.
“Thanks for the dinner, Carl!” seru Niall.
“Thank you, nice to meet you!” Harry dan Louis bergantian memeluk Carly.
“See you again, Pretty Carly!” Zayn tiba-tiba mencium pipi Carly. Liam langsung mendelik. Harry, Niall, dan Louis tertawa.
“Oops, sorry Leeyum! Habis aku tidak tahan dengan pipinya, sih. Thank you, Carly! See you again!” lalu Zayn, Louis, Niall, dan Harry masuk ke dalam. Meninggalkan Liam dan Carly di halaman.
“Maaf ya, mereka memang jahil.” Kata Liam sambil mengusap pipi kanan Carly. Seolah ingin menghapus bekas bibir Zayn di sana.
“No, it’s fine. They’re cute. I like them. Aku rasa harus berterima kasih ke Simon Cowell karena menggagalkanmu waktu itu. Kalau tidak, kamu tidak akan bertemu mereka.” Jawab Carly sambil tersenyum. “Kalian semua akan jadi bintang besar suatu saat nanti, aku yakin. Tetaplah jadi diri kalian sendiri, karena kalian sudah istimewa.”
“Thanks, babe. Aku rasa memang hanya kamu yang bisa melihat kelebihanku di saat orang lain dan bahkan diriku sendiri tidak bisa melihatnya. Dan sekarang kamu juga melihat itu di dalam diri teman-temanku. That’s why they like you, Carly.” Liam menggenggam tangan Carly erat-erat.
“Setelah ini jadwal kami akan semakin padat. Dan kita akan semakin susah untuk bertemu.” Kata Liam lagi. Ekspresi wajahnya berubah.
“Yeah, I know. Tapi kamu masih mau berusaha kan?” Carly meletakkan tangannya di pipi Liam yang dingin dan lembut.
“Of course I will.” Liam meletakkan tangannya di atas tangan Carly yang menyentuh pipinya. “For you.”
“Good.”
“Hey, what’s wrong? You look—”
“I’m okay, Liam. Get in!”
“No, Carly…” Liam langsung meraih Carly ke dalam pelukannya. Lama sekali, seolah tidak mau dilepaskan. “I miss you already.”
“Yeah me too.” Carly membenamkan wajahnya di dada Liam yang bidang. Menghirup dalam-dalam aroma parfum yang bercampur aroma tubuh Liam yang harum dari balik jaketnya.
“Everything is gonna be okay. Jaga dirimu baik-baik ya? I love you so much, Carl.”
“I love you too, Liam.” Bisik Carly. “Now, you have to let me go because I can’t breath!”
Liam melepaskan pelukannya sambil tertawa kecil. Mereka saling berpandangan lagi. Tatapan yang dalam seperti biasa, tapi… entahlah. Rasanya ada yang berbeda.
Klik!
“Hey!” protes Liam karena Carly melakukannya lagi.
“Maaf, selalu tidak tahan kalau melihat yang indah-indah.” Carly mengedipkan sebelah matanya, “Good bye, Liam.”
Carly melambaikan tangannya sambil melangkah mundur.
“Bye, Carly!” kata Liam. “Dan jangan lupa utangmu! Aku masih belum tereliminasi!”
Dari kejauhan Liam bisa melihat Carly menoleh dan tersenyum padanya. Kemudian ia berbalik dan tidak pernah menoleh lagi.
***
Live show ke tujuh. Sudah tiga kali sejak malam itu, Carly tidak menepati janjinya. Liam mulai khawatir. Saking khawatirnya dia jadi sering tidak fokus latihan. The boys pun jadi ikut khawatir. Pada malam live show ke delapan Liam hampir membuat penampilan One Direction gagal sebelum akhirnya ia melihat Carly berdiri di tengah penonton. Memakai topi beanie dan membawa poster raksasa Liam yang sedang bermain gitar di tepi danau.
“I love you.” Liam menggerakkan bibirnya tanpa suara dari atas panggung. Carly tersenyum padanya.
“It’s alright, Liam. Dia masih menepati janjinya.” Batin Liam sambil terus bernyanyi untuk penonton. Liam semangat lagi. Penampilan One Direction luar biasa. Namun saat juri berkomentar Liam kembali gelisah. Kemana Carly?
***
Beberapa minggu sebelum grand final, One Direction dan peserta lain diijinkan untuk pergi berlibur. The boys berencana akan liburan ke rumah Harry di Holmes Chapel. Dan the boys ingin agar Carly ikut dengan mereka.
***
“Is Carly’s here?” tanya Liam pada seorang wanita yang membukakan pintu. Selain kerutan di wajahnya dan matanya yang sayu, ia benar-benar mirip Carly. Wanita itu menatap Liam lama sekali.
“Exuse me, Ma’am? Is Carly’s here?” tanya Liam lagi. “Oh forgive me, Mrs. Ryans! I’m Liam and this is my friends. Kami mau ajak Carly jalan-jalan. Boleh kan?”
“She’s not here, I’m sorry.” Jawab ibu Carly datar.
“Kemana ya, Tante?” tanya Zayn.
“She’s gone.”
“Boleh kami tau kemana dia pergi? Mungkin kami bisa menjemp—”
“I said she’s gone, Son!” suara wanita itu bergetar. Tiba-tiba air mata membanjiri pipinya. “She passed away.”
Seketika itu juga dunia Liam menjadi kacau. Runtuh seketika tanpa sisa. Tidak ada tanah di bawah kakinya yang menjaganya tetap berdiri tegak. Tidak ada langit yang melindunginya dari sinar matahari yang membakarnya sampai ke tulang. Tidak ada udara yang mengisi paru-parunya yang mengkerut. Tidak ada cahaya. Tidak ada gravitasi. Tidak ada Carly.
“She what?” seru Niall sambil membekap mulutnya.
“Innalilahiwainailaihirojiun…” Zayn merangkul Liam yang berdiri kaku di tempatnya. Pandangannya kosong. Seluruh tubuhnya dingin dan mati rasa. Tapi tidak ada air mata yang keluar.
“Sudah lama dia menderita penyakit itu dan tidak ada satu pun yang tahu termasuk kami. Dia menyembunyikannya. Malam itu, saat dia pergi menontonmu untuk yang terakhir kalinya, dalam perjalanan pulang dia pingsan. Kami membawanya ke rumah sakit, tapi… Tapi dia tidak….” Ibu Carly tidak kuasa menahan tangis.
“Kami turut berduka cita.” Kata Louis sedih.
“She’s such a good friend.” Harry memandang langit, berusaha sekuat tenaga mencegah air matanya keluar.
Liam masih bergeming tidak percaya. The boys mencoba menahan air mata mereka. Carly, gadis dengan kamera yang baru sekali mereka temui sekarang sudah tidak ada lagi.
“Wolverhampton Cemetery. Di sanalah dia berada sekarang.”
“Thank you, Ma’am.” Louis menarik Liam pergi.
“Apa tidak ada apa-apa? Surat? Atau apa saja yang dia tinggalkan untukku sebelum pergi?” sebelum masuk ke mobil Liam menatap wanita itu penuh harap.
“No, Son. I’m sorry. There’s nothing left.”
***
Dia di sana. Di bawah gundukan yang masih basah dan bertabur bunga itu. “Carly Anabella Ryans, beloved daughter and sister”. Hanya itu yang tersisa darinya.
Akhirnya pertahanan Liam runtuh. Seketika itu juga dia berlutut di samping makam Carly. Tangisnya pecah. Seorang Liam Payne… menangis. :’’(
“Why you leave my like this?” Liam terisak.
“You said that you love me! But why you did this to me?! Kamu tidak menepati janjimu! Aku belum tereliminasi. Kamu belum boleh mati!”
“Aku sudah berusaha seharusnya kamu juga berusaha!”
“CARLYYYY!” jeritan panjang Liam membuat Zayn berlutut di sampingnya dan memeluk sahabatnya itu. Louis, Niall, dan Harry menggigit bibir, menutup mulut, berusaha menahan air mata mereka sekuat tenaga.
“Take me, baby! I wanna live there with you. Please take me, Carly! Take meee!” Liam sesenggukan di batu nisan Carly.
“It’s okay, Liam.” Suara Zayn bergetar. “She’s save now, without pain that hurted her all this time.”
“Why she didn’t tell me, Zayn? Why?”
“I don’t know, Man. Mungkin dia sudah mengatakannya. Atau mencoba mengatakannya, tapi dengan cara yang halus supaya kau tidak menyadarinya begitu saja. Kalau aku jadi dia, aku pasti tidak ingin membuatmu khawatir.”
Tiba-tiba suara Carly menggema di kepala Liam. “Aku hanya tidak suka ada orang yang menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan kepadanya. Apalagi kesempatan kedua yang tidak semua orang bisa mendapatkannya.”
Kesempatan. Carly tidak punya kesempatan. Tidak punya harapan. Dia tidak bisa sembuh. Karena itu dia tidak ingin Liam menyia-nyiakan kesempatan yang dia punya untuk ikut X-Factor. Untuk meraih masa depan, yang tidak akan pernah bisa Carly miliki. She’s already told him.
“You’re so stupid, Liam Payne!” Liam mengutuk dirinya sendiri. Ia pun menunduk dan mencium batu nisan itu. Tenggelam dalam kesedihan dan penyesalannya.
“Are you Lee… Lay-Um-Pane?” suara seseorang membuat Liam menoleh. Bocah lelaki berumur 6 tahun yang belum lancar membaca menghampirinya sambil memeluk sebuah buku.
“It’s Liam Payne.” Liam berusaha menghapus air matanya.
“I’m sorry, Liam Payne. My name is Charlie.” Kata anak kecil itu.
“Hi, Charlie! Sedang apa kau di tempat seperti?” Kata Liam sambil tersenyum.
“Aku mengambil buku ini tanpa ijin dari kamar kakakku dan belum sempat mengembalikannya. Ibuku bilang tadi ada seseorang bernama Liam mencari kakakku. Jadi aku mengejarmu kemari untuk memberikanmu ini. Kurasa ini dia membuat untukmu.” Tangan kecilnya terarah ke Liam.
“What is it?”
“Jangan! Jangan di sini. Aku takut dia akan marah karena tau aku yang mengambilnya. Aku suka gambarnya. Maafkan aku, Carly.” Kata Charlie sambil menatap makam kakak perempuannya.
“She wont be mad at you, Charlie.” Louis membelai rambutnya.
“Ya, dia malah akan berterima kasih karena kau sudah memberikan buku itu padanya. Ayo, kami antar kau pulang.” Harry mengulurkan tangannya. Harry, Louis, Niall, dan Zayn mengantar Charlie pulang. Meninggalkan Liam bersama Carly untuk yang terakhir kalinya.
“Carly…” bisik Liam lirih, “Aku sudah selesaikan lagunya. Mau dengar?” lalu Liam bernyanyi dengan suara tercekat.
I’ll be here by your side
No more tears, no more cry
But if you walk away
I know I’ll fade
Cause there is nobody else…
“It’s gotta be you, Carly. Only you.”
***
Tangan Liam bergetar saat membuka buku itu bersampul hijau itu malam harinya di X-Factor House. Saat membuka halaman pertama Liam tersentak. Matanya panas. Dia menutup mulutnya rapat-rapat agar suara tangisnya tidak terdengar sampai keluar.
Buku ini adalah scrapbook, dan penuh dengan foto-foto Liam yang diambil diam-diam oleh Carly. Foto-foto Liam dibingkai dengan berbagai hiasan. Bunga, pita, stiker, dan tulisan-tulisan tangan Carly dengan tinta warna warni.
Foto pertama di buku itu adalah foto Liam saat masih kelas satu. Tahun pertama mereka di Wolverhampton High School dua tahun yang lalu. Sosok Liam yang lebih muda turun dari bus sekolah sambil memanggul tasnya. Ada tulisan Carly dengan tinta warna hijau di samping foto itu, “First time I saw him.”
Tapi ada tulisan lain di halaman pertama itu. Di bagian bawah, ditulis rapi dan kecil-kecil, “Do you belive in ‘love at the first sight’? I do :)”
Dan ada banyak lagi tulisan lain di sekitar foto-foto Liam atau foto benda-benda yang berhubungan dengannya.
“Liam Payne di kelas Biologi.”
“Liam Payne bermain basket.”
“Look at his beautiful smile! I’m overwhelmed.”
“Melamun di kafetaria.”
“Pertama kali kami berbicara, dan dia marah padaku.”
“Dia membuang kertas ini ke tempat sampah.”
“Swelling and sexy ;)”
“Cuma ‘Hi!’ dan aku hampir mati terpesona.”
“Lagi-lagi muncul di kamera tiba-tiba. Dan lagi-lagi aku terpesona.”
“Liam dan gitarnya, Carly (ya, it’s my name!)”
“Sunset dan Liam. Mana yang lebih indah?”
“Our first kiss. Love the way he pushed me to the wall and kiss me passionately. Would do that again :)”
“Liam di live show pertamanya.”
“Aku, Liam dan One Direction. Louis bilang dia ingin bikin video klip di atas double dekker.”
“Good bye, Liam…” adalah tulisan di foto terakhir. Di depan X-Factor House saat Liam menatap mata Carly untuk yang terakhir kali sebelum mereka mengucapkan salam perpisahan.
Air mata Liam tidak terbendung lagi. Sekeras apa pun dia mencoba menahannya, sampai tenggorokannya sakit, air mata itu tetap jatuh. Carly mencintainya sejak lama dan Liam tidak menyadarinya. Andai dia tahu sejak dulu, mungkin waktu bersamanya akan lebih lama.
“Carly…. I miss you so much.” Liam masih terisak saat memeluk scrapbook itu erat-erat. “Thank you for loving me from the start till the end. Thank you for everything you gave to me. I love you, babe. Forever.”
***
--Few Weeks Later--
*Liam’s POV*
Aku melihatnya di dalam diri gadis itu. Aku tidak tahu apa, tapi dia mengingatkanku padanya. Senyumnya, suaranya, bahkan desahan napasnya. Should I apologize to you, Carly?
Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari gadis itu, saat dia bergerak dan berputar dengan anggunnya di sekitar kami. Aku hampir membuat penampilan kami gagal karena terus memperhatikannya bahkan setelah penampilan kami selesai. I’m overwhelmed!
Aku seperti de ja vu. Rasanya seperti kembali ke hari itu. Saat dia memotretku tanpa ijin. Tapi kali ini tidak ada kamera. Tidak ada bola kertas yang kulempar ke tempat sampah. Tidak ada darah dan wajah memar. Tidak ada taruhan. Hanya ada dia dan dirinya yang mempesona.
Apakah kau akan membenciku, Carly? Karena aku telah menemukan dirimu lagi di dalam sosok yang lain.
“Namanya Danielle. Danielle Peazer.” Zayn memberitahuku.
No comments:
Post a Comment