Finalis #1DFanficContest13
by Zahrotunnisa , 18
NLS
Zayn mengangkat sebelah alisnya, matanya masih tertuju kepada
seorang laki-laki berambut blonde yang dari tadi mondar-mandir ke sana kemari
di dalam pesawat. Dari raut wajahnya, nampak jelas jika orang itu sedang
menyimpan kebahagiaan yang luar biasa.
“Niall
kenapa?” tanya Zayn kepada Liam yang kebetulan duduk di sebelahnya.
Namun
Liam hanya mengangkat bahunya, “Dari tadi aku lihat dia bolak-balik ke arah
dapur pesawat. Mungkin dia lapar.”
“Dia
memang selalu lapar,” gerutunya. “Tapi lihatlah, dia seperti sedang sangat
senang.”
“Tentu
saja. Kita ke Indonesia bukan hanya untuk konser, tapi sekaligus liburan ke
pulau Dewata yang katanya sangat eksotis itu. Niall pasti tidak sabar.”
“Yeah,
dan mungkin dia akan menemukan makanan baru di sana. Mengingat, dua tahun lalu
ketika kita pertama kali datang ke Indonesia, dia menghabiskan hampir seluruh
hidangan yang tersaji di meja makan.”
Liam
mengangguk setuju, “Aku jadi lapar.”
***
Bukan perkara mudah untuk melewati Directioners Indonesia yang begitu
banyaknya yang dengan senang hati telah menunggu mereka di bandara. Beruntung, The Boys memiliki pengawal yang sangat
disiplin seperti Paul dan kawan-kawannya sehingga tidak ada masalah ketika
mereka menuju hotel.
Hotel yang mereka tempati masih sama dengan dua tahun yang lalu,
hanya saja hotel itu telah menambah berbagai fasilitas mewahnya sehingga
menambah kesan elegan ketika memasukinya.
Sepertinya tidak ada kata lelah bagi mereka berlima. Apalagi mereka
ditempatkan di satu kamar yang sangat besar. Liam langsung membuka laptopnya,
mungkin akan mengadakan follow spree
khusus untuk Directioners Indonesia. Zayn
sibuk memilih baju yang akan ia kenakan mengingat di Indonesia suhunya selalu
seperti summer. Louis mencoba untuk
menonton acara Indonesia yang sama sekali tidak dimengerti olehnya, namun
sesekali ia terlihat terkikik, entah karena apa. Harry dan Niall? Tentu saja,
mereka kelaparan dan sedang menggeledah dapur di kamar itu yang sangat komplit
isinya.
Beberapa makanan ringan berhasil mereka boyong dari kulkas dapur ke
meja ruang tengah yang sangat besar. Ternyata, makanan ringan itu berhasil
menarik seluruh perhatian dari The Boys
yang lain. Adu rebut tidak terelakan. Kadang, sifat kekanak-kanakan mereka
memang muncul dengan sendirinya.
Harry memelototkan matanya ke arah Louis yang sedang mencoba merebut
snack di tangannya. “Aku yang
menemukan ini di kulkas, kau tidak boleh merebutnya dariku!”
“Ayolah, yang rasa barberque
hanya ada satu, aku ingin itu,” Louis tidak melepaskan pegangannya dari snack yang diklaim miliknya.
“Sudahlah, sudah, ini hanya makanan ringan. Aku bisa menelepon kru
kita untuk mencarikan yang lebih banyak. Berbagilah untuk sementara ini,” ucap
Niall menengahi mereka semua.
Mau tidak mau mereka berhenti saling berebut. Bukan karena nasihat
itu, tapi karena orang yang mengatakannya! Niall tidak pernah sebijak itu jika
bersama mereka, apalagi menyangkut makanan. Mereka berempat saling
berpandangan. Ada yang aneh dengan Niall!
Niall mengerjap-ngerjapkan matanya. Apa ada yang salah dengan
perkataannya tadi? “Ada apa?” akhirnya hanya kalimat itu yang keluar dari
mulutnya.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Louis tanpa memedulikan pertanyaan
Niall.
“Aku? Tentu aku baik-baik saja, malah sangat sehat.”
Harry mendesah panjang, “Tidak, kau tidak dalam keadaan yang baik.
Buktinya kau kehilangan selera makanmu.”
Ketiga kawannya yang lain mengangguk, menyetujui apa yang dikatakan
oleh Harry.
“Eh? Aku sudah makan terlalu banyak di pesawat dan di mobil ketika
kita dalam perjalanan ke hotel ini. Aku kenyang.”
Zayn mengerutkan keningnya, “Kenyang?” ulangnya. “Setahuku tidak ada
kata kenyang untukmu.”
Louis melebarkan kedua matanya, “Hey, kau berubah. Apa kau
menyembunyikan sesuatu dari kami? Apa kau tiba-tiba kepalamu terbentur atau
semacamnya? Atau kau....” hap, tiba-tiba Harry menutup mulut Louis yang tidak
mau berhenti.
“Atau
kau memiliki kekasih?” cetus Liam pelan namun terdengar sangat jelas.
“Eh, bukan, maksudku...” Niall menjawab pertanyaan Liam dengan gusar.
Zayn
terkikik melihat Niall yang salah tingkah. “Benar juga, selama kau di One Direction kau belum pernah memiliki
seorang kekasih. Apa kau telah menemukannya? Dan apa itu pula yang membuatmu
sedikit kehilangan nafsu makanmu?”
“Biar ku tebak. Kau memiliki pujaan hati dan kau sedang merencanakan
untuk membuat ikatan dengannya?” Liam mengutarakan pendapatnya.
Wajah Niall memerah, tidak ada yang bisa disembunyikan lagi jika
teman-temannya sudah sangat ingin tahu. Ia menghela napasnya panjang-panjang seolah
sedang mengumpulkan kekuatan. “Seperti itulah,” jawabnya dengan jujur.
Bagai mendapat hadiah di hari ulang tahun, mereka berempat tidak
dapat menyembunyikan lagi kebahagiaan mereka. Niall, teman mereka, yang sudah
seperti adik bagi mereka, akhirnya membuka hatinya!
Harry menyipitkan kedua matanya, “Kenapa kau merahasiakannya dari
kami?”
Niall termenung, “Maafkan aku, tapi, dia itu gadis biasa. Aku tidak
akan tega jika popularitasku mengganggu kehidupannya.”
Zayn dan Louis tiba-tiba terdiam, seolah mengiyakan apa yang
diakatakan oleh Niall. Bagaimanapun juga, kekasih mereka selalu diintai oleh
para pencari berita yang selalu menginginkan lebih dan lebih, bahkan dengan
lancang memasuki kehidupan pribadi mereka.
Liam menghembuskan napasnya dalam-dalam, “Mungkin kau benar Niall.
Jika publik tahu akan hubungan kalian, calon kekasihmu itu pasti tidak akan
tenang. Mengingat banyaknya paparazi
yang selalu mengintai kehidupan kita.”
Tiba-tiba senyum usil tertoreh di wajah Harry, menampakan lesung
pipinya yang sangat menawan. “Jadi, calon kekasihmu itu gadis Indonesia ya?”
“Jangan bilang kau memiliki obsesi dengan gadis-gadis Indonesia?”
celetuk Louis.
“Hey, itu wajar. Mereka bertubuh mungil, kulit mereka coklat hangat,
wajah mereka juga manis. Aku tidak akan keberatan jika aku harus memperjuangkan mereka!”
Niall tersenyum mendengar celotehan Harry. “Ya, aku tahu itu, dan
mungkin itulah yang sedang aku alami.”
“Eh, bagaimana bisa kau bertemu dengannya?” Louis tidak bisa menahan
rasa penasarannya, toh Harry sudah melepaskan bungkamannya.
Tiba-tiba wajah Niall berubah kesal, ia memandang sinis ke arah
teman-temannya. “Kalian ingat tragedi dua tahun yang lalu? Ketika kita pertama
kali ke Indonesia dan kalian meninggalkanku di bandara?”
[flash back]
Zhi kembali meraba-raba ponselnya yang terus bergetar. Kesadarannya
belum pulih seutuhnya setelah tidur siang yang melelahkan. Dengan malas, ia
melihat ke arah ponselnya.
“Alarm?” ia mengerutkan keningnya. Apalagi sepertinya alarm itu
telah berbunyi lama. “Untuk apa aku memasang alarm sore-sore begini? Mengganggu
tidur siang saja,” gumamnya.
Tidak berapa lama, seolah telah sadar dari lamun yang panjang Zhi
berteriak histeris, “BAGAIMANA BISA AKU LUPA?”
Ia langsung bangkit dari tidurnya, lari menuju kamar mandi hanya
untuk sekedar cuci muka. Dengan sigap ia mengucir rambut brunnetenya yang
panjang. Tanpa berpamitan, ia langsung mengambil sepedanya yang tergeletak di
halaman rumah dan mengayuhnya dengan kecepatan penuh menuju bandara. Beruntung
tempat yang ia tuju tidak terlalu jauh dari rumahnya.
Seharusnya, jam dua tadi ia sudah stand by di bandara untuk menyambut kedatangan One Direction beserta para Directioners
lainnya. Namun naas, nasib malang menimpanya. Ia malah sangat nyenyak
melaksanakan tidur siangnya dan seolah tidak menyadari alarm ponselnya yeng
terus berbunyi.
***
Zhi sudah
berkeliling memutari bandara. Nihil. Bandara benar-benar lengang. Zhi melirik
ke arah jam tangannya, sudah jam tiga sore.
Ia
menghembuskan napasnya, mungkin acara penyambutan di bandara telah selesai.
Ingin menangis rasanya, apalagi jika mengingat ia tidak memiliki tiket untuk
konser mereka. Directioners Indonesia
benar-benar cekatan. Tiket habis terjual hanya dalam waktu lima menit. Dan Zhi?
Ia malah lupa jika hari itu tiket sudah mulai dijual.
Kadang,
ia sering mengutuk dirinya. Penyakit pikunnya kadang-kadang melebihi orang yang
terkena alzheimer.
Namun,
Zhi tidak larut dalam kesedihannya. Ia menyadari sesuatu, ia tidak tahu jalan
untuk keluar dari bandara. Meskipun bandara itu dekat dengan rumahnya, namun ia
sangat jarang ke tempat itu. Itu karena Zhi lebih menyukai naik kereta daripada
pesawat.
“Exit, exit, dimana tulisan exit sih?” gerutunya sembari terus
berjalan.
Tanpa
sengaja, mata Zhi menangkap sesosok manusia yang sepertinya ia kenal meskipun
belum pernah bertemu. Ia menepuk-nepuk pipinya sendiri tanpa berkedip. “Apakah
aku gila sampai-sampai berhalusinasi sehingga melihat pria setampan itu?”
gumamnya.
Tiba-tiba
tubuhnya bergetar hebat, lututnya bahkan sampai lemas ketika menyadari bahwa
orang itu ternyata mencoba menghampirinya.
“Mmm, hi, can you help me?” ucap laki-laki itu
dengan pandangan awas seolah tidak ingin ada orang yang tahu.
Zhi
hanya terdiam sembari mengerjap-ngerjapkan matanya seolah ia tidak mempercayai
apa yang sedang dilihatnya. Orang itu sungguh sangat mirip, senyumnya, behel
bening yang dikenakan, helai rambut blondenya, semuanya sama! Mata Zhi terbelalak, akhirnya ia
menyadari kalau dia benar benar Niall.
"NI-ALL!!"
Teriak Zhi histeris. Sontak beberapa orang yang masih tersisa di bandara memandang
ke arah mereka.
Niall gelagapan
ketika menyadari beberapa gadis siap menerkamnya jika ia tidak segera lari.
"Niaaall!!!"
teriak para gadis yang tersisa, mereka berlomba lari secepat yang mereka bisa.
“Oh no!”
gerutu Niall sembari menarik tangan Zhi dan menjauh dari orang-orang. Zhi
nampak seperti orang linglung ketika Niall tiba-tiba menyeretnya dan membawanya
berlari. Beruntung banyak kelokan di bandara sehingga mereka berdua dapat lepas
dari kejaran.
Niall
akhirnya melihat tulisan “exit” ,
tanpa pikir panjang merekapun keluar dari bandara.
BUK!
“Aduh!”
Zhi menabrak punggung Niall karena Niall berhenti mendadak.
Niall
berbalik, dan ia pun baru sadar jika tadi ia secara refleks membawa gadis ini lari bersamanya. “Eh, sorry, are you okay?”
Zhi
menganggukan kepalanya, ia masih mengatur napasnya yang ngos-ngosan akibat lari
tadi. “Ya, I'm okay,” jawabnya
canggung.
Namun
tiba-tiba kening Zhi berkerut. “Eh, bukannya kalian seharusnya sudah datang
dari tadi ya? Kenapa kau masih disini?”
Niall
duduk di kursi panjang yang berada di sekitar bandara. “Kami berlima memang sudah
datang dari satu jam yang lalu, tapi pas baru sampai, perutku muleeees, aku
langsung saja mencari toilet,” Niall mencoba menerangkan. “Tadi, banyak sekali
orang, jadinya aku tidak bilang kepada yang lain kalau aku mules. Eh tidak
taunya aku malah ditinggal. Aku mencoba untuk tetap menunggu mereka, siapa tahu mereka merasa kehilanganku
dan mencoba untuk mencariku, tapi sampai sekarang belum ada yang menjemputku,”
jelas Niall panjang lebar.
“Wow,” hanya kata itulah yang keluar
dari mulut Zhi. “Apa kau tidak membawa ponsel?” tanyanya sembari ikut duduk di
samping Niall.
Niall
menggelengkan kepalanya. “No,” jawabnya lunglai. “Aku menaruhnya di tas. Kau
sendiri kan tahu, dilarang menggunakan ponsel ketika dalam penerbangan.”
“Apa
kau ingat nomer ponsel teman-temanmu? Atau staff mungkin?”
“Aku
tidak mengingatnya, sama sekali. Bahkan berpikir untuk mengahapalkannya pun
tidak pernah terlintas di kepalaku.”
Zhi
menghembuskan napasnya keras-keras. “Apa kau tahu hotel tempat kalian akan
menginap dimana?”
“Emmm...
aku juga tidak tahu,” jawabnya polos.
Zhi
memukul keningnya dengan pelan. “Lalu? Kau tahu apa?”
"Emmmmm.................."
Zhi
menatap Niall yang benar-benar gelisah itu. "Baiklah, sekarang kita ke
hotel yang berbintang-bintang, mungkin salah satu dari hotel itu yang akan
menampung One Direction selama kalian
di sini.”
Mata
biru Niall berbinar. “Kau mau mengantarkanku yang tak berdaya ini?”
Zhi
terkikik mendengarnya. “Tentu saja, kau kan idolaku.”
“Aaaaah~
kau baik sekali~, Siapa namamu?” tanya Niall sambil memegang kedua tangan Zhi.
“Zhivana
Swan, kau boleh memanggilku Zhi,” ucapnya memperkenalkan diri.
“Baiklah
Zhi, mulai saat ini kita berteman!”
Tiba-tiba.
“kraok kraok kruuuyuuk~” suara perut
Niall menggelegar.
Zhi
membelalakan matanya. “Wow,” gumamnya takjub dengan suara perut Niall. “Kalau
bule kelaparan itu suaranya sekeras itu ya? Ckck,” ujar Zhi dalam bahasa
Indonesia.
“What did you say?” Niall bertanya apa
yang baru saja dikatakan Zhi.
“Ahaha,
nothing, kau lapar kan? Ayo kita
makan dulu! Aku yang traktir!”
Niall
tersenyum lebar. Ah, teman barunya ini selain baik hati juga sangat pengertian.
Apalagi mengingat perutnya yang baru saja kosong karena dikeluarkan secara
tidak nyaman. Makan adalah hal terbaik saaat ini.
***
Niall
mengerutkan keningnya dalam-dalam. “Mie ay-yam? what's it?” ia mencoba mengeja
tulisan di sebuah papan ketika mereka sampai di kedai mie ayam Pak Sabar yang
berdiri di depan bandara.
Zhi
tersenyum melihat Niall yang penasaran. “Mie ayam is noodle with chicken. This is so delicious!” Zhi duduk di salah
satu kursi yang kosong dan memesan 2 mangkuk mie ayam dan 2 gelas es teh manis.
Tidak
berapa lama pesananpun datang. Didorong oleh nafsu makan yang besar dan
kelaparan yang hebat, Niall langsung menyambar mie ayam itu tanpa ampun.
“Bagaimana
rasanya?” tanya Zhi saat Niall mulai mengunyah mie ayam pertamanya.
Setelah
Niall selesai menelan, ia memandang Zhi penuh arti. “ENAK GILA, MELEBIHI NANDO’S!”
Niall hampir menangis. Niall segera menyeruput kuah mie ayamnya. Memakannya
lagi, lagi dan lagi hingga habis tidak tersisa.
Zhi
mengerjap-ngerjapkan matanya seolah tidak mempercayai apa yang dilihatnya.
Niall benar-benar kelaparan. “Pelan-pelan Niall,” ucapnya sembari menepuk-nepuk
punggung Niall.
“Zhi!
You are the best! You give me the best”
Niall hampir menangis lagi.
Zhi
tertawa. Belum pernah ia bayangkan akan menjadi seperti ini pertemuannya dengan
idolanya. Ia tidak perlu berdesak-desakan dengan yang lainnya di bandara hanya
untuk melihat mereka sekilas. Niall menatap Zhi yang juga menatapnya.
Tiba-tiba
Niall melirik ke arah mangkuk Zhi yang masih penuh, “Mie ayamnya... tidak
dimakan? Buat aku boleh?” ujar Niall membuyarkan lamunan Zhi.
“Eh?
Kau sangat kelaparan? Tentu, kau boleh memakannya, ini," Zhi meletakan mangkuk mie ayamnya di
depan Niall.
“Massive thank you, Zhiii.”
"Anytime Niall," ucapnya sembari
tersenyum. Bahagia sekali rasanya menolong seorang idola.
***
“Dimana
ya sepedaku? Sepertinya tadi aku menaruh disekitar sini. Ah, itu dia!” Zhi
berjalan menuju sepedanya dan Niall mengikutinya dari belakang.
“Disini
sedang summer ya? Panas sekali,”
gerutu Niall.
Zhi
mendecakan lidahnya ketika mendengar keluhan Niall. Dia belum tahu bagaimana
rasanya hidup di Jakarta. “Kau yang menyetir atau aku?” tanyanya sembari
mengeluarkan sepedanya.
Mata
Niall terbelalak “What? A bicycle? Aku
pikir kau membawa mobil,” keluhnya lagi.
Zhi
memutar kedua bola matanya. “Kau ingin naik mobil?”
Niall mengangguk dengan mantap.
“Apa
kau punya uang?”
Niall
merogoh-rogoh kantung celananya. “Hmm, tidak,” jawabnya dengan polos. Jika adapun
pasti dolar yang akan ia keluarkan.
“Ya
sudah, berarti nasibmu memang harus naik sepeda. Aku sedang berbaik hati, jadi aku
yang akan di depan.”
***
Zhi
dan Niall keluar bandara dan mencari hotel berbintang untuk mencari Louis, Harry,
Liam, dan Zayn.
“Kita
coba hotel ini,” ujar Zhi sembari turun dari sepedanya.
Zhi
dan Niall masuk ke hotel dan menuju resepsionis.
“Mbak
apakah personil One Direction
menginap disini?” tanya Zhi tanpa basa basi.
Resepsionis
itu mengerutkan keningnya. “One Direction?
perusahaan mana itu?” tanyanya.
“Oh
my God, mbak out of date banget si,
masa One Direction dibilang
perusahaan,” ucapnya dongkol. “Berarti tidak disini ya? Ya sudah deh mbak,
terimakasih.”
“Iya,
sama-sama. By the way, bule
disebelahnya cakep juga mbak,” ujar mbak resepsionis sambil menatap genit Niall
yang tingak-tinguk tidak jelas.
Zhi
berbalik dan menatap tajam mbak resepsionis seolah ingin mengatakan, “Dia
milikku, jangan coba-coba menggodanya!”
***
Zhi
terus mengayuh sepeda sementara Niall dibelakang membonceng sembari melihat
sekeliling kota Jakarta. Niall memperhatikan Zhi. “Pasti ia capek,” pikirnya.
“Zhi,
biar aku yang di depan,” ujar Niall tiba-tiba.
Wajah
Zhi menyeringai. “Kenapa tidak bilang dari tadi?” geramnya. Ia segera
memberhentikan sepedanya dan turun. Kini posisinya berbalik.
Niall
mengayuh sepeda dan seketika angin berhembus, menyejukkan mereka yang sudah
sangat kepanasan.
“Ke
arah mana?” tanya Niall.
“Hmm,
coba belok kiri setelah pom bensin, di sana juga ada hotel berbintang.”
***
Di
sisi lain, Harry, Zayn, Liam, dan Louis sedang mencari Niall yang menghilang
entah kemana. Mereka kembali ke bandara tapi tidak menemukannya. Mereka sangat
khawatir, apalagi mengingat Niall tidak membawa apapun.
Tiba-tiba
mata Harry menyipit, “Itu Niall bukan?” tanyanya sembari menunjuk ke arah luar
jendela mobil.
Mata
Louis terbelalak. “Ya itu dia! Eh? Dia bersama seorang anak perempuan,” ujarnya
kaget.
“Oh,
jadi dia menghilang karena ingin bertemu dengan gadis itu?” ucap Zayn menyampaikan
pendapatnya.
Mobil
yang mereka tumpangi mengikuti Niall dari belakang. Tentu saja, Niall tidak
menyadari kalau ia diikuti oleh orang yang justru sedang dicari-carinya.
***
Zhi
dan Niall menuju hotel salah satu hotel berbintang lainnya.
“Wah
wah wah, mereka menuju hotel!” teriak Liam sembari mengguncang-guncangkan tubuh
Zayn yang berada di sampingnya.
Semuanya
nampak diam dan terus mengawasi Niall yang pada akhirnya masuk ke dalam hotel mewah
itu.
“Wah,
Niall tidak beres nih,” Louis menggeleng-gelengkan kepalanya.
Zayn
mengelus dadanya. "Astaghfirullohal’adzim,” ucapnya.
***
Mobil
yang ditumpangi Harry dan kawan-kawan menunggu di seberang jalan. Mata mereka
berempat nampak sangat awas.
Beberapa
menit kemudian Zhi dan Niall keluar dari hotel, mereka kembali menaiki sepeda
biru itu. Mereka menyebrang jalan dan mendekati mobil personil One Direction.
Niall
masih belum menyadari kalau ke empat temannya ada di dalam mobil itu. Niall dan
Zhi berhenti tepat di samping mobil ketika Zayn membuka kaca mobil dan
memandang Niall dengan tatapan menggoda.
“Hei,
Niall!” sapa Zayn.
Niall
dan Zhi menengok dan melihat siapa yang ada di dalam mobil.
“Zayn!”
teriak Zhi dan Niall kompak, yang lainnya ikut menunjukkan wajahnya dari
jendela mobil.
“Aku
mencari kalian kemana-mana!” ujar Niall sedikit lemas. Namun perasaan lega
tentu saja membanjiri hatinya.
“Kami
juga mencarimu sejak tadi, lalu kami melihatmu sedang bersepeda dengan seorang anak
perempuan, lalu kami membuntutimu,” ujar Zayn dengan jujur.
Zhi
yang dihadapkan pada keempat member One Direction yang lain hanya bisa speechless. Ingin berteriak, tapi nanti
semua orang melihatnya.
Niall
kemudian turun dari sepeda dan berdiri di depan Zhi.
“Sekali
lagi, massive thank you for your help
today,” ujar Niall dengan tulus.
“You are welcome, Niall,” Zhi turun dari
sepeda dan pindah ke jok depan.
“Mmm,
apakah kau akan datang ke konser kami?” tanya Niall sedikit cemas.
“Kurasa
tidak, aku tidak kebagian tiket."
Niall
terperangah. “Sungguh? Kau datang saja, kau tidak perlu membeli tiket.”
Zhi
menggelengkan kepalanya “Tidak perlu. Itu tidak adil. Sudah bisa bertemu kalian
seperti ini, aku sudah sangat senang. Apalagi seharian ini bersepeda bersamamu,
mana ada yang bisa? Hanya aku seorang. hehe.”
Mau
tidak mau Niall ikut tertawa. “Kau sangat baik hati. Tapi, apakah kita bisa
bertemu lagi?” ia memandang Zhi lekat-lekat.
“Aku,
aku tidak tahu,” Wajah Zhi memerah. “Tapi kalau kita berjodoh pasti kita akan
bertemu lagi.”
“Bagaimana
jika aku memfollow twittermu sehingga
kita bisa berkomunikasi?”
Zhi
menggelengkan kepalanya cepat-cepat. “Tidak, jangan. Jika teman-temanku tahu
kau memfollowku, hari-hariku tidak
akan tenang. Pasti mereka setiap hari akan meintaku untuk men-dm-kan nama
mereka.”
Niall
mengangguk menyutujui argumen Zhi. “Baiklah, bagaimana jika kau membuat sebuah
akun twitter baru, @ZhiMieAyam, aku akan memfollowmu, kita berdua bisa ber-dm
ria tanpa diketahui orang lain.”
Niall
dan Zhi yang sedang asyik mengobrol tidak menyadari kalau ada yang melihat
mereka dan akan menerkam mereka dengan ganas. Ternyata popularitas One Direction sudah tidak diragukan lagi
di Indonesia.
“Teman-teman!
Itu Niall One Direction!” teriak
salah satunya.
Niall
dan Zhi melihat ke arah teriakan itu. Benar saja, ada segerombol perempuan yang
berlari menghampiri mereka.
“Niall
ayo cepat masuk!” perintah Harry. Zayn membuka pintu dan Niall masuk ke dalam
mobil. sementara Zhi mulai bersiap mengayuh sepedanya. Mereka pergi menuju arah
yang berlawanan.
“Zhivana....”
gumam Niall lirih, hampir tak terdengar.
[Flash Back End]
Mata Louis terbelalak, “Jadi, gadis itu?”
Niall mengangguk.
“Aku tidak percaya kau bisa menjalin hubungan dengannya.”
Zayn mengernyitkan keningnya. “Dan selama ini kau hanya berhubungan
melalui dm?”
Niall kembali mengangguk. “Tapi aku pernah mengunjunginya, dua kali.
Ketika kita liburan, aku diam-diam ke Indonesia, menyamar sebagai warga asing
biasa.”
Harry terperangah. “Wow, seromantis itukah dirimu?”
Liam menyipitkan kedua matanya, “Lalu kenapa kau tiba-tiba terlihat murung?
Seingatku, kau terlihat sangat bahagia ketika di pesawat.”
Niall mendesah panjang. “Ketika di pesawat, aku bahagia, karena aku
berpikir akan segera bertemu dengannya. Tapi ketika aku sampai di hotel ini,
aku teringat sesuatu, sepertinya dia tidak akan menemuiku.”
“Apa maksudmu?” Louis tidak bisa menahan rasa penasarannya.
“Sudah enam bulan, dia tidak membalas dm-ku. Bahkan pernah aku ingin
nekat me-mention dirinya, tapi aku
tahu, itu bukan cara yang tepat.”
“Hey, bagaimana dengan akun twitternya yang petama?” tanya Zayn.
“Aku tidak tahu akun twitter aslinya, karena selama ini kami tidak
pernah putus kontak seperti sekarang ini.”
“Kau tahu alamat rumahnya bukan?” Harry menatap seolah sedang
menyelidik.
“Tentu saja, tapi aku tidak pernah ke rumahnya, karena kami selalu
bertemu di luar.”
Harry mengangguk pengertian. “Itu tidak masalah. Sekarang, kenapa
kau tidak mencoba untuk ke rumahnya, dan tanyakan apa yang terjadi.”
Niall menatap Harry dengan kagum. “Benar juga,” gumamnya. Namun
seketika raut serius membingkai wajahnya. “Tapi aku membutuhkan bantuan kalian,
aku akan menyamar seperti biasanya dan menemui Zhi.”
Mereka berempat saling menatap. “Ayolah, kami ini saudaramu, kami
selalu siap membantu,” ucap Louis mewakili yang lainnya.
***
Niall mengetuk pintu itu untuk yang ketiga kalianya, apa tidak ada
orang? Zhi pernah bilang jika dia hanya tinggal dengan kakak laki-lakinya,
sedangkan kedua orang tua mereka tinggal berpindah-pindah karena urusan
pekerjaan.
Akhirnya, pintu berwarna coklat itu tebuka lebar. Seorang laki-laki
yang hampir menyamai tinggi Niall berdiri di sana, dia tersenyum ramah,
“Mencari siapa?”
“Zhivana Swan, apa ada?”
Laki-laki itu tersenyum. “Oh, kau teman Zhi? Ayo masuk, biar
kupanggilkan anak itu.”
Niall mengangguk dan mengikuti kakak Zhi masuk ke dalam rumah. Ini
pertama kalinya ia ke rumah Zhi. Rumah itu kecil, namun semuanya tertata dengan
rapi sehingga orang yang berada di rumah itu pasti merasa nyaman.
Tidak
berapa lama, orang yang ditunggu pun datang. Niall tersenyum lebar. Dia, masih
Zhi yang sama, dengan penampilan tomboy dan rambut brunnete yang diwariskan oleh kakeknya yang berasal dari Jerman.
Tapi ada yang aneh, Zhi nampak bingung ketika melihatnya.
Zhi duduk berhadapan dengan Niall. Semanjak tadi, ia masih
mengerutkan keningnya dalam-dalam mencoba untuk mengingat-ingat siapa yang
sedang duduk di depannya itu. “Siapa kau?” akhirnya pertanyaan itulah yang
muncul dari mulutnya.
Niall membelalakan matanya. “Kau, kau tidak mengingatku?”
“Apa kita pernah bertemu?”
Tenggorokannya terasa sangat perih untuk sekedar melontarkan
sepotong kalimat. Tiba-tiba pintu yang dari tadi belum tertutup, menampakan
seorang sosok laki-laki kurus tinggi. Tanpa permisi, laki-laki itu langsung
menghampiri mereka.
Zhi tersenyum melihat siapa yang datang. “Hai Lucas!”
“Hai, sayang!”
Sa.. sayang? Niall
berharap saat itu ia tuli seketika.
Orang yang dipanggil Lucas itu menatap ke arah Niall. “Eh, kau tamu
dari Zhi?”
Niall hanya menganggukan kepalanya.
“Perkenalkan, aku Lucas,” ia mengulurkan tangannya, “Kekasih Zhi.”
Niall tersentak, dugaannya ternyata benar. Ia langsung menatap ke
arah Zhi, dan Niall mendapati wajah Zhi merona merah, namun ia melotot ke arah
Lucas. Ah, perasaan apa ini?
Tanpa berpikir panjang, Niall berdiri dan meninggalkan rumah itu
tanpa berpamitan. Terus berjalan sampai akhirnya ia masuk ke mobil hitam yang
telah menantinya.
Di dalam rumah, Zhi dan Lucas saling berpandangan. Mereka tentu saja
bingung.
“Kenapa
orang itu?”
Zhi mengangkat bahunya, “Tidak tahu.”
“Kenalanmu?”
“Kau ini apa-apaan, aku bukan kekasihmu,” cetusnya tanpa
mempedulikan pertanyaan Lucas.
“Eh? Sebentar lagi,” ucapnya dengan penuh keyakinan.
“Tidak akan!”
***
Tadi Liam yang menemani Niall ke rumah Zhi. Selama perjalanan
pulang, Niall hanya terdiam murung. Tidak ada satu patah katapun yang keluar
dari mulutnya. Dan Liam pun berpikir untuk tidak menganggu Niall, dan
membiarkannya tenang dulu.
Harry membukakan pintu hotel, ia tersenyum lebar seperti biasanya
ketika melihat mereka berdua, “Kalian sudah pulang, bagaimana?”
Liam meletakan jari telunjuknya di bibir, mengisyaratkan kepada
Harry agar tidak bertanya-tanya. Harry langsung menyadari itu begitu melihat
Niall sangat berbeda dari biasanya.
Niall langsung melewati Harry dan masuk tanpa mengucapkan apapun.
Harry dan Liam saling berpandangan tidak mengerti, akhirnya mereka hanya bisa
mengikuti Niall.
Louis dan Zayn yang berada di ruang tengah pun sama bingungnya
ketika melihat Niall yang langsung masuk ke kamar tidur. Harry dan Liam
memutuskan untuk bergabung bersama mereka berdua.
“Niall kenapa, Liam?” tanya Zayn.
Liam mengangkat bahunya, “Kurasa tidak berjalan sesuai rencana. Dia
diam begitu selesai ke rumah Zhivana. Aku tidak tega jika harus bertanya
kepadanya.”
“Dia patah hati,” Harry menyimpulkan.
Plak
Louis menampar
Harry pelan, “Jangan sembarangan!”
Harry memutar kedua bola matanya, “Ayolah, anak itu tidak pernah
bersikap seperti itu sebelumnya. Jikapun tidak patah hati, apa kau punya
hipotesis yang lebih tepat?”
“Sudahlah,” Liam mencoba menengahi Louis dan Harry.
“Kita tanyakan saja kepadanya sekarang,” usul Zayn.
Liam mengangkat alisnya, “Apa tidak terlalu cepat? Kupikir dia butuh
waktu untuk menenagkan diri.”
“Kita tidak memiliki waktu. Konser tiga hari lagi. Jika Niall tetap
seperti itu, aku takut dia tidak semaksimal mungin ketika bernyanyi. Dan aku
tidak ingin mengecewakan Directioners
Indonesia.”
“Crazy mofos Indonesia,” celetuk Louis.
Mau
tidak mau mereka semua tersenyum lebar mengingat ulah yang pernah dibuat oleh
Niall. Niall memang pernah mencoba mengganti nama Directioners dengan Crazy
mofos.
“Kita
akan membuat Niall kembali menjadi Niall yang kita kenal,” ucap Liam
menyemangati teman-temannya.
***
Mereka
berempat memasuki kamar tidur dengan pelan seolah tidak ingin mengagetkan Niall
yang masih duduk termenung di salah satu sisi ranjang. Kamar tidur itu sangat
luas, di dalamnya ada tiga ranjang berukuran king untuk mereka berlima.
Niall
menyadari akan kehadiran kawan-kawannya. Sepertinya, ia memang harus
menceritakannya kepada mereka. Bagaimanapun juga, selama ini mereka sangat
terbuka dan tidak pernah menutupi satu sama lain.
Tadi
Liam, Louis, Harry dan Zayn sempat berdiskusi sebentar. Mereka memutuskan agar
Liam yang menjadi juru bicara mereka, bagaimanapun juga dia lah yang paling
bijaksana. Tidak salah jika Directioners
menjulukinya Daddy.
Liam
duduk di sebelah Niall, ia menghembuskan napas panjang sebelum memulai tugasnya.
“Kau bisa membaginya dengan kami jika kau mau,” ucapnya tanpa berbasa-basi.
Niall
tersenyum kecut. “Aku kira Harry benar.”
Harry
mengangkat satu alisnya, ternyata Niall mendengar percakapan mereka.
Liam
sudah menduganya akan seperti ini. “Ada apa dengan Zhivana?” tanyanya.
“Aku,
aku juga tidak tahu.”
Kening
Liam berkerut. “Maksudmu?”
Tenggorokan
Niall tiba-tiba terasa tercekat, sangat perih untuk mengucapkan sesuatu. Namun
ia harus mengatakannya. “Zhi, dia tidak mengingatku.”
“Apa?”
kali ini Louis tidak bisa untuk menahan diri untuk tidak ikut berbicara.
“Aku
ke rumahnya, dia menemuiku dengan pandangan asing, dia bahkan tidak tahu siapa
aku. Apa sebegitu mudahnya bagianya untuk melupakan seseorang hah?” Niall
mengucapkan kalimatnya dengan frustasi.
Keempat
temannya terdiam, seolah ikut merasakan apa yang sedang diceritakan oleh Niall.
Liam
mengelus punggung Niall, “Kau telah mencoba untuk menemuinya dan mendapatkan
jawaban atas apa yang kau pertanyakan selama ini.”
Niall
malah terkikik, dan berubah menjadi tawa, tawa yang hambar. “Dan kalian tahu,
tiba-tiba ada seorang lelaki yang ke rumahnya dan mengatakan bahwa dia adalah
kekasih Zhi!” Niall hampir berteriak.
“Niall,
tenanglah, kumohon!” Zayn menyela.
Niall berdiri dari duduknya dengan sempoyongan, “Dia-jelas-jelas-mengkhianatiku-di-depan-mataku-sendiri!!!”
ucapnya sembari menatap keempat temannya.
Dari situ pula, mereka berempat dapat melihat wajah Niall yang sudah
merah padam. Bahkan matanya yang selalu menggambarkan canda, sekarang berubah
sangat merah, seolah sedang menahan sesuatu yang akan tumpah.
Tanpa diduga, Liam menubruk tubuh Niall dan memeluknya. “Menangislah,
aku tahu kau menginginkan hal itu, menangislah. Setidaknya itu akan membuatmu
lebih nyaman.”
Benar saja, Niall langsung menumpahkan semua emosinya kedalam tangisan
sesenggukan itu. Ia terlalu takut untuk kehilangan orang yang sudah ia sayangi.
Dan ia lebih takut untuk menghadapi kenyataan itu.
“Kami selalu ada untukmu Niall,” Louis ikut memeluk Niall dari
belakang.
“Selalu ada untukmu, apapun yang terjadi,” Harry menambahkan.
Zayn tersenyum melihat kawan-kawannya yang saling berpelukan, ia
tidak ingin ketinggalan tentunya. Ia mendekat dan ikut merangkul mereka semua. “Karena
kita adalah keluarga,” ucapnya dengan tenang.
***
Pintu coklat itu akhirnya terbuka lebar, menampakan seorang lelaki
yang membukakannya.
Mata biru Louis melebar begitu menyadari telah menemukan orang yang
dicarinya. “Hai,” ucapnya memberi salam.
“Hai,” Adam diam sejenak, ada orang asing lagi yang kerumahnya. “Ingin
bertemu dengan Zhi?” ia mencoba menebak. “Dia sedang pergi les, dan sepertinya
akan pulang satu jam lagi.”
Zayn yang dari tadi hanya berdiri di samping Louis langsung menggelengkan
kepalanya, “Tidak, kami tidak ingin bertemu dengan Zhivana.”
“Kami ingin berbicara denganmu,” Louis menyambung.
Kerut di dahi adam tidak bisa tersamarkan, “Aku?”
“Iya, anda, Adam Swan. Boleh kami masuk?”
Adam sedikit terperengah ketika mengetahui bahwa orang asing yang di
depannya tahu tentang namanya. “Oh, iya, silahkan,” ucapnya mempersilakan
mereka berdua.
Tadi malam, Niall tidur lebih awal dari biasanya. Mungkin ia terlalu
capek baik fisik maupun pikirannya. Hal itu tidak disia-siakan oleh mereka
berempat untuk mendiskusikan cara agar mengembalikan Niall seperti dulu. Dan
akhirnya, sebuah gagasan dari Louis yang sedang dijalankan oleh dirinya dan
Zayn.
Louis duduk di samping Zayn, sedangkan Adam berhadapan dengan
mereka.
“Sebelumnya,
kami mohon maaf karena mengejutkanmu. Kami di sini hanya ingin menanyakan
beberapa hal kepadamu, tidak ada maksud lain,” ucap Zayn menjelaskan.
Adam
hanya mengangguk, meskipun ia sendiri sebenarnya masih bingung.
“Baiklah,
langsung saja. Apa kau tahu tentang Niall?” sebuah pertanyaan dari Louis yang
membuat kening Adam berkerut.
“Niall?” gumam Adam.
Louis mengangguk. “Pria berambut blonde
yang kemarin datang ke rumah ini untuk menemui adikmu.”
“Oh, orang itu,” Adam sepertinya langsung mengingatnya. “Ada apa
dengannya? Kemarin dia kesini hanya ingin berbicara dengan Zhi bukan?”
Louis kembali mengangguk. “Niall adalah kenalan lama Zhivana, namun
kemarin Zhivana dengan terang-terangan mengatakan tidak mengenal Niall. Itu membuat
teman kami sangat tertekan.”
Tiba-tiba raut di wajah Adam berubah sedih. “Oh itu, sebelumnya,
maafkan adikku,” ucapnya lirih. “Dia tentunya tidak bermaksud seperti itu.”
Kening Zayn berkerut, “Apa maksudmu?”
“Zhi, Zhi amnesia. Namun hanya amnesia ringan, jadi hanya hal-hal
tertentu saja yang ia lupa. Mungkin teman kalian itu adalah salah satu yang
dipaksa untuk dihapus dari memori otaknya.”
Zayn dan Louis saling berpandangan. Tentu saja mereka sangat kaget
dengan informasi yang baru saja didengar oleh mereka. Namun dari informasi itu,
tersambunglah keanehan-keanehan yang dialami Niall.
***
Konser telah usai beberapa saat yang lalu. Tidak bisa terbayang
betapa leganya mereka berlima karena telah menampilkan yang terbaik untuk
beribu-ribu Directioners Indonesia
yang telah hadir menonton mereka.
Biasanya mereka berlima akan langsung ke hotel untuk beristirahat
setelah konser selesai, namun tidak pada malam itu. Mereka masih mondar-mandir
tidak tentu arah di belakang panggung.
Niall mengamati dengan bingung keempat temannya yang terlihat panik.
Tidak seperti biasanya mereka seperti itu. bahkan dalam kondisi genting
sekalipun, mereka masih bisa tertawa untuk menghibur satu sama lain. Ada apa
sebenarnya?
“Baiklah, kalian bertiga tunggu di sini. Biar aku dan Harry yang mencari
tahu,” ucap Louis memecahkan keheningan. Harry langsung mengangguk. Lalu mereka
berdua segera berbalik dan berlari menerobos para kru yang masih bertugas.
Kerut
di kening Niall tidak bisa disembunyikan lagi. “Ada apa?” tanyanya bingung.
Apakah teman-temannya menyembunyikan sesuatu darinya?
Zayn dan Liam berpandangan satu sama lain, seolah ragu untuk
mengatakannya kepada Niall.
“Kami mengundang Zhivana ke konser ini,” akhirnya Liam memberanikan
dirinya untuk menjawab.
Niall membelalakan matanya. “Apa?” gumamnya. Namun seketika dia
dapat menguasai dirinya, “Dimana dia sekarang?”
Zayn menghembuskan napas panjang. “Itu yang kami tidak tahu, padahal
kami telah memberikan tiket VVIP yang hanya beberapa itu. Tapi dia tidak
datang.”
“Sebelumnya, kami juga mengutus beberapa kru untuk memastikan bahwa
Zhivana datang ke konser ini, tapi entah kenapa, para kru juga tidak bisa dihubungi,”
timpal Liam berusaha menjelaskan apa yang terjadi.
“Lalu, Harry dan Louis? Apa yang sedang mereka lakukan?” tanyanya
mulai panik.
“Mereka sedang mencari info tentang keberadaan Zhivana,” ucap Zayn.
“Kau, tenanglah di sini. Kami akan menceritakan suatu hal tentang Zhivana yang
mungkin akan menjawab segala pertanyaanmu selama ini.”
Mau tidak mau, kepanikan Niall hilang digantikan oleh rasa ingin
tahu yang mendalam. Dia menganggukan kepalanya dan duduk di sebuah kursi lipat,
begitu pula Zayn yang memilih untuk duduk di sampingnya.
“Aku akan mengambil teh hangat untuk merilekskan suasana,” ujar Liam sambil pergi meninggalkan Zayn dan
Niall.
“Sekarang tinggal kita berdua, ayo ceritakan,” ucap Niall tidak
sabaran.
Zayn memandang kasihan kepada Niall, tapi ini harus disampaikan,
bagaimanapun caranya. “Well, Niall,
semenjak kapan kau putus kontak dengan Zhivana?”
“Enam bulan yang lalu,” jawabnya cepat.
“Kau tahu, enam bulan yang lalu, Zhivana mengikuti acara study tour di sekolahnya.”
“Ya, aku ingat, beberapa hari sebelum study tour, Zhi menceritakan rencananya itu. Dan itu pesan terakhir
yang Zhi kirimkan kepadaku.”
Zayn mengangguk. “Itu karena ketika dia sedang study tour, ia mencoba wahana banana
boats di salah satu pantai yang ia kunjungi. Naas, ia jatuh dari banana boats dan ternyata pelampung yang
ia kenakan rusak. Kepalanya membentur karang, dan sempat tidak sadarkan diri
selama beberapa hari. Begitu bangun, dokter memvonisnya amnesia sebagian.”
“Ya Tuhan, Zhi,” gumam Niall serak.
“Dan sialnya, kau adalah termasuk yang dihapus dari memorinya,” Zayn
mengucapkan itu dengn hati-hati, sangat takut jika akan melukai perasaan Niall.
Niall berdiri dari duduknya.
“Kau
mau kemana Niall?”
“Menemui
Zhi,” ucapnya. Namun Zayn mencengkram tangannya kuat-kuat sehingga menahan
pergerakannya untuk berlari.
Niall
melepaskan cengkraman Zayn dengan kasar dan segera berbalik hendak lari, namun
naas, Liam ternyata sudah berdiri di belakangnya sembari membawa segelas teh
hangat yang sudah tumpah karena tertabak Niall.
“Oh, Liam, maafkan aku,” ucapnya penuh penyesalan.
Liam menghembuskan napas panjang-panjang, “Tindakan terburu-buru
hanya akan memperkeruh suasana,” ujarnya sembari membersihkan kaosnya.
Niall yang beberapa saat lalu solah hendak lari secepat yang ia
bisa, sekarang hanya terdiam dan menunduk dalam. Pikiran jernihnya seolah
mengiyakan apa yang telah dikatakan Liam.
“Dengarkan aku Niall,” kali ini Liam melipat kedua tangannya di
dada. “Sekarang yang bisa kita lakukan hanya menunggu Louis dan Harry kembali.
Percayakan kepada mereka untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.”
***
Sudah hampir tiga puluh menit mereka bertiga hanya bisa duduk di
kursi lipat dan duduk menunggu. Liam sudah mengganti bajunya. Beberapa kru
hampir memaksa mereka untuk beristirahat, namun mereka tolak dengan baik.
Tidak berapa lama, sosok Harry terlihat berlari menghampiri mereka
bertiga. Dia nampak sangat gugup dan berantakan, napasnya pun tersengal tak
beraturan.
“Dimana Louis?” hanya itulah yang pertama kali Niall lontarkan.
“Tenangkan dulu dirimu,” ucap Zayn sembari mengusap punggung Harry.
Harry mengangguk dan masih mencoba untuk mengatur napasnya. “Louis
sedang menyiapkan mobil untuk kita.”
Liam yang paling tenangpun tidak bisa menyembunyikan kepanikannya,
“Untuk apa dia menyiapkan mobil?”
“Zhivana.”
Niall menyipitkan matanya. “Ada apa?”
Harry menarik napas panjang dan menghembuskannya keras-keras,
“Zhivana kecelakaan ketika dalam perjalanan menuju konser kita.”
***
Mereka berempat membayangkan Niall akan bertindak seperti orang gila
ketika tahu tentang berita itu. Tapi nyatanya, tidak sama sekali. Selama di
perjalanan, Niall hanya diam, diam, dan diam. Apa dia sangat frustasi sehingga
sampai seperti itu?
Sesampainya di rumah sakit, mereka hanya bisa menemukan Adam yang
duduk di salah satu kursi rumah sakit. Adam sendiri langsung menyadari
keberadaan mereka berlima. Sebelumnya, Zayn dan Louis telah memberi tahu
semuanya tentang hubungan Niall dan adiknya, sehingga sekarang ia tidak kaget
lagi.
“Zhi?” tanya Niall dengan suara yang tercekat.
“Dia sudah keluar dari masa kritis, sekarang sudah di pindah ke
kamar ini,” Adam menunjuk salah satu kamar di rumah sakit itu. “Namun semuanya
belum boleh menengoknya.”
“Bagaimana bisa terjadi?” suara Niall hampir membentak.
Adam.
“Kalian tahu Lucas?”
Niall mendecakan lidahnya. “Kekasih Zhi,” ucapnya getir.
“Tidak!” cetus Adam dengan tegas. “Laki-laki itu memang menyukai Zhi
sejak lama, tapi Zhi tidak pernah menyukai Lucas. Mereka hanya berteman, atau
mungkin bersahabat.”
“Apa hubungannya Lucas dengan masalah ini?” tanya Liam.
“Kalian tahu, ternyata Zhi menceritakan pertemanannya dengan Niall
kepada Lucas.”
Liam mengangguk. “Jadi, selama ini ada orang yang tahu hubungan
Niall dan Zhivana,” itu pernyataan, bukan pertanyaan.
“Lucas sepertinya cemburu dengan Niall. Ketika Zhi hilang ingatan
dan tidak mengingat Niall, Lucas memanfaatkan itu. Dia tidak pernah
mengungkit-ungkit Niall kepada Zhi, padahal dia-lah satu-satunya orang yang
tahu tentang hubungan Niall dan Zhi.”
“Jahat,” hanya kata itulah yang keluar dari mulut Harry.
“Lalu tadi sore di rumahku, Zhi mengatakan kepada Lucas jika ia diberi
tiket VVIP untuk menonton konser One
Direction olehku. Dari wajahnya, aku tahu, Lucas ketakutan. Tanpa alasan
yang jelas, dia memaksa Zhi untuk tidak datang ke konser itu. Tentunya Zhi
tidak menurutinya, bagaimanapun juga dia penggemar One Direction sebelum ingatannya kacau.”
“Apa yang terjadi setelah itu?” Louis menyahut.
“Lucas menabrakan mobilnya sendiri ke arah taksi yang ditumpangi
Zhi. Taksi itu terguling, sialnya Lucas malah tidak tergores sedikitpun. Tapi dia
sudah berada di tangan polisi sekarang. Aku tidak tahu apakah dia sudah sangat
posesive atau dia memang orang gila.”
“Astaga,” mereka berlima menggumamkan kata yang sama.
“Tapi, meskipun taksi yang ditunggangi Zhi terbalik, tidak ada luka
yang merusak fisiknya. Hanya saja kepalanya terbentur sangat keras,” Adam
terdiam, seolah ragu untuk melanjutkan kalimatnya. “Aku, aku takut jika dia
kembali amnesia, amnesia total.”
***
Jam sembilan pagi, Niall sudah berada di rumah sakit itu lagi. Ia
sedikit terburu-buru, karena ia hanya mempunyai waktu sekitar satu jam sebelum
acara jumpa fans berlangsung.
Meskipun
waktu itu bukan jam besuk, namun sepertinya perawat di rumah sakit itu
baik-baik sehingga Niall diperbolehkan masuk untuk menjenguk Zhi, tentunya
dengan seijin Adam.
Niall
melangkah dengan pelan, dan memutuskan untuk duduk di kursi yang berada di
samping ranjang. Matanya terus menatap lekat gadis yang sangat ia rindukan itu.
Sakit rasanya ketika melihat gadis itu hanya bisa terbaring lemah dengan segala
alat-alat penunjang kehidupannya.
Tapi
tidak tahu mengapa, perasaan Niall sangat tenang hanya dengan memandang gadis
itu. Ya, hanya memandanginya, itu sudah cukup baginya.
Niall
melirik ke arah jam tangannya, ia sudah lima belas menit ia di kamar itu. Ia
harus segera pergi jika tidak ingin terlambat ke acara jumpa fans itu. Apalagi
mengingat Jakarta ynag selalu macet, perjalanan beberapa kilometer saja
membutuhkan waktu yang lama.
Untuk
yang terakhir kalinya, ia menatap Zhi. Tanpa diduga, Niall mencondongkan
tubuhnya dan mengecup kening Zhi dengan sangat pelan. Ia langsung membalikan
badannya hendak melangkah pergi.
“Ni...all!
Sebuah suara yang parau dan sangat pelan mengusik Niall. Ia kembali membalikan
bandannya dengan cepat dan menatap Zhi yang masih tertidur. Apakah ia berhalusinasi sehingga mendengar suara Zhi yang
memanggil namanya?
“Ni..all,” suara itu lagi. Dan Niall melihat dengan mata kepalanya
jika bibir Zhi yang mengucapkan namanya.
Niall membungkukan badannya sehingga wajahnya berhadapan dengan Zhi.
“Ya Tuhan, kau sudah sadar!”
“Niall,” kali ini gumaman itu begitu jelas.
“Iya sayang, aku di sini.”
“Niall,” gumamnya lagi.
Ya Tuhan! Zhi belum sepenuhnya membuka matanya, namun ia terus
menggumamkan namanya. Tidak tahu mengapa, hal itu membuat dada Niall terasa
menghangat. Ya, di dada itu terasa sangat hangat oleh perasaan yang aneh.
Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka. Niall menoleh dengan cepat,
seorang dokter dan suster menghampirinya. Mereka sepertinya selalu siap siaga.
Tidak berapa lama, Adam pun muncul dari belakang.
Dokter
itu langsung memeriksa keadaan Zhi dengan cekatan. Ia tersenyum lebar. “Nona
Zhivana telah sadar,” dokter itu menerangkan, “Namun belum sepenuhnya.”
Niall
hanya mengangguk. Ia kembali terdiam dan hanya bisa melihat dokter dan suster
itu yang mulai melepas beberapa alat yang menempel di tubuh Zhi.
“Dokter,” gumam Niall.
Dokter itu menghentikan aktifitasnya dan melirik ke arah Niall. “Ya?”
“Dia, dia tadi menggumamkan namaku,” Niall mendesah. “Apa berarti
ingatannya telah kembali?”
“Mungkin saja, namun butuh pemerikasaan lebih lanjut untuk
mengetahui kepastiannya.”
***
Acara jumpa fans benar-benar menguras tenaga mereka berlima.
Antusias Directioners Indonesia memang
tidak diragukan lagi. Akhirnya mereka memutuskan langsung pulang ke hotel untuk
bersistirahat, karena malam harinya mereka juga akan menghadiri beberapa acara
yang disiarkan live di siaran
televisi.
Seolah tidak ingin menyianyiakan waktu untuk beristirahat, mereka
langsung berebut sofa di ruang tengah untuk sekedar rebahan. Bahkan Harry dan
Louis yang tidak kebagian sofa pun malah tidur di atas karpet tebal di dekat
sofa.
“Capeeeeek!!!” gerutu Harry, “Tapi menyenangkan, hahahaa.”
Louis mendecakkan lidahnya. “Sepertinya tadi jumpa fans terhebat
yang pernah kita lakukan.”
Mereka kembali terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tapi
beberapa dari mereka sepertinya mencoba untuk memejamkan matanya.
Tiba-tiba Niall bangkit dari tidurannya. “Kalian berliburlah ke
Bali, aku tidak ikut,” ucapnya singkat dan jelas. Keempat temannya mau tidak
mau juga ikut bangkit dan langsung menatap Niall dengan pandangan aneh.
Zayn menyipitkan kedua matanya. “Kau akan menemani Zhivana hingga ia
pulih?” tebaknya.
Niall mengangguk, “Mungkin inilah satu-satunya cara agar aku bisa di
sisinya dalam waktu yang cukup lama. Kalian tahu sendiri, setelah liburan di
Bali, kita memiliki jadwal yang padat untuk konser-konser kita. Aku, aku pasti
akan sangat kesulitan mengatur waktuku untuk bertemu dengan Zhi.”
“Kami mengerti,” ucap Liam yang dibarengi oleh anggukan dari yang
lainnya.
Tiba-tiba Niall seperti teringat akan sesuatu. “O iya, jangan lupa
jemput aku di Jakarta jika kalian hendak pulang, jangan sampai aku kembali
tertinggal seperti kejadian dua tahun yang lalu!”
Louis memutar kedua bola matanya. “Jikapun kami meninggalkanmu di
sini bersama Zhivana, sepertinya kau malah akan merasa senang.”
***
Dua hari ini Niall memang belum menjenguk Zhi. Ia sangat sibuk
menghadiri jumpa fans dan acara-acara lainnya yang membuatnya tidak bisa segera
menemui Zhi. Sekarang jadwalnya di Jakarta sudah selesai, teman-temannya bahkan
sedang dalam perjalanan ke Bali.
Niall hampir berlari ketika menyusuri lorong rumah sakit yang sudah
sangat dihafalnya. Pandangannya kembali menemukan Adam yang duduk di kursi
depan kamar.
“Hai,” Niall mengulurkan tangannya ke arah Adam.
Adam berdiri dan menyambutnya dengan hangat, “Aku sudah lama
menunggumu.”
“Bagaimana keadaannya?”
“Sudah membaik. Ia pulih dengan kecepatan yang luar biasa, sebuah
keajaiban ynag Tuhan berikan kepada adikku.”
Niall tersenyum lebar, ada kelegaan luar biasa yang membanjiri
hatinya. “Boleh aku menemuinya?”
“Tentu saja, silakan masuk, dia sudah menunggumu.”
***
Niall kembali memasuki kamar bernuansa putih itu. Ternyata Zhi masih
tertidur, namun alat-alat yang dua hari lalu menyelimuti tubuhnya sekarang
sudah tidak ada lagi. Ia mirip seperi orang yang sedang tidur biasa.
Kursi yang berada di samping ranjang sudah tidak ada, mau tidak mau
Niall duduk di ranjang yang ditiduri gadisnya. Ternyata gerakan Niall itu
membuat Zhi terbangun.
Zhi mengerjap-ngerjapkan matanya, apa dia bermimpi?
“Hai, tidurmu nyenyak?” tanya Niall membuyarkan lamunan Zhi.
Zhi hanya mengangguk, ia mencoba untuk duduk. Dengan sigap Niall
membantunya.
“Bagaimana keadaanmu? Sudah merasa baikan? Atau masih ada yang
sakit?”
Zhi tidak menjawab, dia membisu. Kepalanya tertunduk dalam tidak mau
menatap laki-laki di depannya.
Niall mengerutkan keningnya. Kedua matanya menyipit dan melihat ada
bulir air mata yang mengalir kemudian jatuh bebas.
Niall tidak bisa menahan dirinya untuk langsung menubruk tubuh Zhi
dan memeluknya dengan erat. “Hey, kenapa kau menangis? Kau merindukanku ya?”
Zhi membenamkan wajahnya dalam-dalam di dada Niall. “Aku sangat
meindukanmu,” ucapnya jujur.
Niall melepaskan pelukannya dan menatap intens ke arah Zhi. “Sudahlah,
sekarang aku bersamamu.”
Mau tidak mau, kalimat Niall yang sangat sederhana itu membuat pipi Zhi
memerah. Namun, tiba-tiba ia mengingat suatu hal, “Niall,” ucapnya masih parau.
“Ya?”
“Maafkan aku. Kau pasti sangat bingung kenapa selama setengah tahun
ini aku tidak membalas dm-dm yang kau kirim. Aku amnesia, bahkan aku tidak
ingat jika aku memiliki akun kedua, maafkan aku. Aku, aku, aku tidak...”
“Sssttt...” Niall menaruh jari telunjuknya di bibir Zhi, “Tidak
perlu meminta maaf, kau tidak salah, dan aku tidak pernah menyalahkanmu. Bahkan
selama ini aku berpikir, apakah kau ini marah denganku karena kau berbuat salah
atau apa. Seharusnya aku yang meminta maaf karena aku-lah yang berperasangka
buruk terhadapmu.”
“Terimakasih, terimakasih karena tidak marah kepadamu.”
Niall hanya tersenyum, “Sepertinya aku sangat susah untuk marah
kepadamu.”
Kruyuk-kruyuk-kruyuk
Niall memandang heran ke arah Zhi, “Kau lapar?”
Zhi secara spontan memegang perutnya. “Sepertinya iya,” ucapnya
malu-malu. “Aku ingin mie ayam di bandara itu,” pintanya.
Niall terkikik mendengar Zhi yang sudah kembali seperti dulu. Mungkin
tanpa kecelakaan itu, Zhi tidak bisa mendapatkan ingatannya lagi. “Baiklah,
baik, aku bejanji akan membawamu ke sana, tapi nanti jika kau sudah benar-benar
sembuh.”
“Aku sudah sembuh, luka-luka ini hanya luka ringan,” ia mulai
berargumen. Namun tiba-tiba ia terdiam, matanya sedikit meneduh. “Lagipula,
setelah ini kau pasti akan segera pergi dan menjalankan aktivitasmu seperti
biasanya bukan? Aku tidak ingin kehilangan waktu yang sangat berharga ini. Aku
ingin melakukan segala hal yang bisa membuatku terus teringat denganmu.”
Niall kembali memeluk Zhi, kali ini lebih erat dari sebelumnya. “Aku
juga berjanji akan sering menengokmu di Indonesia, bagaimanapun caranya. Aku
berjanji.”
“Aku mempercayaimu, Niall.”
“Oh iya, dan ini,” Niall mengeluarkan kotak beludru berwarna biru
tua dari kantong celana jeansnya.
Kening Zhi berkerut, “Apa itu?”
“Selama ini tidak ada suatu halpun yang mengikat kita,” ucapnya
sambil membuka kotak itu. Sebuah cincin berlian putih terlihat di sana.
Zhi terperangah, tidak pernah sekalipun terlintas di benaknya jika
Niall akan melakukan hal seromantis itu kepadanya.
“Zhivana Swan, aku menyukaimu. Bukan, tapi aku mencintaimu. Maukah
kau menjadi kekasihku?”
Zhi hampir ternganga kaget. Bernafaslah
Zhi! Ucapnya dalam hati kepada dirinya sendiri. “A... aku...”
Waktu terasa melambat. Jantung Niall sebenarnya berdebar sangat
kencang, namun dia berusaha untuk tetap bersikap setenang mungin.
“Aku, aku tidak bisa....”
Deg! Jantung Niall seolah
berhenti.
“Aku tidak bisa
jika harus menolakmu,” akhirnya kalimat itu bisa terangkai dengan sempurna.
Niall menghembuskan nafasnya panjang-panjang, penuh kelegaan yang
luar biasa. Gadis itu miliknya, dan akan terus menjadi miliknya.
No comments:
Post a Comment