Finalis #1DFanficContest13
by Syifanabila Purwantori , 14
HLS
Harry’s POV
“Eh Harry….” Seseorang menepuk bahuku
ketika aku sedang asyik menonton televisi sambil duduk bersandar disofa. Ketika
aku menoleh, aku mendapayi Niall berdiri tepat dibelakangku, tangan kanannya
menenteng kantung kertas berwarna cokelat.
“Ada apa? Apa itu yang ditanganmu?”
Tanyaku sekaligus.
“Kemana yang lain? Kenapa hanya ada kau
disini?”
Niall duduk disebelahku, lalu karena ia
tidak menjawab pertanyaanku yang satu, maka aku merebut kantung kertas
ditangannya. Ternyata kantung kertas tersebut berisikan beberapa potong roti
manis.
“Tadi ada dua orang directioners yang
datang, mereka membawakan kita roti-roti itu. Kalau kau mau, ambil saja..”
Katanya sambil merebut remote televisi dari tanganku, kami jadi main saling
rebut sekarang.
Niall memindahkan channel Animal Planet
ke channel Starworld.
“Mau apa sih nonton binatang-binatang
seperti itu…” ujarnya.
Aku mengambil sepotong roti, kemudian
mulai memakannya.
“Heh!” Niall menyikut perutku.
Aku menoleh kearahnya. “Ada apa sih?”
kataku sambil terus mengunyah roti didalam mulutku.
“Kemana yang lain?” Niall ikut
mengambil sepotong roti dalam kantung tanpa mengalihkan pandangannya dari layar
televisi.
Aku menelan potongan terakhir dari
rotik, kemudian menjawab. “Zayn datang kekonser pacarnya, Liam ada dibalkon
sedang menelepon, Louis bersama Eleanor tidak tahu kemana perginya…”
Niall mengangguk paham. “Kau tahu
tidak, nama girlband Perrie itu apa?”
Aku mengedikkan kedua bahuku. “Little
Mix kalau aku tidak salah. Aku jarang sekali melihat mereka tampil. Hanya
sesekali saja.” Jawabku.
“Hai..” Liam muncul, kemudian
menyerobot tempat duduk, ia menempatkan dirinya persis ditengah-tengah aku dan
Niall.
“Kau tahu kalau badanmu itu besar,
kan?” Aku menggeser sedikit posisi tubuhku, kemudian menepuk pelan bahu Liam.
“Maaf… Hanya ingin bergabung…”
Aku dan Niall tertawa pelan. “Santai
sajalah..”
“Jadi… Tadi Zayn meneleponku dan
meminta kita untuk segera datang ke arena tempat Little Mix konser malam ini…”
Liam menepuk dua lututnya menggunakan
telapak tangannya beberapa kali, menciptakan beberapa nada.
“Malam ini? Jam berapa?” tanya Niall.
“Gate akan ditutup pukul enam lewat
sepuluh..” Liam menyandarkan punggungnya disandaran sofa.
“Pukul 6? Memangnya sekarang pukul
berapa?”
Kepalaku refleks menoleh kearah jam
dinding. Jam digital yang menempel tepat diatas lukisan yang terpasang
didinding beberapa meter dibelakang sofa. 05.25 pm.
“Kurasa kita harus bergegas…” aku
bangkit dari kursiku, kemudian berlari kecil menuju kamarku untuk berganti
pakaian. Apartment ini cukup besar untuk ditinggali kami berlima.
Aku, Liam, dan Niall tiba diarena tepat
lima menit sebelum gate ditutup.
“Apa yang akan terjadi kalau kita
terlambat datang?”
Niall bertanya sambil duduk dikursinya,
tepat diantara aku dan Liam.
Beberapa penggemar kami sempat meminta
foto dan tanda tangan dari kami. Tapi kelas VVIP tentu akan membuat kami
nyaman. Bukan… Bukan kami tidak nyaman kalau saja ada directioners yang meminta
kami untuk berfoto atau sekedar tanda tangan.
Hanya saja, untuk waktu tertentu, kami
juga butuh privasi kan?
“Tentu saja kita tidak boleh masuk..”
Jawab Liam sambil menyiapkan handycam, Zayn yang menyuruhnya untuk merekam
jalannya konser nanti.
“Meskipun….” – “Meskipun kita adalah One
Direction!” potongku ketika Niall belum selesai dengan kalimatnya.
Niall tertawa sambil kemudian meneguk
coke dingin dari dalam kaleng yang sedar tadi digenggamnya.
“Hey maaf, aku ke backstage barusan…”
Zayn muncul dan bergabung dengan kami.
“Tidak apa-apa…” Liam menepuk-nepuk
pelan puncak punggung Zayn.
“Jadi…. Kita menonton konser ketika
kita sedang libur konser?” gurau Niall.
Aku menatapnya, sambil tersenyum lebar.
Kami memang sedang ada dihari kosong, kami diberikan jeda tiga hari dijadwal
konser Take Me Home minggu ini. Sampai kemudian kami akan melanjutkan tournya.
“Konser baru akan dimulai empat puluh
lima menit lagi…” ujar Zaynn.
Aku, Liam dan Niall serempak menatap
Zayn. Zayn kini menatap kami bergantian.
“Mau ke backstage dulu? Mungkin kalian
mau menemui Perrie? Dan yang lainnya?” bola mata Zayn menatap satu persatu dari
kami penuh harap.
Sementara aku, Niall, dan Liam
mengangguk setuju. Zayn bangkit, diikuti kami.
Beberapa waktu kemudian, kami tiba
dibackstage.
Aku dapat melihat empat orang perempuan
dengan pakaian yang hampir serasi dan beberapa kru yang sedang sibuk
mondar-mandir. Keempat perempuan itu sedang asyik mengobrol satu sama lain.
Mereka punya warna rambut masing-masing. Abu-abu, hitam, cokelat, brunette.
Salah satu dari mereka, yang berambut
brunette menarik perhatianku.
Tapi jujur, aku hanya mengenal Perrie
disini. Dan itupun hanya sekedar kenal saja.
“Hallo lagi, girls…” Zayn menyapa
keempat perempuan yang sedang asyik mengobrol tersebut sambil senyam-senyum.
Keempatnya menoleh, kemudian ikut
tersenyum.
Mereka cantik.
“Hai…” keempatnya serempak membalas.
“Jesy, Leigh, Jade, kenalkan, ini Liam,
Niall, dan Harry…” Zayn menunjuk kami satu persatu.
Liam dan Niall selesai berkenalan dan
menyalami ketiga perempuan yang baru saja dikenalkan oleh Zayn.
Giliranku.
“Aku Leigh Anne…” perempuan dengan
kulit kecokelatan dan rambut hitam menyalami tanganku.
“Harry Styles…” Well, mungkin harusnya
mereka sudah mengenalku, kan? Tapi yasudahlah… Anggap saja ini hanya sebagai
sebuah formalitas semata.
“Aku Jesy Nelson..” perempuan dengan
rambut bergelombang dan berwarna cokelat menyalami tanganku.
“Harry Styles…”
Aku menyodorkan tanganku keperempuan
yang satunya, yang berambut brunette, yang menarik perhatianku sedari tadi,
ketika tepat ponsel ditangannya berdering. Ia membalikkan tubuhnya, lalu
mengangkat telepon.
Aku menurunkan tanganku lagi. Dan
menerima senyuman-senyuman konyol dari teman-teman disekitarku.
“Ohh.. Maaf.. Aku Jade.. Jade
Thirlwall..” Aku menoleh kearahnya lagi, kemudian mendapati perempuan berambut
brunette yang barusan sedang menyodorkan sebelah telapak tangannya kearahku.
Aku menggerakan tanganku. Untuk yang
kali ini, jelas terasa berbeda.
“Aku Harry… Umm.. Harry Styles..”
Jade… Thirlwall.. Ia cantik. Cantik
sekali. Umm… Yang lain juga cantik. Tapi ia lebih cantik. Dimataku. Menurutku.
“Jadi…”
Aku menoleh kearah Zayn yang sedang
melongokkan kepalanya kearloji yang melingkar dipergelangan tangannya.
“Tiga puluh menit lagi. Kalian siap?”
Zayn melanjutkan ucapannya. Matanya menatap kearah Perrie. Aku suka melihat
mata orang jatuh cinta. Mata keduanya pasti akan bersinar ketika saling menatap
satu sama lain.
Kapan aku bisa seperti itu. Aaahhh…
Sudahlah…
“Tentu saja kami siap…” Perrie
melingkarkan tangannya dileher Zayn, lalu mengecup singkat bibir Zayn.
Damn! Aku iri!
Perrie menatap ketiga temannya yang
sedang asyik dengan ponsel mereka masing-masing.
Sedangkan mataku, keduanya tetap terpaku
pada Jade.
Jade menyita perhatianku.
Tiba-tiba saja Jade mengalihkan
pandangannya kearahku.
“Ada apa?” ia bertanya sambil tersenyum
dan sedikit memiringkan kepalanya.
Aku menggaruk tengkukku yang sumpah
demi apapun tidak gatal sama sekali sambil tertawa pelan.
“Ehh.. Itu.. Umm.. Anu.. Eh.. Tidak
kok, tidak ada apa-apa..” Sial. How stupid I am!
“Waktunya bersiap girls!!” seseorang
berteriak dari pintu disudut ruangan.
“Kami pergi dulu…” Perrie kembali
mencium Zayn, kali ini agak sedikit lebih lama.
Jade sempat menatapku sejenak sebelum
akhirnya ia menghilang dibalik pintu ruangan wardrobe.
Author’s POV
Konser baru saja dimulai. Sekarang
Little Mix sedang menyanyikan lagu Change Your Life.
Little Mix berhasil membuat seluruh
penonton berteriak dan ikut bernyanyi bersama mereka.
Hanya saja…. Liam, Niall dan Harry.
Mereka tidak terlalu mengenal lagu-lagu Little Mix.
Harry. Jade berhasil menyita
perhatiannya sejak tadi. Sejak ia sudah kembali duduk dikursi penonton. Sejak
Jade naik keatas panggung bersamaan dengan Perrie, Leigh dan Jesy. Jade
mengenakan shortpants dan croptee tanpa tanktop kali itu. Seluruh detail dari
Jade membuat Harry tergelitik, membuat Harry ingin mengenal Jade lebih jauh.
“Bisa kita ke backstage lagi nanti?”
Harry’s POV
“Mau apa sih ke backstage lagi?” Niall
berbisik ditelingaku.
“Biarkan sajalah, Zayn mau menemui
Perrie lagi tahu?” Aku berbohong sedikit. Tentu saja aku juga mau menemui Jade
lagi.
Kami tiba didepan pintu backstage.
Apa aku sudah terlihat baik? Apa
rambutku sudah rapih?
Jade’s POV
Aku sedang melepas anting-antingku
ketika Zayn dan ketiga temannya masuk kedalam ruangan make-up Little Mix.
Harusnya mereka berlima kan? Perrie bilang, satu lagi bernama Louis Tomlinson,
sedang bersama pacarnya dan tak bisa ikut.
Satu diantara mereka tersenyum kearahku
ketika keempatnya sudah duduk disofa sebelah pintu masuk. Aku tahu betul siapa
dia. Harry Styles. Dulu rambutnya curly. Dulu. Sekarang sudah tidak. Masih sih…
Tapi tidak seluruhnya curly seperti dulu…
Ia tampan. Tentu saja. Siapa yang
bilang tidak?
Malah menurutku, ia yang paling tampan
diantara member One Direction lainnya.
Aku melangkah melewatinya ketika aku
akan mengganti pakaianku diruang ganti. Konser sudah selesai, dan sekarang
sudah larut malam.
“Hey..” Harry menahan lenganku,
membuatku menghentikkan langkahku. Aku tersenyum kearahnya.
“Hey..” balasku.
“Mau minum sebentar?” Harry melepaskan
genggamannya dilenganku.
Minum? Apa ia baru saja mengajakku ke
bar?
“Maaf.. Tapi aku tidak minum-minum…”
Tolakku halus.
Memang benar, alkohol tidak bagus untuk
penyanyi bukan?
Harry menggaruk tengkuknya, ia
menggigit pelan bibir bawahnya. “Umm… Bagaimana kalau minum kopi?”
Biarkan aku berpikir. Mungkin ia hanya
ingin berteman. Apa salahnya jika aku menerima tawarannya. Lagipula, tak akan
ada yang marah jika aku pergi minum kopi dengannya. Ia baru saja putus dari
Taylor Swift beberapa bulan lalu kan?
“Baiklah…. Kapan?” tanyaku.
Wajah Harry berubah sumringah. Aku suka
melihat wajahnya. Jujur saja…
“Kapan kau bisa?” Ia bertanya.
Kapan ya……. Jadwal konserku masih
padat. Dan waktu kosongku hanya ada ditenggat waktu sesudah konser hingga esok
pagi.
“Bagaimana kalau sekarang?” kataku.
Ekspresi Harry berubah terkejut.
“Sekarang? Memangnya kau tidak kelelahan? Um… Sebaiknya tidak usah kalau aku
menggangu waktu istirahatmu..” Harry menundukkan kepalanya, kemudian ia
memasukkan kedua telapak tangannya kedalam saku celananya.
Aku tersenyum. Ia benar, aku memang
lelah. Aku melihat wajahnya lagi. Ada garis kecewa jelas terlihat dimata
hijaunya.
“Tidak apa-apa… Aku tidak terlalu lelah
kok…” Aku menepuk sebelah bahunya beberapa kali. Ia tersenyum, kedua alis
matanya terangkat naik.
Aku segera mengganti pakaianku.
Author’s POV
Harry dan Jade turun dari Range Rover
hitam yang dikendarai Harry.
“Kau sering kesini?” Tanya Jade, ia tak
bergerak dari tempatnya, disamping pintu mobil. Tempat ini………..
*flashback*
“Memangnya kau pikir aku ini siapa?
Pacarmu, huh?” Skandar menyesap kopi dicangkirnya, sebelah sudut bibirnya
terangkat, tersenyum mengejek kearah Alona, sahabat lama Jade.
“Kukira… Hubungan kita selama ini…”
Alona menitikkan air matanya lagi dan lagi.
Ada ditengah-tengah pasangan yang
sedang bertengkar membuat Jade merasa canggung.
“Kurasa aku harus keluar dulu..” Jade
bangkit dari kursinya. Baru beberapa langkah Jade meninggalkan meja….
“Selama ini aku tidak menyukaimu. Aku
lebih memilih Jade..”
Skandar berbicara. Cukup jelas bagi
Jade untuk mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Skandar. Langkah Jade
terhenti.
Hatinya berdegup lebih cepat. Kakinya
menolak untuk bergerak. Apa yang baru saja Skandar katakan, pasti akan membuat
Alona membencinya.
“Kau dengar aku kan Jade? Aku
menyukaimu..”
Jade merasakan dua tangan melingkari
pinggulnya, lehernya merasakan nafas hangat yang keluar dari lubang hidung Skandar,
membuat darahnya terasa berdesir.
Tubuh Jade terasa kaku, ia tak mampu
mencerna apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Beberapa detik kemudian, Jade
tersadar. Ia segera melompat keluar dari dalam pelukan Skandar.
Jade menolehkan kepalanya kearah Alona.
Alona masih menangis disana, menatap apa yang sedang terjadi diantara
sahabatnya dan “pacarnya”.
“Alona… Ini tak seperti yang kau
pikirkan.. Aku bersumpah…” Jade melangkah cepat kearah Alona, kemudian memeluk
Alona.
Sepuluh detik, dan Alona tak membalas
pelukannya, sampai akhirnya Alona mendorong Jade keras-keras, Jade mundur
beberapa langkah, Alona bangkit dari kursinya, melangkah mendekati Jade, hingga
berhenti lima belas senti didepan Jade. Jari telunjuk Alona terangkat, menunjuk
tepat kewajah Jade.
“Kau… Kukira kau sahabatku…”
Alona menurunkan telunjuknya,
pandangannya beralih kearah Skandar. Sedang tersenyum licik.
“Kau… Kalian berdua sama-sama busuk!!!”
Alona mengambil tas tangannya, kemudian berjalan cepat meninggalkan restaurant.
“Alona!!!” Panggil Jade. Namun Alona
tetap melanjutkan langkahnya tabpa sedikitpun menoleh lagi.
Jade hendak mengejar Alona ketika
tiba-tiba saja Skandar menarik tangan Jade keras-keras, membuat Jade masuk lagi
kedalam pelukan Skandar dan membuat bibirnya tertempel dibibir Skandar. Jade
terdiam.
Ia pernah menyukai Skandar.
*flashbackend*
“Jade? Jade?” Jade tersadar ketika
Harry melambai-lambaikan telapak tangannya didepan wajah Jade.
“Oh.. Maaf..” Jade sedikit memijit
keningnya, kemudian tersenyum simpul kearah Harry.
“Kau baik-baik saja?” Harry menyentuh
sebelah bahu Jade.
Jade mengangguk.
“Apa sebaiknya kau kuantar keapartment
saja, Jade?”
Jade merapatkan mantel cokelatnya.
“Tidak apa-apa. Ayo masuk..” Jade melangkah cepat kedalam café, ia tak ingin
Harry melihat air matanya yang sudah menggenang dipelupuk matanya. Secepat
mungkin, Jade menghapus air mata tersebut.
Harry’s POV
Jade tertawa ketika aku melepaskan
sebuah lelucon. Aku suka suara tawanya.
Membuatnya tampak jauh lebih cantik.
Apa aku menyukainya?
Pantaskah aku?
“Kau tidak mau memesan makanan?” Tanya Jade.
Aku mengedikkan kedua bahuku.
“Kurasa aku tidak lapar, kau mau
memesan? Lapar ya?”
Jade tersenyum. “Sedikit. Kurasa aku
akan memesan sandwich saja…”
Aku mengangguk, kemudian memanggilkan
seorang pelayan.
“Apa café ini menjual sandwich?”
Aku tersenyum ketika melihat Jade
bertanya pada pelayan. Rahang dan pipinya yang bulat bergerak naik turun saat
ia berbicara. Kulitnya kecokelatan, sangat lucu.
“Ya. Ada sandwich isi daging, ayam dan
kalkun…”
Jawab pelayan sambil menunjukkan gambar
beberapa sandwich.
“Aku mau yang isi kalkun. Extra
cheese…” Ujar Jade.
“Baiklah. Kau mau tambah sesuatu, umm..
Mr. Harry Styles..?” Tanya sang
pelayan kearahku.
Aku menatap cangkir espresso ku yang
masih terisi penuh. Aku dan Jade hanya mengobrol sejak tadi, aku sampai lupa
kalau aku sudah memesan espresso barusan. Jade menyita perhatianku.
Aku menggeleng. “Tidak, terima kasih…”
Kataku.
Pelayan itu pergi meninggalkan aku dan
Jade, lalu lima menit kemudian pelayan itu kembali dengan sandwich pesanan
Jade.
Jade’s POV
“Pesananmu…” Pelayan berseragam cokelat
ala café itu meletakkan piring berisi sandwich kalkun pesananku.
Aku tersenyum berterima kasih.
Harry terus memperhatikanku sejak tadi.
Aku tahu itu, matanya tak pernah lepas dari wajahku sejak tadi.
“Kau mau?” Aku mendorong piring
sandwich tersebut kearah Harry. Lalu Harry mendorong kembali piring tersebut
kearahku.
“Kau saja, aku tidak lapar…” Ia
tersenyum. Harry sangat baik. Ia mampu memperlakukan wanita dengan sangat baik,
menurutku.
Baru saja aku akan menyuapkan potongan
sandwich kedalam mulutku, aku dapat merasakan tepukan dibahu kiriku.
Aku meletakkan kembali garpuku,
kemudian menoleh, dan ketika aku menoleh.
Ada dia disana. Dia yang dua tahun lalu
memecah persahabatanku dengan Alona. Skandar. Ia tersenyum kearahku, senyum itu
bahkan masih sama seperti dulu.
“Hai….” Ia bicara.
Aku tak menjawab. Terlalu enggan. Dulu,
ketika Skandar memutuskan hubungannya dengan Alona, ia memintaku untuk menjadi
kekasihnya, dan dengan bodohnya, aku justru menerimanya.
Alona tak lagi terlihat sejak itu. Dan
hubunganku dengan Skandar, kesalahan terbodohku itu hanya berlangsung selama
kurang lebih tiga bulan. Skandar egois dan kasar. Ia tak bisa memperlakukan
wanita dengan baik. Ia berbeda dengan Harry. Tentu saja.
“Pergi Skandar, kita tidak punya urusan
lagi..”
Aku membalikkan tubuhku lagi, lalu
melihat Harry, sednag menatap tajam kearah Skandar. Kemudian pandangannya
teralih kearahku, ekspresinya berubah khawatir, kemudian telapak tangannya,
bergerak mendekati telapak tanganku, ia menggenggamnya, dan meremasnya dengan
lembut. Berusaha berkata ‘tenanglah….’
“Jadi kau mengencani Harry Styles
setelah kau terkenal, Jade?”
Ini kali pertama ku lagi bertemu dengan
Skandar setelah kurang lebih satu tahun sembilan bulan yang lalu. Semenjak aku
mengikuti audisi X-Factor, memenangkan ajang pencarian bakat tersebut bersama
ketiga temanku, dan menjadi terkenal seperti sekarang. Little Mix.
“Sudahlah, aku sudah katakan kalau kita
tidak punya urusan lagi, kan?” Aku menolehkan kepalaku kearah Skandar.
Skan sedikit berubah, dadanya semakin
bidang, mungkin akhir-akhir ini ia rajin berolahraga.
Rambutnya berwarna cokelat kemerahan
sekarang, dulu rambutnya hitam.
“Alona sudah kembali ke London..”
Aku hampir tersedak ludahku sendiri kala
itu.
Alona? Kembali ke London? Jadi… Kemana
saja ia selama ini? Apa ia tetap membenciku?
“Maka dari itu, kurasa kita perlu
bicara…”
Aku bangkit dari tempat dudukku, Harry
menahan pergelangan tanganku. Ia jadi berbeda ketika Skandar datang.
“Kau… Apa tidak apa-apa?” Harry menatap
khawatir.
Aku mengelus tangannya, kemudian
melepaskan genggamannya perlahan. “Tenanglah.. Tunggu sebentar ya..”
Aku berjalan menjauh bersama Skan.
Harry’s POV
Seorang pria menghampiri aku dan Jade
ketika Jade baru saja akan memakan sandwich pesanannya. Wajah Jade berubah
pucat ketika pria itu datang.
Kalau aku tidak salah, Jade menyebutkan
Skandar tadi. Itu pasti namanya. Dan Alona, sepertinya itu nama seorang perempuan.
Dan aku tahu, diantara Jade, Skandar dan Alona, pasti pernah terjadi suatu hal
yang penting. Jade kelihatan tidak menyukai Skandar.
Jade dan Skandar terlihat sedang
berdebat. Dua tangan Jade terlipat didepan dadanya, ia terlihat emosi,
berkali-kali ia menghembuskan nafas yang kelihatannya terasa sangat berat.
Sedangkan Skandar, Skandar sama
emosinya dengan Jade. Dua tangannya bertolak pada pinggangnya. Aku tak bisa
ikut campur. Bahkan aku baru saja mengenal Jade beberpa jam yang lalu.
Ponselku bergetar. Itu Zayn. Ia
menelepon.
“Hallo?”
“Hallo, kau bawa Jade kemana?” Suara
perempuan. Sudah pasti itu bukan Zayn. Sepertinya suara Perrie.
“Kami.. Ada di café dekat arena, ada
apa?” balasku.
“Sudah pukul satu sekarang, jangan
terlalu larut ya, kasihan Jade, ia pasti kelelahan, dan jangan lupa untuk
mengantarkannya pulang Harry!” perintah Perrie. Ia sama cerewetnya dengan Zayn.
“Baiklah.. Baiklah.. Eh, kau tahu
menahu soal Skandar dan Alona tidak?” tanyaku.
“Skan…………Skandar?”
Kedengarannya Perrie terkejut.
“Memangnya ada apa bertanya tentang
Skandar…? Dan… Alona…” tambah Perrie.
“Skandar ada disini. Kelihatannya
sedang berdebat dengan Jade..” Kataku.
“Sebaiknya cepat bawa Jade pulang…”
Sambungan telepon terputus. Eh..
Memangnya ada apa sih?
Jade berjalan cepat kearah meja.
Matanya basah, pipinya basah. Ia mencoba menghapus air mata yang membasahi mata
dan pipinya dengan tangannya. Aku dapat melihat Skandar berjalan cepat keluar
dari café.
Jade berhenti didepan meja. Ia hanya
terdiam sambil menatapku dengan matanya yang basah, tidak kembali duduk dikursinya.
Membuatku mau tak mau ikut berdiri. Aku mendekatinya.
Jade berusaha tersenyum disela-sela air
matanya. Aku tak suka jika ia
seperti ini. Aku tak suka Jade yang seperti ini.
“Are you, Ok?” Tanyaku. Tapi betapa
bodohnya aku, melihatnya seperti itu sudah cukup menjelaskan kalau ia tidak baik-baik saja.
“I’m ok…” Elak Jade. Ia menatapku,
berkali-kali tangannya naik untuk menghapus air mata yang hendak mengalir turun
kepipinya.
“Sorry, but I know you’re not..” Aku
memeluknya, kemudian Jade kembali menangis didalam pelukanku.
Berada seperti ini membuatku merasa
harus melindungi Jade. Dan darisitu aku tahu jika aku menaruh hati pada Jade.
Jade mendorong tubuhku, membuat aku
melepaskan pelukanku. Jade menghapus air matanya.
“Kurasa aku akan pulan…” Jade menyambar
tas tangannya, kemudian berjalan cepat. Aku mengejarnya, kemudian menahan
pergelangan tangannya.
“Aku tidak bisa membiarkanmu pulang
sendirian…”
Jade berbalik, kemudian menarik nafas
panjang, lalu mencoba tersenyum.
“Tidak apa-apa.. Apartmentku hanya tiga
blok darisini..” katanya.
“Aku tidak peduli. Yang pasti aku tetap
harus bertanggung jawab..”
Jade tersenyum, lagi. Kemudian
mengangguk.
“Baiklah…”
Jade’s POV
“Terimakasih..” Aku keluar dari dalam
mobil Harry. Tanpa bicara apapun lagi dan tanpa menunggu jawaban Harry, aku
langsung masuk kedalam apartment.
Hatiku sedang kacau. Dan aku tak ingin
laki-laki sebaik Harry ikut-ikutan masuk kedalamnya. Aku tak ingin Harry merasa
bersalah karena telah mengajakku ke café yang kami datangi tadi. Tempat aku dan
Skandar, akhirnya bertemu lagi setelah beberapa lama. Aku menolehkan kepalaku
ketika aku sudah tiba di lobby apartment. Mobil Harry masih ada diluar, tetap
Harry tidak mengejarku. Baguslah..
Aku masuk kedalam lift, kemudian naik
kelantai empat. Lift kosong, dan entah kenapa, biasanya aku takut naik lift
sendirian. Tapi tidak sekarang, justru aku lebih takut kalau sewaktu-waktu
Alona datang untuk mencecarku. Atas semua kejahatan dan kesalahan yang telah
aku perbuat padanya dulu.
Aku masih merasa bersalah, tapi terlalu
takut untuk menghubunginya, untuk hanya sekedar meminta maaf padanya. Lift
berdenting, kemudian pintunya terbuka. Aku mempercepat langkahku menuju
apartmentku. Setelah sampai didepan pintu apartment, aku mencoba membukanya,
sayangnya pintu itu terkunci. Ketika aku hendak memencet bellnya, pintu itu
tiba-tiba saja terbuka.
“Jadi? Darimana saja? Apa yang terjadi
denganmu?” Itu Zayn. Hendak keluar dari dalam apartment. Tapi tidak jadi. Ia
malah menuntunku masuk kedalam apartment.
“Jade?” Leigh baru saja keluar dari dalam kamarnya.
“Apa yang terjadi?” Jesy yang sedang
menonton televisi bangkit dan ikut menuntunku, kemudian mendudukanku di sofa.
“Jade? Mau kubuatkan teh?” Itu suara
Perrie. Aku senang ada mereka. Mereka yang selalu menghiburku ketika keadaanku
atau suasana hatiku sedang tidak baik. Zayn juga. Ia sering sekali datang
ketika tidak ada jadwal perform. Ia adalah pacar dan teman yang sangat baik.
“Sebaiknya buatkan saja, sayang…” Zayn
tersenyum kearah Perrie, kemudian menghampirinya.
“Mari kubantu..” Zayn merangkul Perrie.
Kemudian melangkah menuju dapur.
“Jadi… Kau bertemu Skandar?” Leigh
bertanya.
Ketiga sahabatku, mereka tahu semua
tentang masalahku dengan Skandar dan Alona. Aku yang menceritakan semua itu.
Tapi bagaimana mereka bisa tahu kalau aku baru saja bertemu Skandar.
“Harry yang memberi tahu kami…”
Jadi Harry.. Harry tidak bicara apa-apa
ketika sedang didalam mobil tadi. Beberapa kali aku meliriknya, namun enggan
untuk bicara. Aku merasa tidak enak hati karena sudah bersikap tidak sopan.
Caraku berterima kasih tadi…
“Iya.. Dia sudah disini.. Dan ia akan
baik-baik saja…”
Aku sedikit menolehkan kepalaku,
kemudian mendapati Zayn dan Perrie berjalan menghampiri sofa. Ponsel Zayn
tertempel ditelinganya. Jelas terlihat kalau ia sedang terhubung dengan
seseorang diseberang sambungan telepon.
“BaiklaH. Yap. Ya.. Baik, akan
kusampaikan padanya nanti.. Oke.. Aku akan pulan sebentar lagi. Baiklah, bye..”
Zayn menyudahi teleponnya, ia memasukkan ponselnya kedalam saku cream
chinnosnya.
“Harry mengkhawatirkanmu, Jade..”
Perrie meletakkan cangkir berisi teh.
Aku menarik nafas panjang. Jadi Harry
yang menelepon. Tapi.. Harry mengkhawatirkanku?
Aaahh.. Itu hanya satu hal yang wajar,
kan?
“Terima kasih tehnya Perrie, tapi
sebaiknya aku tidur saja…” Aku bangkit dan berjalan cepat menuju kamarku.
Harry’s POV
Sudah pukul tiga pagi sekarang, tapi
mataku tetap tak mau terpejam. Aku masih mengkhawatirkan Jade. Sedang apa ya
dia sekarang…
Aku sedang berbaring di sofa , menatap
langit-langit apartment, ada wajah Jade disana.
Pintu apartment terbuka, aku selalu
lupa untuk menguncinya, yang lain
juga seperti itu.
Zayn muncul saat pintu terbuka,
kemudian ia menutup lagi pintunya perlahan, lalu menguncinya.
“Oh.. Hai..” Kataku saat Zayn menutup pintu.
Zayn kelihatan sedikit terkejut,
kemudian ia berbalik dan menatapku. Lalu tersenyum simpul sambil melempar lalu
menangkap lagi kunci apartment ditangannya.
“Kenapa tidak tidur?” Tanya Zayn.
Aku mendudukkan tubuhku, lalu Zayn ikut
duduk disebelahku.
“Apakah Jade baik-baik saja?” Tanyaku.
Zayn tidak menjawab, ia justru
tersenyum, kemudian merebahkan kepalanya disandaran sofa, aku mengikutinya.
“Kau menyukainya, ya?” Tanyanya
langsung.
Aku tertawa pelan, kemudian menolehkan
kepalaku kearahnya.
“Kenapa berpikir seperti itu?” Tanyaku.
Memangnya jelas terlihat kalau aku
menyukai Jade ya? Eh? Memangnya aku menyukai Jade ya? Aahh.. Tidak tahu lah…
“Aku hanya menebak. Kurasa kau memang
menyukainya..”
“Lalu, kalau aku menyukainya?”
Zayn menoleh cepat kearahku, kami jadi
saling bertatapan sekarang.
“Kau mudah sekali jatuh cinta ya? Tapi
kusarankan, sebaiknya jangan mainkan perasaannya. Kau mau diamuk Perrie nanti?”
Aku tertawa pelan. “Kau ini ada-ada
saja. Aku tidak tahu Zayn, ada perasaan berbeda ketika aku dekat dengannya. Ia
mencuri perhatianku sejak awal kita bertemu tadi malam. Ia mencuri hatiku sejak
awal kita bertemu…”
Sekarang giliran Zayn yang tertawa.
“Sejak kapan kau berubah puitis seperti
itu?”
Jade’s POV
“Hari ini Zayn tidak datang?” Aku
mendengar suara Jesy, bertanya kearah Perrie.
Kami baru saja selesai dengan satu lagi
konser kami, dan sedang melepaskan semua aksesoris-aksesoris kami.
“Tidak. One Direction diundang ke Ellen
Show lagi malam ini..”
Ujar Perrie sambil melepas
anting-antingnya.
“Jade. Kau terlihat murung sejak
tadi..”
Leigh mengelus pelan bahuku, sementara
Perrie dan Jade menatap khawatir kearahku.
Aku tersenyum sampai kemudian, aku
menundukkan kepalaku, menatap ketiga sahabatku sebentar, lalu menggeleng. “Aku
baik-baik saja, tenanglah…”
Beberapa waktu kemudian, ponselku
berdering.
Nomor ponsel tak dikenal muncul
dilayarnya.
“Angkat saja, siapa tahu penting..”
Jesy mengambil ponselku dari atas meja rias, kemudian menyerahkannya padaku.
Mereka tahu sekali kalau perasaanku
sedang kaau, sedang kalut.
“Ha… Hallo?” Suaraku terdengar aneh
sekali ketika itu.
“Hallo, Jade?”
Suara itu… Pikiranku kembali melayang
keperistiwa satu tahun silam.
*flashback*
“Maaf, tapi ini apartmentku sekarang. Alona
sudah pindah dua hari yang lalu..” Seorang ibu paruh baya yang membukakan pintu
apartment Alona ketika aku mengunjungi Alona, tepat tiga hari setelah peristiwa
di café itu terjadi.
“Apa kau tahu kemana ia pindah?”
Ibu itu menggeleng, lalu bicara. “Siapa
namamu? Skandar? Atau.. Umm.. Jade?”
Dheg! Bagaimana ia bisa tahu tentang
aku? Tentang Skandar?
“Aku.. Umm.. Jade..”
Tentu saja aku Jade. Aku wanita. Dan
Skandar adalah nama untuk laki-laki, bukan?
Ibu itu memberikan amplop kecil
kearahku. Kecil. Mungkin tujuh kali sepuluh senti. Warnanya merah muda ,
sementara tangan kanannya menyerahkan amplop merah muda tersebut kearhku,
sebelah tangan kirinya memegang amplop yang sama ukurannya, hanya saja warnanya
biru.
“Alona menitipkan ini. Sudah ya, aku
sedang merebus air..”
Pintu itu tertutup kencang.
Aku segera membuka amplop tersebut, ada
selembar notes kecil yang terlipat dua didalamnya. Tulisan tangan Alona. Hanya
dua baris kalimat. Namun menyisakan dua sekat perih dihatiku.
“Jangan cari aku.
Aku benci kau Jade.”
Hanya itu.
*flashbackend*
“Alona?”
Ketiga temanku serempak menoleh ketika
aku menyebutkan nama itu.
“Bagus. Kau masih mengingatku. Aku
hanya ingin mengatakan hi. Dan.. Yah.. Hanya itu saja..”
Crap! Aku harus bicara apa sekarang.
“Alona..”
“Yup?”
“Aku minta ma-“
“Tidak usah minta maaf. Sudah terlanjur.
Lagipula aku sudah tidak memikirkan semuanya. Skandar sudah bersikap cukup
baik. Dan kuharap kau juga..”
Sambungan telepon terputus.
Harry’s POV
“Jadi… Kao mauo melaukukaen ithu
suekharwang?” Liam bertanya sambil terus menyikat giginya.
Aku menatap engsel pintu kamar mandi,
sambil terus bersandar disalah satu sisi pintunya.
“Aku menyukainya. Dan aku sudah tak
sanggup membendung perasaanku padanya. Tak peduli meskipun Jade tidak
menerimaku, setidaknya aku sudah mencoba, kan?” kataku.
Liam baru menjawab ketika ia selesai
dengan giginya. “Sejak kapan kau berubah puitis seperti itu?”
Jade’s POV
Aku sedang duduk bersandar di coach,
dibalon apartmentku.
Alona datang keapartment tadi malam. Ia
tidak marah-marah. Ia datang secara baik-baik.
Ia menceritakan semuanya. Tentang awal
pertemuannya lagi dengan Skandar, dua bulan yang lalu. Ketika Skandar bercerita
kalau ia masih saja mencintai dan mengharapkan aku. Well, aku tidak terlalu
percaya dengan yang satu itu. Malam ketika di café saat aku bertemu lagi dengan
Skandar.. Skandar tidak mengatakan hal yang sama, justru sebaliknya. Skandar
merasa bersalah terhadap Alona, dan jelas begitupun aku…
“Jade.. Harry datang…” suara khas
Perrie terdengar.
Harry? Datang? Tapi… untuk apa?
Aku segera bangkit, mengecup pipi
Perrie sekejap, lalu menghampiri Harry diruang tamu.
“Harry? Ada apa?”
Harry kelihatan keren kala itu. Well,
ia memang selalu keren, kan?
“Mau jalan-jalan sebentar?”
Tanya Harry.
Aku mengedikkan dua bahuku. Kurasa tak
ada salahnya. Tak enak juga kalau aku harus menolak ajakan Harry. Harry sangat
baik. Aku suka.
“Baiklah, aku ambil tas sebentar..”
Harry’s POV
Aku dan Jade memutuskan untuk duduk
sebentar setelah berkeliling. Kami duduk disalah satu bangku, dibawah pohon,
ditaman tengah kota.
“Jade…” Aku menggenggam tangannya. Jade
kelihatan sedikit terlonjak.
“Ada apa?”
Ia membiarkan tangannya ada dalam
genggamanku.
“Aku… Aku.. Menyukaimu, sejak awal kita
bertemu. Kau selalu bersikap baik padaku. Dan untuk itulah aku berani untuk
menyatakan perasaanku padamu. Kurasa kau juga menyukaiku, Jade.. Aku mau kau
menjadi kekasihku..”
Tepat ketika aku selesai dengan
kalimatku, Jade menarik cepat tangannya.
Jade’s POV
“Aku… Aku.. Menyukaimu, sejak awal kita
bertemu. Kau selalu bersikap baik padaku. Dan untuk itulah aku berani untuk
menyatakan perasaanku padamu. Kurasa kau juga menyukaiku, Jade.. Aku mau kau
menjadi kekasihku..”
Dheg! Hatiku terasa mencelos ketika
itu.
Secepat mungkin kutarik keluar tanganku
dari genggaman tangan Harry.
“Ma… Maaf Harry.. Aku tidak bisa..”
Ekspresi Harry berubah, kedua alis
matanya terlihat turun, terlihat kecewa.
“Ta.. Tapi.. Tapi kenapa? Kukira kau
menyukaiku..”
Aku memang menyukaimu. Tapi sukaku
berbeda. Bukan suka dalam artian suka.
Masih ada Skandar. Sudah beberapa lama,
tapi perasaanku, pikiranku. Tak pernah berpaling darinya. Ia orang pertama yang
membuatku jatuh cinta. Meskipun sikapnya tak pernah sebaik Harry. Tapi tetap
saja, aku mencintainya. Dan hanya dia.. Skandar, bukan Harry..
“Aku.. A.. Ada orang lain..”
Harry menatap lurus kedepan, kearah
kolam ditengah taman. Ada sepasang kekasih disana.
Mata Harry menatap nanar. Ketika air
mataku hampir menetes…
“Sebaiknya kita pulang…”
Harry’s POV
Aku tak mengerti. Hatiku tak pernah sehancur ini sebelumnya.
Jade… Tidak menyukaiku… Kukira ia menyukaiku. Kukira harapan itu ada. Baik-baik
saja kalau Jade hanya tidak menyukaiku. Tapi… Ada orang lain?
Lalu bagaimana selanjutnya? Bagaimana?
Bagaimana Harry? Bagaimana Jade? Bagaimana Tuhan? Bagaimana….
Bagaimana.. Kalau aku mencintai Jade,
dari kekurangannya, kelebihannya. Bagaimana jika semua benar terjadi.. Tapi
tunggu.. Itu semua sudah terlanjur. Semuanya terlanjur sudah.. Sudah terjadi..
Aku terlanjur mencintainya…
Aku terus melangkah pongah, sementara
langkah Jade lebih cepat. Ia sudah masuk kedalam mobilku.
Jade’s POV
Aku dan Harry sedang dalam perjalanan
pulang sekarang. Harry hanya diam, berkali-kali matanya terlihat ‘hampir’
basah. Mungkinkah itu… Mungkinkah ia menangis…
Aku tetap memfokuskan pandanganku kedepan.
Berusaha agar mataku tak meliriknya.
“Jade…” Harry menyebut namaku..
Suaranya terdengar parau. Namun sisi lembutnya tak pernah hilang.
Aku tak menjawab.
“Boleh aku tahu siapa orang itu?”
“Tidak, sebaiknya jangan..”
“Apa ia temanku?” cecar Harry penasaran,
ia menatapku sekarang.
“Perhatikan jalannya Harry..” kataku
sambil memijit keningku dan mengalihkan pandanganku kearah jendela disebelah
kananku.
“Apa aku mengenalnya?”
Aku tak menjawabnya..
“Jade.. Jawab aku..”
“Bisakah kau diam!?” Aku naik pitam.
Harry. Air mata mengalir dipipinya.
“Aku hanya ingin kau tahu kalau aku
terlanjur mencintaimu..”
Aku baru akan menoleh kearahnya ketika
tiba-tiba ada truk didepan kami.
“Harry!! Awas!!”
Aku dapat mendengar bunyi benturan.
Keras. Sangat keras. Salahku, aku tak memakai seat beltku. Tubuhku terbentur
beberapa kali. Telingaku berdenging,
“Jade!! Ahh!! Jade!! Astaga!! Aww!!
Astaga!!” Aku dapat mendengar Harry menyebutkan namaku berkali-kali. Benturan
sudah berhenti. Sekarang aku tak lagi dapat mendengar apapun selain suara
dengingan ditelingaku. Aku tak lagi dapat mendengar suara Harry. Posisi mobil
terbalik sekarang. Aku dapat melihat Harry sekarang. Wajahnya dipenuhi darah,
ketika aku dapat merasakan sesuatu mengalir didahiku, dan nafasku terasa
mencekat… Semuanya gelap.
Author’s POV
Perrie, Jesy, Leigh, Zayn, Liam, Niall
dan Louis berlari bersamaan dilorong rumah sakit. Mereka menuju kesatu tempat yang
sama. Ruangan UGD. Tempat kedua sahabat mereka ditangani oleh tim medis.
Mereka berhenti tepat didepan ruang
UGD.
“Astaga Niall… Apakah Harry akan
baik-baik saja?” Louis bicara, nafasnya masih saja memburu. Panik. Sekaligus
lelah berlari.
Perrie, Jesy dan Leigh masih menangis.
Sementara Zayn dan Liam bertugas
menenangkan.
“Tenanglah… Kita berdoa saja…” Niall
menepuk pelan bahu Louis. Padahal ia sama khawatirnya.
Perrie’s POV
Aku benci dengan kenyataan ini. Dua
teman kami mengalami kecelakaan. Ada Zayn yang meredakan tangisku. Tapi
tetap saja tak bisa dipungkiri,
aku khawatir.
Kami sudah menunggu dua jam lebih
didepan ruang UGD.
Lalu beberapa waktu kemudian, seorang
dokter keluar dari dalam ruangan UGD. Pintu terbuka kencang, menciptakan suara
bising.
“Apa mereka akan baik-baik saja dok?”
Jesy yang bertanya lebih dulu.
“Kita hanya bisa menunggu. Mereka
berdua kritis. Sebaiknya, kita mendoakan mereka…”
Tak bisa dibendung lagi. Tangis kami
pecah, bahkan Zayn dan Liam yang sedari tadi menenangkan aku, Jesy dan Leigh,
mereka ikut menangis.
“Kalian bisa melihat mereka, tapi
jangan berisik…” Dokter berjalan cepat meninggalkan pintu UGD.
Author’s POV
Sudah satu minggu. Tapi Harry dan Jade
belum juga sadar dari koma-nya.
“Harry, kami semua khawatir, lebih baik
kau bangun..” Anne, ibu dari Harry. Jelas saja, ia yang paling khawatir disini.
Leigh terlihat berbisik ketelinga
Harry. “Harry, bangunlah, temui Jade sebentar, ia tidak mau bangun, sama
sepertimu..”
Tepat setelah kalimat Jade selesai,
jari jemari Harry bergerak-gerak.
“Astaga!! Harry sadar!!” Anne berteriak.
“Biar aku yang panggil dokter!!” Gemma,
kakak Harry berlari cepat keluar kamar rawat.
Harry’s POV
Cahaya temaram mengisi penglihatanku
ketika mataku terbuka. Kepalaku terasa berputar hebat. Pandanganku tak bisa
fokus selama beberapa saat. Namun perlahan, aku dapat melihat siapa saja
dikelilingku. Ibu, Gemma, Zayn, Liam, Niall, Louis, Perrie, Leigh, Jesy, dan
seorang laki-laki berjas putih.
Sebenarnya ada apa? Apa yang terjadi?
Dimana aku?
“Hey Harry.. Apa kabar?” seorang pria
berjas putih bicara padaku. Kelihatannya ia adalah seorang dokter.
“Kurasa, lebih baik sekarang…” aku
memegang kepalaku, kemudian merasakan perih dan lagi-lagi pusing. Ada perban
yang melilit kepalaku.
“Lukamu belum pulih, sebaiknya jangan
disentuh dulu..” Pria berjas putih itu bicara lagi.
Luka? Ahh!! Aku ingat!! Kecelakaan
itu!! Jade!? Bagaimana keadaannya?
“Bagaimana keadaan Jade?” Aku bangkit,
aku berusaha mendudukkan tubuhku, sekalipun kepalaku berputar hebat.
“Dokter, Ruangan 365, Jade Thirlwall.
Keadaannya gawat!!”
Seorang suster menerobos masuk dan ia
berbicara pelan kedokter disebelah ranjangku.
Jade? Gawat?
Dokter itu segera berlari keluar
ruangan, diikuti Perrie, Leigh, Jesy, Zayn dan Niall.
“Aku… Aku harus menemui Jade…” Aku
menurunkan kakuku, kemudian saat aku baru saja hendak turun dari atas ranjang,
ibuku menahan tubuhku.
“Jangan Harry, kau baru saja sadar, kau
tahu kalau kau sudah koma selama tujuh hari?”
Aku tak peduli, kutarik lepas infus
yang terpasang ditangan kiriku. Aku meringis pelan, damn! Ternyata sakit sekali.
“Harry..” Gemma menahanku dengan
memelukku.
“I love you Gemma, tapi aku benar-benar
harus menemui Jade.. Aku harus mengejar cintaku..”
Bibir Gemma bergetar menahan tangis.
Aku berusaha berjalan, seluruh tubuhku terasa sangat sakit.
Butuh waktu lima belas menit bagiku
untuk sampai keruangan Jade.
Dokter keluar ketika aku sampai.
“Fungsi jantungnya melemah!! Kita butuh
donor jantung secepatnya!!” Aku mendengar dokter yang tadi ada dikamarku, ia
berlarian, bicara kepada beberapa suster.
Jade…. Apa yang terjadi padamu….
“Apa yang terjadi dengan Jade?” Aku
dapat mendengar suara Perrie. Dokter itu berdiri diantara kami sekarang.
Tapi bukannya menjawab pertanyaan
Perrie…
“Eh! Harry!! Apa yang kau lakukan
disini?”
“Jawab saja aku dulu, apa yang terjadi
pada Jade?”
Author’s POV
Dokter James McFlint menatap kedelapan
orang didepannya. Menuntut penjelasannya atas keadaan Jade kini.
“Jade… Fungsi jantungnya melemah, dan
tak bisa lagi menunggu, Jade butuh donoer jantung, sayang sekali, rumah sakit
ini tak punya cadangan donor jantung, kami harus mengambilnya dari rumah sakit
pusat, dan itu membutuhkan wak-“
“Ambil jantungku.”
Dokter Flint, Zayn, Liam, Niall, Louis,
Perrie, Jesy dan Leigh serempak menoleh kearah Harry.
“Kau tidak serius kan? Ambil jantungmu?
Ambil nyawamu…” kata Dokter James.
“A… Apapun… itu… A.. Apapun untuk
Jade…” Harry bicara terbata-bata, ia memegangi kepalanya. Kepalanya terasa
sakit.
“Ambil jantungku, sampaikan maafku,
sampaikan salamku, padanya nanti, kalau ia sudah sadar..” kata Harry.
“Tapi Harry!! Kita tidak bisa!!
Bagaimana kalau jantungmu tak cocok untuk Jade?”
Harry terisak. “Pasti cocok. Detak
jantungnya adalah detak jantungku.”
Harry menyelesaikan kata-katanya.
Sampai akhirnya, tubuhnya benar-benar ambruk.
Jade’s POV
Mataku perlahan terbuka. Pandangan yang
semula buram, perlahan semakin jelas.
“Hai Jade..” mula-mula Perrie.
“Selamat datang kembali Jade..” Lalu
Leigh.
“Kami senang kau kembali..” kemudian
Jesy.
Semuanya ada disana… Semua, kecuali
Harry.
Sudah tiga minggu semenjak aku sadar
dari koma. Dan selama itu juga aku tidak melihat Harry ada disekitarku. Apakah
ia baik-baik saja?
Aku masih berbaring diranjang rumah
sakit.
“Jesy..” Aku memanggil Jesy yang sedang
duduk disofa, sedang membaca majalah. Hanya ada aku dan Jesy didalam ruangan
ini sekarang.
“Yes hun?” Balasnya.
“Kemana Harry?”
Perlahan Jessy menatapku, ia menutup
majalah dipangkuannya, kemudian melangkah perlahan kearahku. Jesy menggenggam
telapak tanganku.
“Kami sengaja tak menceritakan ini
semua padamu sekarang…”
Eh? Apa maksudnya? Menceritakan apa
memangnya?
“Aku tidak mengerti Jess. Apa yang
terjadi dengan Harry? Ia baik-baik saja kan?”
Jesy menitikkan air matanya, kemudian
ia menggeleng. Perlahan tangannya bergerak naik kedada kiriku.
“Jantung yang berdetak dalam tubuhmu,
jantung ini jantung Harry…”
Petir terasa menyambar tubuhku kala
itu.
“Jadi.. Jadi Harry.. Harry sudah tak
disini?” Air mataku tak lagi dapat dibendung.
Jesy mengangguk. “Harry ada disurga… ia
menunggumu untuk datang dan menemaninya disana..” Jesy berusaha tersenyum.
“Tapi aku menyakitinya, aku
membentaknya ketika kecelakaan itu akan terjadi. Aku jahat padanya, apa yang
sudah aku lakukan…”
“Sudahlah…” Jesy terus mengelus
lenganku.
“Ia mencintaiku Jesy, ia mengatakan
itu. Tapi aku tak membuatnya senang. Aku justru mematahkan hatinya disaat
terakhir kami bertemu…”
“Ia mencintaimu, dan akan selalu begitu.
Ia hidup dihatimu, dijantungmu. Dan akan selalu seperti itu.. Akan tetap
seperti itu selamanya…
Aku berdiri didepan pusara Harry. Hujan
turun sangat lebat. Aku tak peduli. Itu justru sangat bagus. Hujan membawa air
mataku, membuatnya mengalir lebih cepat. Membuatnya tak terlihat oleh siapapun.
Kini aku berlutut didepan pusara Harry.
Berharap dengan begitu, Harry akan
memaafkanku.
Aku terlalu bodoh. Terlalu bodoh menolak seseorang yang
telah tulus mencintaiku. Telah memperlakukan aku dengan baiknya.
Aku… Mencintainya. Mencintai Harold
Edward Styles. Harry.
Bodohnya aku. Mengapa aku baru
menyadari itu sekarang, ketika Harry sudah tak lagi bisa hadir disisiku.
Ungkapan itu benar.. Penyesalan selalu datang belakangan.
Mungkin suatu saat, aku akan jatuh
cinta lagi pada orang lain. Tapi tidak sekarang, tidak ketika seluruh ruang
dihatiku, masih diisi olehnya.
Harry Styles.
No comments:
Post a Comment