Finalis #1DFanficContest13
by Dinta Ayu Permadani , 16
ZLS
“Aku lelah dengan semua ini!” Itulah yang hanya bisa dia
lakukan saat kami bersama, ya, kau belum tahu dia; Elena Adams, orang Inggris
dengan semua keluh kesahnya tentang New York dimana dia bekerja sebagai polisi.
“Ayolah
El, kau baru tangani kasus seperti ini sekali. Bisakah kau lebih bersyukur?
Dengan gaji tetap, oh please!”.
Dia
memutar bola mata hijaunya. Tak memberikan celah buat siapa pun untuk menyela
kehidupan enaknya yang menurutnya itu sia-sia. Dan itu aku, yang terlalu banyak
bertindak untuk dia. Ya, siapa yang akan menerimanya di kepolisian tanpa
bantuanku? Dan apakah ini balasan darinya? Harusnya aku tak membantunya.
“Kau
enak!” ucapnya tiba-tiba mencoba untuk menghindar dari permasalahan kami
sebenarnya, setidaknya menghindar sedikit.
“Apa
lagi?” balasku dengan melempar majalah yang ada di tanganku dan membiarkan
semua orang menatap kami, karena, mungkin aku terlalu keras.
“Kau
berubah Amy. Kau menyebalkan.”
“Elena,
tolonglah, aku tahu masalahmu. Ini kasus pembunuhan pertamamu setelah seminggu
kau diterima di kepolisian. Kau hanya gugup.”
“Bukan
gugup itu Amy. Ini bukan pembunuhan biasa.” Aku langsung melepaskan semua rasa
kesalku akan kelakuannya. Mencoba bersikap untuk siap mendengarkan, kalau nyatanya
mungkin aku takkan benar-benar memaknai semua omongannya. Tentu saja, aku bukan
polisi. Aku bekerja sebagai, make up lima
cowok yang sekarang punya nama di dunia. Ya, One Direction. Dimana ada milyaran gadis-gadis yang akan mencintai
mereka dengan hidup juga mati mereka, walau mereka tak tahu dengan apa atau
siapa yang mereka idolakan. Tapi, itu terserah.
“Orang-orang
mati begitu saja dengan tubuh mereka yang kekeringan tanpa darah. Dan, luka
gigitan pada bagian pembuluh leher. Aku sudah katakan pada John kalau yang kita
hadapai sekarang bukan manusia. Dia tertawa.”
“Menurutmu,
sejenis, vampire?”
Dia
mengangguk pelan dengan semua ketakutan yang mengalir dengan mudah lewat
caranya menatapku. Aku tak benar-benar bisa memberinya, seperti, jawaban. Kau tahu,
vampire tak nyata, itu yang
kebanyakan orang-orang katakan. Dan payahnya disini, Elena punya konsep
pikirannya sendiri. Dia percaya bahwa mereka ada. Entah bagaimana pikirannya
itu bisa berpikir sangat kuno dan menariknya ke New York untuk menjadi seorang
polisi. Dan konsep pikiranku sendiri, yang selalu mencoba menghindari semuanya,
dengan kenyataan, aku terperangkap didalamnya.
Aku
belum menjawab. Hiruk pikuk café dengan aroma kopi kurasa semakin membuatnya
agak tenang. Dia sepenuhnya dalam keadaan tertekan. Aku tahu El. Ya, kami
berteman sejak kami bersekolah pada sekolah yang sama di Manchester. Dia pintar
dan dia selalu punya obsesinya sendiri tentang vampire sejak aku mengenalnya. Pikirannya seperti komputer rusak
yang selalu terkonsep dengan apa yang telah dikonsepkan untuknya, karena dia
belum berubah. Kukira, jalan pikirannya akan bisa berfikir rasional setelah
Jennifer, kakak perempuannya, membawanya ke Amerika. Tapi nyatanya, dia semakin
buruk, bisa kubilang begitu.
“Kau
mau membantuku Amy?”
Aku
meraih tangan dinginnya. Menggenggamnya dan mencoba memberikan ketenangan
sedikit saja buat dia. Aku menyunggingkan senyuman singkat itu untuknya,
mengangguk dengan semua ketidakyakinanku kalau aku mau membantunya, lagi.
“Aku
mau kau tak selalu keluar malam.” Katanya dengan berbisik. Aku hanya mencoba
bersikap tak emosional. Aku hanya mengangguk, dan menganggap apa yang
dikatakannya hanya kalimat yang gagal untuk menghipnotisku.
Dia
berdiri dari kursinya. Meninggalkanku tanpa sebuah senyuman, tapi sejuta
kegelisahan yang sepenuhnya akan membuatku agak terbawa bersamanya. Aku masih
memperhatikannya, berjalan gugup dengan mantel hitamnya. Membiarkan matahari
sore memberikan bayangan untuknya. Mengingat lagi kata-katanya, tak ada keluar
malam, aku tak yakin itu akan berhasil.
***************************************
“KALIAN
PUNYA MASALAH!” pekikku dengan, ya, aku tahu, pintu yang kubanting, sangat
keras!
Mereka
langsung menatapku dengan tatapan yang sepenuhnya selalu menjatuhkanku. Selalu.
Tanpa kecuali, mereka semua. Dengan mereka yang buru-buru menghentikan apa yang
sedang mereka lakukan dan menyadari kalau mukaku pasti semerah apel dengan
amarah itu.
“Calm down. Don’t blow your cool, Amy.” Jawab
Liam dengan jari-jarinya yang meremas bahuku dengan sangat bodoh.
“Ada
apa?” Tanya Louis dengan wajah paling tak bisa ku tebak, ekspresi apa yang
sekarang dia pakai, kalau nyatanya dia sedang dalam masa yang bisa disebut,
kurang semangat hidup.
Aku
melempar majalahku pada Liam. Membiarkannya dan cowok-cowok itu
menggerumunginya seperti sebutir gula dan ribuan semut. Aku hanya berdiri
disana, menyilangkan lengan pada dadaku. Mencoba sekuat apapun untuk mengontrol
emosi yang rasanya akan membuatku meledak atau aku memang telah benar-benar
meledak! Haruskah aku seperti El yang selalu mengeluh akan apa yang aku hadapi?
Aku bukan pengecut atau sejenisnya! Aku dapatkan pekerjaan ini dengan susah
payah, dan, haruskah aku melepaskannya semudah aku bernafas dengan semua
kebohongan yang telah aku lakukan pada semua orang mengatakan kalau aku adalah
seorang make up artis yang sebenarnya adalah hanya seorang
pelindung si penakut matahari dan menyembunyikan mereka dari semua kasus
pencurian bodoh yang mereka lakukan? Menyembunyikan mereka dari sahabatku
sendiri, Elena? Mengatakan padanya kalau aku yang mendadani mereka setiap
mereka akan tampil? TIDAK! Aku tidak sama sekali melakukan apa yang aku katakan
pada El. Aku hanya, peti mereka.
“Bukan
kami yang melakukan ini, Amy.” Ucap Niall tiba-tiba dengan wajah imutnya yang
selalu membuatku, kehilangan kendali dan, kehilangan emosiku yang sesungguhnya
menggila.
“Kau
telah memberi kami cukup darah seminggu ini. Kenapa kami harus melakukan
pembunuhan bodoh ini di jalan raya?” tambah Harry dengan jari-jarinya menuding
gambar pada majalah itu dan emosinya yang mulai menyamaiku.
Aku
hanya melirik mereka, dan berjalan lumayan kasar untuk meraih sebuah kursi
dalam kegelapan yang sepenuhnya memeluk kami berlima. Aku tak tahu, yang
kurasakan sekarang, sepenuhnya kalut akan semua ini. Banyak perasaan bersalah
yang memelukku, atas semua kebohongan yang aku tak lagi mampu untuk
menanggugnya. Terlalu berat, kurasa. Setelah setahun lamanya, dan, aku akan
sangat bodoh jika kukatakan pada mereka, atau El. Dan akan lebih bodoh jika
nantinya aku harus selalu melindungi mereka setelah aku katakan pada fanatik
mereka kalau mereka adalah hanya lima orang cowok penakut matahari? Aku tak
seaneh itu.
Aku
benamkan wajahku pada lenganku tepat pada meja dengan beberapa tetes air mata
yang bisa kurasakan mengalir perlahan pada pipi dan sepenuhnya membasahi
wajahku, seluruhnya.
“Amy, you okay?” tanya Niall padaku
dengan lengan bekunya mulai menyentuh punggungku. Meletakannya disana, dengan
dia baringkan kepalanya pada bahuku. Hingga nafas kematiannya yang selalu
kurasakan terlalu hangat untuk seukuran makhluk abadi seperti dia. “Kau lelah.
Kau harus istirahat. Kami tak mau kau sakit.”
“Kalian
sudah makan?” balasku dengan menghapus lumeran air mata paling bodoh itu dari
pipiku. Membiarkan lengan Niall turun dan, memaksanya untuk tak membaringkan
lagi kepalanya padaku, dalam diriku.
Aku
bangkit dari kursi itu. Melepaskan syal dan mantelku, membiarkannya menggantung
pada punggung kursi dengan semua rasa linglung juga sunyi senyap diantara kami.
Nafas emosi Harry yang perlahan dapat kurasakan mulai mereda. Sikap perhatian
Liam dan Niall yang masih dengan mudah kubaca. Sikap Louis yang masih
mengambang, ya, dia baru punya masalah, bukan hanya dia, tapi kami, atau lebih
tepatnya mereka. Mengingat kalau sebenarnya itu bisa kubilang sebagai masalah
kecil juga sangat sepele, hanya, beberapa penggila mereka menganggap ini
masalah serius. Memang, aku terkadang bisa melihat semuanya; cara beberapa
media memperlakukan mereka, seperti, media hanya menganggap mereka hanya satu
yaitu Harry, dan menganggap yang lain hanya sebuah, pelengkap kurasa. Menurutku
itu tidak adil. Bukan apa-apa, tapi mereka berlima. Sementara Louis, ya, dia
merasa keberadaannya sangatlah, tidak dianggap. Bukan oleh kami, kurasa dari
pihak Red Nose Day mereka. Aku tak
yakin sangat pasti karena Louis tak selalu cerita semuanya, apa yang hanya dia
ceritakan padaku adalah pacarnya, Eleanor. Mungkin dia ceritakan semuanya pada
pacarnya. Tapi yang paling kutahu atas perubahan sikapnya adalah, dia merasa
sangat down, seperti yang kubilang,
dia ada ditahap kehilangan atau kurang semangat hidupnya.
“Kami
akan cari sendiri, Amy.” Balas Harry setelah sekian detik atau menit akan semua
kebisuan kami.
“Ya,
kau lebih baik mengurus Zayn. Dia pasti berubah malam ini. Kau satu-satunya
yang bisa menenangkannya disini.” Usul Louis dengan buru-buru aku mendongak
padanya. Ya, aku baru ingat, sejak kemarahan bodohku tadi aku melupakan satu
orang, yang terlalu kupuja; Zayn Javaad Malik. Zayn Malik. Zayn. Yes him. Mata coklat gelapnya yang
indah. Kulit tan-nya yang sepenuhnya
selalu menaklukanku saat kami berfoto bersama. Tindik pada kupingnya yang andai
saja aku yang menciumnya bukan si pirang pacarnya itu. Bibirnya yang kurasa
akan sangat manis untuk bisa kurasakan. Tawanya yang mungkin tak seseksi punya
Niall, tapi dia punya semuanya. Semua yang aku inginkan dari seorang pria.
Tubuh seksinya yang menawan. Wajahnya yang mengeksposkan detail kesempurnaan
pada setiap nafasnya yang selalu bisa ku hirup saat kami bersama. Aku akui, aku
mencintainya sangat! Dengan luka berkeping-keping yang kurasakan saat dia
katakan padaku kalau Edwards adalah pacarnya. Dia tak tahu, atau takkan pernah
tahu dan aku takkan membiarkannya tahu, KALAU AKU MENYUKAINYA SEPERTI ORANG
BODOH!
Aku,
entahlah, seperti seekor anjing yang kehilangan tulang kesayangannya dan aku
langsung berlari ke lantai bawah seperti Zayn yang kehilangan kendali. Aku agak
tak suka sebenarnya jika keadaannya seperti ini, tentu saja, keadaan dimana aku
akan melihat pria yang aku cintai akan tersiksa oleh dirinya sendiri dibalik
jeruji besi atau apapun itu untuk menahannya. Aku tak tega, sangat. Saat aku
harus melihat dia disana dengan kerlingan air matanya yang turun melewati
tulang pipinya saat tubuhnya mencoba menahan semuanya diatas tumpukan jerami
yang Liam berikan untuknya. Dan, saat bisa kulihat kuku-kuku pada ujung
jari-jarinya mulai menghancurkan perlahan kuku-kuku pada kulit sebelumnya,
darah yang juga akan membasahi telapak tangannya yang perlahan berubah dengan bulu
hitam pekat juga raungan yang selalu membuat kupingku menangis. Dan, wajahnya
yang akan buru-buru berubah dengan mata coklat itu sekejab menghilang, dimana
aku kehilangan arti cinta dari setiap partikel lewat sorot matanya dan
tergantikan secara perlahan dengan sejuta kebencian, hitam pekat dengan pupil
matanya yang mengecil. TIDAK!
“Zayn?”
aku membuka pintu jeruji tempat dimana dia akan bertahan hingga bulan purnama
benar-benar habis.
Dia
menoleh padaku, sedikit senyuman dan keringat yang menetes dari pelipisnya.
Masih bisa kutangkap dia dengan cerminan yang selalu membuatku jatuh kepadanya,
sosok kelam itu hanya sebuah bayangan kecil akan kehidupannya. Kembali teringat
bagaimana aku bisa bersama mereka, karena Zayn….
*Flashback*
Dia
dengan setelan coklat usang pada mantelnya dan sebuah jins hitam yang selalu
bisa menggugahku untuk lebih mencintainya. Aku hanya seorang gelandangan tanpa
kehidupan dengan niat busuk untuk sepiring makanan yang sekarang takkan mungkin
hingga aku harus bersujud atau menjual diriku pada seorang pria.
Dia
disana, yang kutahu, menatapku, gerimis pada bulan Agustus dan semua jalanan
licin Manchester. Hanya keremangan lampu jalanan yang mengantarkanku untuk
menemuinya. Pertemuan yang tak pernah aku kira saat dia menyelamatkanku dari
pria tua serakah, Gerald.
“Come with me and I’ll give you what you
really need.” Hanya kalimat itu dan senyuman manisnya yang sepenuhnya
menghipnotisku untuk meraih jari-jari dibalik sarung tangannya.
Dia
mengenalkanku pada empat orang lain dimana aku pertama kali harus mencintai
Niall hingga sekarang. Dia memberikanku semua yang kuinginkan dan kubutuhkan;
pakaian, uang, tempat tinggal dan makanan. Dia memberikanku pekerjaan dimana
pertama kali aku menjerit pada mukanya. Mengatakan ‘tidak’ itu dengan lantang
dan amarah yang sepenuhnya meluap bersama ketidak hadiranku selama semenit
setelahnya. Kata-kata dari bibirnya yang membuatku sepenuhnya terhempas kedalam
satu kemunafikan yang selama ini aku tak pernah lekatkan pada diriku, semua
tentang keabadaian yang sepenuhnya untukku hanya sebuah omong kosong. Darah.
Jiwa. Hingga aku akui, mereka pun ada diantara milyaran umat manusia,
bersembunyi pada satu bentuk badan yang tak pernah kuduga; vampire.
*End of Flashbak*
“You’ve cried Amy?” aku melemparkan
senyuman singkat untuknya. Membiarkan aku terlarut pada keabadian dan
kesempurnaannya. Aku menatapnya, dengan perasaan itu, yang kuberikan pada dua
diantara mereka berlima saja.
Aku
tak menjawabnya, hanya meraih sebuah jarum suntik dosis tinggi untuk menahan
semua proses perubahannya untuk tak mencapai maksimal atau New York akan
benar-benar kacau.
Dia
memejamkan matanya disana, menahan rasa sakit itu hingga nafasnya mulai
tersendat. Aku buru-buru mencabutnya dari kulit yang nantinya akan setebal lapisan
kerak bumi. Aku menatapnya, masih. Meletakkan jari-jariku pada pipinya, terlalu
memujanya, itu yang aku rasakan.
“Aku
menangis untukmu Zayn.”
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
To : Harry Styles;
Liam Payne; Louis Tomlinson; Niall Horan
I’m
out to find you few bags of blood. Stay home. Watch over Zayn.
Don’t
ever think to pick me up or do crazy stuffs.
And
I’m really sorry about past minutes anyways, love you J
Hanya
itu yang semestinya bisa kukatakan, dan hanya ini yang nantinya akan menjadi
permintaan maaf. Ya, inilah sisi lain dari semua yang aku lakukan. Masih sama
dalam satu raga namun, lebih licik, kurasa.
Rumah
sakit, itulah tujuan utama dari perjalananku melewati beberapa blok hanya untuk
beberapa kantung darah. Kau tahu, kau bahkan takkan menemukan tempat penjualan
darah murah selain mencuri di New York. Dan kukira, atau memang, ya, aku tahu
yang kulakukan salah, tapi, kau tahu kau harus berfikiran terbuka, tanpa aku One Direction takkan bisa tampil, karena
satu-satunya yang mereka butuhkan hanya darah.
Jadi,
aku bukan sekedar mencuri, maksuduku, aku adalah petugas rumah sakit khusus
penjaga malam, dimana terkadang ada beberapa polisi datang untuk mengecek dan
kuharap aku takkan bertemu Elena. Takkan pernah bertemu Elena saat kulakukan
tugasku sebagai penjaga malam. Kau tahu, sudah pasti dia akan menjerit!
Menanyakanku ‘kenapa kau disini?’ dan jika dia sadar kalau aku membawa beberapa
kantung darah yang aku sembunyikan pada kardus sampah, dia akan makin menjerit
juga menggila! Dan aku akan ikut gila. Dia mulai curiga. Dia akan lapor pada
John atau Josh itu bosnya. Lalu mereka akan menemuiku ke tempat aku dan
cowok-cowokku tinggal, jika mereka sampai menggeledah, hancur sudah semuanya,
yang akan ku lakukan, aku akan suntikan Zayn hormon pemancing perubahannya dan
semua orang mati dan AKU AKAN MENJADI KASUS DI DUNIA INI! Bodoh.
“Amy,
itukah kau?” suara lemah itu menggugahku untuk menyadari satu pasien yang
terlalu memujaku. Gadis kecil dengan helai-helai rambut pirang tipis. Sementara
bola mata birunya yang menerangi kegelapan ruang kamar perawatannya, yang
menyembunyikannya dari monster-monster yang menusuk kulit rapuhnya.
“Lindy,
kau belum tidur?”
“Ah,
itu Amy-ku. Aku menunggumu Amy!”
Aku
mendekat pada tempatnya berbaring, berniat untuk mengajaknya beberapa detik
saja dalam perbincangan singkat dengan lampu remang. Ya, tak seharusnya memang
aku mengajaknya mengobrol, jika Matt tahu aku bisa dipecat dan akan sulit
buatku untuk bisa masuk ke tempat penyimpanan darah untuk beberapa cowok yang
menggantungkan senyawa saja padaku. Tapi, aku tidak peduli, Lindy mungkin lebih
membutuhkanku. Entah, aku sangat iba padanya, kulit pucat dan cara dia
memanggil namaku adalah yang paling membuatku tak bisa lagi untuk mengatakan
‘tidak’ untuk bertemu dengannya. Dia masih sembilan tahun dengan jantung
kronisnya. Dia yang sebenarnya lebih membutuhkan darah-darah itu, kurasa. Aku
mungkin bisa membantunya untuk takkan mati, bukan aku, tapi empat cowokku.
Hanya saja, aku tak yakin mereka mau melakukannya, kalau nyatanya, menjadi
abadi adalah hal terburuk yang akan selalu membuat mereka menderita.
“Amy,
kau cantik. Kau baik. Andai kau adalah ibuku. Aku pasti akan selalu nyaman
untuk bisa berada disampingnya. Tuhan pasti telah mengirimkan kau untukku, Amy.
Walau hanya sebentar. Aku sangat menyayangimu, Amy.”
Aku
menggenggam jari-jari lentiknya yang mengkerut. Dan menariknya untuk dia
letakan pada pipi kananku. Kurasakan semua kepedihannya lewat ujung-ujung
kukunya yang kurasa retak dan menunggu waktunya. Yang paling kurasakan darinya
hanyalah, rasa bersalahku untuk menjadi siapa aku setelah kalimat murni singkat
yang dia ucapkan padaku. Dia katakan disana, aku baik. Sepenuhnya aku rasakan
mengganjal dan semua keburukan yang selalu kulakukan namun dia katakan aku
baik. Satu omong kosong dari bibir lembutnya yang membiru atau hanya sebuah
kalimat yang memang telah lama ia ingin katakan padaku dari desis hatinya. Aku
tak tahu. Tapi aku tak pantas dengan apa yang dia katakan.
“Kau
belum mengenalku Lindy. Kau hanya tahu, ini Amy.” Aku hempaskan jari-jarinya
dari wajahku perlahan, kembali kuletakan pada tepi kasurnya yang selalu
memanas. “Kau tak boleh sebut ibumu seperti itu. Bagaimana pun juga, dia
mengenalmu lebih baik dariku dan kau mengenalnya lebih baik dari orang lain.
Sekarang tidurlah. Aku harus kembali kerja.”
“Amy,
aku menyayangimu.” Ucapnya dengan nafas pada udara yang mulai membeku. Aku
hanya tersenyum singkat. Belum tega buatku mengungkapkan bahwa aku juga
menyayanginya jika nantinya aku melihatnya mati lebih cepat. Itu lebih
menyakitkan dari harus aku tertangkap basah mencuri kantung-kantung darah yang
Lindy lebih membutuhkannya.
Aku
berjalan dengan semua rasa gugup yang selalu memelukku. Rasa gugup yang tak
pernah hilang setiap aku lakukan hal yang rutin aku lakukan. Bayangan Lindy
memenuhi pikiranku. Keadaan Zayn pun telah sepenuhnya aku buang jauh-jauh. Yang
sekarang terfikirkan adalah, tak ada. Tak satupun dari mereka. Mungkinkah aku
terlalu egois dengan semuanya? Tidak, kurasa. Aku bahkan telah menjalani
hidupku lebih buruk dari ini. Aku bukannya tidak bersyukur, tapi, untuk hidup
diantara orang-orang yang telah benar-benar kau cintai dan kau telah terlalu
mengenal mereka adalah hal terburuk dimana suatu hari kau tahu satu hal tentang
mereka, membuatmu sepenuhnya tenggelam bersama bayangan mereka. Selalu. Seperti
yang kurasakan saat pertama kali aku mengenal mereka. Tak ada paksaan, hanya
jantungku yang berdegup diatas normal. Mencintai mereka hanya dengan sedetik
aku menatap mereka, dengan mata mereka yang selalu mengartikan satu hal padaku,
selalu sama; ‘We need you Amy. More than
we need thousand bags of blood.’ Ya, itu yang rasanya selalu bisa
kurasakan. Kudengar. Dan kulihat. Tak ada lagi. Dimana aku tak bisa berhenti
memperhatikan mereka. Aku bukan jagoan atau sejenisnya. Tapi aku adalah
satu-satunya makhluk yang mungkin akan sangat mudah untuk kau perbudak, hanya
karena satu hal, bagaimana kau berikan cintamu.
Dan
ini dia, tempat yang paling kupuja walau aku bukan salah satu dari mereka. Ya,
tempat penyimpanan darah. Dimana kau hanya bisa melihat puluhan kantung-kantung
darah dengan berbagai jenis golongan darah yang mereka pisahkan. Aku ambil dari
semua golongan darah. Kau tahu, mereka minum darah sebebas mereka. Tentu saja,
tak mungkin jika mereka akan tanyakan ‘nona golongan darah apa yang kau miliki?
Karena aku hanya minum golongan darah O’ ya ampun, siapa yang kikuk sebenarnya?
Hanya
dengan berbekal sepenuhnya nekad dan sebuah kardus tempat sampah, aku bisa
mengambil lebih dari sepuluh kantung. Ya, aku tak mungkin hanya mengambil
sebanyak jumlah mereka; berlima, itu berarti hanya untuk malam ini. Kau bahkan
tak tahu kapan saja mereka benar-benar akan kehausan, apalagi aku ‘bekerja’ di
rumah sakit ini tak penuh selama seminggu, hanya, sehari dari tujuh hari.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
“Ini
jatah kalian.” Aku letakan kardus itu diatas meja makan pada lantai bawah
tanah. Bisa kulihat wajah suram mereka yang berubah perlahan menjadi satu
keceriaan yang tak berarti sama sekali untuk kehidupan yang mereka jalani.
“You are the best Amy!” seru Niall
dengan aku hanya melemparkan senyuman kecut saat tangan kanannya itu dapat
merasakan gumpalan darah pada kantung kecil yang hampir diremasnya. Dan,
acungan jempol dari yang lain dengan wajah paling memilukan yang pernah kulihat
dari mereka, sementara rasa lelah yang tak sanggup lagi aku tahan. Mengantuk,
itu yang kurasakan. Sangat. Hingga kembali kubuka kelopak mataku, buru-buru,
satu orang, aku kehilangan satu orang! Keasadaran yang sepenuhnya terlambat! “WHERE IS LOUIS?”
Aku
bangkit dari sofa besar tempat dimana Zayn sering melakukan ritualnya disana;
tidur. Aku buru-buru berlari menuju kamar Louis dengan Harry, Liam juga Niall
mengikutiku dari belakang. Aku tak tahu kalau acara makan mereka pun bisa
sedikit kuusik, kau tahu Niall, si tukang makan banyak yang mana dia akan
selalu tetap seimut itu! Cukup! Rasa khawatirku akan Lou semakin memuncak
dengan semua ini! Ya, ini pernah terjadi sekali, bukan pada Louis tapi Niall, dimana
kutemukan dia sepenuhnya depresi dengan sebuah pasak perak yang tergeletak pada
meja kecil pada kamarnya. Usaha bunuh diri yang menjijikan dengan keraguan yang
bisa kulihat dari dirinya, ya, dengan alasan itu saat dunia belum menerimanya
untuk bisa menjadi salah satu diantara mereka hanya karena menurutnya, suaranya
jelek. Semua ini hampir sama dengan Louis jika nantinya aku MEMANG BENAR-BENAR
MENEMUKAN DIA TERGELETAK PADA KERAMIK MERAH KAMAR MANDI DENGAN TUBUHNYA YANG
SEPENUHNYA HAMPIR TERBAKAR KARENA PASAK PERAK YANG KUTEMUKAN PADA DADA KIRINYA!
“NO LOUIS! YOU DUMB!” aku menjerit dan
melompat ketubuhnya. Menyeretnya keluar dari kamar mandi berkeramik merah
polos. Kudengar umpatan-umpatan bodoh dari Harry juga Niall yang hanya berdiri
disana diambang pintu. Aku tak tahu, aku kehilangan semua arah juga
kata-kataku. Tangisan! Lagi! Kenapa selalu ada tangisan? Aku mencabut pasak itu
dari dadanya dengan nafas dari hidungnya yang tersendat dan bisa kubaca.
Sementara Liam ada disana, duduk kaku pada pojok ruangan dengan tangisan yang
bisa kudengar. Dan jeritan suara Niall dari kamarnya. Bantingan pintu kamar
Harry yang terlalu keras untuk bisa kuterima pada kupingku.
Aku
benamkan wajahku pada dadanya yang mulai mengering. Dan air mataku yang
membasahi tubuhnya yang seperti daging asap. Hanya nafas kikuknya yang dengan
mudah aku rasakan pada helai-helai rambutku. Yang kudengar darinya hari ini
hanya saat dia tanyakan padaku ‘ada apa’ dan usulannya untukku menemui Zayn.
Kami tak banyak bicara lagi khususnya setelah beban yang diterimanya. Yang aku
tahu, Louis adalah pria paling bodoh dengan apa yang telah dilakukannya
sekarang. Aku tak mengerti apa yang akan Eleanor lakukan atau katakan setelah
dia tahu ini. Yang pasti, aku takkan memberi tahunya, itu yang pertama, dan
yang kedua, aku masih bisa dengan mudah memberinya cekcok mulut atas
kebangkitan keduanya!
Aku
membuka laci tepat disamping kasurnya. Mencari satu benda yang bisa melukaiku
dari omongan seorang pria, silet. Aku benar-benar tak memperdulikan keberadaan
Liam disana. Entah apa yang dia lakukan. Yang kutahu, aku tahu apa yang akan
kulakukan. Dengan semua rasa itu yang menyetubuhiku saat silet itu perlahan aku
sayatkan pada pergelangan tanganku. Rintihan yang kurasakan. Perih. Langkah
kaki seseorang yang menjauh, aku tahu itu Liam. Dia mencoba menjauh. Menjauh
dari aroma darah yang mengalir pelan lewat pembuluh nadiku yang menetes keras
pada mulut Louis yang ternganga tanpa ada desahan nafas lagi darinya. Aku tak
tahu telah berapa lama, hingga………..
“Kau
baikan Amy?” aku membuka mataku, menatap pria dengan pertanyaan bodohnya
padaku, sangat, kabur. Hanya ada kunang-kunang disana. “Ini Zayn.”
Aku
mencoba memulihkan siapa aku, setidaknya, aku ingat apa yang telah terjadi
semalam. Louis!
“WHERE IS LOU?” aku buru-buru turun dari
kasurku, lagi, berlari. Berniat menuruni anak-anak tangga untuk menuju ruangan
gelap bawah tanah yang sengaja kami bangun hingga tangan Zayn mencegahku. Dia
menarikku. Menghentikanku dengan mencengkeram perban pada pergelangan tanganku.
“He is okay. He is in his room now. You
saved his life.” Jawabnya yang teredam rambutku, saat dimana aku hilang
bersama kehangatan dadanya. Aku masih diam, mecoba menikmati apa arti sebuah
pelukan dari seseorang dalam suasana yang sepenuhnya tak benar-benar pas. Tapi
ini pertama kalinya, setelah setahun kami berjalan bersama. Dengan luka yang
selalu kurasakan untuknya, dan kini, dia izinkan aku merasakan degupan
jantungnya yang sangat merdu. Aku tak tahu perasaan ini, kalau nyatanya, aku
pun masih terlalu terfokus untuk Niall. Yang kutahu, Niall belum merasakannya.
Namun Zayn, yang paling mudah untuk mengenali gerak-gerikku. Caraku
memerhatikannya. Apalagi? Tak ada. Hanya desahan nafas yang kurasakan seperti
mengikatku, terlalu kencang pada ulu hatinya. Tak mengizinkanku bergeser atau
aku yang terlalu memaknai semuanya.
“Amy
McFadden, entah bagaimana kami berterimakasih padamu atas semua yang telah kau
lakukan dan kau korbankan untuk kami. Kau yang terbaik, Amy. Kami
menyayangimu.”
Dia
mencium keningku dan menghempaskanku dari pelukannya. Namun dia masih disana,
menatapku dengan dua bola matanya yang kembali penuh cinta. Dan guratan luka
yang baru kusadari pada dadanya. Aku tak tahu. Aku menghilang disana. Hanyut.
Aku terbang bersama apa yang telah dia berikan. Yang kutahu, aku mencintainya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
“Aku
melihatmu semalam, Amy. Mengendap-endap kedalam tempat penyimpanan darah rumah
sakit dan keluar dengan sebuah kardus besar pada tanganmu. Apa yang kau lakukan
Amy?”
Aku
menelan ludahku. Beberapa kali membasahi bibirku dengan lidah yang kujulurkan,
berusaha mencoba rileks namun sepenuhnya tidak karena dia, Elena, sepenuhnya
mencurigaiku atas segala hal.
“Aku….aku,
umm…. Membersihkan tempat itu. Ya, aku membersihkan tempat itu.” Balasku dengan jantung yang berdebar
lebih keras dan tatapan curiga Elena yang semakin membuatku tak karuan. Tuhan…!
Dia
menyilangkan kedua lengan pada dadanya, dengan mata hijaunya yang kini
sepenuhnya menekanku untuk mengatakan satu hal yang paling ingin dia ketahui.
Aku tahu aku pasti berkeringat, keringat dingin. Dan yang paling bisa kulakukan
hanya tersenyum, mencoba menyembunyikan perban yang Zayn balutkan pada luka
sayatanku.
“Kau
seperti orang yang habis membunuh, kau tahu? Pihak kepolisian telah mengetahui
apa yang kau lakukan semalam, sangat mencurigakan. Beberapa mengatakan kau
hanya orang sinting dan beberapa mengatakan kalau kau seperti habis melakukan
satu hal menjijikan. Apa yang sebenarnya kau sembunyikan Amy?”
Aku
menundukkan kepalaku. Menghindari tatapan matanya dengan rasa pegal pada
pergelangan tanganku yang sengaja kusibukkan untuk memainkan secangkir kopi.
Aku belum yakin akan memberitahu semuanya pada Elena. Dia seorang polisi, itu
yang selalu menjadi pertimbangan untukku. Aku tahu kami bersahabat, dan aku
bahkan tahu keinginan terbesar yang selama ini selalu dia tulis pada buku
hariannya adalah dia ingin bertemu vampire.
Menjadi vampire. Dan hidup bebas.
Elena mungkin belum melakukan satu hal yang bisa membuatku berterimakasih atas
kehadirannya dimuka bumi. Tapi bagaimanapun juga, dia yang sepenuhnya membuat
hari-hariku lebih baik jika aku bertengkar dengan cowok-cowokku dirumah. Dan
yang sangat kuinginkan, aku ingin membuatnya bertemu pada imajinasinya, anggap
saja imbalan atas semua senyuman yang telah merekah milikku darinya. Namun itu
akan sangat susah. Sangat susah. Aku tak yakin cowok-cowokku mau menemuinya.
Bahkan pacar mereka pun tak tahu kalau mereka abadi.
“AMY
KAU MEMOTONG TANGANMU?!” pekiknya tiba-tiba yang menggugahku dari lamunan
harianku. Aku langsung kembali menyembunyikannya. Hanya menggeleng pelan dengan
senyuman kecut seperti biasa. “Amy, ada apa denganmu?”
“Elena,
aku baik-baik saja.”
“Lalu
apa yang kau lakukan di tempat penyimpanan darah itu?”
“Aku
hanya membersihkannya dan mengecek lagi jumlahnya.”
“You are a liar. Amy, you are really in a
serious jam.”
Dia
bangkit dari kursi duduknya. Meninggalkanku dengan luapan emosi yang tak
tersampaikan. Aku menatapnya, berjalan frustasi dengan high heels yang membuatnya terlihat menakjubkan. Dan, entah, aku
tak tahu. Apakah lusinan polisi akan menjamah rumah cowok-cowokku? Akankah aku
dipenjara nantinya, yang kutahu, aku sepenuhnya tak ingin merasakan
keguncanganku sekarang.
***************************************
Berjalan
ketimpangan dengan mantel hitam dan syal yang sama, membuatku sangat mudah
untuk dikenal orang. Ditambah rambut hitam gelombang ini yang paling berbeda
diantara gadis Amerika berkepala merah dan pirang yang berjalan dengan satu set
Victoria Secret mereka. Aku tak
membutuhkan itu. Tidak.
Udara
di New York memang tak sedingin Manchester, ya, disini lumayan hangat. Tak ada
jalanan licin. Itu saja yang terpenting. Walau selamanya orang-orang akan mudah
mengenaliku dengan aksen Inggris yang belum sepenuhnya bisa ku padu padankan
dengan aksen Amerika yang ringan. Dunia memang selalu seperti itu, ya,
kebanyakan orang Amerika ingin punya aksen seperti kami, orang Inggris, sangat
seksi katanya. Tapi, tak banyak juga dari kami ingin beraksen Amerika, memang
lebih mudah belajar aksen Amerika ketimbang Inggris dengan intonasi yang
sejujurnya memang sangat rumit. Well, aku
mungkin terlambat mengatakannya, aku bukan sepenuhnya orang Inggris, hanya
ayahku. Ibuku adalah orang Prancis. Aku pernah tinggal di Prancis selama lima
tahun, itu kenapa aku pun bisa mengucapkan kata-kata itu lebih baik dari orang
Inggris lainnya. Dan, karena kematian ibuku di umurku yang kelima, ayah
membawaku ke Manchester dimana dia menikahi lagi seorang janda anak satu, Evelyn
Newly dengan anak cowoknya yang tentunya menjadi kakakku sekarang, Matthew
Walter. Ayah menikah lagi setelah setahun semenjak kematian ibuku; Alice
Legendre.
Semua
pikiranku melayang mengingat wajah cantik ibu kandungku. Entah, bayangan Evelyn
hanya mengingatkanku pada penderitaan Lindy seperti yang pernah sekali ia
gambarkan tentang ibunya yang katanya tak mencintainya. Aku tak yakin,
menurutku, semua wanita didunia ini pasti punya kasih sayang entah itu pada
anaknya ataupun bukan, tapi itu yang kupercaya.
Semuanya
selalu menyita tiap detik nafas hidupku. Aku masih ragu, apa yang aku lakukan
bersama mereka, cowok-cowok tampan itu. Aku bukan pemoles bedak pada mereka,
aku secara tidak langsung saja memberi mereka selalu kehidupan, aku tak
melebih-lebihkan tapi itu kenyataan walau ini pertama kalinya buatku memotong
pergelangan tanganku sendiri hingga kurasa tubuhku mengering. Lalu, pria itu
menghadirkan lagi kehidupan untukku. Pria yang selama ini selalu kusebut dalam
setiap rangkain do’a dan helaan nafas yang aku hembuskan, lalu kembali terajut
bersama perasaanku untuknya yang selalu mengambang. Sekali, degupan jantungnya
yang indah itu masih mengisi kepalaku dengan dentuman tiap detiknya. Seperti
memanggilku. Saat dia letakkan bibirnya pada keningku dan semua emosiku yang
perlahan larut dalam genggamannya yang hangat, Zayn Malik. Yang hanya kurasakan
saat aku bersamanya adalah, rasa aman itu. Bukan ketakutan seperti saat aku
harus benar-benar bertengkar dengan Harry. Bukan keputusasaan seperti saat aku
harus bersama Louis. Bukan rasa iba saat aku harus bersama Liam. Dan bukan
sekedar memujanya seperti aku rasakan saat aku bersama Niall. Yang kurasakan,
kutemukan rumah bagi perasaanku. Rasa aman yang sepenuhnya ia jamin lewat
degupan jantungnya. Ya, takkan ada ketakutan itu, belum ada. Atau takkan pernah
ada.
“ANGKAT
TANGAN MCFADDEN RUMAH INI TELAH KAMI KEPUNG!” itulah komando pertama yang
kudengar setelah sedetik kubuka pintu rumah itu. Tentu saja dengan sangat
bodoh, ku angkat dua lengan tanganku, merasakan nafasku yang tak karuan dan
detak jantung yang lebih tak normal.
“Maaf
Amy, kaulah yang menginginkan ini terjadi.” Bisik Elena dengan dia yang sedang
memborgol tangan pada punggungku. Aku hanya menarik nafas panjang dan
menghelanya dengan cara lebih pasrah. Aku menyunggingkan senyumanku dengan dia
mencoba mengikat perban itu. Tak ada yang bisa kujawab bersamaan sirine mobil
polisi yang menyerukan keadilan, ya, inilah yang sepantasnya kuterima. Lindy
akan sangat menyesal jika dia tahu ini.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Perlahan
aku rasakan bagaimana perasaan Zayn saat aku menguncinya di balik jeruji yang
sengaja kami buat dirumah. Ya, inilah rasanya, mati kedinginan, itulah yang
melekat pada otakku. Tak ada orang lain dalam ruangan sempit juga gelap ini,
hanya aku dan tanpa penyesalan. Yang selalu terlintas hanyalah, kenapa aku
selalu ada untuk orang-orang yang membutuhkanku namun sebaliknya, mereka selalu
menghindar saat aku sepenuhnya menginginkan kehadiran mereka untukku? Aku
memang egois, sangat egois. Terlalu egois untuk lebih mengutamakan kepentingan
pribadiku ketimbang kepentingan mereka yang lalu-lalu, tapi setidaknya,
harusnya mereka lihat sisi lain yang kumainkan dalam diriku, sisi dimana aku
mencoba membuat mereka benar-benar hidup, bukan dimana saat aku mencoba membuat
mereka berani menghadapi matahari.
Aku
hanya duduk disana, menyilangkan kakiku pada ubin beku kamar penjara.
Membiarkan rambutku terurai dengan do’a yang aku lupakan. Menyandarkan kepalaku
pada tembok tanpa cahaya. Tanpa suara, aku kesepian bersama diriku saja.
Menangisi keadaan bukan karena menyesalinya. Menangisi setiap ucapan yang
orang-orang katakan untukku; gadis manis. Gadis baik, dengan satu hal, aku tak
pernah membuktikan itu pada mereka. Lindy, dia hanya katakan itu karena dia
hanya anak sembilan tahun yang hampir mati karena jantung kronisnya, tak ada
alasan lagi.
“Kita
punya masalah serius, Amy.” Aku mendongakkan kepalaku, bersamaan pintu besi itu
yang terbuka untukku dan perasaan kacau yang sepenuhnya tiba-tiba membaik
dengan langkah pria itu yang selalu aku tahu kehadirannya, terlalu kalem.
“Liam?”
Dia
berjongkok disana, beberapa sentimeter dihadapanku, dengan jari-jari kaku juga
dingin tangannya yang dia letakkan pada pipi kiriku, hingga sepenuhnya bisa
kutahu, dia memang Liam.
“We should go now.”
***************************************
Lampu
bandara yang berkedip. Tak ada seorang pun disana, hanya kami dan, keheningan,
beserta langkah kami, menapaki tiap persegi keramik tanpa satu orang diantara kami.
Yang membalutkanku luka ini, kami tak bersama Zayn.
Keadaan
bandara yang sepenuhnya semerawut dengan meja dan kursi yang terbalik juga
patah. Cipratan-cipratan darah yang memenuhi langkah kami menuju pesawat yang
telah mereka sewa. Tak ada polisi disini, dalam kekacauan yang sepenuhnya
membuatku ngeri. Tubuh tak bernyawa milik ratusan umat manusia yang hanya
tergeletak sia-sia, aku tak tahu apa yang sepenuhnya telah meracuni New York.
Atau, apa penyebab semua ini? Ada berapa vampire
disini? Aku tak tahu. Yang paling aku pahami sekarang, siapa yang
sebenarnya egois diantara semua ini adalah kami.
“Apa
yang sesungguhnya terjadi?” tanyaku dengan menghentikan langkahku yang sepenuhnya juga mereka ikuti.
Mereka
menatapku. Mereka terdiam. Bibir biru mereka yang sepenuhnya mulai ketakutan
dan sorot mata mereka yang menyembunyikan atas segala hal, dariku.
“Apa
yang sebenarnya terjadi?” aku mengulang pertanyaanku. Lebih menegaskannya,
dengan mencoba memahami tiap helaan nafas mereka yang semakin tercekik.
“Everything, Amy. Everything has happened
here.” Tukas Niall dengan wajah kusutnya dan ketakutan yang selalu
menghantui hidupnya sebagai seorang makhluk abadi.
“Dewan
& Zayn.” Susul Harry. “Dewan akan menyidang seperti pada maja…”
“What?” Aku menyela apa yang sedang
Harry katakan. Tak memberinya kesempatan untuk melanjutkan apa yang harusnya
dia katakan dengan perasaan
terkejut yang juga bercampur kesal dan percikan kecil api atas apa yang mereka
lakukan. Aku berantakan, walau emosiku tak meluap. Mereka bilang, bukan mereka
yang lakukan itu, kesalahanku terlalu mempercayai mereka. Itu kelemahanku, aku
terlalu memuja mereka. Sangat memuja mereka. “Kenapa?”
“Amy,
berikan kami kesempatan untuk bicara!” pekik Louis hingga suara tepat pada
ujung paru-parunya.
Aku
hanya meliriknya. Menyilangkan kedua lengan pada dadaku masih menatap mereka,
yang kutahu mulai menganggapku hanya sebagai hama. Atau memang, ya, aku tak
pernah sama sekali memberi celah untuk mereka beralasan, setidaknya untuk
membela diri mereka sendiri, belum. Aku belum pernah. Aku hanya, entahlah, aku
hanya tak tahu. Aku menyayangi mereka, lebih dari aku menyayangi hidupku
sendiri. Tapi aku tak tahu perasaan ini, apakah kekecewaan? Atas apa yang aku
lakukan untuk mereka atau yang mereka lakukan untukku? Hanya, terkejut! Ya, itu
yang sangat menyengatku seperti lebah! Kembali, menangis, itu yang satu-satunya
aku bisa lakukan jika semua ini benar-benar menenggelamkanku terlalu dalam.
Sementara emosi yang kali itu sama sekali tak bisa aku luapkan, karena mungkin
aku terlalu sering meluapkannya, atau aku kehabisan nafasku. Sepenuhnya. Masih
memegang kendali pada diriku, tanpa ada suara dari mereka. Hanya desahan nafas
mereka yang dingin dan terlalu membuatku selalu merasa hangat. Mereka selalu
lebih baik dari itu semua. Selalu. Dan mereka selalu lebih menyebalkan, seperti
selalu sekeras batu dimana aku harus menjadi air untuk menenggelamkan mereka.
Itu kenyataannya, tak ada lagi. Mereka titik tergelap dalam pencarian cahayaku.
Titik tergelap dengan semua kebahagiaan yang sepenuhnya mereka bagi hanya
untukku. Titik tergelap dimana aku sepenuhnya selalu memuja mereka.
“Amy,
kau mau dengarkan kami untuk ini?” Harry meraih bahuku dengan tangannya yang
besar dan kuat, memeganginya, dan mata hijau terangnya yang selalu tak pernah
ingin aku ketahui. Dia seperti, menawarkan dirinya, secara halus. Membiarkanku
merasakan hembusan nafasnya seperti milik Zayn saat dia normal. Tak ada lagi,
aku menghadap pada dirinya dengan helai-helai rambut keritingnya, dan dia meraih
tanganku, menggenggamnya dengan masih kedua matanya untukku. Meyakinkanku
dengan caranya yang membuatku, tak berdaya. Memaksaku untuk bisa mengerti
keadaan mereka, sementara aku tahu, ini akan membunuh mereka.
Aku
menganggukan kepalaku, membiarkan air mata itu meleleh bukan membeku seperti
jiwanya. “Ya, tentu.”
“Kami
tak pernah melakukan pembunuhan itu. Dewan menjebak kami. Mereka tak inginkan
keberadaan kami bersama Zayn. Mereka mencoba memisahkan kami.”
Aku
tertegun disana. Tak ada yang harus aku katakan atau aku bantah. Aku hanya
diam, melongo. Membagikan pandanganku satu-satu untuk mereka, dengan sorot mata
mereka yang memohon dan memelas. Aku tak pernah tahu kalau semuanya akan
serumit ini. Kukira vampire hidup
bebas tanpa harus ada aturan yang mengikat mereka asal mereka bisa
menyembunyikan diri mereka. Aku bahkan tak pernah tahu kalau mereka pun punya
dewan, seperti manusia, anggap saja jajaran tinggi negara.
“Mungkin
kita harus bergegas.” Ucap Louis dan menggugahku dari semua fokusku tentang mereka.
Kami
mulai melangkah lagi, untuk menghindari semua ini. Kami bukan pengecut, kami
hanya terlalu lelah untuk selalu terus bersama dalam satu masalah yang belum
ada akhirnya. Kami hanya, mencari. Ya, mencari bagaimana kehidupan senormalnya
orang lain selain kami. Walau aku sepenuhnya lebih normal dari mereka, namun
aku tak pernah bisa rasakan sisi itu dalam diriku. Yang aku tahu, aku
terjerumus bersama mereka karena mereka belum menghempaskanku. Mereka semakin
mengikatku kuat dalam pikiran mereka. Dalam jiwa mereka yang sepenuhnya tak
pernah nyata dan mereka anggap semua itu hanya sebatas, tentang siapa mereka.
Kalau nyatanya manusia bernyawa pun masih melakukan hal lebih buruk dari apa
yang pernah mereka lakukan, setidaknya, itu yang selalu membuat mereka berada
pada garis depan, dengan para fanatik mereka. Yang lain, ada aku. Aku, yang
mencoba menyembunyikan mereka. Yang telah menjual hidupku untuk mereka, menukar
semuanya untuk mereka, dengan sepenuhnya aku masih seorang manusia yang tolol.
Kami
pun belum kembali bicara, masih saling menutup diri. Aku takut semua ini akan
berlangsung lebih lama, dan aku akan pergi, tanpa ucapan terimakasih atau
kecupan atas apa yang telah mereka berikan. Hingga langkah kami kembali
terhenti, setelah sedetik lusinan langkah kaki mengisi kuping kami dan menggema
pada setiap koridor bandara.
“Mereka
disini.” Kata Niall dengan membagikan matanya pada kami. “Ayo, kita harus
pergi.”
Kami
melangkah mencari pintu tak terkunci menuju tempat landasan. Aku sejujurnya
masih sangat belum bisa mencari celah untuk bisa memahami apa yang sebenarnya
telah terjadi diantara kami. Maksudku, siapa yang harus aku percaya disini?
Haruskah dewan itu yang sama sekali aku belum mengenal mereka atau lima cowokku
yang mana aku selalu tenggelam karena mereka? Sementara aku punya kebingunganku
sendiri yang harus aku hadapi.
“Bagaimana
jika kita tertangkap?” tanyaku pada mereka.
“Mereka
takkan menangkap kita,” kata Harry dengan kepercayaan diri itu. “Kita akan
selamat dan temukan Zayn.”
“Bagaimana
jika semua itu berkata lain?”
“Maka
kau yang akan kami prioritaskan.” Ucap Liam.
Aku
tak mengatakan apa-apa lagi. Keyakinanku sepenuhnya membuncah. Aku menggigit
bibirku. Bisa kurasakan semua perasaanku yang terbang bersama jutaan partikel
pada dirinya. Kurasa pipiku memerah, terbakar, dengan aku yang melayang, hanya
karena kalimat singkat yang harusnya tak mengartikkan apa-apa buatku, namun aku
sangat bodoh.
“Apa
kalian mendengarnya?” tanya Louis tiba-tiba.
Beberapa
saat kemudian, barulah aku atau kami, mungkin, mendengar apa yang sudah
didengar Louis. Suara langkah kaki pada sepatu bergerak dengan cepat. Aku hanya
meringis. Sementara kami belum menemukan pintu mana yang tak terkunci.
“Kita
harus lari,” Niall memberi aba-aba pada kami dengan meraih lenganku tanpa ada
pikir panjang darinya.
“Lari!”
pekik Liam.
Suara
langkah kaki yang mengejar kami terdengar semakin keras, semakin dekat. Dengan
kami yang masih sibuk untuk mencari pintu. Tak ada. Semuanya terkunci! Dan
langkah kaki itu yang semakin jelas bersama raungan yang sepenuhnya
mengejutkanku. Aku tahu satu-satunya yang akan meraung disana, ZAYN!
“Sayangnya
kami telah mengunci semua pintu.” Kami kehilangan fokus kami untuk bisa kabur,
dengan pernyataan singkat itu.
Kami
menatap wanita itu, yang berpakaian merah gelap dan seperti menekan tubuhnya
yang kerempeng. Rambut pirang pucat lurusnya yang terurai panjang hingga
menyentuh bokongnya. Dia membalas tatapan kami, lebih keji dengan hijau giok
pada sorot matanya sementara lampu yang berada diatas kami semakin meredup.
“Apa
maumu, Nichole?” tanya Harry dengan agak membentaknya, dan wanita yang dia
panggil Nichole itu hanya melemparkan senyuman singkat yang kecut dengan bibir
merah tebalnya.
“Seperti
yang kalian ketahui, bersekutu dengan werewolf
adalah satu larangan untuk kaum kita. Apalagi berbagi darah dengannya dalam
satu rumah, itu tak termaafkan.”
“Kalian
akan dihukum mati.” Tambah seseorang selain Nichole yang tiba-tiba muncul dari
kegelapan dengan jubah hitam panjang. Bukan hanya seorang, empat sekaligus!
“Kalau
kau pikir mereka masih menjadi budak, kami tak pernah mengatakan ya pada
persetujuan itu.” Balas Liam dengan tanpa ekspresi di wajahnya.
Wanita
itu tersenyum. Mungkin kehabisan kata-kata, atau, dia mengalihkan semuanya,
kepadaku. Tak hanya mengalihkan pandangan itu, namun berjalan mendekat dengan high heels merah yang bersembunyi
dibalik gaunnya.
Aku
bisa rasakan hawa dingin yang memelukku itu dengan sangat mudah, akankah karena
dia berdiri dihadapanku sekarang? Mengeksposkan tentang dirinya yang terlalu
kelam, hingga aku pun tak sanggup mendengar degupan jantungnya yang terlalu
teredam sebuah emosi yang tak pernah bisa aku rasakan.
“Jangan
ganggu dia Nichole!” bentak Niall dengan buru-buru menarikku ke belakang
punggungnya.
“Dan
seorang manusia? Aku tak tahu hukuman apa lagi yang pantas untuk kalian kalau
hukuman mati pun telah menjadi yang tertinggi.”
“Aku
beritahu kau Nichole. Kebudayaan kita bukanlah kebudayaan kuno yang selalu
menganggap werewolf adalah budak, kalau nyatanya kita
dan mereka adalah monster! Kenapa tak coba hilangkan semuanya? Apa salah
mereka? Dan manusia, mereka memberi kita darah untuk hidup! Mereka membantu
kita! Mereka bukan budak!” balas Louis dengan apa yang baru aku ketahui; mereka
menganggap umat manusia sebagai budak, yang menyediakan darah untuk mereka.
Sementara werewolf mereka anggap
sebagai pelindung mereka dari matahari. Mereka berfikir, vampire yang akan memegang kendali atas semuanya di muka bumi.
Memimpin pasukan untuk menghancurkan semuanya, dan secara tidak langsung,
mereka akan merusak keseimbangan yang telah ditakdirkan ada di muka bumi! Kalau
nyatanya antara mereka dan werewolf memang
monster! Ya!
“Bawa
mereka,” perintah Nichole. “Mereka semua.”
Dan
empat orang berjubah, yang tiba-tiba mereka telah berdiri di belakang tubuh
kami. Mengikat kami dengan tangan dingin juga kaku mereka. Kami tak melakukan
tindakan, hanya, membiarkan semuanya terjadi begitu saja dengan sangat mudah.
Dan mungkin nantinya akan percuma, berakhir dengan kematian kurasa. Apakah ini
akhir hidupku? Bahkan kalimat yang Liam katakan pun seperti tersapu dengan
mudah oleh aliran darah pada otakku. Yang aku tahu, ada Zayn disini. Dan yang
aku harapkan, dia akan keluar dengan bayangan tergelap pada dirinya. Menghentikan
semua ini. Membunuh Nichole dan bajingan-bajingannya.
Mereka
memaksa kami untuk berjalan, dengan tak ada pencahayaan selain mata bening
mereka. Suasana senyap hanya langkah kaki mereka dan kami. Aku menundukan
kepalaku, kau tahu, bagian yang paling penting saat detik-detik terakhir
kematianmu adalah mengenang semua kenangan yang pernah kau lalui bersama orang
yang kau sayangi, ya itu yang aku lakukan…
*Flashback*
“Dear Diary….”
“Kembalikan
Zayn! Itu privasiku!” aku mengejarnya hingga kami tak berada di ruangan bawah
tanah. Berlari dan tertawa dengan dia memegangi buku kecil milikku yang dia
temukan pada meja makan. Ada sejuta kekhawatiran yang aku rasakan, ada banyak
perasaan yang aku tuangkan disana. Perasaanku pada Zayn.
“Summer has always been my favorite since I
was only a little chick…”
“KEMBALIKAN
KAU SIALAN!” aku membentaknya dengan tawanya yang semakin menggelegar. Dia
terus berlari dengan matanya yang hanya terfokus pada catatan kecilku itu,
sementara aku yang masih mencoba mengejarnya dan melemparinnya bantal. “Zayn!”
“But this time I don’t have any idea why I
truly hate summer just like I do to my own self…”
“ZAYN
AKU PERINGATKAN KAU UN…”
“Aku
sudah membacanya kemarin.” Ucapnya tiba-tiba yang membuatku hanya, diam dengan
semua rasa malu yang bisa kurasakan tiba-tiba menyebar pada tubuhku. Dan
seperti dia, menyemprotku.
“Kau
sudah membacanya?”
Dia
hanya mengangguk dengan mengembalikan bukuku itu. Dan senyuman lebar juga puas
yang terpancar dari dirinya.
“Apa
yang kau baca?” tanyaku dengan badan yang sepenuhnya bergetar!
Dia
lalu meletakkan tangannya pada kepalaku, mengacak-acak rambutku dengan aku yang
tak pernah mempedulikannya. Dan dia tersenyum ringan. “Aku takkan katakan pada
Perrie, tenang.” Katanya yang semakin membuatku, tak karuan! “Dan, tunggu saja
aku putus dengan Perrie.” Dia mengedipkan matanya padaku, dan aku yang menahan
rasa malu juga ingin menangis. Aku ingin berteriak disana. Sangat. Tapi aja
sepercik kebahagiaan disana, kebahagiaan karena dia tahu perasaanku untuknya,
walau bukan dari mulutku tapi dari perasaanku yang mengatakan itu pada secarik
kertas dan lumeran tinta.
*End of Flashbak*
Aku
meringis sendirian, bersama suara lain yang terlalu aku pedulikan. Itu Zayn.
Aku tahu. Dia datang. Pasti dia datang.
“Dia
disini.” Bisikku pelan, bersamaan dia ada disana… di hadapan kami!
Sosok
gelapnya yang selalu memelukku pada ketakutan. Yang selalu membuatku ingin
untuk berpaling darinya. Yang membuatku merasa hilang tanpa dia yang aku kenal.
Namun semua itu sekejab menghilang, aku semakin menginginkannya, mental dan
fisiknya. Untuk bisa menyentuhnya adalah nafsu terbesar dalam diriku yang belum
sama sekali hingga sekarang bisa kucapai. Dan kami hanya terdiam, dengan
erangan nafasnya yang tak teratur. Bulu hitam panjang yang mengikatnya seperti
mantel coklat saat kami bertemu. Sorotan mata itu dari kegelapan yang terpancar
seperti lilin bagi kehidupanku. Api yang membakar perasaanku.
Dia
meraung dengan giginya terpampang keluar dan air liur menetes-netes dari
mulutnya, bersama dia yang tiba-tiba melompat ke arah Nichole! Wanita itu
terjatuh dengan sangat menyedihkan dengan Zayn berada tepat diatas tubuhnya
dengan cakar dan gigi menggigit ke arahnya tanpa sebuah perlawanan yang membuat
empat pasukannya lebih memilih untuk menolongnya dan itu kesempatanku juga
empat cowokku untuk kabur!
Tak
ada kesempatan lain! Kami tak menghiraukan sama sekali arti semua ini, yang
kami lakukan, kami berlari! Dengan Niall yang menggandengku dan Harry memimpin
kami. Ada perasaan bersalah yang sepenuhnya menghantuiku saat aku melihat Zayn
disana. Kenapa aku harus berlari? Pikirku.
Aku
menarik tanganku dari genggaman Niall, menarik dengan keras. Hingga dia
menghentikan pelariannya, memutar tubuhnya dan menggantungkan lagi tatapannya
padaku dengan emosi yang mulai memuncak.
“Kita
harus pergi!” pekiknya dan membuat Harry, Liam juga Louis harus berhenti
disana, lagi.
“Aku
takkan pergi tanpa Zayn,” kataku. “Aku mau selamatkan dia dari mimpi buruknya.”
“Amy,
tolonglah…” ucap Louis dengan memohon dan berjalan kearahku hingga dia berdiri
disana, dimukaku. “Kita harus pergi.”
“Dia
yang membutuhkan kita sekarang,” balasku dengan agak menjauh darinya. “Aku akan
berada disana saat dia membutuhkanku. Kalian saja yang pergi, aku akan
baik-baik saja disini.”
Mereka
hanya diam, sekiranya melepaskanku perlahan untuk apa yang selalu aku inginkan.
Aku memutar tubuhku dan bergerak. Merogoh sakuku untuk bisa kurasakan, aku tak
mematahkan jarum suntik dosis tinggi Zayn yang kutemukan pada van sebelum kami
tiba di bandara.
Aku
berjalan, menyusuri kegelapan itu sendirian, dengan rasa ngeri. Mungkin Harry,
Lou, Liam dan Niall telah memutuskan apa yang akan mereka lakukan. Tapi disana
bukan saatku untuk memaksa mereka, memaksa mereka untuk bersamaku dan melindungi
Zayn. Mereka tidak egois. Mereka teman yang baik untuk Zayn, sangat baik.
Mereka hanya ingin mencari persembunyian sebelum matahari benar-benar telah
bersinar. Itu bukan egois, dan aku percaya mereka akan keluar untuk menemuiku
juga Zayn jika hari itu mendung.
Aku
semakin menekan jari-jariku pada saku celana, sementara raungan Zayn mulai
kembali memenuhi ruangan tempat aku berdiri sendirian dan itu menggema.
Membuatku semakin sulit untuk bisa melacaknya, walau tanpa gema itu pun pasti
telah menyulitkanku.
“Zayn?
Itukah kau?” aku sedikit meninggikan suaraku dengan nafas erangannya yang
seperti tepat berada di balik tubuhku. Aku membagi pandanganku pada sekeliling,
dan terfokus hanya pada kaca besar yang memantulkan sedikit cahaya dari tempat
landasan. Aku berjalan pelan untuk merapatkan diriku pada kaca itu, setidaknya,
aku akan bisa mendapatkan sedikit penerangan untuk ini.
“Zayn?”
aku kembali memanggil namanya. Berjalan pelan menyusuri kaca yang belum
berujung itu. Menahan semua rasa deg-degan yang tak karuan yang memompa darahku
lebih cepat dan tak normal. Seperti ada satu pertarungan dalam diriku sendiri
saat jantungku berdegup hingga bisa membuatku tak merasakan keberadaanku
disana.
“Zayn
ini aku, Amy.” Aku kembali meyerukannya, masih dengan berjalan pelan menyusuri
kaca itu. Hanya sekarang, aku telah siap dengan cairan kesayangan Zayn pada
jarum suntik yang aku sepenuhnya tak yakin bisa menembus kulitnya.
Aku
terus berjalan, terus berjalan, dengan merasakan helaan nafas lain yang mengisi
udara. Nafas yang kasar dengan penuh erangan. Penuh dengan kematian. Nafas yang
kehilangan arah pada dirinya. Nafas yang mendefinisikan rasa sakit sebenarnya.
Sakit akan jiwa dan kehidupannya. Dia tidak gila, walau aku tahu, sudah banyak
korban yang kutemukan selama perjalanan kecilku. Banyak darah yang membanjiri
keramik putih, dia bukan pembunuh. Dia ada dibawah alam sadarnya, dimana dia
bukan dia, hingga aku temukan Nichole dan empat pasukan kecilnya yang sekarang
hanya, lima kantung darah yang pecah. Gaun merah gelapnya yang semakin gelap.
Rambut pirangnya yang memerah dan kulit pucatnya yang tersayat. Dia mati,
dengan sangat tenang. Seperti tertidur.
“Zayn…”
aku kembali memanggilnya dengan kakikku yang sepenuhnya semakin bergetar
setelah bisa kulihat mayat Nichole yang tergeletak mengenaskan. Aku ingin
memutar tubuhku dan kembali, berlari kearah Niall atau Harry atau Lou atau Liam
dan memeluknya. Memberitahu mereka kematian Nichole yang mungkin akan membuat
mereka tersenyum girang, tapi aku tak bisa dan aku tak mau. Zayn membutuhkanku
disana. Menginginkanku untuk menyuntikkan cairan itu pada dirinya!
Aku
membulatkan tekadku, meyakini kalau ini akan segera berakhir. Ya, akan segera
berakhir, atau memang telah berakhir saat itu pula aku hanya berdiri kaku
dengan hembusan nafas keras yang kasar pada leherku. Menyelubungi rambutku
dengan aroma darah pada tiap helaannya. “Zayn..?”
Dan………..
keheningan itu berubah menjadi satu hal yang mengutuknya. Bersama raungannya
juga perasaan gila yang akan tetap melekat pada diriku saat lengan hitamnya
membiarkanku terpental keluar dengan serpihan kaca itu! Dia menamparku hanya
dengan sekali gerakan. Membiarkan ruangan itu berisik akan pecahan kaca dan
raungannya sementara perih beling menusuk semua kulitku yang terbuka! Darah yang
kurasakan menetes pelan pada pelipis dan lenganku saat aku hanya, terlentang
disana! Merasakan bayangan yang sepenuhnya hampir kabur namun aku masih bisa
merasakan kedatangannya. Jarum suntik yang masih berada di sela-sela jariku.
Aku ingin berteriak. Mencari pertolongan namun kuyakin mereka pun tak sanggup
menahannya. Aku ingin bangkit, berdiri dan berlari, namun sepenuhnya, dia
menekanku disana! Membungkukkan badannya pada tubuhku yang tak mungkin
melakukan tindakan kecuali untuk menyuntikan dosis tingginya!
Perasaan
itu mengambang dengan dia yang meraung keras melambangkan keperkasaannya. Ada
luka yang membuat hatiku menggigil akan perilakunya, akan siapa dia yang sedang
mengontrolnya sekarang. Dia bukan Zayn! Saat bola matanya menusuk jiwaku dengan
sejuta kebencian yang dia pancarkan lewat sisi gelapnya, taring dan liur yang
menetes pelan membasahi kulit dan darah.
“Zayn…
ini aku… Amy…” aku berucap, menyiapkan kuda-kuda untuk menyuntikannya apa yang
sangat dia butuhkan.
Dia
hanya mengerang. Tak bisa berucap. Hanya yang aku tahu, dia mulai melihatku
dengan sisi lainnya. Saat bisa aku lihat bayangan diriku ada pada kedua bola
matanya, dengan semua rasa iba dan ketakutan itu.
“Amy,
yang kau peluk pagi tadi…”
Dia
semakin menatapku dengan dirinya. Namun erangannya yang masih bisa dengan jelas
aku dengar, dan, perlahan dia semakin kehilangan sisi gelapnya, perlahan saja
bersamaan jarum yang telah menembus kulitnya, raungan yang kembali ia
kumandangkan, tak lama, hanya beberapa detik hingga tubuh hitamnya jatuh dan
tergeletak diatas tubuhku.
Aku
memeluknya, dengan perubahan pelan yang terjadi pada dirinya. Bulu hitam itu
tak lagi aku rasakan, namun kulit yang kuimpikan untuk bisa aku peluk seperti
ini semakin nyata. Nafas kasarnya yang perlahan dapat kuhirup diantara do’a dan
air mata yang hanya aku curahkan sepenuhnya luka juga kebahagiaan bersama dia
dan kenangan ini, saat ini.
Aku
menggeser tubuhnya, membuatnya berbaring tepat disampingku. Membuatku bisa
untuk meletakkan kepalaku pada lengannya yang tersayat.
“Amy…”
katanya tersendat. “Jangan katakan pada Perrie kalau aku menyukaimu, setuju?”
dia menyunggingkan senyuman itu dengan matanya yang terpejam. Dengan nafas yang
masih bisa kuhela, mulai normal.
“Aku
menyayangimu, Zayn.”
Aku
mencium pipinya, dan senyuman lagi dari dirinya yang bisa membuatku untuk
bertahan disana, berbaring bersamanya pada lantai beku dengan noda darah. Dan
aku memejamkan mataku, mencoba melupakan semuanya, menunggu malam itu berakhir,
di lengannya.
No comments:
Post a Comment