Monday, August 12, 2013

Goodbye My First Love


Finalis #1DFanficContest13

by Felicia Rena , 18

LOLS

Kelima anggota One Direction turun dari atas panggung setelah melakukan gladi bersih untuk konser mereka nanti malam. Mereka langsung disambut oleh salah satu event organizer konser dari Perancis. Saat ini mereka memang tengah mengadakan konser di ibukota negara yang terkenal dengan Menara Eiffel-nya itu.
“Penampilan yang bagus sekali. Aku yakin konser nanti pasti akan sukses,” kata event organizer itu sambil menyalami personil One Direction satu-persatu.
“Terima kasih,” balas kelima personil One Direction.
“Sekarang kalian bisa beristirahat dulu. Masih ada waktu dua jam sebelum konser dimulai. Kalau kalian memerlukan sesuatu, katakan saja padaku, oke?” lanjut si event organizer dengan bahasa Inggris yang lancar walaupun masih kental dengan aksen Perancis.
Setelah itu Louis, Zayn, Liam, Harry dan Niall kembali ke ruang ganti mereka untuk beristirahat sebelum memulai konser. Sesampainya di ruang ganti mereka, Zayn langsung merebahkan dirinya di atas sofa dan menutup matanya sementara Harry, Liam dan Niall pergi lagi ke luar untuk mencari makanan. Louis duduk di salah satu kursi rias dan menyalakan televisi, mengganti-ganti saluran untuk mencari acara yang menarik untuknya.
Sekitar sepuluh menit kemudian, pintu ruangannya diketuk. Berhubung hanya ada dirinya dan Zayn yang sudah terlelap di ruangan itu, maka Louis bangkit berdiri dan berjalan ke arah pintu. Louis membuka pintunya dan menemukan seorang gadis berkacamata dan rambut diikat berdiri di balik pintunya sambil menatap ke arah noteboard-nya.
Can I help you?” tanya Louis.
“Saya diminta untuk menyampaikan pada Anda semua bahwa Anda diharapkan sudah bersiap di belakang panggung setengah jam sebelum konser dimulai. Lima belas menit lagi tim make-up akan segera merias kalian. Tim wardrobe juga akan segera sampai dan membawa kostum kalian, jadi tolong kalian jangan pergi terlalu jauh. Kalau kalian memerlukan sesuatu, katakan saja pada kami,” ucap gadis itu panjang lebar tanpa melepas pandangan dari noteboard-nya.
Louis nampaknya tidak menyadari bahwa dia sedang menatap gadis itu dengan mulut sedikit terbuka. Cara bicara dan gerak-gerik gadis itu nampak tidak asing baginya, namun dia tidak bisa mengingat lebih jauh. Satu hal yang menarik perhatian Louis adalah gadis itu bicara dengan logat British, tanpa sedikitpun aksen Perancis di dalamnya.
Sebenarnya Louis merasa penarasaran dengan gadis di depannya ini. Belum pernah ada orang yang berbicara dengan salah satu personil One Direction tanpa menatap langsung, seolah noteboard yang berada di genggaman gadis itu jauh lebih menarik daripada dirinya.
“Baiklah, aku mengerti,” kata Louis akhirnya. “Harry, Liam dan Niall sedang keluar sekarang, tetapi aku akan segera menelepon mereka. Aku akan memastikan mereka sudah berada disini saat tim wardrobe dan tim make-up datang. Terima kasih.”
Louis sudah menggerakkan tangannya untuk menutup pintu ketika tiba-tiba gadis itu mengangkat kepalanya. Di balik kacamata tipisnya, mata biru gadis itu menatap langsung ke arah Louis.
“Lama tidak bertemu,” ujar gadis itu sambil tersenyum kemudian melepas kacamatanya sehingga menampilkan mata birunya yang terang. “Louis Tomlinson.”
Louis menatap gadis itu dengan kedua mata terbelalak. Tangan kanannya masih memegang pintu yang sudah seperempat tertutup. Mulutnya kembali terbuka ketika otaknya mulai mengenali gadis yang saat ini tersenyum padanya.
“Katie? Cathrine Carter,” ucap Louis lirih.
“Kau masih mengenaliku?” tanya Katie tanpa sedikitpun melepas senyumnya.
Bagaimana mungkin Louis bisa melupakan gadis itu serta senyumannya? Sementara senyuman yang sama sudah pernah menawan hatinya beberapa tahun yang lalu. Senyuman itu jugalah yang seketika berhasil membangkitkan kenangan yang sudah lama dikuburnya dalam-dalam.
“Apa yang kau lakukan disini?” Louis balik bertanya.
Hanya berselang dua detik setelah menyanyakan hal itu, Louis ingin memukul kepalanya sendiri karena merasa sangat bodoh. Bukankah hal tersebut tidak perlu ditanyakan lagi? Tentu saja gadis itu sedang bekerja.
“Bekerja, tentu saja,” jawab Katie sesuai dugaan Louis. “Aku bekerja sebagai event organizer sekarang dan kebetulan sekali hari ini aku dan tim-ku yang bertugas untuk mengurus konsermu.”
“Kau—tinggal di Paris sekarang?” tanya Louis.
“Ya. Aku pindah ke Paris tiga tahun yang lalu. Sebelumnya aku bekerja pada sebuah majalah di New York,” jelas Katie.
“Begitukah?” Pandangan Louis tampak sedikit menerawang. “Sudah lama sekali kita tidak bertemu.”
Katie kembali tersenyum menanggapi. Hanya saja kali ini terpancar aura sedih dari senyumannya. “Ya. Sudah enam tahun lamanya,” kata Katie.
Sesaat tidak ada lagi yang berbicara di antara keduanya. Mereka hanya saling menatap dalam diam, seolah berusaha untuk menyelami pikiran masing-masing.
“Apa yang sedang kalian lakukan?” Harry, Liam dan Niall tiba-tiba muncul dengan tangan yang sibuk memeluk bungkusan makanan. Ketiganya menatap bingung ke arah Louis dan Katie yang segera memakai kembali kacamatanya.
“Aku akan pergi sekarang kalau begitu. Tolong sampaikan apa yang sudah ku katakan tadi pada yang lain. Permisi,” kata Katie sebelum beranjak pergi meninggalkan Louis yang masih dalam posisi mematung dan ketiga personil lain yang masih menatap heran pada mereka berdua.
“Siapa dia?” Liam bertanya pada Louis.
Event organizer,” jawab Louis singkat.
“Lalu untuk apa dia datang kemari? Apa dia salah satu penggemarmu dan meminta tanda tanganmu?” Kali ini Niall yang bertanya.
“Dia cantik juga. Tapi dia tidak terlihat seperti orang Perancis,” tambah Harry sambil menoleh ke arah punggung Katie yang semakin menjauh sampai gadis itu menghilang berbelok di lorong.
“Dia orang Inggirs,” sahut Louis tanpa sadar.
“Darimana kau mengetahuinya?” tanya Harry sambil mengernyitkan dahinya.
“Dia berbicara dengan aksen British,” jawab Louis membuat ketiga rekannya mengangguk-anggukkan kepala. “Tidakkah kalian mendengarnya ketika dia bicara tadi?”
Louis kemudian berbalik dan kembali masuk ke dalam ruang ganti. Harry, Liam dan Niall mengikuti dibelakang Louis.
“Apa yang dia katakan?” tanya Niall lagi.
“Dia hanya menyampaikan bahwa sebentar lagi tim make-up dan tim wardrobe akan tiba, jadi kita tidak boleh pergi kemana-mana. Kita juga diminta untuk sudah siap di belakang panggung setengah jam sebelum konser dimulai,” jawab Louis sambil membuka salah satu bungkusan makanan yang dibawa oleh Niall.
“Oohh,” Niall, Louis dan Harry sama-sama membentuk ‘O’ dengan mulut mereka.
“Bangunkan Zayn sekarang!” perintah Louis sambil menggigit burger.
Tidak lama kemudian datanglah tim make-up dan tim wardrobe dengan membawa kostum yang akan dipakai oleh One Direction di konser malam ini. Liam dan Niall adalah orang pertama yang di make-up. Sementara itu Louis dan Harry mencoba kembali kostum mereka. Zayn yang baru bangun sekarang sedang duduk di sofa sambil memakan burgernya.
Tiga puluh menit menjelang konser dimulai, kelima personil One Direction sudah berkumpul di belakang panggung untuk melakukan pengecekan terakhir. Sementara rekannya yang lain mempersiapkan mik dan peralatan lain yang akan mereka gunakan, Louis justru berdiri dan memandang berkeliling seperti mencari seseorang.
“Mencari siapa?”
Louis memutar tubuhnya dan menemukan Katie sedang tersenyum padanya. “Kau ini mencari siapa?” tanya Katie lagi.
“Tidak. Aku sedang tidak mencari siapa-siapa,” jawab Louis.
“Kalau begitu kenapa kau justru memandang berkeliling seperti tadi? Bukankah rekan-rekanmu sekarang sedang mempersiapkan mik dan lain-lain?” ujar Katie.
“Aku juga akan mengecek mik-ku sekarang,” sahut Louis sambil beranjak pergi untuk kembali bergabung dengan grup-nya.
Good luck!” ucap Katie ketika Louis melewatinya. Laki-laki itu berhenti melangkah dan menoleh ke arah Katie yang hanya tersenyum kecil padanya. Louis kemudian mengangkat ibu jari tangan kanannya sambil tersenyum dan kembali melangkah.
.
Louis duduk termenung sendirian di sebuah cafe di kawasan Paris. Tangannya mengaduk-aduk coffee latte-nya sampai tercampur. Rangkaian kegiatannya di Paris sudah selesai hari ini dan besok pagi dia beserta kawan-kawannya akan kembali ke Inggris.
Pikiran Louis melayang pada seorang gadis yang belum lama ini ditemuinya lagi. Cathrine Carter. Louis tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum hanya dengan mendengar namanya. Gadis itu benar-benar membangkitkan kenangan-kenangan yang Louis kira sudah dia lupakan.
Louis dan Katie adalah teman maca kecil. Mereka tumbuh bersama di lingkungan yang sama, bahkan bersekolah di tempat yang sama sampai mereka menginjak bangku SMP. Sayangnya, ketika akan melanjutkan ke SMA, Katie dan keluarganya pindah ke New York. Sejak saat itu Louis kehilangan komunikasi dengan Katie.
Louis harus mengakui bahwa dulu dia sangat menyukai Katie. Dia menyukai segala yang ada dalam diri Katie. Kulitnya yang putih, rambut cokelatnya yang bergelombang, mata birunya, bahkan sampai cara Katie memanggil namanya. Namun sayangnya, Katie sudah terlebih dulu pergi sebelum Louis bisa mengungkapkan perasaannya. Dengan kepergian Katie ke seberang benua, maka kisah cinta pertama Louis berakhir begitu saja.
“Sendirian saja?”
Louis menoleh cepat mendengar suara Katie memasuki indra pendengarannya. Laki-laki itu kemudian menemukan Katie berdiri di samping tempat duduknya sambil tersenyum padanya. Gadis itu memegang ice americano di tangannya.
“Ya,” jawab Louis. “Kenapa kau ada disini?”
“Aku? Ah, cafe ini adalah cafe langgananku. Aku memang sering sekali kesini,” balas Katie. “Bolehkah aku bergabung denganmu?”
“Tentu saja,” kata Louis sambil balas tersenyum. “Aku justru senang kalau kau mau menemaniku.”
“Apa kabarnya kedua orangtuamu?” tanya Katie.
“Mereka baik-baik saja,” jawab Louis. “Bagaimana dengan orangtuamu?”
“Mereka juga sehat-sehat saja,” ucap Katie. “Bagaimana kabarnya Inggris?”
Louis tidak langsung menjawab pertanyaan Katie melainkan memilih untuk menyeruput coffee latte-nya terlebih dulu.
 “Kenapa kau tidak datang berkunjung dan melihatnya sendiri?” balas Louis sambil mengangkat sebelah alisnya.
Katie tersenyum. “Aku ingin sekali,” katanya.
“Kau benar-benar tidak pernah lagi mengunjungi Inggris setelah pindah ke New York?” tanya Louis yang dibalas dengan gelengan kepala oleh Katie.
“Apakah kau merindukan Inggris?” tanya Louis lagi.
“Ya. Tentu saja aku sangat merindukan Inggris. Separuh dari umur hidupku aku habiskan di tempat itu, jadi bagaimana mungkin aku tidak merindukannya?” ujar Katie sambil tersenyum kecil.
“Bagaimana denganku?” Pertanyaan Louis membuat Katie menatapnya dengan bingung. “Apakah kau tidak merindukanku?”
Louis tidak tahu apa yang membuatnya bertanya seperti itu. Kata-kata itu seolah meluncur begitu saja dari mulutnya tanpa bisa dia cegah.
Katie tertegun menatap Louis sesaat. Dia tidak menyangka Louis akan bertanya seperti itu. Tetapi kemudian senyum kembali terukir di wajah cantiknya.
“Tentu saja aku merindukanmu, Lulu,” balas Katie sambil memanggil Louis dengan nama panggilan yang biasa digunakannya ketika mereka masih kecil.
“Kita tumbuh bersama kan? Bagaimana mungkin aku tidak merindukanmu?” lanjut Katie sambil meminum ice americano-nya.
“Aku juga merindukanmu,” kata Louis yang sukses membuat Katie terkejut dan nyaris tersedak ice americano-nya.
Katie tiba-tiba merasa tenggorokannya kering sehingga dia sulit untuk menelan ludah. Hatinya terasa bergejolak setelah mendengar kata-kata Louis tadi. Louis menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan. Katie sendiri tiba-tiba seolah kehabisan kata-kata. Dia tidak tahu lagi harus menanggapi Louis seperti apa.
“Bolehkah aku jujur tentang suatu hal padamu?” tanya Katie dengan suara pelan namun masih bisa didengar oleh Louis.
“Apa?” tanya Louis.
Katie tersenyum sebelum melanjutkan. “Ketika kita sama-sama duduk di bangku SMP, aku pernah menyukaimu,” ucap Katie.
Louis sedikit membelalakkan kedua matanya mendengar pernyataan Katie.
“Sebenarnya aku ingin mengatakan hal ini padamu sebelum aku pergi ke Amerika. Tetapi setelah kupikir lagi, kalau aku mengatakannya saat itu, mungkin aku malah tidak akan sanggup untuk meninggalkan Inggris dan meninggalkanmu,” tambah Katie sambil tertawa renyah.
“Tapi tenang saja,” lanjut Katie ketika Louis belum merespon pengakuannya. “Aku tahu kalau kau sudah punya pacar. Aku juga tidak punya maksud apa-apa. Aku tidak ingin dianggap mendekatimu hanya karena sekarang kau terkenal. Aku hanya ingin mengatakan sesuatu yang ingin sekali kukatakan tetapi belum sempat kukatakan padamu. Jadi, kau tidak perlu khawatir—”
“Aku juga dulu menyukaimu,” potong Louis. Kini giliran Katie yang membelalakkan kedua matanya tidak percaya.
“Kau benar. Kalau dulu kau mengatakannya, kau pasti tidak akan sanggup pergi ke Amerika karena aku pasti akan menahanmu sebisa mungkin. Aku juga tidak akan bisa membiarkanmu pergi begitu saja,” ucap Louis.
“Benarkah?” tanya Katie sambil tersenyum kecil.
Sesaat suasana hening menyelimuti Louis dan Katie. Keduanya sama-sama tenggelam dalam pikiran mereka setelah masing-masing mengakui perasaan mereka yang belum sempat tersampaikan dulu.
“Besok aku akan kembali ke Inggris.”
Ucapan Louis berikutnya membuyarkan lamunan Katie. Gadis itu kembali tertegun. Louis akan segera kembali ke Inggris dan dia—Katie—mungkin tidak akan bisa bertemu lagi dengannya.
“Begitukah?” ucap Katie pelan.
“Ya,” jawab Louis.
“Apakah kita bisa bertemu lagi?” tanya Katie.
“Tentu saja,” jawab Louis sambil menyunggingkan senyum.
“Datanglah ke Inggris kapan-kapan. Kita bisa bertemu lagi disana. Kau juga bisa mengunjungi kedua orangtuaku. Mereka pasti senang melihatmu lagi,” lanjut Louis yang membuat Katie tertawa.
“Jam berapa—“
“Aku akan berangkat dengan penerbangan pagi,” sahut Louis sebelum Katie menyelesaikan pertanyaannya.
Louis menyesap coffee latte-nya kemudian mengecek jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. “Maaf, tapi aku harus pergi. Teman-temanku akan mencariku kalau aku tidak kembali sekarang.”
Setelah berkata seperti itu, Louis bangkit berdiri dan tersenyum ke arah Katie. “Terima kasih sudah menemaniku, Katie. Aku senang bisa bertemu lagi denganmu,” kata Louis. Katie hanya mengangguk sambil memaksakan sebuah senyum.
Goodbye,” ucap Louis sambil melangkah pergi.
“Louis!”
Louis berhenti melangkah dan menoleh ketika mendengar Katie memanggil namanya. Gadis itu masih duduk di tempatnya.
“Sampaikan salamku untuk Eleanor,” ucap Katie sambil tersenyum. “Katakan padanya teman lamamu menitipkan salam. Aku akan senang sekali jika bisa bertemu dan berteman dengannya.”
Louis hanya berdiri diam sambil menatap Katie selama beberapa detik sebelum kembali menyunggingkan senyum. “Akan kusampaikan,” ucapnya. Setelah itu Louis kembali melangkah pergi keluar cafe meninggalkan Katie.
Katie masih duduk di tempatnya selama beberapa saat. Kedua matanya menerawang memandang keluar jendela. Bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman sedih.
Sebenarnya tadi Katie berbohong ketika mengatakan bahwa cafe ini adalah langganannya. Sebenarnya dia bahkan baru pertama kali menginjakkan kakinya di cafe ini. Tetapi ketika melihat Louis duduk sendirian melalui jendela, Katie langsung memutuskan untuk menghampiri laki-laki itu.
Gadis itu tidak bisa memungkiri bahwa di dalam hatinya, nama Louis masih terukir begitu kuat. Namun Katie juga tidak ingin menjadi perusak hubungan orang. Dari yang diketahuinya, Eleanor adalah wanita yang baik dan sangat cocok untuk Louis.
Katie bangkit berdiri tanpa menghabiskan ice americano-nya sambil menghela napas. Sudah saatnya, batinnya. Sudah saatnya dia mengubur dalam-dalam kisah cinta pertamanya.
.
Louis mengedarkan pandangannya ke sekeliling bandara kota Paris. Dalam waktu beberapa menit dia akan memasuki pesawat dan terbang kembali ke Inggris. Walaupun begitu, entah kenapa sejak tadi Louis tidak bisa menahan dirinya untuk menyapukan pandangannya ke setiap sudut bandara seolah mencari seseorang. Atau dalam hatinya sebenarnya dia memang mengharapkan kedatangan seseorang.
“Sebenarnya kau ini sedang mencari siapa?” Zayn akhirnya bertanya karena bingung dengan sikap salah satu temannya ini. Niall, Liam dan Harry juga menatap Louis dengan pandangan bingung.
“Tidak,” jawab Louis cepat. “Aku tidak sedang mencari siapa-siapa.”
“Lalu kenapa kau menoleh ke kanan-kiri terus seperti mencari seseorang kalau begitu?” tanya Liam.
“Tidak apa-apa. Aku hanya—eh—arsitektur bandara ini bagus,” kata Louis yang jelas tampak berusaha untuk mengalihkan perhatian keempat rekannya yang kini menatapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala mereka.
“Sejak kapan kau tertarik pada arsitektur?” tanya Niall.
“Apakah kau sedang menunggu seorang gadis?” tanya Harry dengan polos.
Pertanyaan Harry sukses menohok Louis. Apakah dia sedang menunggu seorang gadis? Jawaban sejujurnya adalah iya. Dia sedang menunggu gadis yang menjadi cinta pertamanya saat ini.
Louis sudah memberitahukan pada gadis itu jam berapa dia akan pergi dan bertanya-tanya sendiri apakah gadis itu datang untuk mengucapkan selamat tinggal? Ah, kemungkinannya sangat kecil sekali gadis itu akan datang. Mungkin Louis memang harus lebih tegas melihat realita yang ada.
“Aku benar!” seru Harry tiba-tiba. “Kalian lihat kan? Aku menangkap basah dia! Dia sama sekali tidak menjawab pertanyaanku dan tiba-tiba melamun seperti itu.”
Louis baru menyadari kalau ternyata dia sedang melamun tadi. Dengan segera dia mengalihkan pandangannya ke arah lain untuk menghindari tatapan penuh tanya dari personil One Direction lainnya.
“Benarkah? Kau sedang menunggu seorang gadis, Louis? Siapa yang kau tunggu? Setahuku Eleanor tidak sedang berada di Paris sekarang,” kata Niall
“Woa, kau benar-benar menunggu seorang gadis? Nakal sekali kau ini, Lulu. Kau kan sudah punya Eleanor. Siapa lagi yang kau temui?” goda Zayn.
“Cinta pertamaku,” jawab Louis.
Zayn, Niall, Liam dan Harry sukses membeku mendengar jawaban tidak terduga yang keluar dari mulut Louis. Keempat laki-laki itu saling bertukar pandang satu sama lain.
“Kau bertemu dengan cinta pertamamu disini? Di Paris?” tanya Liam yang ingin memastikan kalau telinganya tidak salah dengar.
“Ya. Aku bertemu dengannya di hari konser kita kemarin,” kata Louis.
“Benarkah?” tanya Zayn, Niall, Liam dan Harry serempak.
“Dia datang ke konser kita?” tanya Harry.
Louis mengangguk. “Lebih tepatnya, dia adalah salah satu event organizer untuk konser kita kemarin.”
“Ah, apakah dia adalah orang yang kita lihat bersamamu kemarin di depan ruang ganti?” Niall menepukkan tangannya ketika mengingat hal itu.
Louis kembali mengangguk sambil tersenyum membenarkan.
“Kau masih menyukainya?”
Louis mengangkat bahunya sebagai jawaban. “Well, semua orang pasti setuju kalau cinta pertama memang sulit untuk dilupakan bukan? Sama juga denganku.”
“Tetapi untuk saat ini, bagiku Eleanor tetap segalanya,” lanjut Louis yang membuat keempat temannya tersenyum.
“Ayo kita berangkat!” ajak Zayn ketika panggilan untuk memasuki pintu check-in mulai terdengar.
Kelima personil One Direction ini kemudian membawa tas mereka masing-masing dan berjalan menuju pintu check-in. Sebelum memasuki pintu check-in, Louis kembali memandang ke sekelilingnya untuk terakhir kali.
“Sampai jumpa lagi, Katie. Selamat tinggal my first love,” batin Louis sambil tersenyum.
.
Katie sedang menyetir mobilnya melewati jalanan dimana bandara tempat Louis akan lepas landas berada. Katie melewati tempat itu bukan karena dia akan mengantarkan Louis. Sama sekali bukan. Kantor tempat dia bekerja memang berada di jalan yang sama dengan bandara itu.
Ketika terbangun pagi tadi, Katie sempat ragu apakah dia akan mengantarkan Louis atau tidak. Pada akhirnya, gadis itu memutuskan untuk tidak pergi ke bandara. Dia takut kalau dia justru akan semakin susah melepaskan laki-laki itu jika dia pergi untuk melihatnya.
Katie baru saja sampai di depan gedung kantornya ketika dia mendengar suara pesawat yang lewat di atasnya. Katie mendongakkan kepalanya menatap pesawat yang baru saja lepas landas itu sambil tersenyum. Dia tahu benar bahwa itu pasti pesawat yang ditumpangi oleh One Direction untuk kembali ke London.
Goodbye, my first love,” bisik Katie pelan.

Over Again


Finalis #1DFanficContest13


NLS

Lizzy’s P.O.V
“Jared! Dimana kau?” Seruku di telepon.
“Tunggu, Liz, aku masih di jalan, sabarlah, sayang..” Ujar Jared melalui telepon.
“Sorry. I mean, today is our special day.” Ucapku.
“I know, baby girl. I know.” Dapat kudengar dari suaranya, Jared tersenyum manis.
“Cepatlah, disini mulai dingin.” Ujarku.
“I’m sorry, baby.” Ujar Jared.
“Okay, cepat ya? Hati-hati di jalan.” Ucapku.
“I will, babe. Bye, I love you.” Ucap Jared.
“Bye. Love you too.” Aku pun menutup telepon.
Aku dan Jared telah berpacaran selama 3 tahun. Dan hari ini adalah peringatan 3 tahun kami. Aku sangat bahagia, karena Jared mengajakku piknik malam hari di tempat kesukaan kami. Aku sangat menyayangi Jared. Dia adalah cinta pertamaku. Kami bertemu saat kami duduk di kelas 1 SMA. Jared dulu adalah seorang murid pindahan dari Amerika. Ia menyelamatkanku dari para penindas. Aku jatuh hati pada mata Jared yang indah dan senyumannya yang manis. Setelah beberapa bulan kami berteman, dia menyatakan cinta padaku ketika Hari Valentine berlangsung. Dan, ya, hari ini adalah Hari Valentine.
Aku telah berdiri di depan gang selama 1 jam. Menunggu kekasihku, Jared, untuk menjemputku. Dia terlambat, karena ia terjebak dalam kemacetan di jalan utama. Inilah mengapa aku benci tinggal di Yorkshire.
Kurasakan telepon genggamku berdering. Seseorang meneleponku.
“Halo?” Ucapku setelah mengangkat telepon.
“Babe, I’m near now. Be ready.” Kata Jared.
“I will,” ujarku seraya menutup telepon .
Setelah menunggu selama beberapa menit telepon genggamku kembali berdering.
“Hey,” ucapku.
“Berputarlah,” Ucap Jared.
Aku memutar badanku untuk melihat Jared berada dalam mobilnya di seberang jalan. Ia melambaikan tangan sambil tersenyum. Aku balas senyumannya dan menutup telepon. Segera aku menyeberang jalan. Jared keluar dari mobilnya. Ia berdiri tersenyum di sana bagaikan seorang malaikat. Hal terakhir yang aku ingat adalah suara klakson mobil yang keras dan tiba-tiba semuanya terlihat gelap.
>>>> 
“Kami tidak yakin, Nyonya. Tapi kami pastikan dia baik-baik saja.” Aku mendengar seseorang berkata.
“Tolonglah kami. Dia adalah satu-satunya bagi kami.” Kudengar suara yang berbeda dan aku merasa aku mengenal suara itu.
Ingin aku membuka mataku, tetapi entah mengapa, hal itu terasa berat bagiku. Lalu, kucoba gerakkan seluruh anggota badanku. Dan lagi, hal itu seperti beban bagiku. Apa yang terjadi?
Jared.
Aku ingin bertemu Jared. Aku harus menemuinya. Sekali lagi kucoba menggerakan seluruh anggota badanku. Kemudian aku mendengar seseorang terkesiap.
“Sepertinya dia sudah bangun!” seseorang memekik.
“Panggil seseorang!” suara lain berkata.
Kemudian yang dapat kudengar adalah suara seseorang berlari. Setelah beberapa saat, kudengar beberapa orang berlari ke arahku.
“Lizzy, bukalah matamu. Ayo, Nak! Aku tahu bahwa hal itu berat tapi setidaknya berusahalah, Liz!” suara seorang wanita berkata.
Aku menuruti suara tersebut. Dengan perlahan kubuka kedua mataku. Kudapati ibu dan ayahku serta beberapa orang yang tak kukenal menatapku penuh harap.
“hmm.” Gumamku. Kerongkonganku terasa perih.
Aku menatap ibuku yang sedang menangis. Kemudian kutoleh ayahku yang sedang memeluknya.
“Apa ... yang terjadi?” tanyaku.
“Nn. Gerard, bagaimana perasaan anda saat ini?” tanya seorang pria tambun yang kuyakini adalah seorang dokter.
“Ha—us..” ujarku, lantas berdeham.
Segera seorang suster memberiku segelas air. Kuteguk air tersebut, dan kerongonganku terasa segar.
“I-ibu? Mengapa kau menangis? Apa yang kulakukan di rumah sakit?” tanyaku.
“Kami, akan membiarkan kalian berbicara.” Sang Dokter berkata seraya meninggalkan ruangan bersama seorang suster. Aku kembali menoleh pada ibu dan ayahku, menanti sebuah jawaban yang pasti.
“Kau.. kau pingsan selama beberapa saat.” Ujar ibuku terisak.
“Lalu, mengapa kau menangis?” tanyaku kembali.
“Ibu khawatir padamu.” Ibu kembali terisak.
“Sudahlah, Bu. Berhenti menangis. Lihatlah aku baik-baik saja.” Aku tersenyum.
Kemudian, aku mengingat sesuatu.
“Dimana Jared? Apakah dia datang menjengukku?” tanyaku.
Pandangan ayah dan ibu teraku padaku. Alis mereka mengernyit. Raut wajah mereka sedih, bercampur dengan kebingungan.
“Kau tidak ingat?” Ayah bertanya padaku.
“Apa yang harus kuingat?” Aku merasa kebingungan. Dan entah mengapa jantungku berdegup kencang.
‘Apa yang terjadi?’ pikirku.
“Jared... Jared telah pergi ke tempat yang aman, sayang.” Ujar ayahku.
“Dia di rumah?” tanyaku.
“Tidak.. Dia tidak sedang berada di rumah.” Ucap ibuku.
“Lalu?” Jantungku semakin berdegup kencang.
“Bagaimana aku mengatakan ini?!” Ayah bergumam.
“Katakan saja padanya Robert. Aku tidak tahan melihatnya kebingungan seperti ini.” Ibuku meremas tangan ayahku.
“Katakan apa? Apa yang terjadi?” Aku menatapi ayah dan ibuku secara bergantian.
Ayahku mengambil nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Kemudian ia mendekatiku, menggapai tanganku dan meremasnya perlahan. Aku menatap mata ayahku.
“Jared, sekarang telah berada di tempat yang lebih aman. Seperti.... seperti surga.” Ayahku menundukkan kepala.
Jantungku berhenti berdetak, mataku membelalak. Aku menggigil bukan karena kedinginan. Tatapanku kosong.
“Maksudmu dia meninggal?” suaraku goyah.
Ayah dan ibu menganggukkan kepala perlahan.
Kini, kurasakan dadaku sesak. Pelupuk mataku mulai terpenuhi oleh air. Seluruh tubuhku terasa lemah. Aku tak berdaya. Ingatan itu terulang di kepalaku.
FLASHBACK
Aku memutar badanku untuk melihat Jared berada dalam mobilnya di seberang jalan. Ia melambaikan tangan sambil tersenyum. Aku balas senyumannya dan menutup telepon. Segera aku menyeberang jalan. Jared keluar dari mobilnya. Ia berdiri tersenyum di sana bagaikan seorang malaikat. Jared mencoba menyeberang jalan untuk menjemputku. Ia tersenyum bahagia menatapku dengan penuh kasih sayang. Kemudian kami mendengar suara klakson mobil berkali-kali. Dan saat kami menoleh, mobil itu menyambar tubuh kekasihku. Dan pergi begitu saja.
“JAREEEEEEEEEEEEEEED!!!!!!!” Teriakku. Menatap kekasihku tergeletak tak berdaya.
Kudekati tubuh Jared. Kutatap muka pucatnya. Kosong. Tidak ada semangat ataupun kegembiraan di mata birunya. Kurasakan tangan dingin milik Jared menyentuh pipiku.
“Maafkan aku, Liz. Aku tidak pernah bisa menjadi pacar yang terbaik.... Aku.. aku menyayangimu.” Jared menutup matanya,
Jared telah pergi. Jared-ku telah pergi meninggalkanku. Satu-satunya anak lelaki yang kusayangi dan yang mengertiku. Ia telah hilang. Tuhan telah mengambil Jared dariku.
“TIDAK! TIDAK! JARED!” Aku menggoyangkan tubuhnya.
“Ja... red..” Kemudian semuanya menjadi gelap.
Lizzy’s P.O.V
Dadaku terasa semakin sesak air mata mengalir deras. Aku melepas genggaman ayahku.
“Tidak... tidak.” Gumamku seraya memegang kepalaku.
“Liz, hentikan.” Ayahku mencoba menggapaiku.
“Tidak!” Aku menghindari gapaian ayah.
“JARED! JARED!!!!!” Kupanggil namanya, berharap ia akan kembali. Duduk disebelahku menenangkanku.
Tetapi tidak, Jared tidak akan kembali. Ia telah pergi bersama Tuhan dan malaikat. Aku merasakan bertubi-tubi serangan pisau menusuk jantungku. Aku merasakan sebagian dari diriku menghilang. Aku merasakan kekosongan dalam diriku. Aku merasakan seseorang merobek jantungku.
“Kenapa?” gumamku menatap ketiadaan.
“Liz...” Ibu terisak.
“Kenapa Tuhan?!! Kenapa kau mengambil Jared? Kenapa tidak aku saja yang kau ambil??!!” Aku berteriak keras. Air mata tak ada habis-habisnya mengalir deras di wajahku.
“Liz! Hentikan!!” Ayah menggapaiku.
“Kenapa ayah?! Kenapa?!” Aku menangis di pelukan ayahku.
Menangisi kepergian malaikat penjagaku.
>>>> 
“Aku merindukanmu, Jared.” Aku berbisik lembut pada seseorang berkulit pucat yang terbaring damai di depanku. Kedua matanya tertutup, bibirnya pucat dan kedua tangannya tersilang. Rambut cokelatnya tertata rapi. Jared memakai setelan yang pernah ia pakai saat kami pergi ke prom. Aku mencoba untuk menahan diri. Dia tak akan pernah dapat menjawabku lagi. Dia tak akan pernah lagi tertawa lepas seperti biasanya. Aku merasakan air mata kembali mengalir. Aku tidak akan pernah melihat senyuman manisnya kembali.
“Ayolah,” Ibu memelukku erat menuntuku untuk duduk kembali.
“Kami rasa ada seseorang yang ingin mengucapkan beberapa kata untuk Jared?” sang pengkhotbah berbicara.
Semua orang terdiam. Aku segera berdiri dan mengambil alih posisi sang pengkhotbah.
“Jared...” Suaraku terpecah.
“Jared kau adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku. Senyumanmu dapat membuat hari-hariku semakin cerah. Membuat hari-hari terburukku menadi hari terbaikku.” Aku tersenyum menatapnya terbaring di hadapanku.
“Aku akan selalu mencintaimu. Selama-lamanya. Tidak ada yang dapat menggantikanmu. Tidak ada yang  dapat menyamai kita. Cinta kita.” Air mataku terus mengalir.
“Aku.. aku merindukanmu. Aku sangat-sangat merindukanmu. Aku merindukan pelukan hangatmu! Aku merindukan ciumanmu! Aku merindukan tawamu! Aku merindukan lelucon payahmu! Aku merindukanmu! Hanya dirimu!”  Aku mulai berteriak. Ayahku berdiri dari tempat duduknya.
“Kembalilah, Jar!” Lanjutku.
Aku tidak dapat menahannya kembali. Ayahku mencoba menarikku pergi.
“Jangan sentuh aku!” bentakku pada ayah.
“Jared!” Aku memanggilnya. Tapi tidak ada apapun yang terjadi.
“Aku mohon, Jar.. Kembalilah!” Aku berteriak kembali, sebelum jatuh berlutut dan terisak-isak.
Aku menanti kehangatannya. Aku menanti pelukannya. Aku menanti tatapan lembutnya. Aku menanti dia mengatakan bahwa hanyalah aku satu-satunya gadis tercantik baginya.
“Dia harus kembali..” Aku terisak.
“Aku tidak dapat hidup tanpanya.” Lanjutku. Kemudian ayah memelukku.
“Aku membencimu karena kau meninggalkanku, Jared!” Aku berteriak kembali. Tapi Jared tidak akan pernah membuka matanya kembali.
Dapat kulihat senyuman manisnya. Dapat kulihat ia terduduk dan menghampiriku. Kemudian dia memelukku erat dan tertawa kecil. Lalu, ia berbisik padaku,
“Maafkan aku. Semua ini hanya lelucon. Lihatlah aku baik-baik saja kan? Jangan menangis, sayang.”
Kemudian, ia tertawa dan menuntunku pergi.
Tapi tidak. Itu semua hanya khayalan. Jared tetap terbaring disana. Tak ada tanda-tanda kehidupan dalam raut wajahnya. Jaredku benar-benar telah pergi. Dan aku masih menangis dalam pelukan ayahku.
Biasanya aku memperhatikan dadanya naik turun menandakan bahwa ia masih bernafas. Tapi yang kulihat saat ini adalah kehampaan. Tidak ada lagi nafas hangat Jared yang dapat kurasakan, dadanya tidak lagi bergerak naik turun. Dan semua hal itu membunuhku.
>>>> 
“Liz, kau harus pergi ke sekolah.” Ibu berkata padaku dari luar kamar.
Aku hanya menatap kekosongan di luar sana.
“Ibu mohon padamu, Liz.” Ibu duduk di sampingku.
“Untuk apa? Aku tidak punya siapa-siapa lagi.” Ujarku hampa.
“Sayang, ibu tahu bahwa Jared adalah segalanya bagimu. Tapi, kau masih punya ayah, ibu dan Liam.” Ujar ibu.
Ibu memang benar, aku masih memiliki mereka, tetapi kini, hanya ada Jared dipikiranku.
“Baiklah, terserah kau saja. Tapi setidaknya, cobalah menelepon Liam. Dia mengkhawatirkanmu.” Ibu mengecup keningku dan pergi meninggalkanku sendiri di kamar.
Ibu benar, aku harus menelepon Liam. Kugapai telepon genggamku dan kucari nama Liam dalam kontak. Kemudian, kutekan tombol panggil.
“Hello? Liam Payne’s here.” Liam menjawab setelah beberapa deringan.
Liam adalah sahabatku dan juga sahabat Jared. Liam bagaikan kakak laki-lakiku. Ia sangat menyayangiku begitu pula aku yang menyayanginya. Liam adalah anak lelaki yang cukup populer. Karena selain tampan, Liam juga baik hati, sabar dan pintar. Ia adalah ketua siswa di sekolah. Dan kekasihnya, Danielle adalah seorang dancer yang populer.
“Li...” aku mencoba terdengar selembut mungkin.
“Liz? Is that you?” Liam terdengar kaget.
“Yeah, it’s me..” jawabku.
“Babe, how are you doing?” Liam berkata dengan lembut.
“I’m... I... I’m doing.. just.. fine..” aku berbohong.
“No, you’re not.” Kini Liam terdengar sangat tegas.
“I know, I’m not...” suaraku bergetar.
“I miss him so much..” lanjutku disertai beberapa tetes air mata.
“I know, Liz. I miss him too.” Liam berkata padaku.
“I need to see him again. I have to.” Aku terisak.
“But, you can’t. He’s in heaven now.” Ujar Liam.
Aku tak berkata apa-apa. Hanya dapat menangis.
“Satu minggu, Liam. Sudah satu minggu dia pergi dan aku merindukannya.” Ucapku.
“Aku tahu. Dan tolonglah berhenti menangis. Aku yakin Jared tidak akan senang melihatmu sedih seperti ini.” Ucap Liam.
“Aku tidak dapat bahagia tanpanya, Liam.” Kataku.
“Apa yang dapat kulakukan untuk membuatmu tersenyum, Liz? Aku mohon, aku tidak dapat melihatmu sedih seperti ini.” Ucap Liam.
“Aku tidak tahu.” Gumamku.
“Bagaimana kalau kita berkumpul bersama di tempat makan kesukaanmu?” Ucap Liam.
“Yah, kita bisa mencoba.” Kataku.
“Baiklah. Kutunggu besok pukul 3 sore. Di Nando’s, ok?” ujar Liam.
“Ok.” Gumamku.
“Cool, I’ll be there with Danielle. Is that alright?” Tanya Liam.
“Yeah,” gumamku.
“Nice. Bye, Liz. Don’t forget to smile. See you tomorrow.” Dapat kudengar dari suaranya, Liam tersenyum.
“Okay, bye, Li.” Aku menutup telepon.
Mungkin, aku memang harus dapat menjadi kuat. Tidak untuk melupakan Jared, tapi untuk menunjukkan pada Jared bahwa aku dapat menjadi seseorang yang kuat untuknya. Mungkin, ini adalah awal dari sesuatu hal yang baru.
>>>> 
            Aku duduk di salah satu meja, menunggu Liam dan Danielle untuk datang ke Nando’s. Nando’s adalah restoran kesukaanku dan Jared. Di mana kami memulai kehidupan sebagai sepasang kekasih.
“Hei,” aku melompat terkejut.
“Liam?” panggilku.
“Ya, haha, maaf kami mengagetkanmu.” Ucap Liam yang bergandengan tangan dengan Danielle.
“Iya, tak apa.” Ucapku seraya duduk kembali.
Liam dan Danielle duduk di depanku.
“Apakah kau sudah memesan makanan?” tanya Danielle.
“Belum.” Gumamku.
Kemudian Danielle memanggil salah satu pelayan.
“Selamat sore. Ada yang dapat saya bantu?” Ujar pelayan lelaki itu.
Kami tidak melihat bagaimana rupa pelayan itu, karena kami terlalu sibuk menelusuri buku menu.
“Berikan kami Ayam dengan saus Peri-Peri.” Ucap Liam sambil tetap memandangi buku menu.
“Untuk minumannya?” Pelayan itu bertanya.
“Berikan aku kopi.” Ucap Liam.
“Berikan aku soda saja.” Kata Danielle.
“Bagaimana denganmu?” Pelayan itu menanyaiku.
“Aku rasa aku ingin milkshake Strawberry.” Aku menengadah.
Aku terkesiap saat aku menatap pelayan itu.
Tidak. Mungkin.
Pelayan itu mirip sekali dengan Jared. Matanya, wajahnya, perawakannya. Hanya saja rambut pelayan ini berwarna pirang.
Aku menatap Liam dan Danielle yang terlihat syok.
Pelayan itu menatap kami kebingungan.
“Apakah ada sesuatu yang salah?” Pipi pelayan itu memerah.
“Ja.. Jared?” Aku tergagap.
“Maaf, nona. Nama saya Niall. Anda mungkin salah orang.” Dia tersenyum.
Kemudian semua ingatan tentang Jared terlintas dibenakku. Dalam sekejap semua menjadi gelap.
>>>> 
NIALL’s P.O.V
“Pelayan?” seorang gadis berambut keriting memanggilku.
Segera aku berlari ke arahnya. Kulihat 3 orang remaja yang sedang menelusuri buku menu. Seorang anak lelaki dengan berambut cokelat, seorang gadis berambut keriting yang tadi memanggilku, dan WOW! Gadis ini, adalah kesempurnaan. Dengan rambutnya yang berwarna merah dan matanya yang berbinar, berwarna hijau bagaikan batu emerald. Sesuatu dalam diriku menyuruhku untuk berkenalan dengannya.
“Selamat sore. Ada yang bisa saya bantu?” Tanyaku.
Mereka bertiga sama sekali tidak menatapku. Mereka sangat terpaku dengan buku menu.
“Berikan kami Ayam dengan saus Peri-Peri.” Ucap anak lelaki itu.
Segera kutulis ke dalam buku.
“Untuk minumannya?” tanyaku.
“Berikan aku kopi.” Ucap anak lelaki itu.
“Berikan aku soda saja.” Kata gadis berambut keriting itu.
“Bagaimana denganmu?” Aku menanyai gadis cantik berambut merah itu.
“Aku rasa aku ingin milkshake Strawberry.” Ia menengadah.
Kemudian gadis itu terkesiap. Gadis itu memandangiku dari ujung kepala sampai ujung kakiku dengan tatapan syok. Lalu, ia menatap kedua temannya yang sama-sama terlihat syok.
 “Apakah ada sesuatu yang salah?” Dapat kurasakan wajahku memanas, karena tatapan gadis itu.
Tunggu, apa yang kupikirkan?
“Ja.. Jared?” gadis itu tergagap.
“Maaf, nona. Nama saya Niall. Anda mungkin salah orang.” Aku tersenyum, mencoba mencairkan suasana.
Gadis itu kemudian memegangi kepalanya. Dan mulai terlihat lemas.
“Miss? Are you okay? What happen to her?” Aku mulai panik.
“Lizzy? Liz? Are you okay?” Gadis berambut keriting itu memegangi tangan gadis cantik yang kuyakini bernama Lizzy.
Hal selanjutnya yang terjadi adalah tubuh Lizzy jatuh dan ia terbaring tak berdaya.
>>>> 
LIZZY’s P.O.V
“Lizzy?” Aku mendengar seseorang memanggilku ketika aku mulai membuka mata.
“Apa yang terjadi?” tanyaku seraya mencoba duduk dan memegangi kepalaku yang terasa berat.
“Kau pingsan. Lagi.” Kudengar Danielle berkata padaku.
“Kau tidak apa-apa?” Seseorang memegang pundakku membantuku duduk dengan baik.
“Yah, sedikit pusing.” Kutatap DIA.
“Jared? Mengapa rambutmu menjadi pirang?” tanyaku.
Ia terkekeh.
“Liz, dia bukan Jared.”  Ucap Liam.
“Oh,” aku menunduk.
“Dia adalah Niall.” Kata Danielle.
“Hai, aku Niall. Maafkan aku, aku bukan Jared.” Niall tersenyum lemah padaku.
“T—tak apa.” Aku tergagap.
Niall membantuku berdiri.
Sisa hariku, kuhabiskan untuk berkumpul bersama Liam, Danielle dan Niall.
>>>> 
“Maafkan kami, Liz. Kami tidak dapat mengantarmu pulang.” Liam terlihat sedih.
“Tidak apa-apa.” Aku mencoba tersenyum.
“Aku dapat mengantarmu pulang.” Niall tersenyum malu.
“Baiklah, kami duluan, ya?” Danielle memelukku.
“Bye, Liz.” Liam memelukku.
Kemudian Danielle dan Liam pergi meninggalkanku dalam keadaan canggung bersama Niall.
“So... shall we go?”  Ajak Niall.
“Yeah,” aku mengangguk kecil.
Seluruh perjalan terasa awkward.
“Terima kasih banyak, Jared.” Gumamku.
“Uh... I’m not, Jar—“
“Oh, sorry. Thanks, Niall.” Aku tersipu.
“Iya, tak apa.” Niall tersenyum.
“Jadi... bisakah kita besok bertemu?” Lanjut Niall.
“Tentu.” Jawabku singkat.
“Aku akan menunggumu di Nando’s, besok hari liburku.” Niall menyeringai.
“Ok.” Jawabku.
“Dah, Niall.” Ucapku seraya menutup pintu.
>>>> 
Niall’s P.O.V
Dia menutup pintu begitu saja. Aku mendesah. Mengapa dia bersikap sangat dingin padaku? Apa yang telah kulakukan? Dan siapa Jared itu?
Mungkin dia bersifat seperti ini karena dia belum mempercayaiku. Atau mungkin karena dia tidak suka padaku?
Hentikan, Niall apa yang kau pikirkan? Bodoh.
Kau terus saja memikirkan apa yang dia rasakan, Niall. Bagaimana dengan dirimu sendiri? Apa yang kau rasakan padanya?
Tunggu... Mengapa kau berbicara pada dirimu sendiri, Niall? Bodoh sekali.
Baiklah. Pernakah kalian merasakan sesuatu berterbangan di dalam perutmu saat kau pertama kali melihat seseorang yang begitu indahnya?
Itulah yang kurasakan saat ini pada Lizzy. Dia... sempurna. Dan jujur saja, aku menginginkannya untuk menjadi milikku selamanya. Tapi apakah dia mau menjadikanku sebagai miliknya?
>>>> 
Lizzy’s P.O.V
Aku tidak dapat menyukainya. Tidak. Hatiku hanya untuk Jared. Rasa sayangku hanya untuk Jared seorang. Aku tidak dapat membaginya.
Tapi dapatkah aku menahannya rasa ini? Bila seseorang yang ada dihadapanku ketika itu adalah seseorang yang mirip sekali dengan Jared? Tidak hanya tampang dan perawakannya. Tetapi juga, cara dia berbicaranya, cara ia tersenyum, caranya tertawa. Mengapa mereka dapat menjadi begitu mirip? Tidak mungkin, ini semua hanyalah kebetulan. Aku harus mengetahui segalanya. Antara Niall dan Jared.
>>>> 
“Ibu, aku akan pergi ke rumah Jared.” Seruku.
“Tunggu. Apa?” tanya ibu.
“Ya, aku ingin mengunjungi keluargannya.” Jawabku singkat.
“Oh. Ok.” Ibu mengangkat bahu pertanda ia tidak ingin pembicaraan ini menjadi panjang lebar.
“Bye.” Sahutku seraya menutup pintu dan berjalan keluar.
Beberapa menit setelah menyetir, sampailah aku di depan rumah Jared dan keluarganya. Rumah milik Jared-ku. Dimana kami pertama kali berciuman. Dimana aku mulai mengenal keluarganya. Aku menarik nafas dalam-dalam. Menahan air mata yang memaksa untuk turun mengalir di pipiku. Aku mengetuk pintu perlahan.
Setelah beberapa ketukan, seseorang membuka pintu.
“Hai—“ orang itu berhenti.
“Hai, Nyonya Marvin.” Aku tersenyum lemah.
“Elizabeth?” Ibu Jared mengernyitkan dahi.
“Ya, sudah lama saya tidak kemari.” Aku kembali tersenyum.
“Iya... sudah lama. Ada keperluan apa, sayang?” Ny. Marvin tersenyum lemah.
“Saya ingin mengambil barang saya yang tertinggal disini. Bolehkah saya masuk?” Aku bertanya.
“Tentu saja, kau adalah keluarga disini. Anggap saja rumah sendiri.” Ny. Marvin mempersilahkanku masuk.
“Kau boleh langsung menuju kamar Jared. Jika kau mau. Kami tidak keberatan sama sekali.” Ujar Ny. Marvin ketika aku masuk ke dalam rumah.
Dapat kulihat rasa sakit di matanya ketika ia menyebut nama Jared.
“Kau boleh langsung ke kamar Jared.” Ny. Marvin tersenyum.
“Terima kasih.” Ucapku seraya menuju ke kamar Jared.
Wangi parfum Jared menghiasi seluruh ruangan kamarnya. Aku merasakan air mata di kedua pelupuk mataku. Masih ada sehelai pakaianku di ujung kasur Jared. Kuteringat saat-saat dimana kami bersama sampai larut malam. Aku merindukannya.
“Jared.. andai kau masih disini...” gumamku.
Kutemukan sebuah buku, ketika aku mengambil pakaianku. Kemudian kugapai buku itu dan kubuka perlahan. Betapa kagetnya aku mendapati foto Niall dalam buku itu.
‘apa-apaan ini?’ pikirku.
Dibawah foto-foto itu tertulis :
Niall Horan. 13 September 1993. Mullingar, Wesmeath, Irlandia.
Pelayan Restoran Nando’s.
Orang Tua:             Bobby Horan.
                        Maura Gallagher.
Saudara:            Greg Horan.
            Semua data mengenai Niall ada dalam buku ini. Di setiap foto terdapat keterangan-keterangan tentang dimana foto ini diambil dan kapan foto ini diambil.
Kekagetanku semakin menjadi ketika foto pertama diambil saat Jared pertama kali tinggal disini, setelah pindah dari Amerika.
Aku melompat kaget karena telepon genggamku berdering.
NIALL.
“Halo, Niall?” sahutku.
“Oh, hai, Liz.” Ujar Niall.
“Darimana kau mendapatkan nomorku?” tanyaku.
“Err.. Kemarin aku sempat meminta nomormu pada Liam. Maafkan aku.” Ujar Niall.
“Ah, tidak apa.” Ucapku.
“Err, Liz. Maukah kau bertemu sekarang di Nando’s?” tanya Niall.
“Tentu. Aku memiliki sesuatu yang harus kubicarakan denganmu.” Ujarku singkat.
“Oh ya? Em. Ok. Kutunggu kau sekarang juga. Dah.” Dapat kudengar Niall tersenyum.
“Dah.” Aku menutup telepon.
Kuambil buku dan pakaianku. Segera aku keluar dari rumah keluarga Marvin, dan menyetir secepat mungkin ke Nando’s.
>>>> 
NIALL’s P.O.V
Aku meneguk kopiku. Menunggu Lizzy untuk datang. Jantungku berdegup kencang. Lizzy bilang, ia ingin membicarakan sesuatu. Aku berharap bahwa ia akan mengatakan sesuatu yang telah kunanti.
            Lihatlah dia, begitu cantik dalam pakaian hangatnya. Mengapa dia harus menjadi begitu cantik? Apa yang dapat kulakukan agar dia dapat tersenyum karenaku? Selama ini dia tersenyum, tapi, masih ada kesedihan dalam matanya.
“Niall.” Sapanya sebelum duduk di depanku.
“Hai,” Aku tersenyum.
“Aku ingin bertanya padamu.” Ucap Lizzy.
“Silahkan.” Aku tersenyum kembali.
“Apakah kau memiliki saudara kembar?” tanya Lizzy.
“Apa?” aku menatapnya kebingungan.
“Apakah kau memiliki saudara kembar?” Lizzy mengulangi pertanyaannya.
“Uh, aku tidak tahu. Ibuku pernah bilang bahwa aku memiliki kembaran, tetapi, ia meninggal saat ibu melahirkannya.” Jelasku.
Lizzy menatapku dalam-dalam.
“Tidak mungkin. Coba lihat ini.” Lizzy memberikanku sebuah buku berwarna hitam.
“Apa ini?” Tanyaku kebingungan.
“Sudahlah, buka saja.” Ujarnya.
Kubuka buku itu perlahan, dan kudapati beberapa foto saat melakukan aktifitas, dan terdapat sebuah dokumen berisi data diriku.
“What the hell?” seruku.
Lizzy hanya menatapku.
“Apa-apaan ini?” tanyaku kembali.
“Aku menemukan buku ini di kamar Jared. Aku rasa Jared mengenalmu.” Jawab Lizzy.
“Liz..” aku menutup buku itu.
“Lupakan semua ini. Aku mengajakmu kemari untuk berkenalan lebih dekat denganmu. Bisakah dia lupakan semua ini dan memulai hal baru?” tanyaku lembut.
“Tapi ini Jared, Niall.” Nada berbicara Lizzy melemah.
“Lizzy, aku menyukaimu, aku mohon...” pintaku.
“Tidak, Niall. Aku tidak bisa melakukannya.” Lizzy menggelengkan kepala.
“LIZ! AKU DAPAT MEMBUATMU BAHAGIA. LUPAKANLAH JARED, ENTAH SIAPAPUN DIA. AKU TIDAK PEDULI! AKU MENCINTAIMU!” aku berteriak padanya.
Lizzy menundukkan kepalanya. Matanya berair. Oh tidak.
“Kau tidak mengerti apa-apa mengenai Jared!” Lizzy balas berteriak.
Dengan cepat kupegang wajah Lizzy dan kucium bibir manisnya. Lizzy hanya terdiam. Setelah beberapa detik, aku melepaskan ciuman.
Kemudian kurasakan panas pada pipiku. Lizzy menamparku dengan keras.
“TEGANYA KAU MELAKUKAN HAL ITU?! TEGANYA KAU MENGAMBIL KEUNTUNGAN SAAT AKU SEDANG SEDIH?!” Lizzy berteriak sambil menangis.
“A—aku tidak bermaksud—“
“Cukup!” Lizzy berlari menuju mobilnya dan pergi.
Apa yang telah kulakukan?
>>>> 
LIZZY’s P.O.V
Aku menyetir mobil pada satu tujuan; JARED.
“Hi, Jar..” gumamku seraya membelai nama Jared.
“Aku merindukanmu.” Aku mencium batu nisan Jared.
“Maafkan aku, Jared. Aku merasa seperti berselingkuh darimu dengan Niall.” Kataku.
“Aku tidak pernah bermaksud berselingkuh darimu. Niall lah yang memulai.” Aku membelai batu nisan Jared.
Aku tetap berbicara meski kutahu, bahwa Jared tidak akan menjawab apa pun yang kukatakan.
“Aku menyukai Niall. Tapi, aku tidak sanggup menyayanginya. Karena, hanya kaulah satu-satunya, Jar.” Ucapku.
“Tak ada yang seperti kita.” Aku tersenyum lemah menatap tempat dimana Jared berbaring.
“Tak ada yang seperti dirimu. Bersama kita lalui segalanya.” Lanjutku.
“Aku memberimu segalanya, Jar. Segala yang kupunya. Tapi mengapa kau meninggalkanku? Semua hal menjadi lebih susah saat kau pergi.” Aku menahan tangis.
“Ingatkah kau saat kita tertawa sangat keras? Waktu itu kau mencoba gerakan tari baru dan kau terpeleset di depan umum?” Aku tertawa kecil.
“Ingatkah kau saat, aku menangis karena hal bodoh?” lanjutku.
“Tapi, semua itu hanya masa lalu. Kita tidak bersama selamanya. Kematian mendatangimu, sayang. Aku rindu padamu. Benar-benar rindu padamu.” Aku tak tahan lagi, air mata mulai mengalir di wajahku.
“Lizzy?” seseorang memanggilku.
Aku menoleh untuk mendapati Niall berdiri di belakangku dengan raut muka yang sedih.
“Apa maumu?” Aku menyeka air mata.
“Ma—maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu menangis. Kau benar, aku tidak tahu apapun mengenai Jared. Dan aku tidak tahu bahwa dia segalanya bagimu.” Niall menatapku lembut.
“Terserah saja.” Ujarku seraya berdiri.
“Dan aku sadar bahwa aku tak dapagt menggantikan Jared dalam hidupmu. Tapi aku mohon, biarkan aku berusaha membantumu.” Lanjut Niall.
“Maaf, Niall. Aku tidak butuh bantuanmu.” Ujarku seraya pergi meninggalkannya.
“Tunggu,” Niall menggapai tanganku.
“Aku benar-benar dapat membantu.” Mata biru Niall menatapku dalam-dalam.
“Apa maksudmu?” Tanyaku.
“Kita dapat pergi ke rumahku. Dan menanyakan ibuku, mengenai Jared.” Jawab Niall.
“Kau benar-benar akan membantuku?” Tanyaku.
“Iya, aku melakukannya sebagai permintaan maaf.” Niall tersenyum.
“Terima kasih,” aku membalas senyumannya.
“Tentu,” Niall meremas tanganku. Membuat diriku melemah dalam genggamannya.
Kamipun memulai perjalanan ke rumah Niall.
>>>> 
“Mum!” Seru Niall.
“Wha—Hi.. Who is this?” Ibu Niall menunjukku.
“This is Lizzy, Mum.” Niall tersenyum.
“Oh.. THAT Lizzy.” Ibu Niall tersenyum padanya.
Aku hanya dapat memandangi mereka dalam kebingungan.
“Uh, Ibu, Lizzy ingin menanyakan sesuatu.” Ucap Niall.
“Tentu, silahkan,” Ibu Niall mempersilahkan kamu duduk.
“Nyonya, apakah anda mengenal anak lelaki ini?” Aku menyodorkan foto Jared.
“Tentu, ini Niall.”
“Bukan, coba perhatikan. Niall berambut pirang, dia berambut cokelat.”
“Oh, tidak aku tidak mengenalnya.”
“Dia adalah Jared Marvin.”
“Jared Marvin?”
“Ya.”
Ibu Niall terdiam sebentar, memandangi foto Jared. Kemudian ia tersenyum lemah pada kami.
“Kembaranmu, Niall. Iya kan?” Ibu Niall menatap Niall.
“Aku punya kembaran? Tapi ibu bilang dia telah meninggal?” Tanya Niall.
“Iya, ibu pikir dia telah meninggal. Karena keadaannya yang sangat lemah. Akhirnya, ayah dan ibu hanya membawamu pulang.” Ujar Ibu Niall.
“Setelah beberapa tahun. Ibu mendapat telepon, dari seseorang bernama Jared Marvin. Dia bilang bahwa ia ingin kembali. Ibu tidak tahu apa maksudnya. Dan ibu juga tidak tahu bagaimana rupa Jared itu.” Lanjut ibu Niall.
“Ia juga bilang bahwa ia telah memperhatikanmu selama ini. Ia ingin bertemu denganmu, Niall. Tapi ia tidak tahu bagaimana caranya.” Ibu Niall memandangi lantai.
“Mengapa ibu tidak pernah mengatakan sebelumnya padaku?” Tanya Niall.
“Karena ibu berpikir bahwa ia adalah ancaman. Dan kini ibu tahu siapa Jared itu.” Ibu Niall terisak.
“Maafkan aku, Mrs. Gallagher.” Aku mengelus pundaknya.
“Tak apa.” Ibu Niall tersenyum lemah padaku.
>>>> 
Aku dan Niall menjadi sangat dekat sejak saat itu. Niall telah mengungkapkan perasaannya padaku. Dia bilang bahwa dia mencintaiku. Tapi, aku menolaknya. Meskipun, Niall dan Jared memiliki banyak kesamaan, dalam hal kepribadian dan perawakan mereka. Aku masih tidak dapat melupakan Jared. Satu-satunya lelaki yang sangat mengertiku.
“Kau ingin makan apa?” Tanya Niall yang sedang menyetir.
Kami akan pergi makan malam sebagai teman. Kami melakukan hal itu hampir setiap hari.
“Terserah kau saja.” Jawabku.
“Bagaimana dengan Nando’s?” Niall menyeringai.
“Bosan.” Kataku.
Niall terkesiap.
“Teganya kau!” Kami tertawa.
“Memang membosankan. Kita telah makan disana setiap hari.” Ujarku
“Hei! Nando’s itu tempat yang menyenangkan! Aku bekerja disana!” Sahut Niall.
Kamipun bertengkar selama perjalanan.
Dan hal selanjutnya yang kuingat adalah kegelapan.
>>>> 
NIALL’s P.O.V
Aku membuka mata perlahan. Kulihat sekelilingku dengan seksama.
‘Ini bukan kamarku.’ Pikirku.
Dinding ruangan ini berwarna putih. Tidak kutemukan TV atau laptopku dimanapun.
‘Dimana aku?’ tanyaku pada diriku sendiri.
“Ah, Mr. Horan! Good morning.” Seseorang berjaket putih masuk ke dalam ruangan.
“Are you a doctor?” Tanyaku.
“Yes, sir. I am.” Pria itu menjawabku.
“It means I’m in a hospital?” tanyaku kembali.
“Yes.” Jawab sang dokter.
“Why? Am I sick?”
Dokter itu terdiam.
“Kau telah mengalami kecelakaan mobil, tadi malam.” Jawab dokter.
“Apa? Kecelakaan?” Seruku.
Kecelakaan? Tadi malam? Saat aku pergi bersama Lizzy...
LIZZY.
“Dimana Lizzy?” Tanyaku.
“Lizzy?” dokter itu kembali bertanya.
“Iya. Elizabeth Geldof?” ucapku.
“Oh. Dia masih dalam perawatan. Saat kecelakaan, tubuh anda terlindungi. Sedangkan Elizabeth tidak. Dan kami meyakini, dia harus menjalani koma.” Dokter itu mengerutkan dahi.
“Biarkan aku bertemu dia. Aku mohon.” Pintaku.
“Tentu, keadaan anda telah stabil. Anda boleh menemuinya.” Ujar dokter.
“Ruang 135.” Lanjut dokter.
Segera aku berlari menuju ruang dimana Lizzy dirawat. Dia harus baik-baik saja. Dia tidak boleh pergi.
            Aku menatap tubuh kecilnya terbaring. Liam dan Danielle duduk di sofa dalam ruangan tersebut.
“Niall?” panggil Liam.
“Hei. Apakah dia baik-baik saja?” tanyaku seraya mengelus tangan Lizzy.
“Dia masih tertidur. Dokter bilang dia mengalami koma.” Jawab Liam.
“Berapa lama?” Tanyaku. Menatap wajah Lizzy yang terlihat damai.
“Entah. Koma dapat berlangsung sampai beberapa tahun, Niall.” Jawab Liam.
“Dimana orang tuanya?”
“Mereka sedang mencari makan. Mereka telah menunggunya semalaman.”
Kami terdiam. Tak ada satupun dari kami yang berkata. Liam merangkul Danielle yang sedang khawatir. Dan aku hanya dapat duduk di sebelah tubuh Lizzy yang terbaring.
“Kau harus bangun, Liz. Aku mohon padamu. Aku membutuhkanmu. Kami semua membutuhkanmu.” Bisikku pada Lizzy.
>>>> 
Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Tahun berganti tahun. Tetapi, Lizzy tidak juga terbangun dari komanya. Aku, Liam, Danielle dan orang tua Lizzy terus bergantian menjaganya. Lizzy telah menjalani koma selama 3 tahun. Ketika ia ulang tahun, kami hanya dapat membawa kue kecil dan berpura-pura bahwa Liz berada disitu, dan hidup. Setiap hari aku menangis, memohon pada Lizzy untuk membuka matanya. Tetapi semua hasil adalah nihil. Lizzy masih terbaring di kasur rumah sakit. Setiap hari kubisikan nyanyian lagu untuknya. Setiap hari kuceritakan keseharianku padanya. Berharap ia akan terbangun dan ikut tertawa. Aku merelakan segalanya untuk Lizzy. Aku merelakan pekerjaanku. Aku merelakan kesehatanku. Aku tidak memiliki apa-apa lagi. Tak ada yang dapat kupegang. Tak kumiliki sandaran hati.
“Hey, princess.” Gumamku ketika aku duduk di sebelah Lizzy yang terbaring.
Kukecup kening Lizzy.
“Today, Liam proposes Danielle. It was wonderful! He proposed her in a beach. Danielle can’t stop crying because of it. And Liam almost dropped the ring.” Aku tersenyum menatap Lizzy.
“But, we wish you were there, princess.” Aku menundukkan kepala. Tak kuasa lagi menahan rasa rindu dan sedihku.
“I always wish that you were here with me. Laughing with me.” Ucapku seraya menggenggam tangan Lizzy.
“I miss your smile. I miss your laugh. I miss the way you pouted. I miss you.” Aku mulai menangis.
Aku terus menangis sampai kusadari aku telah tertidur.
>>>> 
LIZZY’s P.O.V
            Setiap hari aku mendengar banyak orang berbicara. Setiap malam aku mendengar seseorang membisikkan nyanyian yang indah. Tetapi, aku tidak dapat melihat apa yang terjadi. Yang kuketahui adalah aku berada dalam koma.
Saat ini aku berada dalam sebuah ruangan putih. Aku tidak tahu ruangan apa ini. Ruangan ini kosong. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Hanya ada aku dan kehampaan.
“Lizzy?” Aku mendengar seseorang memanggilku.
Aku menoleh untuk mendapati seorang anak lelaki seumuranku, tersenyum manis padaku.
“Niall?” tanyaku.
Anak lelaki itu tertawa kecil.
“Bukan. Ini aku, Jared.” Ia tersenyum.
“Jared? Apa yang kau lakukan disini? Dimana aku? Apakah aku sudah meninggal? Apakah ini surga?” Tanyaku.
“Bukan, sayang, bukan.” Jared tersenyum.
“Apa yang kau lakukan disini, Jar?” tanyaku kembali.
“Aku disini untuk membantumu.” Ujarnya.
Aku menatapnya kebingungan.
“Aku tahu kau tidak dapat melupakanku. Aku pun tidak pernah bisa melupakanmu, sayang.” Jared membelai pipiku.
“Tapi kau harus menjalankan hidupmu. Aku tak kuasa melihatmu sengsara.” Ujar Jared.
“Aku hanya merindukanmu.” Ucapku.
“Aku tahu. Dan aku akan lebih bahagia bila kau dapat melanjutkan hidupmu.” Jared tersenyum.
“Ada orang lain disana yang sedang menantimu untuk terbangun dan mencintainya.” Lanjut Jared.
“Siapa?” tanyaku.
“Saudara kembarku, Niall.” Jawab Jared.
“Tidak. Bagaimana kau mengetahuinya?” tanyaku.
“Kau harus percaya ini. Karena dia ditakdirkan untukmu. Bukan aku.” Jawabnya.
“Tapi—“
“Dia menungguimu setiap hari. Dia rela tidak makan beberapa saat demi kau. Dia rela keluar dari pekerjaannya, agar dapat menemanimu setiap hari. Bagaimana kau dengan mudah menolaknya?” Jared bertanya padaku.
“Dia benar-benar melakukan itu?” Jared mengangguk pelan.
“Aku tahu kita saling menyayangi. Dan aku tahu kau menyayangi Niall seperti kau menyayangiku. Tetapi kau sangat takut untuk menyayanginya. Karena bagimu hal itu salah.” Ujar Jared.
“Tapi, kau harus tahu, bahwa aku ingin kau mengatakan padanya bahwa kau juga mencintainya. Bahwa kau ingin dapat hidup bersamanya. Karena, sebagian dari diriku ada bersamanya, dan selalu bersamamu.” Dengan itu, Jared menghilang.
Jared benar aku harus melakukannya.
            Kucoba membuka mata perlahan. Kudapati diriku sedang terbaring di dalam sebuah kamar rumah sakit. Aku mencoba untuk duduk, dan melihat Niall sedang tidur pulas di sebelahku, dengan tangan terkait dengan tanganku. Niall terlihat sangat damai dan lucu saat tidur. Tetapi, ada yang berbeda. Wajahnya dibasahi oleh air mata. Apakah dia menangis sebelumnya? \
Kubelai pipi merah Niall.
“Iya, Ibu. Aku akan pulang..” Niall bergumam dan masih setengah tidur.
Aku tertawa kecil, melihat keluguannya. Kemudian aku kembali membelai pipinya kembali.
“Niall..” panggilku.
Niall mulai membuka mata. Dan betapa kagetnya dia melihatku.
“Li... Lizzy?” Niall membelalakkan mata.
“Hai.” Aku tersenyum.
“Kau... Kau terbangun!” Seru Niall, kemudian tersenyum lebar.
“Aku tidak menyangka! Maafkan aku atas—“ aku memotongnya dengan mencium bibir lembutnya.
Niall terlihat kaget dan tidak membalas ciumanku.
“Aku mencintaimu. Dan terima kasih telah menemaniku selama ini.” Ucapku setelah melepas ciuman.
Niall tersenyum, “Sama-sama”
Perutku melintir dalam kegembiraan dan kebahagiaan, saat tangan Niall menyelipkan sehali rambutku ke telingaku. Mata biru lautnya menatapku penuh kaish sayang. Bibir Niall hanya berjarak beberapa inci dari bibirku. Niall semakin mendekat, membuat dada kami bertemu. Niall meletakkan kedua tangannya di pinggangku ketika tanganku terkait di lehernya. Mata Niall kemudian memperhatikan bibirku. Kemudian, kedua mata indah itu tertutup saat ia mulai menciumku kembali. Rambut pirangnya menyapu keningku. Bibir kami bergerak secara seksama. Dia membuatku meleleh dalam pelukannya. Jantungku berdegup sangat kencang, ketika Niall mengeratkan pelukannya.
“I love you, Lizzy. Forever and always.”