Monday, August 12, 2013

They Don't Know About Us (ZLS)


Finalis #1DFanficContest13


ZLS


“Aku lelah dengan semua ini!” Itulah yang hanya bisa dia lakukan saat kami bersama, ya, kau belum tahu dia; Elena Adams, orang Inggris dengan semua keluh kesahnya tentang New York dimana dia bekerja sebagai polisi.
            “Ayolah El, kau baru tangani kasus seperti ini sekali. Bisakah kau lebih bersyukur? Dengan gaji tetap, oh please!”.
            Dia memutar bola mata hijaunya. Tak memberikan celah buat siapa pun untuk menyela kehidupan enaknya yang menurutnya itu sia-sia. Dan itu aku, yang terlalu banyak bertindak untuk dia. Ya, siapa yang akan menerimanya di kepolisian tanpa bantuanku? Dan apakah ini balasan darinya? Harusnya aku tak membantunya.
            “Kau enak!” ucapnya tiba-tiba mencoba untuk menghindar dari permasalahan kami sebenarnya, setidaknya menghindar sedikit.
            “Apa lagi?” balasku dengan melempar majalah yang ada di tanganku dan membiarkan semua orang menatap kami, karena, mungkin aku terlalu keras.
            “Kau berubah Amy. Kau menyebalkan.”
            “Elena, tolonglah, aku tahu masalahmu. Ini kasus pembunuhan pertamamu setelah seminggu kau diterima di kepolisian. Kau hanya gugup.”
            “Bukan gugup itu Amy. Ini bukan pembunuhan biasa.” Aku langsung melepaskan semua rasa kesalku akan kelakuannya. Mencoba bersikap untuk siap mendengarkan, kalau nyatanya mungkin aku takkan benar-benar memaknai semua omongannya. Tentu saja, aku bukan polisi. Aku bekerja sebagai, make up lima cowok yang sekarang punya nama di dunia. Ya, One Direction. Dimana ada milyaran gadis-gadis yang akan mencintai mereka dengan hidup juga mati mereka, walau mereka tak tahu dengan apa atau siapa yang mereka idolakan. Tapi, itu terserah.
            “Orang-orang mati begitu saja dengan tubuh mereka yang kekeringan tanpa darah. Dan, luka gigitan pada bagian pembuluh leher. Aku sudah katakan pada John kalau yang kita hadapai sekarang bukan manusia. Dia tertawa.”
            “Menurutmu, sejenis, vampire?”
            Dia mengangguk pelan dengan semua ketakutan yang mengalir dengan mudah lewat caranya menatapku. Aku tak benar-benar bisa memberinya, seperti, jawaban. Kau tahu, vampire tak nyata, itu yang kebanyakan orang-orang katakan. Dan payahnya disini, Elena punya konsep pikirannya sendiri. Dia percaya bahwa mereka ada. Entah bagaimana pikirannya itu bisa berpikir sangat kuno dan menariknya ke New York untuk menjadi seorang polisi. Dan konsep pikiranku sendiri, yang selalu mencoba menghindari semuanya, dengan kenyataan, aku terperangkap didalamnya.
            Aku belum menjawab. Hiruk pikuk café dengan aroma kopi kurasa semakin membuatnya agak tenang. Dia sepenuhnya dalam keadaan tertekan. Aku tahu El. Ya, kami berteman sejak kami bersekolah pada sekolah yang sama di Manchester. Dia pintar dan dia selalu punya obsesinya sendiri tentang vampire sejak aku mengenalnya. Pikirannya seperti komputer rusak yang selalu terkonsep dengan apa yang telah dikonsepkan untuknya, karena dia belum berubah. Kukira, jalan pikirannya akan bisa berfikir rasional setelah Jennifer, kakak perempuannya, membawanya ke Amerika. Tapi nyatanya, dia semakin buruk, bisa kubilang begitu.
            “Kau mau membantuku Amy?”
            Aku meraih tangan dinginnya. Menggenggamnya dan mencoba memberikan ketenangan sedikit saja buat dia. Aku menyunggingkan senyuman singkat itu untuknya, mengangguk dengan semua ketidakyakinanku kalau aku mau membantunya, lagi.
            “Aku mau kau tak selalu keluar malam.” Katanya dengan berbisik. Aku hanya mencoba bersikap tak emosional. Aku hanya mengangguk, dan menganggap apa yang dikatakannya hanya kalimat yang gagal untuk menghipnotisku.
            Dia berdiri dari kursinya. Meninggalkanku tanpa sebuah senyuman, tapi sejuta kegelisahan yang sepenuhnya akan membuatku agak terbawa bersamanya. Aku masih memperhatikannya, berjalan gugup dengan mantel hitamnya. Membiarkan matahari sore memberikan bayangan untuknya. Mengingat lagi kata-katanya, tak ada keluar malam, aku tak yakin itu akan berhasil.

***************************************

            “KALIAN PUNYA MASALAH!” pekikku dengan, ya, aku tahu, pintu yang kubanting, sangat keras!
            Mereka langsung menatapku dengan tatapan yang sepenuhnya selalu menjatuhkanku. Selalu. Tanpa kecuali, mereka semua. Dengan mereka yang buru-buru menghentikan apa yang sedang mereka lakukan dan menyadari kalau mukaku pasti semerah apel dengan amarah itu.
            “Calm down. Don’t blow your cool, Amy.” Jawab Liam dengan jari-jarinya yang meremas bahuku dengan sangat bodoh.
            “Ada apa?” Tanya Louis dengan wajah paling tak bisa ku tebak, ekspresi apa yang sekarang dia pakai, kalau nyatanya dia sedang dalam masa yang bisa disebut, kurang semangat hidup.
            Aku melempar majalahku pada Liam. Membiarkannya dan cowok-cowok itu menggerumunginya seperti sebutir gula dan ribuan semut. Aku hanya berdiri disana, menyilangkan lengan pada dadaku. Mencoba sekuat apapun untuk mengontrol emosi yang rasanya akan membuatku meledak atau aku memang telah benar-benar meledak! Haruskah aku seperti El yang selalu mengeluh akan apa yang aku hadapi? Aku bukan pengecut atau sejenisnya! Aku dapatkan pekerjaan ini dengan susah payah, dan, haruskah aku melepaskannya semudah aku bernafas dengan semua kebohongan yang telah aku lakukan pada semua orang mengatakan kalau aku adalah seorang  make up artis yang sebenarnya adalah hanya seorang pelindung si penakut matahari dan menyembunyikan mereka dari semua kasus pencurian bodoh yang mereka lakukan? Menyembunyikan mereka dari sahabatku sendiri, Elena? Mengatakan padanya kalau aku yang mendadani mereka setiap mereka akan tampil? TIDAK! Aku tidak sama sekali melakukan apa yang aku katakan pada El. Aku hanya, peti mereka.
            “Bukan kami yang melakukan ini, Amy.” Ucap Niall tiba-tiba dengan wajah imutnya yang selalu membuatku, kehilangan kendali dan, kehilangan emosiku yang sesungguhnya menggila.
            “Kau telah memberi kami cukup darah seminggu ini. Kenapa kami harus melakukan pembunuhan bodoh ini di jalan raya?” tambah Harry dengan jari-jarinya menuding gambar pada majalah itu dan emosinya yang mulai menyamaiku.
            Aku hanya melirik mereka, dan berjalan lumayan kasar untuk meraih sebuah kursi dalam kegelapan yang sepenuhnya memeluk kami berlima. Aku tak tahu, yang kurasakan sekarang, sepenuhnya kalut akan semua ini. Banyak perasaan bersalah yang memelukku, atas semua kebohongan yang aku tak lagi mampu untuk menanggugnya. Terlalu berat, kurasa. Setelah setahun lamanya, dan, aku akan sangat bodoh jika kukatakan pada mereka, atau El. Dan akan lebih bodoh jika nantinya aku harus selalu melindungi mereka setelah aku katakan pada fanatik mereka kalau mereka adalah hanya lima orang cowok penakut matahari? Aku tak seaneh itu.
            Aku benamkan wajahku pada lenganku tepat pada meja dengan beberapa tetes air mata yang bisa kurasakan mengalir perlahan pada pipi dan sepenuhnya membasahi wajahku, seluruhnya.
            “Amy, you okay?” tanya Niall padaku dengan lengan bekunya mulai menyentuh punggungku. Meletakannya disana, dengan dia baringkan kepalanya pada bahuku. Hingga nafas kematiannya yang selalu kurasakan terlalu hangat untuk seukuran makhluk abadi seperti dia. “Kau lelah. Kau harus istirahat. Kami tak mau kau sakit.”
            “Kalian sudah makan?” balasku dengan menghapus lumeran air mata paling bodoh itu dari pipiku. Membiarkan lengan Niall turun dan, memaksanya untuk tak membaringkan lagi kepalanya padaku, dalam diriku.
            Aku bangkit dari kursi itu. Melepaskan syal dan mantelku, membiarkannya menggantung pada punggung kursi dengan semua rasa linglung juga sunyi senyap diantara kami. Nafas emosi Harry yang perlahan dapat kurasakan mulai mereda. Sikap perhatian Liam dan Niall yang masih dengan mudah kubaca. Sikap Louis yang masih mengambang, ya, dia baru punya masalah, bukan hanya dia, tapi kami, atau lebih tepatnya mereka. Mengingat kalau sebenarnya itu bisa kubilang sebagai masalah kecil juga sangat sepele, hanya, beberapa penggila mereka menganggap ini masalah serius. Memang, aku terkadang bisa melihat semuanya; cara beberapa media memperlakukan mereka, seperti, media hanya menganggap mereka hanya satu yaitu Harry, dan menganggap yang lain hanya sebuah, pelengkap kurasa. Menurutku itu tidak adil. Bukan apa-apa, tapi mereka berlima. Sementara Louis, ya, dia merasa keberadaannya sangatlah, tidak dianggap. Bukan oleh kami, kurasa dari pihak Red Nose Day mereka. Aku tak yakin sangat pasti karena Louis tak selalu cerita semuanya, apa yang hanya dia ceritakan padaku adalah pacarnya, Eleanor. Mungkin dia ceritakan semuanya pada pacarnya. Tapi yang paling kutahu atas perubahan sikapnya adalah, dia merasa sangat down, seperti yang kubilang, dia ada ditahap kehilangan atau kurang semangat hidupnya.
            “Kami akan cari sendiri, Amy.” Balas Harry setelah sekian detik atau menit akan semua kebisuan kami.
            “Ya, kau lebih baik mengurus Zayn. Dia pasti berubah malam ini. Kau satu-satunya yang bisa menenangkannya disini.” Usul Louis dengan buru-buru aku mendongak padanya. Ya, aku baru ingat, sejak kemarahan bodohku tadi aku melupakan satu orang, yang terlalu kupuja; Zayn Javaad Malik. Zayn Malik. Zayn. Yes him. Mata coklat gelapnya yang indah. Kulit tan-nya yang sepenuhnya selalu menaklukanku saat kami berfoto bersama. Tindik pada kupingnya yang andai saja aku yang menciumnya bukan si pirang pacarnya itu. Bibirnya yang kurasa akan sangat manis untuk bisa kurasakan. Tawanya yang mungkin tak seseksi punya Niall, tapi dia punya semuanya. Semua yang aku inginkan dari seorang pria. Tubuh seksinya yang menawan. Wajahnya yang mengeksposkan detail kesempurnaan pada setiap nafasnya yang selalu bisa ku hirup saat kami bersama. Aku akui, aku mencintainya sangat! Dengan luka berkeping-keping yang kurasakan saat dia katakan padaku kalau Edwards adalah pacarnya. Dia tak tahu, atau takkan pernah tahu dan aku takkan membiarkannya tahu, KALAU AKU MENYUKAINYA SEPERTI ORANG BODOH!
            Aku, entahlah, seperti seekor anjing yang kehilangan tulang kesayangannya dan aku langsung berlari ke lantai bawah seperti Zayn yang kehilangan kendali. Aku agak tak suka sebenarnya jika keadaannya seperti ini, tentu saja, keadaan dimana aku akan melihat pria yang aku cintai akan tersiksa oleh dirinya sendiri dibalik jeruji besi atau apapun itu untuk menahannya. Aku tak tega, sangat. Saat aku harus melihat dia disana dengan kerlingan air matanya yang turun melewati tulang pipinya saat tubuhnya mencoba menahan semuanya diatas tumpukan jerami yang Liam berikan untuknya. Dan, saat bisa kulihat kuku-kuku pada ujung jari-jarinya mulai menghancurkan perlahan kuku-kuku pada kulit sebelumnya, darah yang juga akan membasahi telapak tangannya yang perlahan berubah dengan bulu hitam pekat juga raungan yang selalu membuat kupingku menangis. Dan, wajahnya yang akan buru-buru berubah dengan mata coklat itu sekejab menghilang, dimana aku kehilangan arti cinta dari setiap partikel lewat sorot matanya dan tergantikan secara perlahan dengan sejuta kebencian, hitam pekat dengan pupil matanya yang mengecil. TIDAK!
            “Zayn?” aku membuka pintu jeruji tempat dimana dia akan bertahan hingga bulan purnama benar-benar habis.
            Dia menoleh padaku, sedikit senyuman dan keringat yang menetes dari pelipisnya. Masih bisa kutangkap dia dengan cerminan yang selalu membuatku jatuh kepadanya, sosok kelam itu hanya sebuah bayangan kecil akan kehidupannya. Kembali teringat bagaimana aku bisa bersama mereka, karena Zayn….
*Flashback*
            Dia dengan setelan coklat usang pada mantelnya dan sebuah jins hitam yang selalu bisa menggugahku untuk lebih mencintainya. Aku hanya seorang gelandangan tanpa kehidupan dengan niat busuk untuk sepiring makanan yang sekarang takkan mungkin hingga aku harus bersujud atau menjual diriku pada seorang pria.
            Dia disana, yang kutahu, menatapku, gerimis pada bulan Agustus dan semua jalanan licin Manchester. Hanya keremangan lampu jalanan yang mengantarkanku untuk menemuinya. Pertemuan yang tak pernah aku kira saat dia menyelamatkanku dari pria tua serakah, Gerald.
            “Come with me and I’ll give you what you really need.” Hanya kalimat itu dan senyuman manisnya yang sepenuhnya menghipnotisku untuk meraih jari-jari dibalik sarung tangannya.
            Dia mengenalkanku pada empat orang lain dimana aku pertama kali harus mencintai Niall hingga sekarang. Dia memberikanku semua yang kuinginkan dan kubutuhkan; pakaian, uang, tempat tinggal dan makanan. Dia memberikanku pekerjaan dimana pertama kali aku menjerit pada mukanya. Mengatakan ‘tidak’ itu dengan lantang dan amarah yang sepenuhnya meluap bersama ketidak hadiranku selama semenit setelahnya. Kata-kata dari bibirnya yang membuatku sepenuhnya terhempas kedalam satu kemunafikan yang selama ini aku tak pernah lekatkan pada diriku, semua tentang keabadaian yang sepenuhnya untukku hanya sebuah omong kosong. Darah. Jiwa. Hingga aku akui, mereka pun ada diantara milyaran umat manusia, bersembunyi pada satu bentuk badan yang tak pernah kuduga; vampire.
*End of Flashbak*
            “You’ve cried Amy?” aku melemparkan senyuman singkat untuknya. Membiarkan aku terlarut pada keabadian dan kesempurnaannya. Aku menatapnya, dengan perasaan itu, yang kuberikan pada dua diantara mereka berlima saja.
            Aku tak menjawabnya, hanya meraih sebuah jarum suntik dosis tinggi untuk menahan semua proses perubahannya untuk tak mencapai maksimal atau New York akan benar-benar kacau.
            Dia memejamkan matanya disana, menahan rasa sakit itu hingga nafasnya mulai tersendat. Aku buru-buru mencabutnya dari kulit yang nantinya akan setebal lapisan kerak bumi. Aku menatapnya, masih. Meletakkan jari-jariku pada pipinya, terlalu memujanya, itu yang aku rasakan.
            “Aku menangis untukmu Zayn.”

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

            To      : Harry Styles; Liam Payne; Louis Tomlinson; Niall Horan

            I’m out to find you few bags of blood. Stay home. Watch over Zayn.
            Don’t ever think to pick me up or do crazy stuffs.
            And I’m really sorry about past minutes anyways, love you J

            Hanya itu yang semestinya bisa kukatakan, dan hanya ini yang nantinya akan menjadi permintaan maaf. Ya, inilah sisi lain dari semua yang aku lakukan. Masih sama dalam satu raga namun, lebih licik, kurasa.
            Rumah sakit, itulah tujuan utama dari perjalananku melewati beberapa blok hanya untuk beberapa kantung darah. Kau tahu, kau bahkan takkan menemukan tempat penjualan darah murah selain mencuri di New York. Dan kukira, atau memang, ya, aku tahu yang kulakukan salah, tapi, kau tahu kau harus berfikiran terbuka, tanpa aku One Direction takkan bisa tampil, karena satu-satunya yang mereka butuhkan hanya darah.
            Jadi, aku bukan sekedar mencuri, maksuduku, aku adalah petugas rumah sakit khusus penjaga malam, dimana terkadang ada beberapa polisi datang untuk mengecek dan kuharap aku takkan bertemu Elena. Takkan pernah bertemu Elena saat kulakukan tugasku sebagai penjaga malam. Kau tahu, sudah pasti dia akan menjerit! Menanyakanku ‘kenapa kau disini?’ dan jika dia sadar kalau aku membawa beberapa kantung darah yang aku sembunyikan pada kardus sampah, dia akan makin menjerit juga menggila! Dan aku akan ikut gila. Dia mulai curiga. Dia akan lapor pada John atau Josh itu bosnya. Lalu mereka akan menemuiku ke tempat aku dan cowok-cowokku tinggal, jika mereka sampai menggeledah, hancur sudah semuanya, yang akan ku lakukan, aku akan suntikan Zayn hormon pemancing perubahannya dan semua orang mati dan AKU AKAN MENJADI KASUS DI DUNIA INI! Bodoh.
            “Amy, itukah kau?” suara lemah itu menggugahku untuk menyadari satu pasien yang terlalu memujaku. Gadis kecil dengan helai-helai rambut pirang tipis. Sementara bola mata birunya yang menerangi kegelapan ruang kamar perawatannya, yang menyembunyikannya dari monster-monster yang menusuk kulit rapuhnya.
            “Lindy, kau belum tidur?”
            “Ah, itu Amy-ku. Aku menunggumu Amy!”
            Aku mendekat pada tempatnya berbaring, berniat untuk mengajaknya beberapa detik saja dalam perbincangan singkat dengan lampu remang. Ya, tak seharusnya memang aku mengajaknya mengobrol, jika Matt tahu aku bisa dipecat dan akan sulit buatku untuk bisa masuk ke tempat penyimpanan darah untuk beberapa cowok yang menggantungkan senyawa saja padaku. Tapi, aku tidak peduli, Lindy mungkin lebih membutuhkanku. Entah, aku sangat iba padanya, kulit pucat dan cara dia memanggil namaku adalah yang paling membuatku tak bisa lagi untuk mengatakan ‘tidak’ untuk bertemu dengannya. Dia masih sembilan tahun dengan jantung kronisnya. Dia yang sebenarnya lebih membutuhkan darah-darah itu, kurasa. Aku mungkin bisa membantunya untuk takkan mati, bukan aku, tapi empat cowokku. Hanya saja, aku tak yakin mereka mau melakukannya, kalau nyatanya, menjadi abadi adalah hal terburuk yang akan selalu membuat mereka menderita.
            “Amy, kau cantik. Kau baik. Andai kau adalah ibuku. Aku pasti akan selalu nyaman untuk bisa berada disampingnya. Tuhan pasti telah mengirimkan kau untukku, Amy. Walau hanya sebentar. Aku sangat menyayangimu, Amy.”
            Aku menggenggam jari-jari lentiknya yang mengkerut. Dan menariknya untuk dia letakan pada pipi kananku. Kurasakan semua kepedihannya lewat ujung-ujung kukunya yang kurasa retak dan menunggu waktunya. Yang paling kurasakan darinya hanyalah, rasa bersalahku untuk menjadi siapa aku setelah kalimat murni singkat yang dia ucapkan padaku. Dia katakan disana, aku baik. Sepenuhnya aku rasakan mengganjal dan semua keburukan yang selalu kulakukan namun dia katakan aku baik. Satu omong kosong dari bibir lembutnya yang membiru atau hanya sebuah kalimat yang memang telah lama ia ingin katakan padaku dari desis hatinya. Aku tak tahu. Tapi aku tak pantas dengan apa yang dia katakan.
            “Kau belum mengenalku Lindy. Kau hanya tahu, ini Amy.” Aku hempaskan jari-jarinya dari wajahku perlahan, kembali kuletakan pada tepi kasurnya yang selalu memanas. “Kau tak boleh sebut ibumu seperti itu. Bagaimana pun juga, dia mengenalmu lebih baik dariku dan kau mengenalnya lebih baik dari orang lain. Sekarang tidurlah. Aku harus kembali kerja.”
            “Amy, aku menyayangimu.” Ucapnya dengan nafas pada udara yang mulai membeku. Aku hanya tersenyum singkat. Belum tega buatku mengungkapkan bahwa aku juga menyayanginya jika nantinya aku melihatnya mati lebih cepat. Itu lebih menyakitkan dari harus aku tertangkap basah mencuri kantung-kantung darah yang Lindy lebih membutuhkannya.
            Aku berjalan dengan semua rasa gugup yang selalu memelukku. Rasa gugup yang tak pernah hilang setiap aku lakukan hal yang rutin aku lakukan. Bayangan Lindy memenuhi pikiranku. Keadaan Zayn pun telah sepenuhnya aku buang jauh-jauh. Yang sekarang terfikirkan adalah, tak ada. Tak satupun dari mereka. Mungkinkah aku terlalu egois dengan semuanya? Tidak, kurasa. Aku bahkan telah menjalani hidupku lebih buruk dari ini. Aku bukannya tidak bersyukur, tapi, untuk hidup diantara orang-orang yang telah benar-benar kau cintai dan kau telah terlalu mengenal mereka adalah hal terburuk dimana suatu hari kau tahu satu hal tentang mereka, membuatmu sepenuhnya tenggelam bersama bayangan mereka. Selalu. Seperti yang kurasakan saat pertama kali aku mengenal mereka. Tak ada paksaan, hanya jantungku yang berdegup diatas normal. Mencintai mereka hanya dengan sedetik aku menatap mereka, dengan mata mereka yang selalu mengartikan satu hal padaku, selalu sama; ‘We need you Amy. More than we need thousand bags of blood.’ Ya, itu yang rasanya selalu bisa kurasakan. Kudengar. Dan kulihat. Tak ada lagi. Dimana aku tak bisa berhenti memperhatikan mereka. Aku bukan jagoan atau sejenisnya. Tapi aku adalah satu-satunya makhluk yang mungkin akan sangat mudah untuk kau perbudak, hanya karena satu hal, bagaimana kau berikan cintamu.
            Dan ini dia, tempat yang paling kupuja walau aku bukan salah satu dari mereka. Ya, tempat penyimpanan darah. Dimana kau hanya bisa melihat puluhan kantung-kantung darah dengan berbagai jenis golongan darah yang mereka pisahkan. Aku ambil dari semua golongan darah. Kau tahu, mereka minum darah sebebas mereka. Tentu saja, tak mungkin jika mereka akan tanyakan ‘nona golongan darah apa yang kau miliki? Karena aku hanya minum golongan darah O’ ya ampun, siapa yang kikuk sebenarnya?
            Hanya dengan berbekal sepenuhnya nekad dan sebuah kardus tempat sampah, aku bisa mengambil lebih dari sepuluh kantung. Ya, aku tak mungkin hanya mengambil sebanyak jumlah mereka; berlima, itu berarti hanya untuk malam ini. Kau bahkan tak tahu kapan saja mereka benar-benar akan kehausan, apalagi aku ‘bekerja’ di rumah sakit ini tak penuh selama seminggu, hanya, sehari dari tujuh hari.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

            “Ini jatah kalian.” Aku letakan kardus itu diatas meja makan pada lantai bawah tanah. Bisa kulihat wajah suram mereka yang berubah perlahan menjadi satu keceriaan yang tak berarti sama sekali untuk kehidupan yang mereka jalani.
            “You are the best Amy!” seru Niall dengan aku hanya melemparkan senyuman kecut saat tangan kanannya itu dapat merasakan gumpalan darah pada kantung kecil yang hampir diremasnya. Dan, acungan jempol dari yang lain dengan wajah paling memilukan yang pernah kulihat dari mereka, sementara rasa lelah yang tak sanggup lagi aku tahan. Mengantuk, itu yang kurasakan. Sangat. Hingga kembali kubuka kelopak mataku, buru-buru, satu orang, aku kehilangan satu orang! Keasadaran yang sepenuhnya terlambat! “WHERE IS LOUIS?”
            Aku bangkit dari sofa besar tempat dimana Zayn sering melakukan ritualnya disana; tidur. Aku buru-buru berlari menuju kamar Louis dengan Harry, Liam juga Niall mengikutiku dari belakang. Aku tak tahu kalau acara makan mereka pun bisa sedikit kuusik, kau tahu Niall, si tukang makan banyak yang mana dia akan selalu tetap seimut itu! Cukup! Rasa khawatirku akan Lou semakin memuncak dengan semua ini! Ya, ini pernah terjadi sekali, bukan pada Louis tapi Niall, dimana kutemukan dia sepenuhnya depresi dengan sebuah pasak perak yang tergeletak pada meja kecil pada kamarnya. Usaha bunuh diri yang menjijikan dengan keraguan yang bisa kulihat dari dirinya, ya, dengan alasan itu saat dunia belum menerimanya untuk bisa menjadi salah satu diantara mereka hanya karena menurutnya, suaranya jelek. Semua ini hampir sama dengan Louis jika nantinya aku MEMANG BENAR-BENAR MENEMUKAN DIA TERGELETAK PADA KERAMIK MERAH KAMAR MANDI DENGAN TUBUHNYA YANG SEPENUHNYA HAMPIR TERBAKAR KARENA PASAK PERAK YANG KUTEMUKAN PADA DADA KIRINYA!
            “NO LOUIS! YOU DUMB!” aku menjerit dan melompat ketubuhnya. Menyeretnya keluar dari kamar mandi berkeramik merah polos. Kudengar umpatan-umpatan bodoh dari Harry juga Niall yang hanya berdiri disana diambang pintu. Aku tak tahu, aku kehilangan semua arah juga kata-kataku. Tangisan! Lagi! Kenapa selalu ada tangisan? Aku mencabut pasak itu dari dadanya dengan nafas dari hidungnya yang tersendat dan bisa kubaca. Sementara Liam ada disana, duduk kaku pada pojok ruangan dengan tangisan yang bisa kudengar. Dan jeritan suara Niall dari kamarnya. Bantingan pintu kamar Harry yang terlalu keras untuk bisa kuterima pada kupingku.
            Aku benamkan wajahku pada dadanya yang mulai mengering. Dan air mataku yang membasahi tubuhnya yang seperti daging asap. Hanya nafas kikuknya yang dengan mudah aku rasakan pada helai-helai rambutku. Yang kudengar darinya hari ini hanya saat dia tanyakan padaku ‘ada apa’ dan usulannya untukku menemui Zayn. Kami tak banyak bicara lagi khususnya setelah beban yang diterimanya. Yang aku tahu, Louis adalah pria paling bodoh dengan apa yang telah dilakukannya sekarang. Aku tak mengerti apa yang akan Eleanor lakukan atau katakan setelah dia tahu ini. Yang pasti, aku takkan memberi tahunya, itu yang pertama, dan yang kedua, aku masih bisa dengan mudah memberinya cekcok mulut atas kebangkitan keduanya!
            Aku membuka laci tepat disamping kasurnya. Mencari satu benda yang bisa melukaiku dari omongan seorang pria, silet. Aku benar-benar tak memperdulikan keberadaan Liam disana. Entah apa yang dia lakukan. Yang kutahu, aku tahu apa yang akan kulakukan. Dengan semua rasa itu yang menyetubuhiku saat silet itu perlahan aku sayatkan pada pergelangan tanganku. Rintihan yang kurasakan. Perih. Langkah kaki seseorang yang menjauh, aku tahu itu Liam. Dia mencoba menjauh. Menjauh dari aroma darah yang mengalir pelan lewat pembuluh nadiku yang menetes keras pada mulut Louis yang ternganga tanpa ada desahan nafas lagi darinya. Aku tak tahu telah berapa lama, hingga………..

            “Kau baikan Amy?” aku membuka mataku, menatap pria dengan pertanyaan bodohnya padaku, sangat, kabur. Hanya ada kunang-kunang disana. “Ini Zayn.”
            Aku mencoba memulihkan siapa aku, setidaknya, aku ingat apa yang telah terjadi semalam. Louis!
            “WHERE IS LOU?” aku buru-buru turun dari kasurku, lagi, berlari. Berniat menuruni anak-anak tangga untuk menuju ruangan gelap bawah tanah yang sengaja kami bangun hingga tangan Zayn mencegahku. Dia menarikku. Menghentikanku dengan mencengkeram perban pada pergelangan tanganku.
            “He is okay. He is in his room now. You saved his life.” Jawabnya yang teredam rambutku, saat dimana aku hilang bersama kehangatan dadanya. Aku masih diam, mecoba menikmati apa arti sebuah pelukan dari seseorang dalam suasana yang sepenuhnya tak benar-benar pas. Tapi ini pertama kalinya, setelah setahun kami berjalan bersama. Dengan luka yang selalu kurasakan untuknya, dan kini, dia izinkan aku merasakan degupan jantungnya yang sangat merdu. Aku tak tahu perasaan ini, kalau nyatanya, aku pun masih terlalu terfokus untuk Niall. Yang kutahu, Niall belum merasakannya. Namun Zayn, yang paling mudah untuk mengenali gerak-gerikku. Caraku memerhatikannya. Apalagi? Tak ada. Hanya desahan nafas yang kurasakan seperti mengikatku, terlalu kencang pada ulu hatinya. Tak mengizinkanku bergeser atau aku yang terlalu memaknai semuanya.
            “Amy McFadden, entah bagaimana kami berterimakasih padamu atas semua yang telah kau lakukan dan kau korbankan untuk kami. Kau yang terbaik, Amy. Kami menyayangimu.”
            Dia mencium keningku dan menghempaskanku dari pelukannya. Namun dia masih disana, menatapku dengan dua bola matanya yang kembali penuh cinta. Dan guratan luka yang baru kusadari pada dadanya. Aku tak tahu. Aku menghilang disana. Hanyut. Aku terbang bersama apa yang telah dia berikan. Yang kutahu, aku mencintainya.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

            “Aku melihatmu semalam, Amy. Mengendap-endap kedalam tempat penyimpanan darah rumah sakit dan keluar dengan sebuah kardus besar pada tanganmu. Apa yang kau lakukan Amy?”
            Aku menelan ludahku. Beberapa kali membasahi bibirku dengan lidah yang kujulurkan, berusaha mencoba rileks namun sepenuhnya tidak karena dia, Elena, sepenuhnya mencurigaiku atas segala hal.
            “Aku….aku, umm…. Membersihkan tempat itu. Ya, aku membersihkan tempat itu.”  Balasku dengan jantung yang berdebar lebih keras dan tatapan curiga Elena yang semakin membuatku tak karuan. Tuhan…!
            Dia menyilangkan kedua lengan pada dadanya, dengan mata hijaunya yang kini sepenuhnya menekanku untuk mengatakan satu hal yang paling ingin dia ketahui. Aku tahu aku pasti berkeringat, keringat dingin. Dan yang paling bisa kulakukan hanya tersenyum, mencoba menyembunyikan perban yang Zayn balutkan pada luka sayatanku.
            “Kau seperti orang yang habis membunuh, kau tahu? Pihak kepolisian telah mengetahui apa yang kau lakukan semalam, sangat mencurigakan. Beberapa mengatakan kau hanya orang sinting dan beberapa mengatakan kalau kau seperti habis melakukan satu hal menjijikan. Apa yang sebenarnya kau sembunyikan Amy?”
            Aku menundukkan kepalaku. Menghindari tatapan matanya dengan rasa pegal pada pergelangan tanganku yang sengaja kusibukkan untuk memainkan secangkir kopi. Aku belum yakin akan memberitahu semuanya pada Elena. Dia seorang polisi, itu yang selalu menjadi pertimbangan untukku. Aku tahu kami bersahabat, dan aku bahkan tahu keinginan terbesar yang selama ini selalu dia tulis pada buku hariannya adalah dia ingin bertemu vampire. Menjadi vampire. Dan hidup bebas. Elena mungkin belum melakukan satu hal yang bisa membuatku berterimakasih atas kehadirannya dimuka bumi. Tapi bagaimanapun juga, dia yang sepenuhnya membuat hari-hariku lebih baik jika aku bertengkar dengan cowok-cowokku dirumah. Dan yang sangat kuinginkan, aku ingin membuatnya bertemu pada imajinasinya, anggap saja imbalan atas semua senyuman yang telah merekah milikku darinya. Namun itu akan sangat susah. Sangat susah. Aku tak yakin cowok-cowokku mau menemuinya. Bahkan pacar mereka pun tak tahu kalau mereka abadi.
            “AMY KAU MEMOTONG TANGANMU?!” pekiknya tiba-tiba yang menggugahku dari lamunan harianku. Aku langsung kembali menyembunyikannya. Hanya menggeleng pelan dengan senyuman kecut seperti biasa. “Amy, ada apa denganmu?”
            “Elena, aku baik-baik saja.”
            “Lalu apa yang kau lakukan di tempat penyimpanan darah itu?”
            “Aku hanya membersihkannya dan mengecek lagi jumlahnya.”
            “You are a liar. Amy, you are really in a serious jam.”
            Dia bangkit dari kursi duduknya. Meninggalkanku dengan luapan emosi yang tak tersampaikan. Aku menatapnya, berjalan frustasi dengan high heels yang membuatnya terlihat menakjubkan. Dan, entah, aku tak tahu. Apakah lusinan polisi akan menjamah rumah cowok-cowokku? Akankah aku dipenjara nantinya, yang kutahu, aku sepenuhnya tak ingin merasakan keguncanganku sekarang.

***************************************

            Berjalan ketimpangan dengan mantel hitam dan syal yang sama, membuatku sangat mudah untuk dikenal orang. Ditambah rambut hitam gelombang ini yang paling berbeda diantara gadis Amerika berkepala merah dan pirang yang berjalan dengan satu set Victoria Secret mereka. Aku tak membutuhkan itu. Tidak.
            Udara di New York memang tak sedingin Manchester, ya, disini lumayan hangat. Tak ada jalanan licin. Itu saja yang terpenting. Walau selamanya orang-orang akan mudah mengenaliku dengan aksen Inggris yang belum sepenuhnya bisa ku padu padankan dengan aksen Amerika yang ringan. Dunia memang selalu seperti itu, ya, kebanyakan orang Amerika ingin punya aksen seperti kami, orang Inggris, sangat seksi katanya. Tapi, tak banyak juga dari kami ingin beraksen Amerika, memang lebih mudah belajar aksen Amerika ketimbang Inggris dengan intonasi yang sejujurnya memang sangat rumit. Well, aku mungkin terlambat mengatakannya, aku bukan sepenuhnya orang Inggris, hanya ayahku. Ibuku adalah orang Prancis. Aku pernah tinggal di Prancis selama lima tahun, itu kenapa aku pun bisa mengucapkan kata-kata itu lebih baik dari orang Inggris lainnya. Dan, karena kematian ibuku di umurku yang kelima, ayah membawaku ke Manchester dimana dia menikahi lagi seorang janda anak satu, Evelyn Newly dengan anak cowoknya yang tentunya menjadi kakakku sekarang, Matthew Walter. Ayah menikah lagi setelah setahun semenjak kematian ibuku; Alice Legendre.
            Semua pikiranku melayang mengingat wajah cantik ibu kandungku. Entah, bayangan Evelyn hanya mengingatkanku pada penderitaan Lindy seperti yang pernah sekali ia gambarkan tentang ibunya yang katanya tak mencintainya. Aku tak yakin, menurutku, semua wanita didunia ini pasti punya kasih sayang entah itu pada anaknya ataupun bukan, tapi itu yang kupercaya.
            Semuanya selalu menyita tiap detik nafas hidupku. Aku masih ragu, apa yang aku lakukan bersama mereka, cowok-cowok tampan itu. Aku bukan pemoles bedak pada mereka, aku secara tidak langsung saja memberi mereka selalu kehidupan, aku tak melebih-lebihkan tapi itu kenyataan walau ini pertama kalinya buatku memotong pergelangan tanganku sendiri hingga kurasa tubuhku mengering. Lalu, pria itu menghadirkan lagi kehidupan untukku. Pria yang selama ini selalu kusebut dalam setiap rangkain do’a dan helaan nafas yang aku hembuskan, lalu kembali terajut bersama perasaanku untuknya yang selalu mengambang. Sekali, degupan jantungnya yang indah itu masih mengisi kepalaku dengan dentuman tiap detiknya. Seperti memanggilku. Saat dia letakkan bibirnya pada keningku dan semua emosiku yang perlahan larut dalam genggamannya yang hangat, Zayn Malik. Yang hanya kurasakan saat aku bersamanya adalah, rasa aman itu. Bukan ketakutan seperti saat aku harus benar-benar bertengkar dengan Harry. Bukan keputusasaan seperti saat aku harus bersama Louis. Bukan rasa iba saat aku harus bersama Liam. Dan bukan sekedar memujanya seperti aku rasakan saat aku bersama Niall. Yang kurasakan, kutemukan rumah bagi perasaanku. Rasa aman yang sepenuhnya ia jamin lewat degupan jantungnya. Ya, takkan ada ketakutan itu, belum ada. Atau takkan pernah ada.
            “ANGKAT TANGAN MCFADDEN RUMAH INI TELAH KAMI KEPUNG!” itulah komando pertama yang kudengar setelah sedetik kubuka pintu rumah itu. Tentu saja dengan sangat bodoh, ku angkat dua lengan tanganku, merasakan nafasku yang tak karuan dan detak jantung yang lebih tak normal.
            “Maaf Amy, kaulah yang menginginkan ini terjadi.” Bisik Elena dengan dia yang sedang memborgol tangan pada punggungku. Aku hanya menarik nafas panjang dan menghelanya dengan cara lebih pasrah. Aku menyunggingkan senyumanku dengan dia mencoba mengikat perban itu. Tak ada yang bisa kujawab bersamaan sirine mobil polisi yang menyerukan keadilan, ya, inilah yang sepantasnya kuterima. Lindy akan sangat menyesal jika dia tahu ini.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

            Perlahan aku rasakan bagaimana perasaan Zayn saat aku menguncinya di balik jeruji yang sengaja kami buat dirumah. Ya, inilah rasanya, mati kedinginan, itulah yang melekat pada otakku. Tak ada orang lain dalam ruangan sempit juga gelap ini, hanya aku dan tanpa penyesalan. Yang selalu terlintas hanyalah, kenapa aku selalu ada untuk orang-orang yang membutuhkanku namun sebaliknya, mereka selalu menghindar saat aku sepenuhnya menginginkan kehadiran mereka untukku? Aku memang egois, sangat egois. Terlalu egois untuk lebih mengutamakan kepentingan pribadiku ketimbang kepentingan mereka yang lalu-lalu, tapi setidaknya, harusnya mereka lihat sisi lain yang kumainkan dalam diriku, sisi dimana aku mencoba membuat mereka benar-benar hidup, bukan dimana saat aku mencoba membuat mereka berani menghadapi matahari.
            Aku hanya duduk disana, menyilangkan kakiku pada ubin beku kamar penjara. Membiarkan rambutku terurai dengan do’a yang aku lupakan. Menyandarkan kepalaku pada tembok tanpa cahaya. Tanpa suara, aku kesepian bersama diriku saja. Menangisi keadaan bukan karena menyesalinya. Menangisi setiap ucapan yang orang-orang katakan untukku; gadis manis. Gadis baik, dengan satu hal, aku tak pernah membuktikan itu pada mereka. Lindy, dia hanya katakan itu karena dia hanya anak sembilan tahun yang hampir mati karena jantung kronisnya, tak ada alasan lagi.
            “Kita punya masalah serius, Amy.” Aku mendongakkan kepalaku, bersamaan pintu besi itu yang terbuka untukku dan perasaan kacau yang sepenuhnya tiba-tiba membaik dengan langkah pria itu yang selalu aku tahu kehadirannya, terlalu kalem.
            “Liam?”
            Dia berjongkok disana, beberapa sentimeter dihadapanku, dengan jari-jari kaku juga dingin tangannya yang dia letakkan pada pipi kiriku, hingga sepenuhnya bisa kutahu, dia memang Liam.
            “We should go now.”

***************************************

            Lampu bandara yang berkedip. Tak ada seorang pun disana, hanya kami dan, keheningan, beserta langkah kami, menapaki tiap persegi keramik tanpa satu orang diantara kami. Yang membalutkanku luka ini, kami tak bersama Zayn.
            Keadaan bandara yang sepenuhnya semerawut dengan meja dan kursi yang terbalik juga patah. Cipratan-cipratan darah yang memenuhi langkah kami menuju pesawat yang telah mereka sewa. Tak ada polisi disini, dalam kekacauan yang sepenuhnya membuatku ngeri. Tubuh tak bernyawa milik ratusan umat manusia yang hanya tergeletak sia-sia, aku tak tahu apa yang sepenuhnya telah meracuni New York. Atau, apa penyebab semua ini? Ada berapa vampire disini? Aku tak tahu. Yang paling aku pahami sekarang, siapa yang sebenarnya egois diantara semua ini adalah kami.
            “Apa yang sesungguhnya terjadi?” tanyaku dengan menghentikan langkahku yang  sepenuhnya juga mereka ikuti.
            Mereka menatapku. Mereka terdiam. Bibir biru mereka yang sepenuhnya mulai ketakutan dan sorot mata mereka yang menyembunyikan atas segala hal, dariku.
            “Apa yang sebenarnya terjadi?” aku mengulang pertanyaanku. Lebih menegaskannya, dengan mencoba memahami tiap helaan nafas mereka yang semakin tercekik.
            “Everything, Amy. Everything has happened here.” Tukas Niall dengan wajah kusutnya dan ketakutan yang selalu menghantui hidupnya sebagai seorang makhluk abadi.
            “Dewan & Zayn.” Susul Harry. “Dewan akan menyidang seperti pada maja…”
            “What?” Aku menyela apa yang sedang Harry katakan. Tak memberinya kesempatan untuk melanjutkan apa yang harusnya dia katakan dengan  perasaan terkejut yang juga bercampur kesal dan percikan kecil api atas apa yang mereka lakukan. Aku berantakan, walau emosiku tak meluap. Mereka bilang, bukan mereka yang lakukan itu, kesalahanku terlalu mempercayai mereka. Itu kelemahanku, aku terlalu memuja mereka. Sangat memuja mereka. “Kenapa?”
            “Amy, berikan kami kesempatan untuk bicara!” pekik Louis hingga suara tepat pada ujung paru-parunya.
            Aku hanya meliriknya. Menyilangkan kedua lengan pada dadaku masih menatap mereka, yang kutahu mulai menganggapku hanya sebagai hama. Atau memang, ya, aku tak pernah sama sekali memberi celah untuk mereka beralasan, setidaknya untuk membela diri mereka sendiri, belum. Aku belum pernah. Aku hanya, entahlah, aku hanya tak tahu. Aku menyayangi mereka, lebih dari aku menyayangi hidupku sendiri. Tapi aku tak tahu perasaan ini, apakah kekecewaan? Atas apa yang aku lakukan untuk mereka atau yang mereka lakukan untukku? Hanya, terkejut! Ya, itu yang sangat menyengatku seperti lebah! Kembali, menangis, itu yang satu-satunya aku bisa lakukan jika semua ini benar-benar menenggelamkanku terlalu dalam. Sementara emosi yang kali itu sama sekali tak bisa aku luapkan, karena mungkin aku terlalu sering meluapkannya, atau aku kehabisan nafasku. Sepenuhnya. Masih memegang kendali pada diriku, tanpa ada suara dari mereka. Hanya desahan nafas mereka yang dingin dan terlalu membuatku selalu merasa hangat. Mereka selalu lebih baik dari itu semua. Selalu. Dan mereka selalu lebih menyebalkan, seperti selalu sekeras batu dimana aku harus menjadi air untuk menenggelamkan mereka. Itu kenyataannya, tak ada lagi. Mereka titik tergelap dalam pencarian cahayaku. Titik tergelap dengan semua kebahagiaan yang sepenuhnya mereka bagi hanya untukku. Titik tergelap dimana aku sepenuhnya selalu memuja mereka.
            “Amy, kau mau dengarkan kami untuk ini?” Harry meraih bahuku dengan tangannya yang besar dan kuat, memeganginya, dan mata hijau terangnya yang selalu tak pernah ingin aku ketahui. Dia seperti, menawarkan dirinya, secara halus. Membiarkanku merasakan hembusan nafasnya seperti milik Zayn saat dia normal. Tak ada lagi, aku menghadap pada dirinya dengan helai-helai rambut keritingnya, dan dia meraih tanganku, menggenggamnya dengan masih kedua matanya untukku. Meyakinkanku dengan caranya yang membuatku, tak berdaya. Memaksaku untuk bisa mengerti keadaan mereka, sementara aku tahu, ini akan membunuh mereka.
            Aku menganggukan kepalaku, membiarkan air mata itu meleleh bukan membeku seperti jiwanya. “Ya, tentu.”
            “Kami tak pernah melakukan pembunuhan itu. Dewan menjebak kami. Mereka tak inginkan keberadaan kami bersama Zayn. Mereka mencoba memisahkan kami.”
            Aku tertegun disana. Tak ada yang harus aku katakan atau aku bantah. Aku hanya diam, melongo. Membagikan pandanganku satu-satu untuk mereka, dengan sorot mata mereka yang memohon dan memelas. Aku tak pernah tahu kalau semuanya akan serumit ini. Kukira vampire hidup bebas tanpa harus ada aturan yang mengikat mereka asal mereka bisa menyembunyikan diri mereka. Aku bahkan tak pernah tahu kalau mereka pun punya dewan, seperti manusia, anggap saja jajaran tinggi negara.
            “Mungkin kita harus bergegas.” Ucap Louis dan menggugahku dari semua fokusku tentang mereka.
            Kami mulai melangkah lagi, untuk menghindari semua ini. Kami bukan pengecut, kami hanya terlalu lelah untuk selalu terus bersama dalam satu masalah yang belum ada akhirnya. Kami hanya, mencari. Ya, mencari bagaimana kehidupan senormalnya orang lain selain kami. Walau aku sepenuhnya lebih normal dari mereka, namun aku tak pernah bisa rasakan sisi itu dalam diriku. Yang aku tahu, aku terjerumus bersama mereka karena mereka belum menghempaskanku. Mereka semakin mengikatku kuat dalam pikiran mereka. Dalam jiwa mereka yang sepenuhnya tak pernah nyata dan mereka anggap semua itu hanya sebatas, tentang siapa mereka. Kalau nyatanya manusia bernyawa pun masih melakukan hal lebih buruk dari apa yang pernah mereka lakukan, setidaknya, itu yang selalu membuat mereka berada pada garis depan, dengan para fanatik mereka. Yang lain, ada aku. Aku, yang mencoba menyembunyikan mereka. Yang telah menjual hidupku untuk mereka, menukar semuanya untuk mereka, dengan sepenuhnya aku masih seorang manusia yang tolol.
            Kami pun belum kembali bicara, masih saling menutup diri. Aku takut semua ini akan berlangsung lebih lama, dan aku akan pergi, tanpa ucapan terimakasih atau kecupan atas apa yang telah mereka berikan. Hingga langkah kami kembali terhenti, setelah sedetik lusinan langkah kaki mengisi kuping kami dan menggema pada setiap koridor bandara.
            “Mereka disini.” Kata Niall dengan membagikan matanya pada kami. “Ayo, kita harus pergi.”
            Kami melangkah mencari pintu tak terkunci menuju tempat landasan. Aku sejujurnya masih sangat belum bisa mencari celah untuk bisa memahami apa yang sebenarnya telah terjadi diantara kami. Maksudku, siapa yang harus aku percaya disini? Haruskah dewan itu yang sama sekali aku belum mengenal mereka atau lima cowokku yang mana aku selalu tenggelam karena mereka? Sementara aku punya kebingunganku sendiri yang harus aku hadapi.
            “Bagaimana jika kita tertangkap?” tanyaku pada mereka.
            “Mereka takkan menangkap kita,” kata Harry dengan kepercayaan diri itu. “Kita akan selamat dan temukan Zayn.”
            “Bagaimana jika semua itu berkata lain?”
            “Maka kau yang akan kami prioritaskan.” Ucap Liam.
            Aku tak mengatakan apa-apa lagi. Keyakinanku sepenuhnya membuncah. Aku menggigit bibirku. Bisa kurasakan semua perasaanku yang terbang bersama jutaan partikel pada dirinya. Kurasa pipiku memerah, terbakar, dengan aku yang melayang, hanya karena kalimat singkat yang harusnya tak mengartikkan apa-apa buatku, namun aku sangat bodoh.
            “Apa kalian mendengarnya?” tanya Louis tiba-tiba.
            Beberapa saat kemudian, barulah aku atau kami, mungkin, mendengar apa yang sudah didengar Louis. Suara langkah kaki pada sepatu bergerak dengan cepat. Aku hanya meringis. Sementara kami belum menemukan pintu mana yang tak terkunci.
            “Kita harus lari,” Niall memberi aba-aba pada kami dengan meraih lenganku tanpa ada pikir panjang darinya.
            “Lari!” pekik Liam.
            Suara langkah kaki yang mengejar kami terdengar semakin keras, semakin dekat. Dengan kami yang masih sibuk untuk mencari pintu. Tak ada. Semuanya terkunci! Dan langkah kaki itu yang semakin jelas bersama raungan yang sepenuhnya mengejutkanku. Aku tahu satu-satunya yang akan meraung disana, ZAYN!
            “Sayangnya kami telah mengunci semua pintu.” Kami kehilangan fokus kami untuk bisa kabur, dengan pernyataan singkat itu.
            Kami menatap wanita itu, yang berpakaian merah gelap dan seperti menekan tubuhnya yang kerempeng. Rambut pirang pucat lurusnya yang terurai panjang hingga menyentuh bokongnya. Dia membalas tatapan kami, lebih keji dengan hijau giok pada sorot matanya sementara lampu yang berada diatas kami semakin meredup.
            “Apa maumu, Nichole?” tanya Harry dengan agak membentaknya, dan wanita yang dia panggil Nichole itu hanya melemparkan senyuman singkat yang kecut dengan bibir merah tebalnya.
            “Seperti yang kalian ketahui, bersekutu dengan werewolf adalah satu larangan untuk kaum kita. Apalagi berbagi darah dengannya dalam satu rumah, itu tak termaafkan.”
            “Kalian akan dihukum mati.” Tambah seseorang selain Nichole yang tiba-tiba muncul dari kegelapan dengan jubah hitam panjang. Bukan hanya seorang, empat sekaligus!
            “Kalau kau pikir mereka masih menjadi budak, kami tak pernah mengatakan ya pada persetujuan itu.” Balas Liam dengan tanpa ekspresi di wajahnya.
            Wanita itu tersenyum. Mungkin kehabisan kata-kata, atau, dia mengalihkan semuanya, kepadaku. Tak hanya mengalihkan pandangan itu, namun berjalan mendekat dengan high heels merah yang bersembunyi dibalik gaunnya.
            Aku bisa rasakan hawa dingin yang memelukku itu dengan sangat mudah, akankah karena dia berdiri dihadapanku sekarang? Mengeksposkan tentang dirinya yang terlalu kelam, hingga aku pun tak sanggup mendengar degupan jantungnya yang terlalu teredam sebuah emosi yang tak pernah bisa aku rasakan.
            “Jangan ganggu dia Nichole!” bentak Niall dengan buru-buru menarikku ke belakang punggungnya.
            “Dan seorang manusia? Aku tak tahu hukuman apa lagi yang pantas untuk kalian kalau hukuman mati pun telah menjadi yang tertinggi.”
            “Aku beritahu kau Nichole. Kebudayaan kita bukanlah kebudayaan kuno yang selalu menganggap werewolf  adalah budak, kalau nyatanya kita dan mereka adalah monster! Kenapa tak coba hilangkan semuanya? Apa salah mereka? Dan manusia, mereka memberi kita darah untuk hidup! Mereka membantu kita! Mereka bukan budak!” balas Louis dengan apa yang baru aku ketahui; mereka menganggap umat manusia sebagai budak, yang menyediakan darah untuk mereka. Sementara werewolf mereka anggap sebagai pelindung mereka dari matahari. Mereka berfikir, vampire yang akan memegang kendali atas semuanya di muka bumi. Memimpin pasukan untuk menghancurkan semuanya, dan secara tidak langsung, mereka akan merusak keseimbangan yang telah ditakdirkan ada di muka bumi! Kalau nyatanya antara mereka dan werewolf memang monster! Ya!
            “Bawa mereka,” perintah Nichole. “Mereka semua.”
            Dan empat orang berjubah, yang tiba-tiba mereka telah berdiri di belakang tubuh kami. Mengikat kami dengan tangan dingin juga kaku mereka. Kami tak melakukan tindakan, hanya, membiarkan semuanya terjadi begitu saja dengan sangat mudah. Dan mungkin nantinya akan percuma, berakhir dengan kematian kurasa. Apakah ini akhir hidupku? Bahkan kalimat yang Liam katakan pun seperti tersapu dengan mudah oleh aliran darah pada otakku. Yang aku tahu, ada Zayn disini. Dan yang aku harapkan, dia akan keluar dengan bayangan tergelap pada dirinya. Menghentikan semua ini. Membunuh Nichole dan bajingan-bajingannya.
            Mereka memaksa kami untuk berjalan, dengan tak ada pencahayaan selain mata bening mereka. Suasana senyap hanya langkah kaki mereka dan kami. Aku menundukan kepalaku, kau tahu, bagian yang paling penting saat detik-detik terakhir kematianmu adalah mengenang semua kenangan yang pernah kau lalui bersama orang yang kau sayangi, ya itu yang aku lakukan…
*Flashback*
            “Dear Diary….”
            “Kembalikan Zayn! Itu privasiku!” aku mengejarnya hingga kami tak berada di ruangan bawah tanah. Berlari dan tertawa dengan dia memegangi buku kecil milikku yang dia temukan pada meja makan. Ada sejuta kekhawatiran yang aku rasakan, ada banyak perasaan yang aku tuangkan disana. Perasaanku pada Zayn.
            “Summer has always been my favorite since I was only a little chick…”
            “KEMBALIKAN KAU SIALAN!” aku membentaknya dengan tawanya yang semakin menggelegar. Dia terus berlari dengan matanya yang hanya terfokus pada catatan kecilku itu, sementara aku yang masih mencoba mengejarnya dan melemparinnya bantal. “Zayn!”
            “But this time I don’t have any idea why I truly hate summer just like I do to my own self…”
            “ZAYN AKU PERINGATKAN KAU UN…”
            “Aku sudah membacanya kemarin.” Ucapnya tiba-tiba yang membuatku hanya, diam dengan semua rasa malu yang bisa kurasakan tiba-tiba menyebar pada tubuhku. Dan seperti dia, menyemprotku.
            “Kau sudah membacanya?”
            Dia hanya mengangguk dengan mengembalikan bukuku itu. Dan senyuman lebar juga puas yang terpancar dari dirinya.
            “Apa yang kau baca?” tanyaku dengan badan yang sepenuhnya bergetar!
            Dia lalu meletakkan tangannya pada kepalaku, mengacak-acak rambutku dengan aku yang tak pernah mempedulikannya. Dan dia tersenyum ringan. “Aku takkan katakan pada Perrie, tenang.” Katanya yang semakin membuatku, tak karuan! “Dan, tunggu saja aku putus dengan Perrie.” Dia mengedipkan matanya padaku, dan aku yang menahan rasa malu juga ingin menangis. Aku ingin berteriak disana. Sangat. Tapi aja sepercik kebahagiaan disana, kebahagiaan karena dia tahu perasaanku untuknya, walau bukan dari mulutku tapi dari perasaanku yang mengatakan itu pada secarik kertas dan lumeran tinta.
*End of Flashbak*
            Aku meringis sendirian, bersama suara lain yang terlalu aku pedulikan. Itu Zayn. Aku tahu. Dia datang. Pasti dia datang.
            “Dia disini.” Bisikku pelan, bersamaan dia ada disana… di hadapan kami!
            Sosok gelapnya yang selalu memelukku pada ketakutan. Yang selalu membuatku ingin untuk berpaling darinya. Yang membuatku merasa hilang tanpa dia yang aku kenal. Namun semua itu sekejab menghilang, aku semakin menginginkannya, mental dan fisiknya. Untuk bisa menyentuhnya adalah nafsu terbesar dalam diriku yang belum sama sekali hingga sekarang bisa kucapai. Dan kami hanya terdiam, dengan erangan nafasnya yang tak teratur. Bulu hitam panjang yang mengikatnya seperti mantel coklat saat kami bertemu. Sorotan mata itu dari kegelapan yang terpancar seperti lilin bagi kehidupanku. Api yang membakar perasaanku.
            Dia meraung dengan giginya terpampang keluar dan air liur menetes-netes dari mulutnya, bersama dia yang tiba-tiba melompat ke arah Nichole! Wanita itu terjatuh dengan sangat menyedihkan dengan Zayn berada tepat diatas tubuhnya dengan cakar dan gigi menggigit ke arahnya tanpa sebuah perlawanan yang membuat empat pasukannya lebih memilih untuk menolongnya dan itu kesempatanku juga empat cowokku untuk kabur!
            Tak ada kesempatan lain! Kami tak menghiraukan sama sekali arti semua ini, yang kami lakukan, kami berlari! Dengan Niall yang menggandengku dan Harry memimpin kami. Ada perasaan bersalah yang sepenuhnya menghantuiku saat aku melihat Zayn disana. Kenapa aku harus berlari? Pikirku.
            Aku menarik tanganku dari genggaman Niall, menarik dengan keras. Hingga dia menghentikan pelariannya, memutar tubuhnya dan menggantungkan lagi tatapannya padaku dengan emosi yang mulai memuncak.
            “Kita harus pergi!” pekiknya dan membuat Harry, Liam juga Louis harus berhenti disana, lagi.
            “Aku takkan pergi tanpa Zayn,” kataku. “Aku mau selamatkan dia dari mimpi buruknya.”
            “Amy, tolonglah…” ucap Louis dengan memohon dan berjalan kearahku hingga dia berdiri disana, dimukaku. “Kita harus pergi.”
            “Dia yang membutuhkan kita sekarang,” balasku dengan agak menjauh darinya. “Aku akan berada disana saat dia membutuhkanku. Kalian saja yang pergi, aku akan baik-baik saja disini.”
            Mereka hanya diam, sekiranya melepaskanku perlahan untuk apa yang selalu aku inginkan. Aku memutar tubuhku dan bergerak. Merogoh sakuku untuk bisa kurasakan, aku tak mematahkan jarum suntik dosis tinggi Zayn yang kutemukan pada van sebelum kami tiba di bandara.
            Aku berjalan, menyusuri kegelapan itu sendirian, dengan rasa ngeri. Mungkin Harry, Lou, Liam dan Niall telah memutuskan apa yang akan mereka lakukan. Tapi disana bukan saatku untuk memaksa mereka, memaksa mereka untuk bersamaku dan melindungi Zayn. Mereka tidak egois. Mereka teman yang baik untuk Zayn, sangat baik. Mereka hanya ingin mencari persembunyian sebelum matahari benar-benar telah bersinar. Itu bukan egois, dan aku percaya mereka akan keluar untuk menemuiku juga Zayn jika hari itu mendung.
            Aku semakin menekan jari-jariku pada saku celana, sementara raungan Zayn mulai kembali memenuhi ruangan tempat aku berdiri sendirian dan itu menggema. Membuatku semakin sulit untuk bisa melacaknya, walau tanpa gema itu pun pasti telah menyulitkanku.
            “Zayn? Itukah kau?” aku sedikit meninggikan suaraku dengan nafas erangannya yang seperti tepat berada di balik tubuhku. Aku membagi pandanganku pada sekeliling, dan terfokus hanya pada kaca besar yang memantulkan sedikit cahaya dari tempat landasan. Aku berjalan pelan untuk merapatkan diriku pada kaca itu, setidaknya, aku akan bisa mendapatkan sedikit penerangan untuk ini.
            “Zayn?” aku kembali memanggil namanya. Berjalan pelan menyusuri kaca yang belum berujung itu. Menahan semua rasa deg-degan yang tak karuan yang memompa darahku lebih cepat dan tak normal. Seperti ada satu pertarungan dalam diriku sendiri saat jantungku berdegup hingga bisa membuatku tak merasakan keberadaanku disana.
            “Zayn ini aku, Amy.” Aku kembali meyerukannya, masih dengan berjalan pelan menyusuri kaca itu. Hanya sekarang, aku telah siap dengan cairan kesayangan Zayn pada jarum suntik yang aku sepenuhnya tak yakin bisa menembus kulitnya.
            Aku terus berjalan, terus berjalan, dengan merasakan helaan nafas lain yang mengisi udara. Nafas yang kasar dengan penuh erangan. Penuh dengan kematian. Nafas yang kehilangan arah pada dirinya. Nafas yang mendefinisikan rasa sakit sebenarnya. Sakit akan jiwa dan kehidupannya. Dia tidak gila, walau aku tahu, sudah banyak korban yang kutemukan selama perjalanan kecilku. Banyak darah yang membanjiri keramik putih, dia bukan pembunuh. Dia ada dibawah alam sadarnya, dimana dia bukan dia, hingga aku temukan Nichole dan empat pasukan kecilnya yang sekarang hanya, lima kantung darah yang pecah. Gaun merah gelapnya yang semakin gelap. Rambut pirangnya yang memerah dan kulit pucatnya yang tersayat. Dia mati, dengan sangat tenang. Seperti tertidur.
            “Zayn…” aku kembali memanggilnya dengan kakikku yang sepenuhnya semakin bergetar setelah bisa kulihat mayat Nichole yang tergeletak mengenaskan. Aku ingin memutar tubuhku dan kembali, berlari kearah Niall atau Harry atau Lou atau Liam dan memeluknya. Memberitahu mereka kematian Nichole yang mungkin akan membuat mereka tersenyum girang, tapi aku tak bisa dan aku tak mau. Zayn membutuhkanku disana. Menginginkanku untuk menyuntikkan cairan itu pada dirinya!
            Aku membulatkan tekadku, meyakini kalau ini akan segera berakhir. Ya, akan segera berakhir, atau memang telah berakhir saat itu pula aku hanya berdiri kaku dengan hembusan nafas keras yang kasar pada leherku. Menyelubungi rambutku dengan aroma darah pada tiap helaannya. “Zayn..?”
            Dan……….. keheningan itu berubah menjadi satu hal yang mengutuknya. Bersama raungannya juga perasaan gila yang akan tetap melekat pada diriku saat lengan hitamnya membiarkanku terpental keluar dengan serpihan kaca itu! Dia menamparku hanya dengan sekali gerakan. Membiarkan ruangan itu berisik akan pecahan kaca dan raungannya sementara perih beling menusuk semua kulitku yang terbuka! Darah yang kurasakan menetes pelan pada pelipis dan lenganku saat aku hanya, terlentang disana! Merasakan bayangan yang sepenuhnya hampir kabur namun aku masih bisa merasakan kedatangannya. Jarum suntik yang masih berada di sela-sela jariku. Aku ingin berteriak. Mencari pertolongan namun kuyakin mereka pun tak sanggup menahannya. Aku ingin bangkit, berdiri dan berlari, namun sepenuhnya, dia menekanku disana! Membungkukkan badannya pada tubuhku yang tak mungkin melakukan tindakan kecuali untuk menyuntikan dosis tingginya!
            Perasaan itu mengambang dengan dia yang meraung keras melambangkan keperkasaannya. Ada luka yang membuat hatiku menggigil akan perilakunya, akan siapa dia yang sedang mengontrolnya sekarang. Dia bukan Zayn! Saat bola matanya menusuk jiwaku dengan sejuta kebencian yang dia pancarkan lewat sisi gelapnya, taring dan liur yang menetes pelan membasahi kulit dan darah.
            “Zayn… ini aku… Amy…” aku berucap, menyiapkan kuda-kuda untuk menyuntikannya apa yang sangat dia butuhkan.
            Dia hanya mengerang. Tak bisa berucap. Hanya yang aku tahu, dia mulai melihatku dengan sisi lainnya. Saat bisa aku lihat bayangan diriku ada pada kedua bola matanya, dengan semua rasa iba dan ketakutan itu.
            “Amy, yang kau peluk pagi tadi…”
            Dia semakin menatapku dengan dirinya. Namun erangannya yang masih bisa dengan jelas aku dengar, dan, perlahan dia semakin kehilangan sisi gelapnya, perlahan saja bersamaan jarum yang telah menembus kulitnya, raungan yang kembali ia kumandangkan, tak lama, hanya beberapa detik hingga tubuh hitamnya jatuh dan tergeletak diatas tubuhku.
            Aku memeluknya, dengan perubahan pelan yang terjadi pada dirinya. Bulu hitam itu tak lagi aku rasakan, namun kulit yang kuimpikan untuk bisa aku peluk seperti ini semakin nyata. Nafas kasarnya yang perlahan dapat kuhirup diantara do’a dan air mata yang hanya aku curahkan sepenuhnya luka juga kebahagiaan bersama dia dan kenangan ini, saat ini.
            Aku menggeser tubuhnya, membuatnya berbaring tepat disampingku. Membuatku bisa untuk meletakkan kepalaku pada lengannya yang tersayat.
            “Amy…” katanya tersendat. “Jangan katakan pada Perrie kalau aku menyukaimu, setuju?” dia menyunggingkan senyuman itu dengan matanya yang terpejam. Dengan nafas yang masih bisa kuhela, mulai normal.
            “Aku menyayangimu, Zayn.”
            Aku mencium pipinya, dan senyuman lagi dari dirinya yang bisa membuatku untuk bertahan disana, berbaring bersamanya pada lantai beku dengan noda darah. Dan aku memejamkan mataku, mencoba melupakan semuanya, menunggu malam itu berakhir, di lengannya.

No comments:

Post a Comment