Written by Angela Vita Dewi
Aku berjalan menyusuri trotoar jalanan yang di penuhi oleh
ratusan kendaraan yang telah berlalu-lalang melintas—namun sama sekali tak
menghiraukannya. Matahari mulai
condong ke ufuk barat, warna langit mulai ke merah-merahan, dan angin berhembus
agak kencang hingga berhasil mengacak-acak tatanan rambut kemerahanku.
Langkahku terhenti tepat di stasiun yang tak jauh dari kampus. Duduk tertegun
menikmati angin sore hari dan pantulan cahaya jingga dari pintu masuk adalah
hal ternyaman yang paling ku benci. Aku tahu, dengan begitu, wajahnya lagi-lagi
akan muncul dalam benakku yang terus menerus me-reka ulang semuanya.
“I love ya.”
Suara itu masih terdengar jelas dalam telingaku.
Ah, apa ku bilang. Aku lagi-lagi teringat pada sosok itu. Pandangannya masih tersorot jelas
dalam mataku. Hampir 3 tahun ku lewati, musim-musim telah berganti, dan
keadaannya masih tetap sama. Aku tetap menunggunya. Bodoh memang. Aku telah
menghabiskan seluruh waktuku selama itu hanya untuk menunggu hal yang tak
pasti. Janji-janji yang bahkan aku tak yakin apa dia mengatakannya dalam
keadaan sadar? Tapi, keegoisan menutup semuanya, karna pada akhirnya aku tetap
menunggunya, setidaknya hingga sekarang. Saat ini. Ribuan kabar burung telah
melintas dalam gendang telingaku. Bahkan semua orang membenciku karna
kebodohanku. Tak ada yang bisa mengubah pendirianku, sekalipun sahabat-sahabatku.
“Dia akan
bertunangan, bulan depan.”
Lalu tiba-tiba pikiranku melayang, mendengar kalimat yang
terucap dari bibir George, sepupunya, minggu lalu. Mengapa tiba-tiba sesak itu
kembali menjalari seluruh tubuhku? Aku tak ingin meringkuk tersiksa dalam kesendirian,
lagi. Aku tahu, setiap kali aku merasakan kesendirian aku selalu teringat akan
perkataannya, namun detik kemudian suara George menghantam manisnya rekaan itu,
sekaligus menyayat hati. Tak bisa di pungkiri lagi, George bahkan telah
memberikan bukti undangan pertunangan mereka. Tapi mengapa hati ini rasanya
masih belum saja bisa melepas?
Sesuatu menyadarkanku dari lamunanku beberapa menit yang
lalu. Setidaknya sebelum air mataku menetes untuk kesekian kalinya, lagi. Aku
menoleh kearah ujung lorong, sebuah kereta terlihat berjalan kearahku. Tanpa
fikir panjang, aku langsung menaiki kereta tersebut tak lama setelah kendaraan
yang akan membawaku kesuatu tempat itu berhenti. Aku hanya melihat beberapa
orang yang tengah sibuk dengan urusannya masing-masing, seketika aku masuk dan
memilih duduk di dekat pintu.
Sekitar sejam kemudian, aku sampai ketempat tujuanku. Sebuah
rumah megah terlihat di balik gerbang yang menghalangi halaman indah yang kini
ku pijaki, seketika aku turun dari taxi yang ku naiki sebentar. Aku memandang
lurus kedepan seraya meneruskan langkahku masuk kedalam rumah bergaya klasik
itu. Semerbak bau lavender mengundangku memasuki bangunan besar itu dengan kaos
simpel dan jeans panjangku. Seorang pria berambut pirang muncul di ambang pintu
tak lama setelah aku menekan bel. Alih-alih mempersilahkan aku masuk, pria itu
malah menatapku dengan kedua bola mata biru hangatnya.
“Kau menangis?”
“Aku tidak—” Aku menangkis semua pemikirannya, mencoba
menyembunyikan semuanya.
“Aku bisa melihatnya. Jangan berbohong,” Kalimat itu,
kalimat yang selalu muncul setiap kali aku berfikir takkan ada seorangpun yang
tahu akan tangis jerit yang ku derita. Tapi, pria itu selalu mengacaukannya.
Aku tahu, biar bagaimanapun, sekuat apapun aku menutupinya, pasti ada celah
untuknya melihat semua, bahkan tanpa aku menangis dihadapannya sekalipun.
“Kau memang selalu tau itu.” Aku tersenyum miris, lalu
memeluknya. Air mataku jatuh pada saat yang bersamaan.
Aku selalu bisa menahan air mataku di hadapan siapa saja,
kecuali dia. Niall James Horan. Tidak ada seorangpun yang tak tahu pria itu.
Dalam kehidupanku, dia adalah sahabatku, satu-satunya orang yang tahu semua hal
dalam diriku. Namun, mungkin bagi dunia dia adalah sosok tampan yang bernyanyi
di sebuah band ternama di dunia, dan aku tak memperdulikan seberapa terkenalnya
dia, saat aku merasakan nyaman dan hangatnya ketika aku bersama dirinya. Dulu,
aku hanya seorang fans yang mengidolakannya, namun kenyataannya kini aku berada
dalam rengkuhannya sebagai seorang sahabat. Dengar, seorang sahabat.
“Aku menunggu mu, sudah cukup lama kita tak bertemu.” Dia melepas rengkuhannya, lalu
mengacak-acak rambutku seenaknya dan merangkulku, mengiringku masuk menuju
ruang tengah dimana semuanya telah berkumpul.
***
“Dia tak pantas untuk mu, lupakan dia, kumohon.”
Suara itu membuyarkan lamunan akan momen manis yang kini
menjadi miris dalam fikiranku. Rambut pirang yang sebagian ia cat hitam
terhempas oleh angin malam. Aku masih memeluk besi-besi dingin di balkon kamar
miliknya sejak setelah makan malam usai. Tunggu dulu, sejak kapan dia disini?
“I’m trying,” Aku berbisik hangat tepat saat ia mendekatiku
dan berdiri menatap cakrawala malam yang penuh dengan taburan bintang. Indah.
“It just not that easy.”
“Aku tak pernah ingin melihatmu menangis.” Suaranya mengalun
sejuk. Ia menatap lurus kedepan, lalu menyembunyikan wajah manisnya itu.
“Sorry.” Singkatku. Aku mencoba bersikap dingin kepada siapa
saja yang memaksaku dalam konteks ini. Namun kehangatannya, selalu membuatku
meleleh. Aku mencoba menahan air mataku itu untuk tidak jatuh kesekian kalinya.
“Ya, tenanglah. Aku takan lagi menangisi pria manapun. Cukup, Joe telah terlalu
menghancurkanku. Aku tak ingin ia atau pria manapun lagi menghancurkanku.
Cukup. Aku takkan jatuh cinta lagi.”
“You don’t have to say like that.” Ia tersenyum licik, lalu
menatap langit.
“Kenapa?Apa maksudmu?” Bukannya berpura-pura bodoh atau
bagaimana, tapi aku benar-benar tak tahu maksud dari perkataannya barusan. Aku
memutuskan untuk menatap manik biru khasnya dalam, mengorek-orek semua yang
tersimpan, disana. Namun dia tak bergeming, hanya memoles seulas senyum tipis
terpaksakan.
“Nothing. Look at that! It’s starfall!!” Ia memekik
histeris, dan reflek, aku menoleh kearah apa yang jari telunjuknya tunjukan.
Sebuah sinar kerlip jatuh dan membentuk seperti goresan
indah diantara yang terindah. Bintang itu hilang dalam hitungan detik, lalu
mataku berputar kearah bintang itu pergi. Dalam ruang lain, sebuah bintang
kerlip yang paling terang di antara yang paling indah, terlihat mematung dan
memancarkan sinarnya. Aku pernah membaca artikel bahwa bintang yang paling
terang adalah yang paling cepat mati. Mereka akan meledak dan membentuk suatu
lubang hitam bernama Black Hole.
Sangat miris.
Detik kemudian, aku baru sadar bahwa keindahan bukan
segalanya. Terkadang, keindahan adalah yang paling buruk diantara yang
terburuk. Tak ada yang kekal di dunia ini, bahkan keindahan sekalipun.
“Let’s make a wish!!”
“W-what?” Aku mengerutkan keningku, keheranan. Namun menit
kemudian aku sadar, bahwa yang tadi aku lihat adalah benar-benar bintang jatuh!
Dia memejamkan mata, dan aku mengikutinya. Hembusan angin
dapat benar-benar ku rasakan kini, hanya saja semuanya terlihat abstrak.
Ruang-ruang harapan terlihat kosong dan gelap dimataku. Apa yang harus kuharap
dan kuucapkan? Hatiku bergemuruh heran, aku barusaja menyadari bahwa There’s nothing I want.
Lalu angan itu kembali terbayang, rekaan coklat muda yang
lapuk. Sesuatu seperti menepuk pundakku dan berbisik. Bisikan yang sangat
rentan dan lembut. I just wanna be happy.
“What a pretty night. Isn’t it?” Ia tersenyum girang , aku
membalasnya. Tawanya memenuhi keheningan di tengah-tengah kami, kelopak matanya
menyipit. Wajahnya mulai maju, jemarinya menyantuh daguku, nafasnya sedikit
kurang dapat kurasakan. Matanyanya menyorotkan keteduhan. “How can you be so
cute like that?”
“Cute?” Aku memicingkan mataku, curiga. Wajahnya berhenti.
Tak biasanya ia berkata manis seperti itu, terakhir kali ia mengatakan itu
saat… Pertemuan singkat pertama kami.
Saat itu pertengahan Desember hampir 2 tahun lalu. Desember
yang sangat menyedihkan. Aku baru pindah ke kota ini dan tinggal sendirian.
Merayakan natal yang kukira akan sama menyedihkannya. Salju terlihat menumpuk
di pinggiran kota. Es turun dari lembayung awan sirus, jalanan kota licin dan
tak terkendali. Aku hendak membeli coklat panas dan meninggalkan apartment yang
tak jauh dari pusat kota. Moodku turun drastis sejak aku tahu bahwa aku akan
tinggal dalam satu apartment dengan saudara tiriku, Giselle Parker, si
menyebalkan itu. Sejak kematian Mom, dan kehadiran nenek sihir serta anaknya
itu, hidupku semakin memburuk. Di tambah perpisahan yang sangat tak terduga
dengan pria yang paling ku sayangi. Jadi, pantas saja tak ada harapan dalam ruang ilusiku, saat ini. Semuanya
terlihat sangat kacau meski aku mencoba untuk melihat dari sudut manapun. Andai
saja ada yang tahu maksud aku meninggalkan Brooklyn dan pindah ke sini adalah
untuk melupakan semua kepedihan dan menghindar dari ibu tiri serta anaknya itu,
mungkin hanya beberapa waktu untukku melupakan semuanya.
Aku memasuki kedai yang paling kosong diantara yang teramai.
Mengantri dan menunggu adalah hal yang paling ku benci, kau tahu. Jadi aku
memilih kedai yang paling renggang diantara deret kedai lainnya. Aku memesan
secangkir coklat panas dengan caramel kesukaanku, lalu duduk diantara ruang
kosong itu. Menatap lurus kearah kaca yang memperlihatkan langsung keramaian
kota. Pandanganku terseret kearah sesosok pria misterius di sudut lain.
Wajahnya tertutupi oleh topi dan hoddie-nya, namun tubuhnya terasa seperti
familier, sangat. Panasaran, aku mendekatinya meski mencoba untuk tak
memperdulikannya.
“Sorry?” Aku menyapanya, menatapnya, mencari celah untuk
melihat wajahnya. Lima detik kemudian, ia menengadah kearahku. Wajah pucat
seputih salju terlihat sangat cerah dengan dominan warna biru hasil pembiasan
maniknya. Bibir merah muda dan tatapannya saat itu masih bisa ku ingat kini.
Menit kemudian, aku sadar bahwa dia adalah idolaku sejak aku duduk di bangku
SMA. “Niall?”
Aku terkejut pada saat yang bersamaan, lalu mencoba
tersadar. Mungkin rautku sangat abstrak kala itu, dan pertemuan kami di sambut
oleh tawa seriusnya. Ah sudahlah, itu sangat memalukan, kau tahu. Tapi satu hal
yang aku tahu dan masih teringat dalam benakku, bahwa aku sangat senang saat
itu. Dan dalam beberapa tahun belakangan, aku tak pernah terlihat baik dan
sebahagia itu.
Lagi-lagi, aku terbuai oleh angan masa lampau, beruntung,
tak sampai lima menit aku tersadar saat lekuk tangannya menyentuh ubun-ubunku,
lalu mengacak-acak rambutku seenak jidat. Tapi, aku menikmatinya. Dan aku
selalu menikmatinya.
“Ini sudah larut,” Kalimat itu lagi-lagi memecah keheningan.
Ia meneruskan, “Kau mau ku antar atau bagaimana?”
“Tidak, aku ingin menginap disini. Sudah terlalu lama aku
meninggalkan rumah ini. lagi pula, aku sudah muak dengan tingkah Giselle.
Kenapa? Boleh kan?” Aku menatapnya memelas, meminta. Ia lalu tersenyum dan menggiringku
masuk kedalam kamarnya. Aku memberhentikan langkah kami, dan membelokan
percakapan yang tak di jawab itu. “Jadi, bagaimana dengan Demi?”
“Kau belum lihat beritanya?” Ia menjatuhkan diri kearah sofa
marun empuk yang kita letakan di pojok ruangan saat mereka baru pindah kesini,
tiga tahun lalu.
“Berita apa?”
“Dia sudah berpacaran.” Aku terhanyut oleh perkataannya
barusan. Aku memang sudah lama tak mampir kesini karna tugas-tugas yang membuat
ku muak. Tapi, sudah berapa lama aku tak membuka internet, hingga berita yang
gempar itu tak sama sekali ku hirup?
“Sejak kapan?”
“4 bulan yang lalu.” Empat bulan yang lalu adalah tepat saat
aku mulai mengerjakan tugasku. Sial! Mengapa semuanya terasa hambar seperti
ini, ha?!
“Lalu?”
“Mungkin pada kenyataannya aku memang tak pantas untuknya.
Lagi pula, aku sudah melupakannya. Aku hanya belajar menerima kenyataan bahwa
takkan ada perempuan yang menyukaiku seperti aku menyukainya.” Wajahnya
seketika berubah muram, dan mendung.
“Ada. Aku!” Aku tersenyum, bermaksud untuk menghibur. Aku
tahu, ini adalah permasalahan yang selalu ada di sekelilingnya. Semua fansnya
tak pernah setuju akan kehadiran Niall di band, dan banyak paparan abstrak yang
menutupi dan membuat Niall semakin murung saat mengingatnya. “Jadi bagaimana
keadaanmu sekarang?”
“Aku tak pernah sebaik ini sebelumnya. Setidaknya,
massa-massa dimana dia dank au pergi kini sudah terlewatkan, bukan? Buktinya,
kau ada disini sekarang. Sudahlah, jangan bicarakan dia, aku sudah punya
penggantinya, kok.”
“Siapa?” Tanyaku, penasaran. Aku menatapnya dalam.
Sebuah ketukan di balik pintu pojok ruangan memecahkan
keseriusan kami, sial! Aku dengan reflek bangun dari sofa yang diikuti oleh
langkah Niall. Sebuah suara terdengar samar dari luar sana. Suara yang berat
dan khas, dan aku tahu betul itu adalah Harry Styles. Si kriting itu. “Simon
memanggilmu. Kami menunggu kalian di bawah!!”
“Okay!” Niall agak berteriak, membuat telingaku sedikit
pengang.
“Oh damn, be quite!” kataku, sewot. Ia malah semakin
memperbesar frekuensi suaranya dan berteriak di telingaku. Hampir membuat
gendang telingaku pecah. Dasar usil.
“Shut up! Ayo turun sebelum mereka semua marah.” Aku
menyelinap dan menarik tangannya di tengah-tengah canda tawa yang terpecah.
Akhirnya kami turun dengan masih tertawa pada hal yang sama sekali tak jelas.
Sampai di ujung tangga dan melihat semua kru dan anggota band sudah berkumpul
disana. Dia lalu meneruskan langkahnya menyusuri anak tangga hitam yang
berbaris menurun. Kami di sambut oleh semua orang di ruangan dengan tatapan
tajam, seperti ingin membunuh. Mencoba untuk tak memperdulikan semuanya, aku
dan Niallpun langsung duduk di ujung sofa.
***
Secercah sinar jingga masuk menelusuri gorden putih,
berhasil membangunkanku dari tidurku. Aku mengangkat tubuhku bangun menjauh
dari kasur tempat dimana aku selalu terbaring lelah disini. Lututku bergerak
menuju gorden yang diselinapi oleh cercah cahaya jingga musim gugur. Jemariku
berhasil menggeser kaca jendela, mencoba mencari oksigen di pagi hari. Manikku
menatap lurus kedepan, langit dengan awan cumulus terhias oleh gedung pencakar
langit, angin yang berhembus kencang berhasil mematahkan daun, membawanya
terbang terhempas dan tergeletak di sepanjang jalan.
Musim gugur.
Tak ada yang lebih indah dari seluruh musim selain musim
gugur. Musim dimana angin berhembus mengantarkan kenyamanan, menuang teh hangat
dengan syal tipis dan legging panjang yang berpadu padan mantel atau sweater
tipis. Boot coklat mengantarkan kemanisan di setiap sudut kota pada musim ini.
Aku memandang lurus. Kemudian, fikiranku teringat akan Brooklyn Bridge. Malam
itu, awal pertengahan musim panas. Langit terlukis oleh goresan indah kembang
api dan taburan bintang. Lampu benderang menghias di sepanjang jalanan di
jembatan itu. Aku memandangnya dan berdecak kagum kala itu. Air memantulkan
bayangan lampu dalam gelap malam, membuat semuanya semakin indah. Andai saja
aku bisa, aku takan membiarkan semua itu terlewati dan berakhir seperti ini.
Mendengar riuh suara yang meledak-ledak dengan genggamannya yang membuat
suasana semakin hangat. Sentuhan lekuk bibir hangatnya masih dapat ku rasakan
bahkan hingga saat ini.
Aku baru membalik tubuhku ketika sebuah suara ponsel
bergetar merdu. Mengalunkan lirik-lirik nada indah. Aku mengambil ponsel yang
tergeletak diatas ranjang itu, dan melihat siapa gerangan yang menelfonku
sepagi ini. Nialler. Uh?
“Hello?”
“Hi. Morning, Rach.” Suara kantuk itu terdengar jelas. Oh
niall, aku tahu kau takkan pernah bisa bangun sepagi ini kalau bukan untuk hal
yang penting. Ya, aku tahu itu.
“Morning. Ada apa menelfonku sepagi ini?”
“Kau sibuk, hari ini?” suaranya terdengar dengan aksen
berciri khas. Seperti orang setengah mabuk yang masih mengantuk.
“Not really.”
“Baguslah. Bisa hang out?”
“Kemana?”
“Entahlah. Well, see ya at 8. Aku akan menjemputmu, bye!”
Belum ku jawab saja, sambungan telfon sudah terputus. Mengapa sangat
terburu-buru? Sangat tak seperti biasanya.
Aku melangkah memasuki kamar mandi dengan piyama simpel yang
tertempel membalut lembut tubuhku. Dengan malas, aku mulai membersihkan
tubuhku. Jemariku mengambil sikat gigi yang tergeletak dalam gelas, mengisi
gelas dengan air dan mencoba mengolesi odol rasa mint. Tanganku mulai bergerak,
namun fikiranku seakan melayang.
Memang, beberapa bulan belakangan ini aku dan Niall sering
hang out. Seperti menonton film, menemaninya rekaman bersama The Boys, mencari
pemandangan yang bagus untuk project album fotografiku, atau bahkan menemaninya
ke dokter gigi, dan itu memang kegiatan kami seperti biasa. Tapi tidak untuk
sepagi ini. uh, atau mungkin aku hanya terlalu menganggap semuanya lebih?
Tidak, tidak. Aku tak boleh seperti ini.
“Uh, dasar pria misterius.” Aku mendengus kesal.
Kebiasaannya yang selalu membuatku penasaran dan kegilaan. Aku menatap lurus
kearah kaca dihadapanku. Fikiranku kembali melayang kesetiap detail hari-hari
yang selalu membuatku tersenyum dengan irisan tawanya.
Aku teringat kemarin malam. Ia mengajakku untuk ke kedai
dimana kami berdua bertemu. Meminum coklat panas dengan angin musim gugur dimalam
hari adalah hal terindah. Meski seperti biasa, dia harus menyamar dengan hoddie
dan topi untuk mencegah agar para fansnya tak mengenalinya, atau bahkan para
wartawan. Ya, karna aku tak ingin mendengar kabar burung perihal status kami.
Dan pada nyaris tengah malam, kami menyusuri setiap sudut kota, berjalan dengan
gemerisik pohon yang terhembus oleh angin dengan genggam hangatnya. Dan pada
akhirnya ia mengantarku pulang sampai tepat di depan pintu apartment ku. Tunggu
dulu, kenapa aku jadi memikirkannya? Tumben sekali aku justru tak terpaku oleh
momen lapuk itu? Apa dia satu-satunya obat untuk aku melupakan momen
menyakitkan itu? Aku hanya merasa lebih baik saat dengannya dibanding untuk
bersanding dengan Jonathan dalam pergaulan bebas. Memeluknya erat ketika aku
tengah duduk tepat di belakang jok motornya adalah hal paling gila yang pernah
ku lakukan. Dengan kecepatan lebih dari 60 mil perjam. Meski begitu, kini aku
menyadar sisi buruk dari semuanya. Oh sialan keparat itu ternyata telah
menjerumuskanku tanpa ku sadari. Setiap malam, aku selalu mengikutinya. Ke
tempat dimana music berdengang dalam gendang telingaku, perempuan jalang dan
pria brengsek. Kenapa aku baru menyadarinya?
***
Aku memoles lipgloss rasa mintku tepat kearah bibir merah
jambuku ketika sebuah bunyi bel mengejutkanku. Dengan masih mengenakan handuk,
aku mencoba melihat siapa gerangan orang yang di balik pintu. Oh, tentu saja.
Sudah kuduga, pasti Niall. Siapa lagi?
“Hey.” Ia tersenyum manis dengan kaos putih polos dan jaket
biru muda pemberianku valentine tahun lalu. Jeans biru tua yang menumpuk dengan
sepatu kets putihnya sangat serasi dengan manik biru dan rambut pirang yang ia
acungkan itu. Tidak biasanya dia berpenampilan sekeren dan sangat sesuai dengan
seleraku seperti ini. aku menatapnya agak lama, terpesona.
“Okey. Masuk, aku belum selesai.” Aku tersenyum kearah pria
polos itu dan menutup pintu saat ia mulai memijakan kakinya kearah karpet putih
itu.
Aku melangkah menuju kearah kamarku di sudut ruangan tepat
disisi dapur dengan bar kecil di sisi lain dapur tersebut. Sebuah suara pecah
terdengar saat aku baru sampai di bibir pintu. “Bianca, kau mau kemana dengan
pria bodoh ini?” aku memutar tubuhku berbarengan dengan pria yang tengah duduk
di sofa itu kearah sumber suara.
“Ku kira kau lebih bodoh. Well, bukan urusanmu.” Aku
menyeletuk sewot kearah perempuan yang masih terbalutkan piyama itu.
Penampilannya sangat buruk. Aku lalu meneruskan niatku untuk masuk kekamar dan
mengganti pakaianku.
Aku meraih top dan hotpants coklat mudaku, dan mengenakannya
tepat kearah tubuh yang sudah bisa di pastikan tak pernah tersentuh oleh
siapapun. Meski Joe senakal itu, tapi aku selalu membatasinya dalam perihal
ini. Aku mengambil sweater rajut kremku diantara gantungan-gantungan baju dalam
lemariku. Boots coklat tuaku memperlengkap penampilanku saat ini.
“Ayo!” kataku semangat. Ia langsung beranjak dari duduknya.
Aku melirik kearah gadis yang tengah memoles selai kedalam rotinya di dekat bar
saat aku dan Niall mulai melangkah keluar.
“Kau masih membencinya bahkan hingga sekarang?” Niall
bertanya tepat saat pintu lift berbunyi dan kamipun masuk. Aku menjeda sejenak.
Jemarinya menekan tombol 1 lantai dasar. Aku tahu apa yang ia maksud tanpa ia
mengatakannya, namun dalam konteks ini aku bahkan malas untuk membahasnya.
“Dia selalu bertingkah manis didepan Daddy, meski pada
kenyataannya kelakuannya masih seperti wanita jalang. Pulang pada pukul 2 pagi
dengan keadaan mabuk. Oh, bagaimana bisa aku memiliki saudara tiri seperti
dia?”
“Tapi, bagaimanapun, diakan saudaramu. Menurutku, harusnya
kau yang menyadarkannya.” Ia bertingkah seolah seperti orang bijak. Aku benci
ini. meski pada logikanya, perkataannya memang benar, tapi sekali benci aku
akan tetap membencinya.
“Sudah lah jangan bahas soal ini lagi. Lagi pula dia bukan
saudaraku, kok.”
“Kau ini. dasar keras kepala.” Ia menghabiskan percakapan
kami, karna aku hanya memilih untuk diam. Lalu, beberapa saat kemudian, ia
berkata lagi, “Oh ya aku akan membawamu ke suatu tempat.”
“Kemana?”
“Rahasia.”
***
Ruangan ini terlihat sangat kosong. Gelap.
Ia menuntunku masuk. Jemarinya menggenggamku erat seakan
enggan untuk melepaskan. Aku megikuti langkahnya yang sedikit berlari. Rambutku
seakan terhembus oleh angin yang masuk dari celah bangunan. Nafasku mulai
terengah saat Niall mencoba mengangkat tubuhku kearah panggung utama yang
tingginya nyaris sepundakku. Tak lama setelah aku naik, pria pirang itupun
melompat naik keatas panggung. Ia berlari kearah belakang panggung setelah ia
menyuruhku duduk di tepi panggung. Akupun menuruti perintahnya dan langsung
menggantungkan kakiku. Aku menatap ke setiap sudut ruangan. Kosong. Hanya ada
beberapa kursi yang berbaris rapi dan beberapa alat music di belakangku.
“Well let me tell you a story, about a girl and a boy. He
fell in love with his best friend…” Sebuah suara bernada rendah mengalun lembut
senandung dengan petikan gitar. Aku menoleh kearah dimana suara itu berasal.
Pria yang tadi mengangkatku naik itu kini telah di selendangi oleh gitar yang
sangat tidak familiar lagi bagiku. Ia menatapku serius, dan pada saat yang
bersamaan aku merasa beku.
“When she's around, he feels nothing but joy,” Ia tersenyum
saat mata kami bertemu. Lalu meneruskan langkahnya maju mendekat. Bibirnya
kembali meneruskan, “But she was already broken, and it made her blind But she
could never believe that love would ever treat her right…”
“But did you know that I love you? or were you not aware? You're
the smile on my face And I ain't going nowhere” Ia bernyanyi seakan mengucapkan
kalimat itu dengan penuh keseriusan. Dan saat aku menyadarinya, kamudian
jantungku memompa kuat, nafasku tersendak saat ia duduk tepat di sisi kananku.
Mataku masih tak berpaling sama sekali. Bibirku masih diam tanpa kata. “I'm
here to make you happy, i'm here to see you smile I've been wanting to tell you
this for a long while”
“What's gonna make you fall in love? I know you got your
wall wrapped all the way around your heart Don't have to be scared at all, oh,
my love But you can't fly unless you let your,” Ia memberhentikan permainan
gitarnya dan memalingkan pandangannya dari arah gitar. Sorot matanya tertuju
kearahku yang sedari tadi menatap kearahnya. Ia tertawa, lalu memainkan
suaranya, “Yea, yknow you cant fly unless yourself fall, baby.”
Ia lagi lagi berhenti. Tangannya beranjak menaruh gitar yang
tadi ia mainkan dengan tangan kirinya itu tepat kearah sisi kanannya. Dan tanpa
terduga, ia memainkan a capella-nya di depanku. “Well, I can tell you're afraid
of what this might do Cause we got such an amazing friendship and that you
don't wanna lose…”
“Well, I don't wanna lose it either I don't think I can stay
sitting around while you're hurting babe, so take my hand…” Ia berhenti
sejenak, lalu menatapku. Aku merasakan sentuhan lembut jemarinya tepat kearah jemariku,
saat ia mengalunkan kalimat terakhir. Ia menggenggam tanganku yang telah
tercucuri keringat dingin. Membuat semuanya semakin parah. Tanganku dengan tak
terkendali, bergetar hebat. Saat ini, aku hanya berdoa agar dia tak bisa
merasakan kegugupan itu.
“Well, did you know you're an angel who forgot how to fly? Did
you know that it breaks my heart every time to see you cry Cause I know that a
piece of you's gone Every time he done wrong I'm the shoulder you're crying on And
I hope by the time that I'm done with this song that I figure out” Ia
memanjangkan sedikit nadanya, lalu melanjutkan alunan semerbak lagu itu pada
bagian reff. “What's gonna make you fall in love? I know you got your wall
wrapped all the way around your heart Don't have to be scared at all, oh, my
love But you can't fly unless you let yourself, You can't fly unless you let
yourself fall”
“Don’t be afraid, ‘cause I’ll catch you if you fall.”
Ia menyelesaikan lagu itu tepat pada kalimat yang sepertinya
ia ucapkan dengan yakin. Ia lalu menatap manik hijauku, dengan tetap
menggenggam jemariku. Genggamannya mengencang saat ia menundukan kepalanya.
Namun, mengapa tiba-tiba airmata ini terasa ingin mengalir saja?
“Rachel Bianca Parker,” ia menyebutkan nama panjangku sambil
mendongakkan kepalanya dan langsung memutar tubuhnya kearahku. Bibirku masih
kelu melihat semua ini. apa maksudnya? “I know it’s hard. But, please don’t ask
me why, cause I don’t even know.”
“Aku bahkan tak tahu bagaimana harus memperjelas semuanya.
Tapi aku selalu merasa sakit saat melihatmu terus menerus menangis.” Ia melepas
genggamannya lalu menyatukan jemarinya. Aku tahu, dia benar-benar gugup, karna
itu adalah kebiasaannya saat ia merasakan kegugupan kapanpun. “Aku tak pernah
ingin menghancurkan persahabatan kita, tapi aku juga tak ingin melihatmu hancur
saat semua yang bisa ku lakukan hanya merengkuhmu sebagai seorang sahabat. Aku
tau ini salah, tapi aku tak ingin membohongi perasaanku lagi. But if loving you
is wrong, I don’t even wanna be right.”
Ia terdiam. Kesunyian memenuhi telingaku kini. Aku masih
mencerna setiap kalimat yang ia ucapkan kepadaku. Lalu ia berusaha berkata
untuk sekian kalinya, “So, would you be the food of mine?”
Air mataku tumpah pada saat yang bersamaan.
Bibirku tercekat nafasku sesak dan air mataku terus mengalir
jatuh membasahi pipiku. Aku bahkan tak tahu alasan mengapa aku menangis. Ini
adalah kali pertamanya aku menangis karenanya. Aku tak tahu harus berkata
apalagi sekarang. Bohong jika aku mengatakan bahwa aku tak menyayanginya, meski
selama ini yang ku tahu semuanya hanyalah sewajarnya sebagai sahabat. Tapi,
akhir-akhir ini aku memang merasakan rasa itu sudah melebihi batas, meski aku
terus menerus mengelakkan dan membantah semua fikiranku.
Aku melihatnya tertunduk seperti menyesal. Ia meremas rambut
pirangnya. Otot tangannya terlihat jelas seakan ia mengeluarka emosi yang
berlebih. Ia menghela nafas sebelum akhirnya beranjak turun dari bibir
panggung. Ia memandang luar berderet kursi merah marun di hadapan kami. Air
mataku masih jatuh selama seperkian detik sebelum ia tak lagi menatapku.
“Jangan menangis.” Aksen inggrisnya keluar dengan nada
rendah, hingga nyaris aku tak bisa mendengarnya. Aku menghapus dan mencoba
menahan air mataku. Ia tak berkutik, masih mematung dengan suara yang sedikit
bergetar seperti… Menangis?
Aku bingung. Hingga saat ini, aku masih tak bisa mencerna
setiap kalimat yang ia katakan beberapa menit yang lalu. Maksudku, bagaimana
bisa? Tapi, aku tak boleh begini. Aku harus memutuskan. Aku tak boleh
menggantungkan harapannya dalam diriku. Lagi pula, tak ada alasan untuk aku
menolak semuanya. Joe hanyalah abu-abu sedangkan Niall jauh lebih terang
darinya. Jika di definisikan, Niall pelangi dan Joe adalah badainya. Seperti
bintang, Niall terlihat paling terang meski ia berada jauh dalam gapaian. Dan
kau tahu? Aku sangat menyukai bintang. Mungkin kali ini bintang yang paling
bercahaya dan sering ku kagumi itu telah saatnya jadi miliku sepenuhnya.
Mungkin, mereka telah jatuh dalam atmosfir dan gravitasiku.
Aku melompat turun. Kakiku melangkah mendekatinya. Aku
terdiam dalam jarak yang tak lebih dari 10 inci dengannya. Aku menatap punggung
pria yang bahkan aku tak lebih tinggi dari batas bawah telinganya. Dengan
cepat, aku merengkuhnya dari arah punggung. Melingkari pinggangnya dengan erat.
Air mataku jatuh, lagi. Namun kali ini aku berusaha untuk menahan. Aku menarik
nafas.
“Apakah kau menyesal telah mengatakan semua? Ku kira, kau
tak salah. Sama sekali. Jika itu memang keinginanmu, akan ku pegang janjimu.
Don’t let me fall.” Nada ku bergetar. Manikku menatapnya tajam dengan sedikit
berkaca, namun kemudian aku menunduk menyembunyikan tangis entah bahagia atau
apa. Tapi, aku tak pernah merasa sesenang ini, sebelumnya.
“Jangan paksakan dirimu. Atau kau hanya akan membuat
semuanya semakin hancur.” Ia membalas tajam tatapanku. Seperti mencari sesuatu
dalam manikku.
“Sejak kapan kau tak mempercayaiku? Aku menyukaimu. Bahkan
sejak kita belum bertemu. Soal Joe, aku tak memperdulikannya. Serius, kau fikir
aku hanya membual?” Aku menatapnya yakin. Ia membalasnya lebih serius. Wajahnya
mulai mendekat, nafasnya terasa melalui pori-pori wajahku, detak jantungnya
berdetak kencang saat aku menyentuh dada bidangnya yang semakin mendekat. Mata
kami saling bertemu, sebelum akhirnya bibir kami juga ikut menyatu. Aku dapat
merasakan lembut lekuk bibirnya. Ia merengkuhku erat. Pelukan yang selalu ku
dapatkan darinya sebagai pelindung, kini terasa lebih aneh dan berbeda.
Maksudku, pelukkannya terasa lebih hangat dan teduh dari biasanya.
Apa ini yang benar-benar mereka sebut cinta?
No comments:
Post a Comment