Monday, August 5, 2013

They Don't Know About Us (NLS)


Finalis #1DFanficContest13

by Zahrotunnisa  , 18

NLS


Zayn mengangkat sebelah alisnya, matanya masih tertuju kepada seorang laki-laki berambut blonde yang dari tadi mondar-mandir ke sana kemari di dalam pesawat. Dari raut wajahnya, nampak jelas jika orang itu sedang menyimpan kebahagiaan yang luar biasa.
“Niall kenapa?” tanya Zayn kepada Liam yang kebetulan duduk di sebelahnya.
Namun Liam hanya mengangkat bahunya, “Dari tadi aku lihat dia bolak-balik ke arah dapur pesawat. Mungkin dia lapar.”
“Dia memang selalu lapar,” gerutunya. “Tapi lihatlah, dia seperti sedang sangat senang.”
“Tentu saja. Kita ke Indonesia bukan hanya untuk konser, tapi sekaligus liburan ke pulau Dewata yang katanya sangat eksotis itu. Niall pasti tidak sabar.”
“Yeah, dan mungkin dia akan menemukan makanan baru di sana. Mengingat, dua tahun lalu ketika kita pertama kali datang ke Indonesia, dia menghabiskan hampir seluruh hidangan yang tersaji di meja makan.”
Liam mengangguk setuju, “Aku jadi lapar.”
***
Bukan perkara mudah untuk melewati Directioners Indonesia yang begitu banyaknya yang dengan senang hati telah menunggu mereka di bandara. Beruntung, The Boys memiliki pengawal yang sangat disiplin seperti Paul dan kawan-kawannya sehingga tidak ada masalah ketika mereka menuju hotel.
Hotel yang mereka tempati masih sama dengan dua tahun yang lalu, hanya saja hotel itu telah menambah berbagai fasilitas mewahnya sehingga menambah kesan elegan ketika memasukinya.
Sepertinya tidak ada kata lelah bagi mereka berlima. Apalagi mereka ditempatkan di satu kamar yang sangat besar. Liam langsung membuka laptopnya, mungkin akan mengadakan follow spree khusus untuk Directioners Indonesia. Zayn sibuk memilih baju yang akan ia kenakan mengingat di Indonesia suhunya selalu seperti summer. Louis mencoba untuk menonton acara Indonesia yang sama sekali tidak dimengerti olehnya, namun sesekali ia terlihat terkikik, entah karena apa. Harry dan Niall? Tentu saja, mereka kelaparan dan sedang menggeledah dapur di kamar itu yang sangat komplit isinya.
Beberapa makanan ringan berhasil mereka boyong dari kulkas dapur ke meja ruang tengah yang sangat besar. Ternyata, makanan ringan itu berhasil menarik seluruh perhatian dari The Boys yang lain. Adu rebut tidak terelakan. Kadang, sifat kekanak-kanakan mereka memang muncul dengan sendirinya.
Harry memelototkan matanya ke arah Louis yang sedang mencoba merebut snack di tangannya. “Aku yang menemukan ini di kulkas, kau tidak boleh merebutnya dariku!”
“Ayolah, yang rasa barberque hanya ada satu, aku ingin itu,” Louis tidak melepaskan pegangannya dari snack yang diklaim miliknya.
“Sudahlah, sudah, ini hanya makanan ringan. Aku bisa menelepon kru kita untuk mencarikan yang lebih banyak. Berbagilah untuk sementara ini,” ucap Niall menengahi mereka semua.
Mau tidak mau mereka berhenti saling berebut. Bukan karena nasihat itu, tapi karena orang yang mengatakannya! Niall tidak pernah sebijak itu jika bersama mereka, apalagi menyangkut makanan. Mereka berempat saling berpandangan. Ada yang aneh dengan Niall!
Niall mengerjap-ngerjapkan matanya. Apa ada yang salah dengan perkataannya tadi? “Ada apa?” akhirnya hanya kalimat itu yang keluar dari mulutnya.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Louis tanpa memedulikan pertanyaan Niall.
“Aku? Tentu aku baik-baik saja, malah sangat sehat.”
Harry mendesah panjang, “Tidak, kau tidak dalam keadaan yang baik. Buktinya kau kehilangan selera makanmu.”
Ketiga kawannya yang lain mengangguk, menyetujui apa yang dikatakan oleh Harry.
“Eh? Aku sudah makan terlalu banyak di pesawat dan di mobil ketika kita dalam perjalanan ke hotel ini. Aku kenyang.”
Zayn mengerutkan keningnya, “Kenyang?” ulangnya. “Setahuku tidak ada kata kenyang untukmu.”
Louis melebarkan kedua matanya, “Hey, kau berubah. Apa kau menyembunyikan sesuatu dari kami? Apa kau tiba-tiba kepalamu terbentur atau semacamnya? Atau kau....” hap, tiba-tiba Harry menutup mulut Louis yang tidak mau berhenti.
“Atau kau memiliki kekasih?” cetus Liam pelan namun terdengar sangat jelas.
“Eh, bukan, maksudku...” Niall menjawab pertanyaan Liam dengan gusar.
Zayn terkikik melihat Niall yang salah tingkah. “Benar juga, selama kau di One Direction kau belum pernah memiliki seorang kekasih. Apa kau telah menemukannya? Dan apa itu pula yang membuatmu sedikit kehilangan nafsu makanmu?”
“Biar ku tebak. Kau memiliki pujaan hati dan kau sedang merencanakan untuk membuat ikatan dengannya?” Liam mengutarakan pendapatnya.
Wajah Niall memerah, tidak ada yang bisa disembunyikan lagi jika teman-temannya sudah sangat ingin tahu. Ia menghela napasnya panjang-panjang seolah sedang mengumpulkan kekuatan. “Seperti itulah,” jawabnya dengan jujur.
Bagai mendapat hadiah di hari ulang tahun, mereka berempat tidak dapat menyembunyikan lagi kebahagiaan mereka. Niall, teman mereka, yang sudah seperti adik bagi mereka, akhirnya membuka hatinya!
Harry menyipitkan kedua matanya, “Kenapa kau merahasiakannya dari kami?”
Niall termenung, “Maafkan aku, tapi, dia itu gadis biasa. Aku tidak akan tega jika popularitasku mengganggu kehidupannya.”
Zayn dan Louis tiba-tiba terdiam, seolah mengiyakan apa yang diakatakan oleh Niall. Bagaimanapun juga, kekasih mereka selalu diintai oleh para pencari berita yang selalu menginginkan lebih dan lebih, bahkan dengan lancang memasuki kehidupan pribadi mereka.
Liam menghembuskan napasnya dalam-dalam, “Mungkin kau benar Niall. Jika publik tahu akan hubungan kalian, calon kekasihmu itu pasti tidak akan tenang. Mengingat banyaknya paparazi yang selalu mengintai kehidupan kita.”
Tiba-tiba senyum usil tertoreh di wajah Harry, menampakan lesung pipinya yang sangat menawan. “Jadi, calon kekasihmu itu gadis Indonesia ya?”
“Jangan bilang kau memiliki obsesi dengan gadis-gadis Indonesia?” celetuk Louis.
“Hey, itu wajar. Mereka bertubuh mungil, kulit mereka coklat hangat, wajah mereka juga manis. Aku tidak akan keberatan jika aku harus memperjuangkan mereka!”
Niall tersenyum mendengar celotehan Harry. “Ya, aku tahu itu, dan mungkin itulah yang sedang aku alami.”
“Eh, bagaimana bisa kau bertemu dengannya?” Louis tidak bisa menahan rasa penasarannya, toh Harry sudah melepaskan bungkamannya.
Tiba-tiba wajah Niall berubah kesal, ia memandang sinis ke arah teman-temannya. “Kalian ingat tragedi dua tahun yang lalu? Ketika kita pertama kali ke Indonesia dan kalian meninggalkanku di bandara?”

[flash back]
Zhi kembali meraba-raba ponselnya yang terus bergetar. Kesadarannya belum pulih seutuhnya setelah tidur siang yang melelahkan. Dengan malas, ia melihat ke arah ponselnya.
“Alarm?” ia mengerutkan keningnya. Apalagi sepertinya alarm itu telah berbunyi lama. “Untuk apa aku memasang alarm sore-sore begini? Mengganggu tidur siang saja,” gumamnya.
Tidak berapa lama, seolah telah sadar dari lamun yang panjang Zhi berteriak histeris, “BAGAIMANA BISA AKU LUPA?”
Ia langsung bangkit dari tidurnya, lari menuju kamar mandi hanya untuk sekedar cuci muka. Dengan sigap ia mengucir rambut brunnetenya yang panjang. Tanpa berpamitan, ia langsung mengambil sepedanya yang tergeletak di halaman rumah dan mengayuhnya dengan kecepatan penuh menuju bandara. Beruntung tempat yang ia tuju tidak terlalu jauh dari rumahnya.
Seharusnya, jam dua tadi ia sudah stand by di bandara untuk menyambut kedatangan One Direction beserta para Directioners lainnya. Namun naas, nasib malang menimpanya. Ia malah sangat nyenyak melaksanakan tidur siangnya dan seolah tidak menyadari alarm ponselnya yeng terus berbunyi.
***
Zhi sudah berkeliling memutari bandara. Nihil. Bandara benar-benar lengang. Zhi melirik ke arah jam tangannya, sudah jam tiga sore.
Ia menghembuskan napasnya, mungkin acara penyambutan di bandara telah selesai. Ingin menangis rasanya, apalagi jika mengingat ia tidak memiliki tiket untuk konser mereka. Directioners Indonesia benar-benar cekatan. Tiket habis terjual hanya dalam waktu lima menit. Dan Zhi? Ia malah lupa jika hari itu tiket sudah mulai dijual.
Kadang, ia sering mengutuk dirinya. Penyakit pikunnya kadang-kadang melebihi orang yang terkena alzheimer.
Namun, Zhi tidak larut dalam kesedihannya. Ia menyadari sesuatu, ia tidak tahu jalan untuk keluar dari bandara. Meskipun bandara itu dekat dengan rumahnya, namun ia sangat jarang ke tempat itu. Itu karena Zhi lebih menyukai naik kereta daripada pesawat.
Exit, exit, dimana tulisan exit sih?” gerutunya sembari terus berjalan.
Tanpa sengaja, mata Zhi menangkap sesosok manusia yang sepertinya ia kenal meskipun belum pernah bertemu. Ia menepuk-nepuk pipinya sendiri tanpa berkedip. “Apakah aku gila sampai-sampai berhalusinasi sehingga melihat pria setampan itu?” gumamnya.
Tiba-tiba tubuhnya bergetar hebat, lututnya bahkan sampai lemas ketika menyadari bahwa orang itu ternyata mencoba menghampirinya.
“Mmm, hi, can you help me?” ucap laki-laki itu dengan pandangan awas seolah tidak ingin ada orang yang tahu.
Zhi hanya terdiam sembari mengerjap-ngerjapkan matanya seolah ia tidak mempercayai apa yang sedang dilihatnya. Orang itu sungguh sangat mirip, senyumnya, behel bening yang dikenakan, helai rambut blondenya, semuanya sama!  Mata Zhi terbelalak, akhirnya ia menyadari kalau dia benar benar Niall.
"NI-ALL!!" Teriak Zhi histeris. Sontak beberapa orang yang masih tersisa di bandara memandang ke arah mereka.
Niall gelagapan ketika menyadari beberapa gadis siap menerkamnya jika ia tidak segera lari.
"Niaaall!!!" teriak para gadis yang tersisa, mereka berlomba lari secepat yang mereka bisa.
“Oh no!” gerutu Niall sembari menarik tangan Zhi dan menjauh dari orang-orang. Zhi nampak seperti orang linglung ketika Niall tiba-tiba menyeretnya dan membawanya berlari. Beruntung banyak kelokan di bandara sehingga mereka berdua dapat lepas dari kejaran.
Niall akhirnya melihat tulisan “exit” , tanpa pikir panjang merekapun keluar dari bandara.
BUK!
“Aduh!” Zhi menabrak punggung Niall karena Niall berhenti mendadak.
Niall berbalik, dan ia pun baru sadar jika tadi ia secara refleks membawa gadis ini lari bersamanya. “Eh, sorry, are you okay?”
Zhi menganggukan kepalanya, ia masih mengatur napasnya yang ngos-ngosan akibat lari tadi. “Ya, I'm okay,” jawabnya canggung.
Namun tiba-tiba kening Zhi berkerut. “Eh, bukannya kalian seharusnya sudah datang dari tadi ya? Kenapa kau masih disini?”
Niall duduk di kursi panjang yang berada di sekitar bandara. “Kami berlima memang sudah datang dari satu jam yang lalu, tapi pas baru sampai, perutku muleeees, aku langsung saja mencari toilet,” Niall mencoba menerangkan. “Tadi, banyak sekali orang, jadinya aku tidak bilang kepada yang lain kalau aku mules. Eh tidak taunya aku malah ditinggal. Aku mencoba untuk  tetap menunggu mereka, siapa tahu mereka merasa kehilanganku dan mencoba untuk mencariku, tapi sampai sekarang belum ada yang menjemputku,” jelas Niall panjang lebar.
 “Wow,” hanya kata itulah yang keluar dari mulut Zhi. “Apa kau tidak membawa ponsel?” tanyanya sembari ikut duduk di samping Niall.
Niall menggelengkan kepalanya. “No,” jawabnya lunglai. “Aku menaruhnya di tas. Kau sendiri kan tahu, dilarang menggunakan ponsel ketika dalam penerbangan.”
“Apa kau ingat nomer ponsel teman-temanmu? Atau staff mungkin?”
“Aku tidak mengingatnya, sama sekali. Bahkan berpikir untuk mengahapalkannya pun tidak pernah terlintas di kepalaku.”
Zhi menghembuskan napasnya keras-keras. “Apa kau tahu hotel tempat kalian akan menginap dimana?”
“Emmm... aku juga tidak tahu,” jawabnya polos.
Zhi memukul keningnya dengan pelan. “Lalu? Kau tahu apa?”
"Emmmmm.................."
Zhi menatap Niall yang benar-benar gelisah itu. "Baiklah, sekarang kita ke hotel yang berbintang-bintang, mungkin salah satu dari hotel itu yang akan menampung One Direction selama kalian di sini.”
Mata biru Niall berbinar. “Kau mau mengantarkanku yang tak berdaya ini?”
Zhi terkikik mendengarnya. “Tentu saja, kau kan idolaku.”
“Aaaaah~ kau baik sekali~, Siapa namamu?” tanya Niall sambil memegang kedua tangan Zhi.
“Zhivana Swan, kau boleh memanggilku Zhi,” ucapnya memperkenalkan diri.
“Baiklah Zhi, mulai saat ini kita berteman!”
Tiba-tiba. “kraok kraok kruuuyuuk~” suara perut Niall menggelegar.
Zhi membelalakan matanya. “Wow,” gumamnya takjub dengan suara perut Niall. “Kalau bule kelaparan itu suaranya sekeras itu ya? Ckck,” ujar Zhi dalam bahasa Indonesia.
What did you say?” Niall bertanya apa yang baru saja dikatakan Zhi.
“Ahaha, nothing, kau lapar kan? Ayo kita makan dulu! Aku yang traktir!”
Niall tersenyum lebar. Ah, teman barunya ini selain baik hati juga sangat pengertian. Apalagi mengingat perutnya yang baru saja kosong karena dikeluarkan secara tidak nyaman. Makan adalah hal terbaik saaat ini.
***
Niall mengerutkan keningnya dalam-dalam. “Mie ay-yam? what's it?” ia mencoba mengeja tulisan di sebuah papan ketika mereka sampai di kedai mie ayam Pak Sabar yang berdiri di depan bandara.
Zhi tersenyum melihat Niall yang penasaran. “Mie ayam is noodle with chicken. This is so delicious!” Zhi duduk di salah satu kursi yang kosong dan memesan 2 mangkuk mie ayam dan 2 gelas es teh manis.
Tidak berapa lama pesananpun datang. Didorong oleh nafsu makan yang besar dan kelaparan yang hebat, Niall langsung menyambar mie ayam itu tanpa ampun.
“Bagaimana rasanya?” tanya Zhi saat Niall mulai mengunyah mie ayam pertamanya.
Setelah Niall selesai menelan, ia memandang Zhi penuh arti. “ENAK GILA, MELEBIHI NANDO’S!” Niall hampir menangis. Niall segera menyeruput kuah mie ayamnya. Memakannya lagi, lagi dan lagi hingga habis tidak tersisa.
Zhi mengerjap-ngerjapkan matanya seolah tidak mempercayai apa yang dilihatnya. Niall benar-benar kelaparan. “Pelan-pelan Niall,” ucapnya sembari menepuk-nepuk punggung Niall.
“Zhi! You are the best! You give me the best” Niall hampir menangis lagi.
Zhi tertawa. Belum pernah ia bayangkan akan menjadi seperti ini pertemuannya dengan idolanya. Ia tidak perlu berdesak-desakan dengan yang lainnya di bandara hanya untuk melihat mereka sekilas. Niall menatap Zhi yang juga menatapnya.
Tiba-tiba Niall melirik ke arah mangkuk Zhi yang masih penuh, “Mie ayamnya... tidak dimakan? Buat aku boleh?” ujar Niall membuyarkan lamunan Zhi.
“Eh? Kau sangat kelaparan? Tentu, kau boleh memakannya, ini,"  Zhi meletakan mangkuk mie ayamnya di depan Niall.
Massive thank you, Zhiii.”
"Anytime Niall," ucapnya sembari tersenyum. Bahagia sekali rasanya menolong seorang idola.
***
“Dimana ya sepedaku? Sepertinya tadi aku menaruh disekitar sini. Ah, itu dia!” Zhi berjalan menuju sepedanya dan Niall mengikutinya dari belakang.
“Disini sedang summer ya? Panas sekali,” gerutu Niall.
Zhi mendecakan lidahnya ketika mendengar keluhan Niall. Dia belum tahu bagaimana rasanya hidup di Jakarta. “Kau yang menyetir atau aku?” tanyanya sembari mengeluarkan sepedanya.
Mata Niall terbelalak “What? A bicycle? Aku pikir kau membawa mobil,” keluhnya lagi.
Zhi memutar kedua bola matanya. “Kau ingin naik mobil?”
Niall mengangguk dengan mantap.
“Apa kau punya uang?”
Niall merogoh-rogoh kantung celananya. “Hmm, tidak,” jawabnya dengan polos. Jika adapun pasti dolar yang akan ia keluarkan.
“Ya sudah, berarti nasibmu memang harus naik sepeda. Aku sedang berbaik hati, jadi aku yang akan di depan.”
***
Zhi dan Niall keluar bandara dan mencari hotel berbintang untuk mencari Louis, Harry, Liam, dan Zayn.
“Kita coba hotel ini,” ujar Zhi sembari turun dari sepedanya.
Zhi dan Niall masuk ke hotel dan menuju resepsionis.
“Mbak apakah personil One Direction menginap disini?” tanya Zhi tanpa basa basi.
Resepsionis itu mengerutkan keningnya. “One Direction? perusahaan mana itu?” tanyanya.
“Oh my God, mbak out of date banget si, masa One Direction dibilang perusahaan,” ucapnya dongkol. “Berarti tidak disini ya? Ya sudah deh mbak, terimakasih.”
“Iya, sama-sama. By the way, bule disebelahnya cakep juga mbak,” ujar mbak resepsionis sambil menatap genit Niall yang tingak-tinguk tidak jelas.
Zhi berbalik dan menatap tajam mbak resepsionis seolah ingin mengatakan, “Dia milikku, jangan coba-coba menggodanya!”
***
Zhi terus mengayuh sepeda sementara Niall dibelakang membonceng sembari melihat sekeliling kota Jakarta. Niall memperhatikan Zhi. “Pasti ia capek,” pikirnya.
“Zhi, biar aku yang di depan,” ujar Niall tiba-tiba.
Wajah Zhi menyeringai. “Kenapa tidak bilang dari tadi?” geramnya. Ia segera memberhentikan sepedanya dan turun. Kini posisinya berbalik.
Niall mengayuh sepeda dan seketika angin berhembus, menyejukkan mereka yang sudah sangat kepanasan.
“Ke arah mana?” tanya Niall.
“Hmm, coba belok kiri setelah pom bensin, di sana juga ada hotel berbintang.”
***
Di sisi lain, Harry, Zayn, Liam, dan Louis sedang mencari Niall yang menghilang entah kemana. Mereka kembali ke bandara tapi tidak menemukannya. Mereka sangat khawatir, apalagi mengingat Niall tidak membawa apapun.
Tiba-tiba mata Harry menyipit, “Itu Niall bukan?” tanyanya sembari menunjuk ke arah luar jendela mobil.
Mata Louis terbelalak. “Ya itu dia! Eh? Dia bersama seorang anak perempuan,” ujarnya kaget.
“Oh, jadi dia menghilang karena ingin bertemu dengan gadis itu?” ucap Zayn menyampaikan pendapatnya.
Mobil yang mereka tumpangi mengikuti Niall dari belakang. Tentu saja, Niall tidak menyadari kalau ia diikuti oleh orang yang justru sedang dicari-carinya.
***
Zhi dan Niall menuju hotel salah satu hotel berbintang lainnya.
“Wah wah wah, mereka menuju hotel!” teriak Liam sembari mengguncang-guncangkan tubuh Zayn yang berada di sampingnya.
Semuanya nampak diam dan terus mengawasi Niall yang pada akhirnya masuk ke dalam hotel mewah itu.
“Wah, Niall tidak beres nih,” Louis menggeleng-gelengkan kepalanya.
Zayn mengelus dadanya. "Astaghfirullohal’adzim,” ucapnya.
***
Mobil yang ditumpangi Harry dan kawan-kawan menunggu di seberang jalan. Mata mereka berempat nampak sangat awas.
Beberapa menit kemudian Zhi dan Niall keluar dari hotel, mereka kembali menaiki sepeda biru itu. Mereka menyebrang jalan dan mendekati mobil personil One Direction.
Niall masih belum menyadari kalau ke empat temannya ada di dalam mobil itu. Niall dan Zhi berhenti tepat di samping mobil ketika Zayn membuka kaca mobil dan memandang Niall dengan tatapan menggoda.
“Hei, Niall!” sapa Zayn.
Niall dan Zhi menengok dan melihat siapa yang ada di dalam mobil.
“Zayn!” teriak Zhi dan Niall kompak, yang lainnya ikut menunjukkan wajahnya dari jendela mobil.
“Aku mencari kalian kemana-mana!” ujar Niall sedikit lemas. Namun perasaan lega tentu saja membanjiri hatinya.
“Kami juga mencarimu sejak tadi, lalu kami melihatmu sedang bersepeda dengan seorang anak perempuan, lalu kami membuntutimu,” ujar Zayn dengan jujur.
Zhi yang dihadapkan pada keempat member One Direction yang lain hanya bisa speechless. Ingin berteriak, tapi nanti semua orang melihatnya.
Niall kemudian turun dari sepeda dan berdiri di depan Zhi.
“Sekali lagi, massive thank you for your help today,” ujar Niall dengan tulus.
You are welcome, Niall,” Zhi turun dari sepeda dan pindah ke jok depan.
“Mmm, apakah kau akan datang ke konser kami?” tanya Niall sedikit cemas.
“Kurasa tidak, aku tidak kebagian tiket."
Niall terperangah. “Sungguh? Kau datang saja, kau tidak perlu membeli tiket.”
Zhi menggelengkan kepalanya “Tidak perlu. Itu tidak adil. Sudah bisa bertemu kalian seperti ini, aku sudah sangat senang. Apalagi seharian ini bersepeda bersamamu, mana ada yang bisa? Hanya aku seorang. hehe.”
Mau tidak mau Niall ikut tertawa. “Kau sangat baik hati. Tapi, apakah kita bisa bertemu lagi?” ia memandang Zhi lekat-lekat.
“Aku, aku tidak tahu,” Wajah Zhi memerah. “Tapi kalau kita berjodoh pasti kita akan bertemu lagi.”
“Bagaimana jika aku memfollow twittermu sehingga kita bisa berkomunikasi?”
Zhi menggelengkan kepalanya cepat-cepat. “Tidak, jangan. Jika teman-temanku tahu kau memfollowku, hari-hariku tidak akan tenang. Pasti mereka setiap hari akan meintaku untuk men-dm-kan nama mereka.”
Niall mengangguk menyutujui argumen Zhi. “Baiklah, bagaimana jika kau membuat sebuah akun twitter baru, @ZhiMieAyam, aku akan memfollowmu, kita berdua bisa ber-dm ria tanpa diketahui orang lain.”
Niall dan Zhi yang sedang asyik mengobrol tidak menyadari kalau ada yang melihat mereka dan akan menerkam mereka dengan ganas. Ternyata popularitas One Direction sudah tidak diragukan lagi di Indonesia.
“Teman-teman! Itu Niall One Direction!” teriak salah satunya.
Niall dan Zhi melihat ke arah teriakan itu. Benar saja, ada segerombol perempuan yang berlari menghampiri mereka.
“Niall ayo cepat masuk!” perintah Harry. Zayn membuka pintu dan Niall masuk ke dalam mobil. sementara Zhi mulai bersiap mengayuh sepedanya. Mereka pergi menuju arah yang berlawanan.
“Zhivana....” gumam Niall lirih, hampir tak terdengar.
[Flash Back End]

Mata Louis terbelalak, “Jadi, gadis itu?”
Niall mengangguk.
“Aku tidak percaya kau bisa menjalin hubungan dengannya.”
Zayn mengernyitkan keningnya. “Dan selama ini kau hanya berhubungan melalui dm?”
Niall kembali mengangguk. “Tapi aku pernah mengunjunginya, dua kali. Ketika kita liburan, aku diam-diam ke Indonesia, menyamar sebagai warga asing biasa.”
Harry terperangah. “Wow, seromantis itukah dirimu?”
Liam menyipitkan kedua matanya, “Lalu kenapa kau tiba-tiba terlihat murung? Seingatku, kau terlihat sangat bahagia ketika di pesawat.”
Niall mendesah panjang. “Ketika di pesawat, aku bahagia, karena aku berpikir akan segera bertemu dengannya. Tapi ketika aku sampai di hotel ini, aku teringat sesuatu, sepertinya dia tidak akan menemuiku.”
“Apa maksudmu?” Louis tidak bisa menahan rasa penasarannya.
“Sudah enam bulan, dia tidak membalas dm-ku. Bahkan pernah aku ingin nekat me-mention dirinya, tapi aku tahu, itu bukan cara yang tepat.”
“Hey, bagaimana dengan akun twitternya yang petama?” tanya Zayn.
“Aku tidak tahu akun twitter aslinya, karena selama ini kami tidak pernah putus kontak seperti sekarang ini.”
“Kau tahu alamat rumahnya bukan?” Harry menatap seolah sedang menyelidik.
“Tentu saja, tapi aku tidak pernah ke rumahnya, karena kami selalu bertemu di luar.”
Harry mengangguk pengertian. “Itu tidak masalah. Sekarang, kenapa kau tidak mencoba untuk ke rumahnya, dan tanyakan apa yang terjadi.”
Niall menatap Harry dengan kagum. “Benar juga,” gumamnya. Namun seketika raut serius membingkai wajahnya. “Tapi aku membutuhkan bantuan kalian, aku akan menyamar seperti biasanya dan menemui Zhi.”
Mereka berempat saling menatap. “Ayolah, kami ini saudaramu, kami selalu siap membantu,” ucap Louis mewakili yang lainnya.
***
Niall mengetuk pintu itu untuk yang ketiga kalianya, apa tidak ada orang? Zhi pernah bilang jika dia hanya tinggal dengan kakak laki-lakinya, sedangkan kedua orang tua mereka tinggal berpindah-pindah karena urusan pekerjaan.
Akhirnya, pintu berwarna coklat itu tebuka lebar. Seorang laki-laki yang hampir menyamai tinggi Niall berdiri di sana, dia tersenyum ramah, “Mencari siapa?”
“Zhivana Swan, apa ada?”
Laki-laki itu tersenyum. “Oh, kau teman Zhi? Ayo masuk, biar kupanggilkan anak itu.”
Niall mengangguk dan mengikuti kakak Zhi masuk ke dalam rumah. Ini pertama kalinya ia ke rumah Zhi. Rumah itu kecil, namun semuanya tertata dengan rapi sehingga orang yang berada di rumah itu pasti merasa nyaman.
Tidak berapa lama, orang yang ditunggu pun datang. Niall tersenyum lebar. Dia, masih Zhi yang sama, dengan penampilan tomboy dan rambut brunnete yang diwariskan oleh kakeknya yang berasal dari Jerman. Tapi ada yang aneh, Zhi nampak bingung ketika melihatnya.
Zhi duduk berhadapan dengan Niall. Semanjak tadi, ia masih mengerutkan keningnya dalam-dalam mencoba untuk mengingat-ingat siapa yang sedang duduk di depannya itu. “Siapa kau?” akhirnya pertanyaan itulah yang muncul dari mulutnya.
Niall membelalakan matanya. “Kau, kau tidak mengingatku?”
“Apa kita pernah bertemu?”
Tenggorokannya terasa sangat perih untuk sekedar melontarkan sepotong kalimat. Tiba-tiba pintu yang dari tadi belum tertutup, menampakan seorang sosok laki-laki kurus tinggi. Tanpa permisi, laki-laki itu langsung menghampiri mereka.
Zhi tersenyum melihat siapa yang datang. “Hai Lucas!”
“Hai, sayang!”
Sa.. sayang? Niall berharap saat itu ia tuli seketika.
Orang yang dipanggil Lucas itu menatap ke arah Niall. “Eh, kau tamu dari Zhi?”
Niall hanya menganggukan kepalanya.
“Perkenalkan, aku Lucas,” ia mengulurkan tangannya, “Kekasih Zhi.”
Niall tersentak, dugaannya ternyata benar. Ia langsung menatap ke arah Zhi, dan Niall mendapati wajah Zhi merona merah, namun ia melotot ke arah Lucas. Ah, perasaan apa ini?
Tanpa berpikir panjang, Niall berdiri dan meninggalkan rumah itu tanpa berpamitan. Terus berjalan sampai akhirnya ia masuk ke mobil hitam yang telah menantinya.
Di dalam rumah, Zhi dan Lucas saling berpandangan. Mereka tentu saja bingung.
“Kenapa orang itu?”
Zhi mengangkat bahunya, “Tidak tahu.”
“Kenalanmu?”
“Kau ini apa-apaan, aku bukan kekasihmu,” cetusnya tanpa mempedulikan pertanyaan Lucas.
“Eh? Sebentar lagi,” ucapnya dengan penuh keyakinan.
“Tidak akan!”
***
Tadi Liam yang menemani Niall ke rumah Zhi. Selama perjalanan pulang, Niall hanya terdiam murung. Tidak ada satu patah katapun yang keluar dari mulutnya. Dan Liam pun berpikir untuk tidak menganggu Niall, dan membiarkannya tenang dulu.
Harry membukakan pintu hotel, ia tersenyum lebar seperti biasanya ketika melihat mereka berdua, “Kalian sudah pulang, bagaimana?”
Liam meletakan jari telunjuknya di bibir, mengisyaratkan kepada Harry agar tidak bertanya-tanya. Harry langsung menyadari itu begitu melihat Niall sangat berbeda dari biasanya.
Niall langsung melewati Harry dan masuk tanpa mengucapkan apapun. Harry dan Liam saling berpandangan tidak mengerti, akhirnya mereka hanya bisa mengikuti Niall.
Louis dan Zayn yang berada di ruang tengah pun sama bingungnya ketika melihat Niall yang langsung masuk ke kamar tidur. Harry dan Liam memutuskan untuk bergabung bersama mereka berdua.
“Niall kenapa, Liam?” tanya Zayn.
Liam mengangkat bahunya, “Kurasa tidak berjalan sesuai rencana. Dia diam begitu selesai ke rumah Zhivana. Aku tidak tega jika harus bertanya kepadanya.”
“Dia patah hati,” Harry menyimpulkan.
Plak
Louis menampar Harry pelan, “Jangan sembarangan!”
Harry memutar kedua bola matanya, “Ayolah, anak itu tidak pernah bersikap seperti itu sebelumnya. Jikapun tidak patah hati, apa kau punya hipotesis yang lebih tepat?”
“Sudahlah,” Liam mencoba menengahi Louis dan Harry.
“Kita tanyakan saja kepadanya sekarang,” usul Zayn.
Liam mengangkat alisnya, “Apa tidak terlalu cepat? Kupikir dia butuh waktu untuk menenagkan diri.”
“Kita tidak memiliki waktu. Konser tiga hari lagi. Jika Niall tetap seperti itu, aku takut dia tidak semaksimal mungin ketika bernyanyi. Dan aku tidak ingin mengecewakan Directioners Indonesia.”
Crazy mofos Indonesia,” celetuk Louis.
Mau tidak mau mereka semua tersenyum lebar mengingat ulah yang pernah dibuat oleh Niall. Niall memang pernah mencoba mengganti nama Directioners dengan Crazy mofos.
“Kita akan membuat Niall kembali menjadi Niall yang kita kenal,” ucap Liam menyemangati teman-temannya.
***
Mereka berempat memasuki kamar tidur dengan pelan seolah tidak ingin mengagetkan Niall yang masih duduk termenung di salah satu sisi ranjang. Kamar tidur itu sangat luas, di dalamnya ada tiga ranjang berukuran king untuk mereka berlima.
Niall menyadari akan kehadiran kawan-kawannya. Sepertinya, ia memang harus menceritakannya kepada mereka. Bagaimanapun juga, selama ini mereka sangat terbuka dan tidak pernah menutupi satu sama lain.
Tadi Liam, Louis, Harry dan Zayn sempat berdiskusi sebentar. Mereka memutuskan agar Liam yang menjadi juru bicara mereka, bagaimanapun juga dia lah yang paling bijaksana. Tidak salah jika Directioners menjulukinya Daddy.
Liam duduk di sebelah Niall, ia menghembuskan napas panjang sebelum memulai tugasnya. “Kau bisa membaginya dengan kami jika kau mau,” ucapnya tanpa berbasa-basi.
Niall tersenyum kecut. “Aku kira Harry benar.”
Harry mengangkat satu alisnya, ternyata Niall mendengar percakapan mereka.
Liam sudah menduganya akan seperti ini. “Ada apa dengan Zhivana?” tanyanya.
“Aku, aku juga tidak tahu.”
Kening Liam berkerut. “Maksudmu?”
Tenggorokan Niall tiba-tiba terasa tercekat, sangat perih untuk mengucapkan sesuatu. Namun ia harus mengatakannya. “Zhi, dia tidak mengingatku.”
“Apa?” kali ini Louis tidak bisa untuk menahan diri untuk tidak ikut berbicara.
“Aku ke rumahnya, dia menemuiku dengan pandangan asing, dia bahkan tidak tahu siapa aku. Apa sebegitu mudahnya bagianya untuk melupakan seseorang hah?” Niall mengucapkan kalimatnya dengan frustasi.
Keempat temannya terdiam, seolah ikut merasakan apa yang sedang diceritakan oleh Niall.
Liam mengelus punggung Niall, “Kau telah mencoba untuk menemuinya dan mendapatkan jawaban atas apa yang kau pertanyakan selama ini.”
Niall malah terkikik, dan berubah menjadi tawa, tawa yang hambar. “Dan kalian tahu, tiba-tiba ada seorang lelaki yang ke rumahnya dan mengatakan bahwa dia adalah kekasih Zhi!” Niall hampir berteriak.
“Niall, tenanglah, kumohon!” Zayn menyela.
Niall berdiri dari duduknya dengan sempoyongan, “Dia-jelas-jelas-mengkhianatiku-di-depan-mataku-sendiri!!!” ucapnya sembari menatap keempat temannya.
Dari situ pula, mereka berempat dapat melihat wajah Niall yang sudah merah padam. Bahkan matanya yang selalu menggambarkan canda, sekarang berubah sangat merah, seolah sedang menahan sesuatu yang akan tumpah.
Tanpa diduga, Liam menubruk tubuh Niall dan memeluknya. “Menangislah, aku tahu kau menginginkan hal itu, menangislah. Setidaknya itu akan membuatmu lebih nyaman.”
Benar saja, Niall langsung menumpahkan semua emosinya kedalam tangisan sesenggukan itu. Ia terlalu takut untuk kehilangan orang yang sudah ia sayangi. Dan ia lebih takut untuk menghadapi kenyataan itu.
“Kami selalu ada untukmu Niall,” Louis ikut memeluk Niall dari belakang.
“Selalu ada untukmu, apapun yang terjadi,” Harry menambahkan.
Zayn tersenyum melihat kawan-kawannya yang saling berpelukan, ia tidak ingin ketinggalan tentunya. Ia mendekat dan ikut merangkul mereka semua. “Karena kita adalah keluarga,” ucapnya dengan tenang.
***
Pintu coklat itu akhirnya terbuka lebar, menampakan seorang lelaki yang membukakannya.
Mata biru Louis melebar begitu menyadari telah menemukan orang yang dicarinya. “Hai,” ucapnya memberi salam.
“Hai,” Adam diam sejenak, ada orang asing lagi yang kerumahnya. “Ingin bertemu dengan Zhi?” ia mencoba menebak. “Dia sedang pergi les, dan sepertinya akan pulang satu jam lagi.”
Zayn yang dari tadi hanya berdiri di samping Louis langsung menggelengkan kepalanya, “Tidak, kami tidak ingin bertemu dengan Zhivana.”
“Kami ingin berbicara denganmu,” Louis menyambung.
Kerut di dahi adam tidak bisa tersamarkan, “Aku?”
“Iya, anda, Adam Swan. Boleh kami masuk?”
Adam sedikit terperengah ketika mengetahui bahwa orang asing yang di depannya tahu tentang namanya. “Oh, iya, silahkan,” ucapnya mempersilakan mereka berdua.
Tadi malam, Niall tidur lebih awal dari biasanya. Mungkin ia terlalu capek baik fisik maupun pikirannya. Hal itu tidak disia-siakan oleh mereka berempat untuk mendiskusikan cara agar mengembalikan Niall seperti dulu. Dan akhirnya, sebuah gagasan dari Louis yang sedang dijalankan oleh dirinya dan Zayn.
Louis duduk di samping Zayn, sedangkan Adam berhadapan dengan mereka.
“Sebelumnya, kami mohon maaf karena mengejutkanmu. Kami di sini hanya ingin menanyakan beberapa hal kepadamu, tidak ada maksud lain,” ucap Zayn menjelaskan.
Adam hanya mengangguk, meskipun ia sendiri sebenarnya masih bingung.
“Baiklah, langsung saja. Apa kau tahu tentang Niall?” sebuah pertanyaan dari Louis yang membuat kening Adam berkerut.
“Niall?” gumam Adam.
Louis mengangguk. “Pria berambut blonde yang kemarin datang ke rumah ini untuk menemui adikmu.”
“Oh, orang itu,” Adam sepertinya langsung mengingatnya. “Ada apa dengannya? Kemarin dia kesini hanya ingin berbicara dengan Zhi bukan?”
Louis kembali mengangguk. “Niall adalah kenalan lama Zhivana, namun kemarin Zhivana dengan terang-terangan mengatakan tidak mengenal Niall. Itu membuat teman kami sangat tertekan.”
Tiba-tiba raut di wajah Adam berubah sedih. “Oh itu, sebelumnya, maafkan adikku,” ucapnya lirih. “Dia tentunya tidak bermaksud seperti itu.”
Kening Zayn berkerut, “Apa maksudmu?”
“Zhi, Zhi amnesia. Namun hanya amnesia ringan, jadi hanya hal-hal tertentu saja yang ia lupa. Mungkin teman kalian itu adalah salah satu yang dipaksa untuk dihapus dari memori otaknya.”
Zayn dan Louis saling berpandangan. Tentu saja mereka sangat kaget dengan informasi yang baru saja didengar oleh mereka. Namun dari informasi itu, tersambunglah keanehan-keanehan yang dialami Niall.
***
Konser telah usai beberapa saat yang lalu. Tidak bisa terbayang betapa leganya mereka berlima karena telah menampilkan yang terbaik untuk beribu-ribu Directioners Indonesia yang telah hadir menonton mereka.
Biasanya mereka berlima akan langsung ke hotel untuk beristirahat setelah konser selesai, namun tidak pada malam itu. Mereka masih mondar-mandir tidak tentu arah di belakang panggung.
Niall mengamati dengan bingung keempat temannya yang terlihat panik. Tidak seperti biasanya mereka seperti itu. bahkan dalam kondisi genting sekalipun, mereka masih bisa tertawa untuk menghibur satu sama lain. Ada apa sebenarnya?
“Baiklah, kalian bertiga tunggu di sini. Biar aku dan Harry yang mencari tahu,” ucap Louis memecahkan keheningan. Harry langsung mengangguk. Lalu mereka berdua segera berbalik dan berlari menerobos para kru yang masih bertugas.
Kerut di kening Niall tidak bisa disembunyikan lagi. “Ada apa?” tanyanya bingung. Apakah teman-temannya menyembunyikan sesuatu darinya?
Zayn dan Liam berpandangan satu sama lain, seolah ragu untuk mengatakannya kepada Niall.
“Kami mengundang Zhivana ke konser ini,” akhirnya Liam memberanikan dirinya untuk menjawab.
Niall membelalakan matanya. “Apa?” gumamnya. Namun seketika dia dapat menguasai dirinya, “Dimana dia sekarang?”
Zayn menghembuskan napas panjang. “Itu yang kami tidak tahu, padahal kami telah memberikan tiket VVIP yang hanya beberapa itu. Tapi dia tidak datang.”
“Sebelumnya, kami juga mengutus beberapa kru untuk memastikan bahwa Zhivana datang ke konser ini, tapi entah kenapa, para kru juga tidak bisa dihubungi,” timpal Liam berusaha menjelaskan apa yang terjadi.
“Lalu, Harry dan Louis? Apa yang sedang mereka lakukan?” tanyanya mulai panik.
“Mereka sedang mencari info tentang keberadaan Zhivana,” ucap Zayn. “Kau, tenanglah di sini. Kami akan menceritakan suatu hal tentang Zhivana yang mungkin akan menjawab segala pertanyaanmu selama ini.”
Mau tidak mau, kepanikan Niall hilang digantikan oleh rasa ingin tahu yang mendalam. Dia menganggukan kepalanya dan duduk di sebuah kursi lipat, begitu pula Zayn yang memilih untuk duduk di sampingnya.
“Aku akan mengambil teh hangat untuk merilekskan suasana,” ujar Liam sambil pergi meninggalkan Zayn dan Niall.
“Sekarang tinggal kita berdua, ayo ceritakan,” ucap Niall tidak sabaran.
Zayn memandang kasihan kepada Niall, tapi ini harus disampaikan, bagaimanapun caranya. “Well, Niall, semenjak kapan kau putus kontak dengan Zhivana?”
“Enam bulan yang lalu,” jawabnya cepat.
“Kau tahu, enam bulan yang lalu, Zhivana mengikuti acara study tour di sekolahnya.”
“Ya, aku ingat, beberapa hari sebelum study tour, Zhi menceritakan rencananya itu. Dan itu pesan terakhir yang Zhi kirimkan kepadaku.”
Zayn mengangguk. “Itu karena ketika dia sedang study tour, ia mencoba wahana banana boats di salah satu pantai yang ia kunjungi. Naas, ia jatuh dari banana boats dan ternyata pelampung yang ia kenakan rusak. Kepalanya membentur karang, dan sempat tidak sadarkan diri selama beberapa hari. Begitu bangun, dokter memvonisnya amnesia sebagian.”
“Ya Tuhan, Zhi,” gumam Niall serak.
“Dan sialnya, kau adalah termasuk yang dihapus dari memorinya,” Zayn mengucapkan itu dengn hati-hati, sangat takut jika akan melukai perasaan Niall.
Niall berdiri dari duduknya.
“Kau mau kemana Niall?”
“Menemui Zhi,” ucapnya. Namun Zayn mencengkram tangannya kuat-kuat sehingga menahan pergerakannya untuk berlari.
Niall melepaskan cengkraman Zayn dengan kasar dan segera berbalik hendak lari, namun naas, Liam ternyata sudah berdiri di belakangnya sembari membawa segelas teh hangat yang sudah tumpah karena tertabak Niall.
“Oh, Liam, maafkan aku,” ucapnya penuh penyesalan.
Liam menghembuskan napas panjang-panjang, “Tindakan terburu-buru hanya akan memperkeruh suasana,” ujarnya sembari membersihkan kaosnya.
Niall yang beberapa saat lalu solah hendak lari secepat yang ia bisa, sekarang hanya terdiam dan menunduk dalam. Pikiran jernihnya seolah mengiyakan apa yang telah dikatakan Liam.
“Dengarkan aku Niall,” kali ini Liam melipat kedua tangannya di dada. “Sekarang yang bisa kita lakukan hanya menunggu Louis dan Harry kembali. Percayakan kepada mereka untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.”
***
Sudah hampir tiga puluh menit mereka bertiga hanya bisa duduk di kursi lipat dan duduk menunggu. Liam sudah mengganti bajunya. Beberapa kru hampir memaksa mereka untuk beristirahat, namun mereka tolak dengan baik.
Tidak berapa lama, sosok Harry terlihat berlari menghampiri mereka bertiga. Dia nampak sangat gugup dan berantakan, napasnya pun tersengal tak beraturan.
“Dimana Louis?” hanya itulah yang pertama kali Niall lontarkan.
“Tenangkan dulu dirimu,” ucap Zayn sembari mengusap punggung Harry.
Harry mengangguk dan masih mencoba untuk mengatur napasnya. “Louis sedang menyiapkan mobil untuk kita.”
Liam yang paling tenangpun tidak bisa menyembunyikan kepanikannya, “Untuk apa dia menyiapkan mobil?”
“Zhivana.”
Niall menyipitkan matanya. “Ada apa?”
Harry menarik napas panjang dan menghembuskannya keras-keras, “Zhivana kecelakaan ketika dalam perjalanan menuju konser kita.”
***
Mereka berempat membayangkan Niall akan bertindak seperti orang gila ketika tahu tentang berita itu. Tapi nyatanya, tidak sama sekali. Selama di perjalanan, Niall hanya diam, diam, dan diam. Apa dia sangat frustasi sehingga sampai seperti itu?
Sesampainya di rumah sakit, mereka hanya bisa menemukan Adam yang duduk di salah satu kursi rumah sakit. Adam sendiri langsung menyadari keberadaan mereka berlima. Sebelumnya, Zayn dan Louis telah memberi tahu semuanya tentang hubungan Niall dan adiknya, sehingga sekarang ia tidak kaget lagi.
“Zhi?” tanya Niall dengan suara yang tercekat.
“Dia sudah keluar dari masa kritis, sekarang sudah di pindah ke kamar ini,” Adam menunjuk salah satu kamar di rumah sakit itu. “Namun semuanya belum boleh menengoknya.”
“Bagaimana bisa terjadi?” suara Niall hampir membentak.
Adam. “Kalian tahu Lucas?”
Niall mendecakan lidahnya. “Kekasih Zhi,” ucapnya getir.
“Tidak!” cetus Adam dengan tegas. “Laki-laki itu memang menyukai Zhi sejak lama, tapi Zhi tidak pernah menyukai Lucas. Mereka hanya berteman, atau mungkin bersahabat.”
“Apa hubungannya Lucas dengan masalah ini?” tanya Liam.
“Kalian tahu, ternyata Zhi menceritakan pertemanannya dengan Niall kepada Lucas.”
Liam mengangguk. “Jadi, selama ini ada orang yang tahu hubungan Niall dan Zhivana,” itu pernyataan, bukan pertanyaan.
“Lucas sepertinya cemburu dengan Niall. Ketika Zhi hilang ingatan dan tidak mengingat Niall, Lucas memanfaatkan itu. Dia tidak pernah mengungkit-ungkit Niall kepada Zhi, padahal dia-lah satu-satunya orang yang tahu tentang hubungan Niall dan Zhi.”
“Jahat,” hanya kata itulah yang keluar dari mulut Harry.
“Lalu tadi sore di rumahku, Zhi mengatakan kepada Lucas jika ia diberi tiket VVIP untuk menonton konser One Direction olehku. Dari wajahnya, aku tahu, Lucas ketakutan. Tanpa alasan yang jelas, dia memaksa Zhi untuk tidak datang ke konser itu. Tentunya Zhi tidak menurutinya, bagaimanapun juga dia penggemar One Direction sebelum ingatannya kacau.”
“Apa yang terjadi setelah itu?” Louis menyahut.
“Lucas menabrakan mobilnya sendiri ke arah taksi yang ditumpangi Zhi. Taksi itu terguling, sialnya Lucas malah tidak tergores sedikitpun. Tapi dia sudah berada di tangan polisi sekarang. Aku tidak tahu apakah dia sudah sangat posesive atau dia memang orang gila.”
“Astaga,” mereka berlima menggumamkan kata yang sama.
“Tapi, meskipun taksi yang ditunggangi Zhi terbalik, tidak ada luka yang merusak fisiknya. Hanya saja kepalanya terbentur sangat keras,” Adam terdiam, seolah ragu untuk melanjutkan kalimatnya. “Aku, aku takut jika dia kembali amnesia, amnesia total.”
***
Jam sembilan pagi, Niall sudah berada di rumah sakit itu lagi. Ia sedikit terburu-buru, karena ia hanya mempunyai waktu sekitar satu jam sebelum acara jumpa fans berlangsung.
Meskipun waktu itu bukan jam besuk, namun sepertinya perawat di rumah sakit itu baik-baik sehingga Niall diperbolehkan masuk untuk menjenguk Zhi, tentunya dengan seijin Adam.
Niall melangkah dengan pelan, dan memutuskan untuk duduk di kursi yang berada di samping ranjang. Matanya terus menatap lekat gadis yang sangat ia rindukan itu. Sakit rasanya ketika melihat gadis itu hanya bisa terbaring lemah dengan segala alat-alat penunjang kehidupannya.
Tapi tidak tahu mengapa, perasaan Niall sangat tenang hanya dengan memandang gadis itu. Ya, hanya memandanginya, itu sudah cukup baginya.
Niall melirik ke arah jam tangannya, ia sudah lima belas menit ia di kamar itu. Ia harus segera pergi jika tidak ingin terlambat ke acara jumpa fans itu. Apalagi mengingat Jakarta ynag selalu macet, perjalanan beberapa kilometer saja membutuhkan waktu yang lama.
Untuk yang terakhir kalinya, ia menatap Zhi. Tanpa diduga, Niall mencondongkan tubuhnya dan mengecup kening Zhi dengan sangat pelan. Ia langsung membalikan badannya hendak melangkah pergi.
“Ni...all!
Sebuah suara yang parau dan sangat pelan mengusik Niall. Ia kembali membalikan bandannya dengan cepat dan menatap Zhi yang masih tertidur. Apakah ia berhalusinasi sehingga mendengar suara Zhi yang memanggil namanya?
“Ni..all,” suara itu lagi. Dan Niall melihat dengan mata kepalanya jika bibir Zhi yang mengucapkan namanya.
Niall membungkukan badannya sehingga wajahnya berhadapan dengan Zhi. “Ya Tuhan, kau sudah sadar!”
“Niall,” kali ini gumaman itu begitu jelas.
“Iya sayang, aku di sini.”
“Niall,” gumamnya lagi.
Ya Tuhan! Zhi belum sepenuhnya membuka matanya, namun ia terus menggumamkan namanya. Tidak tahu mengapa, hal itu membuat dada Niall terasa menghangat. Ya, di dada itu terasa sangat hangat oleh perasaan yang aneh.
Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka. Niall menoleh dengan cepat, seorang dokter dan suster menghampirinya. Mereka sepertinya selalu siap siaga. Tidak berapa lama, Adam pun muncul dari belakang.
Dokter itu langsung memeriksa keadaan Zhi dengan cekatan. Ia tersenyum lebar. “Nona Zhivana telah sadar,” dokter itu menerangkan, “Namun belum sepenuhnya.”
Niall hanya mengangguk. Ia kembali terdiam dan hanya bisa melihat dokter dan suster itu yang mulai melepas beberapa alat yang menempel di tubuh Zhi.
“Dokter,” gumam Niall.
Dokter itu menghentikan aktifitasnya dan melirik ke arah Niall. “Ya?”
“Dia, dia tadi menggumamkan namaku,” Niall mendesah. “Apa berarti ingatannya telah kembali?”
“Mungkin saja, namun butuh pemerikasaan lebih lanjut untuk mengetahui kepastiannya.”
***
Acara jumpa fans benar-benar menguras tenaga mereka berlima. Antusias Directioners Indonesia memang tidak diragukan lagi. Akhirnya mereka memutuskan langsung pulang ke hotel untuk bersistirahat, karena malam harinya mereka juga akan menghadiri beberapa acara yang disiarkan live di siaran televisi.
Seolah tidak ingin menyianyiakan waktu untuk beristirahat, mereka langsung berebut sofa di ruang tengah untuk sekedar rebahan. Bahkan Harry dan Louis yang tidak kebagian sofa pun malah tidur di atas karpet tebal di dekat sofa.
“Capeeeeek!!!” gerutu Harry, “Tapi menyenangkan, hahahaa.”
Louis mendecakkan lidahnya. “Sepertinya tadi jumpa fans terhebat yang pernah kita lakukan.”
Mereka kembali terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tapi beberapa dari mereka sepertinya mencoba untuk memejamkan matanya.
Tiba-tiba Niall bangkit dari tidurannya. “Kalian berliburlah ke Bali, aku tidak ikut,” ucapnya singkat dan jelas. Keempat temannya mau tidak mau juga ikut bangkit dan langsung menatap Niall dengan pandangan aneh.
Zayn menyipitkan kedua matanya. “Kau akan menemani Zhivana hingga ia pulih?” tebaknya.
Niall mengangguk, “Mungkin inilah satu-satunya cara agar aku bisa di sisinya dalam waktu yang cukup lama. Kalian tahu sendiri, setelah liburan di Bali, kita memiliki jadwal yang padat untuk konser-konser kita. Aku, aku pasti akan sangat kesulitan mengatur waktuku untuk bertemu dengan Zhi.”
“Kami mengerti,” ucap Liam yang dibarengi oleh anggukan dari yang lainnya.
Tiba-tiba Niall seperti teringat akan sesuatu. “O iya, jangan lupa jemput aku di Jakarta jika kalian hendak pulang, jangan sampai aku kembali tertinggal seperti kejadian dua tahun yang lalu!”
Louis memutar kedua bola matanya. “Jikapun kami meninggalkanmu di sini bersama Zhivana, sepertinya kau malah akan merasa senang.”
***
Dua hari ini Niall memang belum menjenguk Zhi. Ia sangat sibuk menghadiri jumpa fans dan acara-acara lainnya yang membuatnya tidak bisa segera menemui Zhi. Sekarang jadwalnya di Jakarta sudah selesai, teman-temannya bahkan sedang dalam perjalanan ke Bali.
Niall hampir berlari ketika menyusuri lorong rumah sakit yang sudah sangat dihafalnya. Pandangannya kembali menemukan Adam yang duduk di kursi depan kamar.
“Hai,” Niall mengulurkan tangannya ke arah Adam.
Adam berdiri dan menyambutnya dengan hangat, “Aku sudah lama menunggumu.”
“Bagaimana keadaannya?”
“Sudah membaik. Ia pulih dengan kecepatan yang luar biasa, sebuah keajaiban ynag Tuhan berikan kepada adikku.”
Niall tersenyum lebar, ada kelegaan luar biasa yang membanjiri hatinya. “Boleh aku menemuinya?”
“Tentu saja, silakan masuk, dia sudah menunggumu.”
***
Niall kembali memasuki kamar bernuansa putih itu. Ternyata Zhi masih tertidur, namun alat-alat yang dua hari lalu menyelimuti tubuhnya sekarang sudah tidak ada lagi. Ia mirip seperi orang yang sedang tidur biasa.
Kursi yang berada di samping ranjang sudah tidak ada, mau tidak mau Niall duduk di ranjang yang ditiduri gadisnya. Ternyata gerakan Niall itu membuat Zhi terbangun.
Zhi mengerjap-ngerjapkan matanya, apa dia bermimpi?
“Hai, tidurmu nyenyak?” tanya Niall membuyarkan lamunan Zhi.
Zhi hanya mengangguk, ia mencoba untuk duduk. Dengan sigap Niall membantunya.
“Bagaimana keadaanmu? Sudah merasa baikan? Atau masih ada yang sakit?”
Zhi tidak menjawab, dia membisu. Kepalanya tertunduk dalam tidak mau menatap laki-laki di depannya.
Niall mengerutkan keningnya. Kedua matanya menyipit dan melihat ada bulir air mata yang mengalir kemudian jatuh bebas.
Niall tidak bisa menahan dirinya untuk langsung menubruk tubuh Zhi dan memeluknya dengan erat. “Hey, kenapa kau menangis? Kau merindukanku ya?”
Zhi membenamkan wajahnya dalam-dalam di dada Niall. “Aku sangat meindukanmu,” ucapnya jujur.
Niall melepaskan pelukannya dan menatap intens ke arah Zhi. “Sudahlah, sekarang aku bersamamu.”
Mau tidak mau, kalimat Niall yang sangat sederhana itu membuat pipi Zhi memerah. Namun, tiba-tiba ia mengingat suatu hal, “Niall,” ucapnya masih parau.
“Ya?”
“Maafkan aku. Kau pasti sangat bingung kenapa selama setengah tahun ini aku tidak membalas dm-dm yang kau kirim. Aku amnesia, bahkan aku tidak ingat jika aku memiliki akun kedua, maafkan aku. Aku, aku, aku tidak...”
“Sssttt...” Niall menaruh jari telunjuknya di bibir Zhi, “Tidak perlu meminta maaf, kau tidak salah, dan aku tidak pernah menyalahkanmu. Bahkan selama ini aku berpikir, apakah kau ini marah denganku karena kau berbuat salah atau apa. Seharusnya aku yang meminta maaf karena aku-lah yang berperasangka buruk terhadapmu.”
“Terimakasih, terimakasih karena tidak marah kepadamu.”
Niall hanya tersenyum, “Sepertinya aku sangat susah untuk marah kepadamu.”
Kruyuk-kruyuk-kruyuk
Niall memandang heran ke arah Zhi, “Kau lapar?”
Zhi secara spontan memegang perutnya. “Sepertinya iya,” ucapnya malu-malu. “Aku ingin mie ayam di bandara itu,” pintanya.
Niall terkikik mendengar Zhi yang sudah kembali seperti dulu. Mungkin tanpa kecelakaan itu, Zhi tidak bisa mendapatkan ingatannya lagi. “Baiklah, baik, aku bejanji akan membawamu ke sana, tapi nanti jika kau sudah benar-benar sembuh.”
“Aku sudah sembuh, luka-luka ini hanya luka ringan,” ia mulai berargumen. Namun tiba-tiba ia terdiam, matanya sedikit meneduh. “Lagipula, setelah ini kau pasti akan segera pergi dan menjalankan aktivitasmu seperti biasanya bukan? Aku tidak ingin kehilangan waktu yang sangat berharga ini. Aku ingin melakukan segala hal yang bisa membuatku terus teringat denganmu.”
Niall kembali memeluk Zhi, kali ini lebih erat dari sebelumnya. “Aku juga berjanji akan sering menengokmu di Indonesia, bagaimanapun caranya. Aku berjanji.”
“Aku mempercayaimu, Niall.”
“Oh iya, dan ini,” Niall mengeluarkan kotak beludru berwarna biru tua dari kantong celana jeansnya.
Kening Zhi berkerut, “Apa itu?”
“Selama ini tidak ada suatu halpun yang mengikat kita,” ucapnya sambil membuka kotak itu. Sebuah cincin berlian putih terlihat di sana.
Zhi terperangah, tidak pernah sekalipun terlintas di benaknya jika Niall akan melakukan hal seromantis itu kepadanya.
“Zhivana Swan, aku menyukaimu. Bukan, tapi aku mencintaimu. Maukah kau menjadi kekasihku?”
Zhi hampir ternganga kaget. Bernafaslah Zhi! Ucapnya dalam hati kepada dirinya sendiri. “A... aku...”
Waktu terasa melambat. Jantung Niall sebenarnya berdebar sangat kencang, namun dia berusaha untuk tetap bersikap setenang mungin.
“Aku, aku tidak bisa....”
Deg! Jantung Niall seolah berhenti.
“Aku tidak bisa jika harus menolakmu,” akhirnya kalimat itu bisa terangkai dengan sempurna.
Niall menghembuskan nafasnya panjang-panjang, penuh kelegaan yang luar biasa. Gadis itu miliknya, dan akan terus menjadi miliknya.

No comments:

Post a Comment