Monday, August 27, 2012

Infinitely Childhood Love


By @annisamchtr , 15

3rd Favourite Fanfic of 1D Fanfic Contest

Sebuah kotak terduduk indah di atas tangan seorang gadis. Kenangan di dalamnya tiba-tiba menyelimuti atmosfer di sekitarnya dan membawanya kembali ke sudut alam masa lalu. Kotak istimewa itu berwarna putih-kelabu. Bergambar hati dengan corak merah jambu. Kalau hanya dipandang sepintas, kotak itu tidak bernilai apa-apa. Hanya sekedar kotak biasa yang terbuat dari kardus sederhana. Di setiap sudutnya, sangat nampak detail berantakan tanda buatan tangan manusia. Tetapi untuk perempuan itu, kotak tersebut merupakan rekaman indah miliknya dan seseorang yang istimewa. Rekaman yang mustahil untuk dapat terulang kembali. Rekaman yang hanya akan selalu menjadi sebuah benda berharga untuk dirinya sendiri.
Air mata gadis itu mengalir teratur menelusuri pipinya, jatuh tepat ke bawah bibir mungilnya. Setelah sadar bahwa ia menangis, gadis itu buru-buru menghapus air matanya. Mata bulatnya enggan menelusuri isi kotak itu, tetapi hatinya bersikeras memaksa untuk membukanya.
Sebuah ketukan kecil terdengar dari seberang pintu kamarnya, membuatnya meletakkan lagi kotak itu ke tempat semula. Ia setengah hati bersyukur.
Gadis itu lalu berdiri dan merapikan rambutnya. Dia juga tidak lupa membasuh wajah rembesnya sehabis menangis tadi dengan air.
YN, kok lama banget sih bukain pintunya? Buru ah!” Suara itu membuat gadis tadi buru-buru membuka pintu kamarnya.
“Sorry. Baru bangun tidur nih, hehehe.” Gadis yang ternyata bernama YN itu cengegesan sambil mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya bersamaan, tanda peace.
“Dasar kamu emang tukang molor. Tapi sekarang udah siap jogging kan?” Tanya suara tadi, yang merupakan suara lawan jenis YN yang bernama Zayn.
“Udah dong. Jogging kan nggak perlu mandi dulu. Aku udah cantik juga kan? Harum juga sudah.” Kata YN sambil mencium ketiak kanan dan kirinya.
Ih, dasar jorok. Ya udah, mulai jalan yuk!” Ajakan Zayn tidak pernah bisa di tolak oleh YN. Dan kini mereka berlari pelan beriringan. Mereka mengitari taman dan menikmati sejuknya udara subuh yang khas bersamaan dengan terpaan embun yang dingin. YN merapatkan jaketnya dan memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya itu.
Setelah hampir 1 jam, mereka memutuskan untuk berhenti sejenak di bawah sebuah pohon tempat mereka biasa duduk. Selama 10 menit mereka hanya saling diam, mengamati karya Tuhan yang maha luar biasa di sekelilingnya, dan meminum air mineral di tangan mereka masing-masing—air mineral yang baru di beli Zayn sebelum sampai di pohon itu.
YN dan Zayn sudah berteman sejak mereka berumur 4 tahun. Mereka bertetangga. Orang tua mereka saling mengenal dengan baik. Mereka tidak menyebut diri mereka sebagai sahabat. Karena ‘teman’ atau ‘sahabat’ itu untuk mereka tidak memiliki arti yang berbeda. Hanya saja, kalimat ‘sahabat’ terdengar lebih intim bagi beberapa orang, sehingga arti seorang ‘sahabat’ sering diartikan lebih dari sekedar teman. Padahal, menurut mereka 2 kata itu berarti sama.
Zayn merupakan teman yang perhatian, lebih dari cukup. Sebagai seorang laki-laki, dia mencoba menempatkan dirinya sebagai kakak untuk YN. Walaupun memang perasaan tersembunyi yang selama ini hanya disimpannya sendiri terkadang tiba-tiba menyeruak dan membuat Zayn ingin memiliki YN.
Ya, Zayn memiliki perasaan ‘lain’ terhadap YN. Tetapi sayangnya, YN belum sadar atas semua perhatian yang berarti itu. Dan Zayn tidak ingin mengungkapkannya sampai tiba saatnya YN memiliki perasaan yang senada dengannya. Dia selalu berharap...
Setelah cukup lama berdiam-diaman, Zayn menoleh ke arah YN yang sedari tadi belum juga membuka percakapan. Setelah mengamati teman kecilnya yang melamun itu, Zayn baru menyadari bahwa mata gadis itu sembab.
“Nangis lagi ya?” Lengan Zayn yang menyenggol lengan gadis itu membuyarkan lamunan YN.
“Itu perhatian atau ejekan? Atau cuma penasaran sama cewek cengeng yang sulit banget ngelupain cowok  nyebelin di masa lalunya?” YN sewot seketika.
“Idiiiih, gitu aja ngambek. Move on dooong!” Zayn menyandarkan punggungnya di badan pohon besar itu. YN memonyongkan bibirnya dan melipat tangan di dadanya. Gemas karena Zayn selalu menghiburnya dengan cara yang malah membuatnya kesal.
Setelah diam lagi, YN memperhatikan Zayn yang sedang menutup kedua matanya sambil bersiul. YN familiar dengan nada-nada dalam alunan siulan itu.
Zaaaaaayn, kalo mau ngibur aku tuh lagunya jangan itu-itu aja dong. Bosen ah!” YN meninju bahu Zayn yang langsung dibalas Zayn dengan menggelitik pinggang YN. YN menghindar pada awalnya. Tetapi karena tangan Zayn lebih kuat, dia-pun mengalah dan membiarkan gelitikan itu membabi buta di pinggangnya, membuat YN tertawa kesetanan sampai mengeluarkan air mata.
“Gitu dong, kalau ngeluarin air mata tuh harusnya gara-gara bahagia, gara-gara seneng, jangan ngeluarin air mata gara-gara sedih ditinggal cowok alay mulu. Udah di tinggalin gitu kok masih aja di inget-inget. Nyakitin diri sendiri aja.” Zayn kembali ke posisi duduk semula dan menepuk-nepuk tanah di sebelahnya, tanda supaya YN segera mendudukkan diri di tempat itu. YN menuju ke posisi duduk sebelumnya dan masih tertawa sedikit-sedikit. Masih ingat dengan rasa geli yang tadi.
“Iya deh, iyaaaa. Emang kamu paling pinter bikin aku seneng.” YN menyandarkan kepalanya di bahu Zayn. Zayn sedikit tersentak dengan apa yang di lakukan YN barusan, tetapi dia mencoba menenangkan dirinya tanpa menenangkan detak jantung yang menyepat kencang. YN tidak menyadari bahwa apa yang di lakukannya itu membuat senyum Zayn berkembang.
“Aku dari dulu mikir, kenapa sih aku nggak di takdirin jatuh cinta sama kamu aja? Kamu itu baik, perhatian, pinter bikin aku ketawa. The best lah! Tapi, aku malah jatuh cinta sama cowok alay yang ternyata tukang bohong.” Ucapan YN membuat Zayn setengah mati menahan desiran di dadanya. Zayn tidak sanggup membalas ucapan YN dengan apapun.
“Kalau aku tiba-tiba suka sama kamu, gimana ya?” YN menoleh ke arah Zayn, menatapnya dengan sedikit sendu. Zayn hanya mengangkat kedua bahunya, membuat kepala YN terhantup dengan pipi kanannya. YN tertawa.
“Bego banget ya kalau sampe kita saling suka. Pasti langsung jadi kagok, jadi canggung. Nggak seru kayak gini.” YN masih saja nyerocos. Tetapi cerocosannya kali ini membuat Zayn sedikit kecewa. Wajahnya memerah. Entah memerah karena malu terhadap perasaannya yang seharusnya tidak ada, atau memerah karena marah terhadap ucapan YN tadi.
Setelah nyerocos, YN tiba-tiba tertidur di pundak Zayn. Zayn mengelus pelan rambut YN dan meluruskan kepala YN ke badan pohon di belakangnya. Zayn berjalan menjauh dari YN dan duduk di dekat selokan yang kering. Pikirannya menerawang.
Saat itu sedang hujan. YN tiba-tiba datang ke rumah Zayn dengan air mata yang bercucuran di pipinya. Zayn dengan sigap meberikan YN handuk dan mempersilahkannya duduk di kursi ruang tamu. Papa dan mama Zayn sedang pergi ke luar kota, sehingga di ruangan itu hanya ada Zayn, YN dan para pembantu Zayn. YN menangis tak tertahan.
Liam, Zayn. He’s such a cruel. Tadi...aku liat dia sama....Emma. Padahal kita udah janjian malam ini buat nonton....festival band...bareng. Handphone-nya nggak...bisa di...telpon. Aku....ke rumahnya. Ter-nyata dia lagi berenang berduaan sama Emma, hujan-hujan, pake lilin yang ditaruh...dibawah kaca. Terus, dia...liat aku. Tapi, dia nggak bilang apa-apa. Dia biarin aku berdiri didepan pintu. Malah, dia senyum. Emma-nya juga, queen of devil. Masa...dia ngeliatin aku...pake muka licik.” YN bercerita sambil sesenggukan, membuat kalimat-kalimatnya sulit untuk dicerna. Setelah mencoba berpikir, Zayn akhirnya mengerti.
“Udah, jangan nangis lagi. Tenang dulu. Minum deh teh hangatnya. Tadi Bi Ina baru bikinin.” Zayn cemas melihat YN-nya menangis karena orang lain.
“Nggak mau minum teh. Maunya cerita.” YN berkata sambil menangis lagi. Zayn paling mual kalau sudah berhadapan dengan seorang perempuan yang menangis, apalagi kalau orang itu adalah YN.
“Ya udah, tenangin diri dulu. Jangan langsung cerita. Aku sulit dengernya.” YN mengangguk dan mencoba menenangkan dirinya. Lalu, dia menyeruput teh hangat yang ditawarkan Zayn tadi. Zayn tersenyum melihat tingkah plin-plan YN. Setelah kurang lebih 10 menit diam, YN akhirnya bercerita lagi.
“Emma itu incaran Liam dari dulu. Tapi, dulu Emma udah punya pacar. Terus nggak lama setelah Liam capek nunggu Emma, aku datang. Dia naksir aku, dia nembak aku, aku terima karena aku emang naksir dia. Setelah 3 bulan, aku sadar ada yang aneh, tapi aku nggak berani nanya ke Liam karena aku takut sama kemungkinan-kemungkinan yang nggak pengen aku tau. Jadi, aku diam aja. Aku pernah nanya sama Liam, gimana kalau tiba-tiba Emma suka sama dia, karena waktu itu aku sempat denger kalau Emma putus sama pacarnya. Terus, abis aku nanya gitu, Liam jawab dia nggak mungkin suka lagi sama Emma karena dia udah punya aku. Liam pacar pertamaku, Zaaayn. Aku baru tau rasanya diterbangin sama kata-kata tuh gimana. Tapi dia bohong. Cruel. Apa yang dia omongin nggak sejalan sama apa yang dia lakuin. What a lie!” Setelah berbicara panjang lebar dengan bahasa khas orang patah hati—berlebihan—itu, YN kembali menangis. Zayn hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar kesedihan YN-nya itu.
“Ya udah. Di jadiin pelajaran aja ya YN cengeng. Nggak semua cowok itu baik. Nggak usah, malah jangan, terlalu percaya sama kata-kata cowok yang bikin kamu terbang. Kayak nerima pelajaran Kimia deh. Kalau kamu dengerin guru Kimia ngomong, pasti masuk telinga kanan terus keluar dari telinga kiri kan? Abis itu udah deh, ilang. Perlakukan juga kalimat sampah yang kamu denger itu kayak gitu. Jangan terlalu sayang. Nggak baik. Udah tau kalau dia nggak baik, nggak usah lagi di pikirin. Ini pelajaran berharga buat kamu. Supaya kamu nggak sembarangan dengerin apa yang orang omongkan. Nggak sembarang percaya sama orang. Udah, ya. Jangan nangis lagi.” Zayn selalu memberikan kalimat-kalimat penyemangat yang selalu berhasil untuk YN. YN tersenyum dan membenamkan wajahnya di bantal ruang tamu Zayn. Agak lama.
“Kapok, bantalmu kena ingus.” Wajah polos YN terlihat lucu dengan kata-kata yang di keluarkannya. Setelah itu, Zayn menimpuk wajah YN menggunakan bantal itu. Mereka bermain timpuk-timpukan bantal dan segera lupa dengan kesedihan yang baru saja terjadi.
Zayn spontan menoleh ke belakang setelah mendengar sesenggukan yang lebih dahsyat dari sesenggukan yang pernah didengarnya ketika YN menangis malam itu. Dia mendapati YN mengelap air matanya yang membanjir. Zayn menghela napas dan berjalan ke arah YN.
“Kenapa lagi ka....” Belum selesai Zayn bertanya, YN sudah berlari memeluk Zayn. YN bisa merasakan detak jantung Zayn berkeliaran tak beraturan.
“Kamu jahat....” YN menangis di dada Zayn. Zayn tidak bereaksi.
“Kok jahat? Emang aku ngapain? Aku dari tadi nungguin kamu tidur.” Zayn menyela, protes.
“Aku mimpiin kamu sama Liam. Kalian berdua tenggelam di laut. Kalian nggak bisa berenang. Aku bingung mau nolong kamu atau Liam. Jarak kalian jauh. Tapi aku milih buat nolongin Liam. Terus, Liam selamat dan kamu enggak. Terus aku nyesel, besok-besoknya aku nggak bisa tidur karena kamu nggak ada. Kamu nggak dateng pagi-pagi buat ngacauin tidurku, kamu nggak antar-jemput aku sekolah, kamu nggak sms buat ngingetin aku makan, kamu nggak datang malam-malam buat gitarin aku lagu favorit kita. Soalnya di mimpi itu kan kamu meninggal.” Zayn tertegun mendengar apa yang di katakan YN Sedang YN masih sesenggukan.
“Loh? Terus kok aku yang jahat? Kamu dong yang jahat, kamu nggak nolongin aku.” Ucap Zayn bingung.
“Kamu jahat. Kenapa kamu nggak bilang sama aku kalau kamu lebih penting?” YN mempererat pelukannya. Akhirnya Zayn bereaksi dan mengelus lembut rambut YN. Zayn tersenyum penuh arti.
“Harusnya kamu dong yang sadar sendiri. Lega kan rasanya kalau bisa tau tentang apa yang seharusnya diketahui dari dulu?” Zayn melepaskan diri dari pelukan YN dan menyeka air mata YN.
“Kecewa. Harusnya kan dari dulu.” YN cemberut, tapi langsung berubah tertawa. “Aaaaa nggak seru ah melankolis gini.” YN langsung berlari sambil menggandeng tangan Zayn pergi dari pohon itu. Menuju ke rumahnya.
Setelah sampai di rumah, YN menuju ke kamarnya dan meraih kotak istimewa-nya yang tadi pagi sukses membuatnya mendapat predikat cengeng dari Zayn. Dia membuka kotak itu dan mengambil isinya. Isinya hanya satu. Separuh kalung couple yang dibeli oleh Liam 2 bulan yang lalu. Setelah menggenggam kalung itu, YN menoleh ke arah Zayn dan tersenyum. Zayn hanya bisa diam, tidak mengerti.
Setelah itu, YN menggandeng Zayn keluar dari kamarnya dan membawa diri mereka ke pinggir jalan. Jalanan masih sepi, belum ada tanda-tanda kehidupan.
“Mau ngapain sih?” Zayn menatap Yeva dengan wajah berkerut.
“Mau buang kalung ini. Aku baru sadar, ternyata yang bikin aku sedih selama ini ya kalung ini. Dan yang selalu berusaha bikin aku senyum lagi ya kamu. Akunya aja yang nggak peka. Ya kan? Kamu sayang aku kan?” YN tersenyum dan melepaskan tangan Zayn dari genggamannya. Wajah Zayn memerah. Dia segera memalingkan wajah dan pura-pura bersiul. Melihat tidak ada respon dari siulan yang dibuatnya, Zayn menoleh ke arah YN yang sudah tidak lagi menatapnya. Tangannya mengarah ke selokan.
“Loh? Buangnya di paret?” Tanya Zayn.
“Iya.” Jawab YN singkat.
“Nggak elit banget sih! Orang-orang buangnya di pantai, di tempat-tempat romantis, kok kamu malah mau buang di paret?” Zayn protes lagi.
“Kan udah nggak penting lagi. Walaupun pernah penting, tapi kan sekarang udah nggak. Jadi ya nggak masalah di buang di mana aja.” YN melepaskan kalung itu dari tangannya di atas selokan yang berair. Tak lama, kalung itu mengikuti alur air pergi dan hilang dari pandangan mereka.
“Heh! Kamu belum jawab! Kamu sayang aku kan? Percuma nih aku udah kayak gini ternyata kamunya nggak sayang aku.” Tanya YN jahil. Retoris. Karena YN pun sudah yakin dengan jawaban yang akan didengarnya.
“Apaan sih, YN?” Zayn salah tingkah. “Aku pulang dulu ya, sakit peruuut.”
“Ih! Curang! Jawab dulu, sayang nggak?” YN tambah membuat Zayn malu, dalam hati YN terkikik.
“Retoris! Udah ah, aku mau pulang.” Wajah Zayn sudah melebihi merahnya kepiting rebus.
“Gak mauuuuuu! Jawab duluuuuu!” Paksa YN.
“Iya, iya!” Jawab Dante.
“Iya apaaaaaaaa?” Suara YN dibuat-buat menjadi seperti anak kecil. YN menatap jahil ke arah Zayn. Zayn langsung tertawa. Mencubit pipi YN dengan gemas yang langsung di respons dengan “aduh” oleh YN.
“Iya, kalau kamu jelek! Hahahaha.” Setelah itu, mereka berlari berkejar-kejaran tanpa memperdulikan situasi yang sudah mulai hidup di sekelilingnya.
Mereka bertemu pada satu titik ketika YN sudah mulai kelelahan berlari. Zayn tidak bisa menyembunyikan senyumnya, arti bahagia yang dimilikinya.
“Maaf ya, aku nggak bisa jadi romantis. Aku nggak bisa jadi seseorang yang bisa bikin kamu melting dan sebagainya. Aku bukan cowok pemberani yang bisa bikin cewek klepek-klepek. Aku nggak bisa bilang apa yang pengen kamu denger. Maaf kalau kamu nggak bisa dapetin apa yang kamu pengen dari seorang cowok.” Zayn menatap langit yang mulai dihiasi matahari.
“Aku udah denger apa yang pengen aku denger kok.” Zayn menoleh, bingung. “Aku denger dari perlakuanmu ke aku. Dari cara pandangmu ke aku. Dari perhatianmu ke aku. Nggak perlu kamu ucapin juga sudah kedengeran, jelas pula.” YN menggelayut di lengan Zayn, tetapi lalu menjotos kaki Zayn. Zayn yang tidak terima, langsung balas mencubit pipi YN.
Hari itu mereka habiskan dengan kebahagiaan baru atas keputusan tepat yang telah diambil oleh YN.
Hubungan mereka adalah hubungan yang hebat. YN belajar untuk menjadi dewasa dari Zayn. Dan Zayn mencoba untuk lebih dewasa menyikapi kepribadian YN yang masih tergolong kekanakan. Mereka masih sama-sama belajar. Sama-sama mencari jati diri. Dan sama-sama mengerti, bahwa kesedihan dan kebahagiaan itu akan selalu berada pada tempatnya.

No comments:

Post a Comment