by Alvianita Febriani , 18
HLS
“Memory is a way of holding on to the things you love, the things you are, the things you never want to lose.”
Seulas senyum menghiasi bibir tipis gadis bermata cokelat itu ketika setetes salju menyentuh telapak tangannya yang sengaja ia telentangkan ke udara. Kaki kecilnya melangkah perlahan,
menuju sebuah bangku kayu di bawah pohon maple tepat di hadapan bangunan bercat putih tempat gadis itu berasal. Seakan tak peduli pada sensasi dingin yang ditimbulkan oleh ratusan bahkan ribuan titik-titik putih kecil yang jatuh dari langit di kulit pucatnya, gadis itu memejamkan kedua mata indahnya lalu menengadahkan kepalanya ke atas. Menikmati suasana sepi dan dingin di sekitarnya.
“Sayang, apa yang kau lakukan di sini? Masuklah, sekarang sedang
hujan salju!” seorang wanita berseragam putih menarik lengan gadis itu dan
membawanya kembali ke dalam gedung.
Kesal karena kesenangannya terganggu, gadis cantik itu merengut. “Tapi aku
suka hujan salju,” sungutnya sebal.
“Dokter akan marah padaku kalau kau sampai jatuh sakit!” wanita berseragam
putih itu menjawab sambil menggiring sang gadis menuju sebuah kamar yang
terletak tak jauh dari sana.
“Kalau aku memang tidak sakit. Lalu mengapa aku ada di sini?” si gadis
memprotes, membuat wajah wanita berseragam putih yang tadi menggiringnya
mengerut sedih.
Wanita paruh baya itu membelai lembut puncak kepala si gadis, lalu menyunggingkan
senyum hangat sebelum akhirnya bergumam, “Kau tidak sakit sayang, hanya sedang
berlibur di sini!” hiburnya. Walau bibirnya tersenyum, tapi terlihat binar
kesedihan dari tatapan wanita itu. Dan si gadis menyadari hal itu.
“Mom tak perlu membohongiku!” komentarnya datar lalu menatap keluar
jendela kamarnya tanpa mempedulikan lagi keberadaan wanita tadi.
Berpuluh-puluh menit lamanya, gadis itu hanya berdiri di samping jendela,
memandang pemandangan di luar jendela dalam diam. Sesekali bibirnya tersenyum ketika
melihat tingkah-tingkah lucu hewan di pekarangan gedung.
Decitan pintu terbuka, serta merta membuatnya terkesiap dan menatap waspada
pada seorang pria yang tiba-tiba masuk ke kamarnya. “Siapa kau?”
tanyanya pada pria tampan bergaris wajah tenang yang kini melangkah ke arahnya.
Pria tampan itu tersenyum. Sama seperti wanita paruh baya tadi, kesedihan di binar matanya yang bening juga tak dapat disembunyikan dibalik senyum menawan dari bibir tipisnya. “Good Morning” sapanya sopan.
Kerutan di kening gadis itu makin bertambah ketika si pria melangkah semakin
dekat ke arahnya, “Si-siapa kau? Apa aku mengenalmu?” tanyanya waspada
dan berjengit mundur.
Melihat ketakutan pada wajah gadis di depannya, pria tadi berhenti
melangkah, lalu kembali tersenyum. Senyum yang sama seperti tadi. “Ah…Maaf,
sepertinya aku salah masuk kamar!” jawab pria itu dengan ekspresi bingung
tampak jelas di wajahnya.
Semenit dua menit berlalu, gadis itu masih diam menatap sosok si pria dari
atas hingga bawah. Meneliti kalau-kalau pria itu adalah penjahat yang bisa saja
menculiknya saat itu juga. Tapi si gadis tak menemukan tanda-tanda bahwa pria
yang kini berdiri di hadapannya adalah orang jahat yang akan mencelakakannya.
Perlahan, bibir mungilnya membuka dan bergumam, “Me-memangnya, kau mencari
siapa?”
Masih setia dengan senyumnya, pria tampan itu menjawab, “Aku ingin
mengunjungi temanku, tapi aku lupa di mana kamarnya!” si pria menunduk lesu,
“aku juga malu harus bertanya berulang kali pada perawat yang bertugas,”
tambahnya muram.
Alis gadis itu bertaut, “K-kau…lupa?” ulangnya dan pria tampan tadi
mengangguk, “aku juga… sering lupa jalan menuju kamarku sendiri,” keluhnya lalu
menunduk.
“Emm…kalau begitu, kita punya sifat pelupa yang sama,” hibur pria itu lalu
memamerkan keranjang biru yang tadi dibawanya, “padahal aku sudah menyiapkan
spaghetti buatanku untuk kumakan bersama temanku di taman.”
“Ta-taman?!” ulangnya dan pria tadi mengiyakan dengan anggukan. “Emmm…”
gadis itu kembali bergumam dan menempelkan telunjuknya di bibir bawahnya.
“Why?” tanya pria itu, ketika si gadis tak meneruskan kalimatnya,
“apa kau mau membantuku mencari temanku?”
Tiba-tiba mata bulat gadis itu berbinar-binar senang. Membayangkan dirinya
bisa bermain di taman tadi, menjadi sesuatu yang benar-benar dinantikannya.
Walau kini, bulir-bulir salju sudah tak lagi turun dari langit.
“Hey?!” panggil pria itu sekali lagi.
“Ah…Y-ya, aku akan membantumu,” jawabnya antusias. Tapi tak berapa
lama, wajah cantiknya kembali murung.
“Hey, kau kenapa?” tanya pria itu khawatir.
Gadis berusia 18 tahun itu memilin-milin ujung gaunnya sambil menunduk.
Menatap lantai putih di bawahnya. “A-aku k-kan ti-tidak mengenalmu,” gumamnya
terbata, “bagaimana kalau… k-kau ternyata orang jahat?” pria itu terkekeh pelan
mendengar gumaman si gadis.
“Tenanglah, aku bukan orang jahat!” ia mengulurkan tangan hangatnya pada
gadis itu, “Namaku Harry Styles,” katanya memperkenalkan diri.
Awalnya si gadis hanya menatap tangan hangat yang terulur ke arahnya itu,
tapi sedetik kemudian ia mengulurkan tangan kecilnya dan menjabat tangan pria
itu.
“Nah, sekarang kita sudah berteman. Kau tak perlu takut lagi padaku!” gumam
Harry—pria itu—tenang. Senyuman yang tersungging manis dari bibir Harry,
membuat gadis itu tak dapat menahan diri untuk ikut tersenyum. “Bagaimana kalau
kita mencari temanku sekarang?” tawar Harry dan dijawab oleh anggukan tegas si
gadis yang bernama Lisya tersebut.
Semoga Mom tidak memarahiku, gumam gadis itu dalam hati.
——————————————————
Berpuluh-puluh kamar di gedung itu mereka masuki untuk mencari ‘teman’ Harry.
Tapi tak ada satupun di antara kamar itu yang merupakan kamarnya. Merasa lelah,
mereka memutuskan untuk pergi ke taman dan beristirahat.
Di sebuah kursi taman tempat gadis tadi menengadah dan menikmati hujan
salju, mereka berdua duduk. Keduanya masih tertawa ketika mengingat peristiwa
lucu yang menimpa mereka saat si pemilik kamar yang mereka ketuk mengomel
karena terganggu. “Kau masih ingat bagaimana wajah kakek tua di kamar… emm…”
“Lantai 3 bagian selatan,” cetus Harry mengingatkan.
Si gadis tertawa, “Ah… iya, kamar itu. Demi Tuhan, dia benar-benar lucu!”
cetus gadis itu sambil terkekeh geli.
“Yeah, kau benar!” setuju Harry lalu menirukan ekspresi kesal si pria tua hingga tawa
gadis itu semakin keras.
“Dan Oh…Ibu-ibu di kamar paling timur, dia berteriak dengan suara melengking
tinggi,” kenang gadis itu lagi sambil tetap tertawa lebar. Kecantikan alaminya
tampak sempurna saat ia tengah tertawa.
“Ya, kurasa Ibu tadi cocok menjadi penyanyi opera,” canda Harry.
Setelah berhasil menghentikan tawanya, gadis itu bertanya pada Harry.
“Emmm…kau yakin temanmu itu dirawat di sini?” sambil memainkan kaki mungilnya
pada tumpukan salju di bawah.
“Tentu saja, seminggu yang lalu dia masih di sini!” jawab Harry sambil
menepuk-nepuk lembut pahanya untuk menghilangkan rasa letih setelah berjalan
mengelilingi gedung.
“Apa mungkin, temanmu sudah pulang?” cetus gadis itu sambil menempelkan
telunjuknya di bibir bawahnya. Hal yang selalu dilakukannya ketika sedang berpikir.
Alis tebal pria bernama Harry itu bertaut, “Yeah mungkin, dan kuharap begitu,” ia mengangguk dan melanjutkan, “karena temanku sudah lama dirawat di sini, aku pun berharap ia bisa pulang secepatnya.”
“Kau pasti sangat menyayangi temanmu itu,” gumam Lisya pelan.
Harry menatap mata indah gadis
itu lurus-lurus, “Sangat…aku sangat menyayanginya!” jawabnya serius.
“Dia sangat… beruntung memiliki teman sepertimu,” gadis cantik itu menghela
napas panjang, “Maaf, aku tak bisa membantumu mencarinya,” katanya murung,
“malah, tadi aku membuatmu seringkali tersesat karena aku pun lupa jalan-jalan
di gedung ini. Padahal aku…aku sudah lama tinggal di sini.”
Harry menepuk lembut pundak
Lisya, “Hey, kau jangan bicara begitu,” sergahnya sambil memamerkan senyum
terbaiknya, “kau sudah membantuku, dan aku yakin kau lelah sekarang.”
Kepala gadis itu menggeleng, “Tidak, kalau kau ingin mencari lagi,
ayo kita—“
“Tidak usah!” Harry menahan pergelangan tangan gadis itu, “sepertinya
temanku memang sudah pulang,” tambahnya buru-buru saat si gadis cantik sudah
membuka mulutnya untuk kembali membantah, tangan Harry meraih keranjang biru
yang tadi diletakkan di sebelah kursi taman dan memindahkan ke pangkuannya, “bagaimana
kalau kita makan spaghetti ini?” tawar Harry pada gadis itu dengan senyum
jenaka yang sengaja ia sunggingkan.
Tak terhibur dengan apa yang Harry lakukan, gadis itu memalingkan wajahnya,
“Secepat itukah kau melupakan temanmu?”gerutunya, “katanya kau sayang padanya.”
Harry diam. Tangannya sudah terulur untuk menyentuh bahu Lisya, tapi ia
urungkan. “Bukan aku yang melupakannya, tapi dia yang melupakanku,” gumam Harry
lirih. Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya, mendesak untuk segera
dikeluarkan.
Gadis itu menoleh, dan tampak terkejut mendapati Harry menangis, “Ma-maaf,”
cetusnya merasa bersalah, “Ka-kau tidak apa-apa? K-kau…mengeluarkan air
mata!”
Harry menggeleng, lalu menghapus air matanya dengan punggung tangan,
berdeham singkat untuk menetralkan suaranya dan menjawab,“Tidak apa-apa!”
Tanpa diperintah gadis itu merebut keranjang di pangkuan Harry dan
membukanya, “Kau bilang akan memakannya, bagaimana kalau kita makan sekarang?”
ajaknya antusias.
Senyum kembali menghiasi wajah tampan Harry melihat tingkah gadis itu,
“Yeah, karena kau sudah menemaniku seharian ini, dan menjadi temanku. Maka kau
berhak makan spaghetti ini.”
“Teman?” ulang gadis itu senang.
“Yeah, teman. Sekarang kita berteman bukan?” Harry kembali mengulas senyum
tulusnya dan gadis itu mengangguk setuju.
Sambil mengunyah spaghetti buatan Harry yang walaupun penampilannya tak
begitu baik, tapi rasanya cukup enak, gadis itu memulai pembicaraan, “Harry, maukah
kau menceritakan padaku tentang temanmu itu!” pintanya, “aku jadi penasaran,
mengapa kau sangat menyayanginya?”
Harry memiringkan kepalanya menatap mata bulat bening si gadis lalu
membersihkan sisa makanan yang menempel di pipi lembutnya, “Kenapa kau
ingin tau?” selidiknya.
Terkesiap dengan apa yang dilakukan Harry tadi, gadis itu menunduk, dan kembali memilin ujung
gaunnya, “Emm, aku…aku hanya…penasaran. Sebaik apa ia, sampai-sampai kau sangat
menyayanginya. Mungkin, aku bisa bersikap baik juga agar kau menyayangiku
sebesar kau menyayanginya,” gumamnya malu-malu, membuat semburat kemerahan
muncul di kedua pipi pucatnya.
Tertawa lebar, Harry meraih kedua bahu Lisya, “Kau tidak perlu menjadi orang
lain agar seseorang bisa menyayangimu,” nasihatnya.
Gadis cantik itu tersenyum kikuk, “Begitukah?” tanyanya malu.
“Tapi kalau kau memaksa, aku akan menceritakan tentang temanku itu,” gumam Harry
akhirnya, lalu mulai bercerita, “Temanku, adalah gadis tercantik yang pernah
kutemui,” gadis cantik itu mendengarkan penuh antusias, “mata hitam, bulat dan
jernihnya adalah bagian tubuhnya yang paling indah menurutku. Saat mata itu
menampakkan kesedihan, hatiku akan ikut merasakan sakitnya. Namun sebaliknya,
saat mata itu menampakkan kebahagiaan, orang-orang di sekitarnya juga akan ikut
bahagia hanya dengan melihatnya.”
“Wah…” seru Lisya senang. Kesepuluh jarinya ia pilin menjadi satu di depan
dada.
“Temanku juga seorang gadis berhati lembut yang akan ikut bersedih jika
menyaksikan teman-teman di sekitarnya sedih, kecantikan batinnya melebihi kecantikan
fisiknya,” kenang Harry.
“Kurasa…gadis itu pantas memiliki teman sepertimu Harry,” komentar Lisya tulus.
“Yeah, aku juga beruntung memilikinya sebagai temanku,” ucap Harry , matanya
menatap lurus bangunan putih yang berdiri menjulang di hadapannya, “tapi…”
“Tapi apa?” ulang gadis itu penasaran.
“Tapi ia punya satu kekurangan,” kenangnya, mata bening Harry mulai
berkaca-kaca ketika ia menambahkan, “ia bodoh. Temanku itu bodoh sekali… ia…
ia…” rasa sesak memenuhi tenggorokan Harry, hingga ia tak sanggup lagi berbicara.
Punggung tangan Harry buru-buru menghapus titik bening yang kini sudah muncul
tanpa diundang pada kedua ujung matanya. Kepala pria itu menengadah, menahan
titik bening lain yang mendesak keluar.
Melihat Harry seperti itu, ekspresi khawatir menghiasi wajah cantik Lisya, “Ha-harry,
kau tak apa?”
Harry berusaha mengangguk, “Yeah, tidak apa-apa,” gumamnya lirih
setelah dengan susah payah berhasil meredam isakannya, “sampai di mana tadi?”
Gadis itu diam. Berpikir. Berusaha mengingat apa yang Harry ceritakan tadi,
“Emm…” telunjuknya kembali ia tempelkan di bibir bawahnya, “temanmu… temanmu…”
ia terus saja mengulang kata itu berkali-kali.
Harry memalingkan wajah, menyeka air mata yang kini kembali jatuh di kedua
pipinya, “Bodoh!” cetus Harry.
Mata bulat gadis itu melebar, “Ah… ya, bodoh!” serunya senang.
“Ya, dia bodoh, karena ia sering melupakanku… padahal hampir tiap minggu aku
selalu mengunjunginya ke mari. Bahkan, kalau tidak ada jadwal pekerjaan, aku
bisa setiap hari datang ke tempat ini.”
Lisya memberanikan diri menyentuh tangan hangat Harry yang pria itu letakkan
di pangkuannya, “Ha-harry, kalau aku… emm… menjadi gadis itu, aku tidak akan…
emm… aku tidak akan… melupakanmu.”
Harry tersenyum penuh kasih, “Ah… aku ingin bertanya padamu,” cetusnya
berusaha mengalihkan pembicaraan. Merasa pembicaraan itu hanya akan menguras
air matanya lebih banyak lagi.
Mata cokelat gadis itu melebar, “Aku?” tanyanya, jari telunjuknya menunjuk
dirinya sendiri.
“Yeah, kurasa tak ada orang lain di sini selain kita berdua,” balas Harry
sabar.
Mengalihkan perhatiannya yang semula terpusat pada salju yang menempel di
batang pohon maple, gadis itu menatap Harry , “Apa yang ingin kau tanyakan?”
Harry beringsut mendekat ke arah gadis itu, “Sepertinya, kau sangat menyukai
salju,” katanya sambil memain-mainkan sumpit di tangannya, “kenapa kau menyukai
salju? Salju itu kan dingin?” tanyanya.
Si gadis mengulas senyum terbaiknya, “Well, benda putih itu memang
dingin,” katanya, “tapi salju dapat menimbulkan kebahagiaan di hati orang-orang
saat… saat… ah, Natal tiba!” terang gadis itu dengan mata berbinar-binar,
“warna putih pada benda itu melambangkan keanggunan juga ketulusan hati, dan
aku… sangat menyukai warna itu.”
Harry tersenyum senang mendengar penjelasan si gadis, “Oke, karena sekarang
sudah larut. Sebaiknya kau kembali ke kamarmu,” tawar Harry lalu menarik lengan
gadis itu dan membawanya ke kamar.
“Harry, thankyou for today,” ucap Lisya tulus diikuti senyuman, entah
sudah keberapa kalinya ia tersenyum hari ini.
Harry mengangguk dan membelai lembut rambut hitam legam gadis itu,
“Istirahatlah, sebelum Mom memarahimu,” perintahnya.
“Kau… akan datang lagi ‘kan?” tanya gadis itu merasa berat melepas kepergian
Harry.
Mengambil sesuatu di saku celananya, Harry bergumam sambil menyerahkan
sebuah CD One Direction pada Lisya, “Ya, aku akan datang lagi, dan ini
hadiah untukmu.”
Mata cokelat gadis itu berbinar bahagia sambil menerima CD dari tangan Harry,
tapi sesaat kemudian keningnya berkerut bingung, “Ini… kau bisa jelaskan ini apa?
Oh… inikan fotomu!” serunya saat menyadari foto Harry di cover CD itu.
Harry tertawa lebar, “Ya, itu CD album kedua One Direction,”
terangnya lancar.
“Kau lucu sekali di foto ini Harry,” ledek si gadis sembari tertawa lebar. “Eh…apa
katamu tadi, One Direction?” tanyanya terlambat menyadari, “dan CD…apa itu CD?”
Harry mengangguk, “Yeah, One Direction,” ia menunjuk CD di tangan gadis itu,
“CD adalah suatu benda yang dapat menyimpan data, lagu, dan sebagainya,”
melihat kening si gadis berkerut, Harry kembali menjelaskan dengan sabar, “kau
bisa memutar CD ini menggunakan CD player dan akan terdengar music yang
menyenangkan.”
Telunjuk gadis itu menyentuh bibir bawahnya, “Ah.. music, ya, aku suka
music,” cetusnya riang, “dan, emm… nama apa itu? One Direction?”
“Ah… jadi kau belum tahu One Direction?” si gadis menggeleng dan menatap
Harry bingung, “One Direction adalah salah satu Boy band paling terkenal di
negeri ini bahkan hampir di seluruh dunia,” jelas Harry bangga.
“Waah… benarkah?” tanya gadis itu antusias dan Harry hanya
menanggapinya dengan anggukan mantap. Baru menyadari sesuatu, tiba-tiba mata
bulat gadis cantik itu melebar, “Jadi… kau, kau adalah sosok yang banyak
dikenal orang?” tanyanya tak percaya, “Wah… kalau begitu… emm…” kerutan di
kening si gadis kembali tampak.
“Tanda tangan?” cetus Harry.
“Ah.. iya, tanda tangani benda ini untukku,” pintanya sambil menyodorkan CD
itu ke tangan Harry, “walau sekarang aku tak mengenal… On-one Direction itu,
tapi mulai hari ini, aku akan menjadi orang yang menyukai mereka, terutama kau
Harry,” janji gadis itu yakin yang tanpa disadarinya, sedari tadi Harry
kesulitan untuk menyembunyikan air matanya yang sudah mendesak untuk keluar.
“Selesai,” gumam Harry dengan suara serak setelah menandatangani CD itu dan
menyerahkannya pada si gadis. Gadis itu tersenyum lebar saat menerimanya, “aku
pulang dulu,” pamit Harry dan gadis di hadapannya mengangguk.
“Jangan lupa janjimu untuk mengunjungiku lagi,” pesan Lisya sebelum Harry menghilang
di balik pintu.
Sepeninggal Harry, si gadis kembali memandangi CD pemberian Harry tadi
dengan tak henti-hentinya tersenyum. Beberapa menit kemudian, pintu dibuka
menampakkan wanita paruh baya yang biasa disebutnya Mom. “sayang, kenapa
belum tidur?” tanya wanita itu sabar lalu meletakkan gelas berisi susu hangat
di samping tempat tidurnya.
“Mom, hari ini aku senaaang sekali!” serunya dengan ekspresi bahagia tak terkira.
Wanita paruh baya itu pun ikut tersenyum menyaksikan wajah ceria di
hadapannya. Ia selalu berharap gadis cantik di hadapannya ini akan selalu
menampakkan senyum seperti itu setiap harinya, ia benar-benar menyayangi gadis
itu seperti putrinya sendiri, “Karena kau sudah bahagia, maka kau harus tidur,”
perintah wanita itu dengan nada lembut.
“Ya, aku akan tidur, Mom istirahatlah,” katanya sambil merebahkan
tubuhnya di tempat tidur dan masih mendekap erat CD One Direction di dadanya.
“Ah… Mom,” ia kembali bangkit ketika mengingat sesuatu, “kau tahu… di mana
biasanya aku meletakkan barang-barangku? Aku lupa—“
“Di sini, sayang,” wanita paruh baya itu membuka laci nakas yang terletak di
sebelah tempat tidur si gadis. Laci itu dipenuhi oleh barang-barangnya, di
antaranya sebuah Diary putih, tempatnya biasa menulis segala sesuatu yang ia
alami setiap harinya, dan sebagai pengingat agar dirinya tidak lupa akan
kejadian yang dialami sebelumnya. Juga, berbagai barang lainnya.
“Hah… sifat pelupa-ku semakin parah saja, Mom,” gumam gadis itu dan si
wanita paruh baya hanya bisa menunjukkan senyum prihatin. “Mom!” wanita itu
kembali menoleh ketika si gadis memanggilnya, “kau… kau tahu benda untuk… emm…
memutar ini?” tanyanya sambil memamerkan CD One Direction pemberian Harry tadi.
Wanita itu melangkah ke tepi tempat tidur si gadis lalu mengambil sebuah portable
CD player dari laci nakas, “Ini, sayang.”
“Oh…” gadis itu menerimanya dengan senang hati, tapi sedetik kemudian
wajahnya tampak lesu, “bagaimana cara menggunakannya?” keluhnya kesal sambil
membolak-balik CD player itu di tangannya.
Memandang prihatin pada gadis lugu yang sudah dianggapnya sebagai putrinya
sendiri, wanita paruh baya tadi mengambil alih benda itu dan memasukkan CD One
Direction ke dalamnya lalu memencet tombol play. Dengan sabar, wanita
itu juga memasangkan earphone ke telinga mungil si gadis, “Kau bisa
mendengarnya sekarang?” gadis itu mengangguk senang.
“Yeah, Mom. terimakasih!” gumamnya penuh syukur.
Sendiri lagi sepeninggal wanita itu, si gadis membuka laci nakas di sebelah
tempat tidurnya untuk menulis kejadian membahagiakan yang ia alami hari ini ke
dalam Diary mungilnya. Ketika mengeluarkan buku Diary putih kecil dari dalam
laci, sebuah foto polaroid yang jatuh dari salah satu halaman buku itu
membuatnya tertegun.
Foto itu menampakkan seorang pria tampan bersama seorang gadis cantik yang
tidak lain adalah dirinya, tengah berpose mesra dan tersenyum lebar di sebuah kursi
taman panjang tempatnya tadi menghabiskan waktu berdua bersama Harry. Senyum
yang semula tersungging di bibir mungilnya, menghilang ketika ia mengenali
sosok pria dalam foto itu. Jemari mungilnya menyentuh wajah pria tampan yang
tersenyum lebar itu. Sebulir air hangat jatuh membasahi pipi lembutnya, diikuti
bulir-bulir lainnya saat ia membalik foto itu dan menemukan sebuah tulisan yang
berbunyi, ‘With Harry Styles, my beloved boyfriend,’ juga sebentuk hati
di akhir kalimat.
Isakannya semakin hebat, kala ia membuka lembar demi lembar Diary putih di
tangannya dan menemukan lebih banyak lagi bukti kenangannya bersama pria itu. “Maaf,
Harry, maafkan aku!” isaknya pilu.
Sementara di luar kamar, seorang pria tampan terisak. Air mata yang sejak
tadi ditahannya, tak lagi dapat dibendung. Tak peduli pandangan orang padanya,
ia membiarkan titik-titik bening itu membanjiri kedua pipinya. Harry masih
mengingat jelas kejadian 3 tahun yang lalu, sebuah kenangan manis yang tak akan
pernah ia lupakan sampai kapanpun saat mereka masih menempuh bangku SMA sebelum
penyakit itu merenggut dengan paksa ingatan Lisya......
Bruuukk!
Lisya melempar tasnya hingga melewati pagar sekolah. Hal ini sengaja ia
lakukan untuk mengurangi bebannya saat memanjat pagar yang nampak usang dan
kurang terawat itu. Yah, hari ini Lisya terlambat lagi. Agar bisa masuk ke
dalam sekolah maka ia harus masuk dengan cara yang ia anggap kurang terhormat
-memanjat pagar belakang sekolah. Dia kerap kali melakukan aksi ini saat datang
terlambat ke sekolah.
“Haish! Kenapa aku selalu bertemu dengan pagar jelek ini?” gerutu Lisya.
Lisya mengerahkan seluruh tenaganya melewati pagar. Sesampainya ia dipuncak
pagar, ia langsung melompat terjun ke bawah.
“Huft! Kemampuanku memanjat sudah tidak diragukan lagi.” seru Lisya senang
dirinya berhasil memasuki sekolah.
Masih dalam posisi berjongkok, mata Lisya menangkap sosok tubuh yang tegap
berdiri dihadapannya. Lisya menatapnya mulai dari ujung kaki hingga akhirnya
sampai pada wajah tampan seorang pria. Lisya tertegun.
“Gud… Good Morning ketua! Woah, hari ini kau terlihat tampan. Hehe” goda
Lisya berusaha meluluhkan tatapan sinis dari sang ketua osis.
Harry Styles sosok ketua osis tampan dan memghampiri sempurna walaupun dalam
situasi tertentu dia bisa terlihat sangat konyol itu tidak tergoyahkan dengan
rayuan payah Lisya.
“Lisya Arrabella kau tau apa kesalahanmu hari ini?” tanya Harry dingin.
“Ya, I know.” jawab Lisya lemas sembari menundukkan kepalanya. “Tapi aku
harus masuk sekolah hari ini. Hari ini aku ada pengulangan matematika, nilaiku
sangat buruk jadi aku harus mengikutinya. Ku mohon biarkan aku masuk hari ini
saja, janji!” rengeknya.
Harry menghela nafas. “Kemarin kau terlambat dan hari ini juga. Aku yakin
besok kau juga akan terlambat.” ucapnya.
Lisya memanyunkan bibirnya mendengar ucapan Harry. Dia telah kehabisan
kata-kata sekarang. Dia pun memasang raut sedih dan pasrah di wajah cantiknya.
Melihat ekspresi Lisya yang seperti itu membuat Harry kembali menghela nafas.
“Sudahlah, biarkan saja dia masuk. Apa kau tidak kasihan padanya kalau dia
tidak naik kelas gara-gara nilainya yang buruk?” ujar Zayn yang merupakan wakil
ketua osis.
“Baiklah! Hari ini kau ku lepas. Tapi, jika besok kau terlambat lagi aku
tidak akan segan-segan menyeretmu ke ruang konseling. Mengerti!” tegas Harry.
Senyuman manis segera terkembang di wajah Lisya setelah mendengar ucapan
Harry.
“Thankyou so much Harry. Kau sangat baik, tidak salah aku memilihmu menjadi
ketua osis sewaktu pemilihan. Aku janji aku tidak akan terlambat lagi besok.
Sekali lagi terimakasih banyak.” seru Lisya riang.
Tidak ingin berlama – lama disana, Lisya segera melangkahkan kaki untuk
pergi.
“Eittss tunggu!” pekik Harry.
Pekikan Harry berhasil membuat perasaan Lisya menjadi tak karuan. Feelingnya
mengatakan sebentar lagi ia akan mengalami hal yang buruk. Dengan memamerkan
seulas senyum masam, segeralah ia menoleh pada Harry dan menunda niatnya untuk
pergi.
“Lisya Arrabella. Meskipun aku membiarkanmu masuk bukan berarti kau lepas
dari hukuman atas keterlambatanmu hari ini. Peraturan tetaplah peraturan, dan
sesuai dengan peraturan kau harus melakukan pelayanan sekolah hari ini. Kau
dihukum membersihkan toilet wanita untuk hari ini.” jelas Harry.
Yap! Feeling Lisya tepat. Hal yang buruk memang akan segera menghampirinya.
“Whattt? Me…membersihkan toilet?” Lisya tampak shock mendengar perkataan
yang baru saja terlontar dari bibir Harry.
“Tepat sekali. Membersihkan toilet!” Harry menegaskan perkataannya.
“Harry, apa ini tidak keterlaluan? Lisya akan marah padamu kalau kau seperti
ini.” bisik Zayn mengingatkan Harry.
“Zayn bisakah kau membedakan antara tugas dan hal pribadi?” ucap Harry.
“Ah ya, whatever” jawab Zayn.
Harry kembali melempar pandangannya pada Lisya. Mata Harry bisa menangkap raut
wajah Lisya yang sangat kusut. Dia
juga tahu bahwa Lisya sangat kesal mendapatkan hukuman yang cukup menjijikkan
untuknya.
“Baiklah, kalau sudah tidak ada lagi yang ingin kau tanyakan, kami pergi.”
ucap Harry.
Tanpa menunggu balasan dari Lisya, Harry langsung beranjak pergi. Zayn pun
mengikuti dibelakangnya. Melihat sikap Harry yang sangat kejam, Lisya langsung
naik pitam.
“Yaak Harry Styles! Apa kau lupa siapa diriku? Bagaimana mungkin kau
menyuruhku membersihkan toilet? Yang benar saja!” gerutu Lisya.
Harry kembali menoleh pada Lisya dan berjalan mendekatinya. Dia kemudian
tersenyum pada Lisya. Entah itu senyuman picik atau semacamnya, tetapi
senyumannya itu terlihat sangat manis saat ditujukan pada Lisya.
“Jadi kau tidak mau membersihkan toilet. Baiklah, kalau begitu ikut aku ke
ruang konseling sekarang.” ucap Harry santai.
Lisya terdiam. Meskipun dia sangat tidak rela membiarkan dirinya
membersihkan toilet, tetapi dia tidak mungkin memilih melangkahkan kakinya ke
ruang konseling. Dia tidak ingin berhadapan dengan guru konseling yang sangat cerewet,
yang bahkan saat berbicara seperti ingin menelan orang dihadapannya.
“I know, I know. Aku akan membersihkan toilet. Haish! Kenapa kau sangat
jahat padaku?” gerutu Lisya.
“Aku hanya menjalankan tugasku sebagaimana mestinya.” balas Harry.
Lisya benar-benar kesal sekarang. Dengan wajah kusut nan menyeramkan dia
berjalan menuju toilet sambil membawa berbagai kekesalan dihatinya.
“Yaa Harry, kau sudah keterlaluan padanya.” ucap Zayn.
“Dia sangat lucu saat sedang marah, membuatku gemas padanya.” kata Harry
sembari tersenyum menatap punggung Lisya yang berjalan meninggalkan mereka.
Zayn menggeleng-gelengkan kepalanya melihat sikap Harry.
“Kau sangat aneh.” ucapnya.
Harry hanya memamerkan senyum manisnya pada Zayn sontak membuatnya bergidik
ngeri.
***
Harry tengah menyimak dengan serius materi pelajaran yang dipaparkan oleh
Mr.Jeffry saat bel istirahat tiba-tiba berbunyi. Mr.Jeffry segera mengakhiri
pelajarannya dan beranjak keluar kelas diikuti dengan murid-murid lainnya.
Harry langsung mendorong buku-bukunya kedalam laci dan meraih ponselnya. Kedua
ujung bibirnya tertarik hingga mengembangkan senyuman manis saat menatap layar
ponselnya. Dia lalu mendekatkan ponsel itu ke telinganya.
TUTT TUTT TUUUUTTT…..
Beberapa detik berlalu, namun tak ada jawaban dari orang yang tengah
dihubungi Harry.
“Apa dia marah?” ucap Harry kebingungan sambil menatap layar ponselnya.
Harry memasukkan ponsel ke saku celananya dan berjalan keluar kelas. Dia
hendak mengganjal rasa laparnya dengan beberapa makanan lezat di kantin sekolah.
***
-Kantin sekolah-
Lisya melepas segenap kelelahannya disalah satu kursi kantin yang letaknya
tidak jauh dari jendela. Dia merenggangkan tulang-tulangnya yang terasa sangat
pegal. Baru saja ia menyelesaikan hukumannya membersihkan toilet sekolah dan
itu sungguh menguras tenaganya.
Dari kejauhan mata Lisya
menangkap sosok pria yang tersenyum seraya melambaikan tangan ke
arahnya. Pria itu berjalan mendekatinya. Lisya menatap sinis padanya dan segera
membuang muka.
“Lisya, kau marah padaku?” tanya pria itu sedih.
Lisya tidak menjawab dan tetap membuang muka tidak mau melihat pria itu.
Karena merasa diacuhkan pria itu langsung mendaratkan sebuah pelukan pada
Lisya.
“Apa-apaan! Kau Harry! Menjauhlah! Kau bukan kekasihku lagi.” gerutu Lisya
berusaha menepis pelukan pria itu.
“What? Heiiii! Jaga perkataanmu, jangan sembarangan kalau bicara!” ucap pria
itu yang ternyata adalah Harry Styles, sosok ketua osis yang baru saja
menghukum Lisya.
“Bukankah Kau tidak pernah menganggapku sebagai kekasihmu. Bagaimana mungkin
kau menghukum kekasihmu sendiri dengan membersihkan toilet. Kau jahat padaku!”
ucap Lisya sinis.
Harry tersenyum kecil mendengar celotehan gadis yang sangat ia cintai. Dia
kemudian membelai lembut rambut Lisya . Tetapi, Lisya kembali menepisnya. Harry
semakin gemas melihat tingkah kekasihnya itu.
“Aku harus profesional menjalankan tugasku sebagai ketua osis. Aku tidak
boleh membeda-bedakan siswa. Kalau tadi aku membiarkanmu masuk tanpa hukuman
itu sama saja dengan mengikari sumpahku sebagai ketua osis. Apa kau mau punya
pacar yang suka mengingkari janji dan tidak bertanggung jawab?” jelas Harry.
Apa yang dikatakan Harry memang benar, tetapi bagi Lisya membersihkan toilet
adalah hukuman yang sangat berat dan keji.
“Ah okay okay. Terserah.” ucap Lisya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Maaf yaa, kau jangan marah lagi. Masih mending aku menyuruhmu membersihkan
toilet wanita, daripada membersihkan toilet pria?” gurau Harry.
“What?” Lisya menatap tajam pada Harry. “Aku rasa lebih bagus kalau kau
menyuruhku membersihkan toilet pria. Biar saja aku di goda oleh mereka. Lagian
kau juga tidak peduli padaku.”
“Tidak.” Harry menggelengkan kepalanya dengan serius. “Pria yang boleh
menggoda Lisya hanya Harry Styles seorang.” ucapnya tegas.
Lisya terdiam. Dia tahu bahwa perkataan Harry barusan hanyalah untuk
meluluhkan hatinya, tetapi dia sangat senang ketika mendengarnya.
Harry kembali mendaratkan dekapan hangatnya pada Lisya dan semakin
mengeratkannya agar Lisya tidak bisa menepisnya.
“I’m sorry. I love you, jadi jangan marah lagi padaku. Okay?” ucap Harry.
Lisya kembali terdiam. Dia terlalu senang untuk membalas perkataan Harry.
Dia pun menganggukkan kepalanya pelan dengan seulas senyum manis diwajahnya.
Dia juga turut mengeratkan dekapannya pada Harry.
“Berjanjilah padaku untuk tidak terlambat lagi. Dan juga jangan memanjat
pagar! Kau bisa terluka nanti.” pinta Harry.
“Okay. Tapi, aku tidak yakin bisa berjanji padamu untuk tidak terlambat.”
balas Lisya.
Harry menghelas nafas. Dia mengerti bahwa kebiasaan terlambat Lisya sudah
menjadi bagian dari hidup pacarnya itu.
“Baiklah! Kalau begitu besok dan seterusnya aku akan menjemput kau ke
sekolah. Kalau perlu aku akan minta izin kepada Tantemu untuk menyeretmu turun
dari tempat tidur. Aku akan melakukannya sampai kebiasan terlambatmu itu
hilang.” jelas Harry.
“Oough! Yang benar saja!” pekik Lisya.
“Makanya, jangan berkata seperti itu lagi.” ucap Harry menatap lekat mata
indah Lisya.
“Apa? Berkata apa?” Lisya nampak belum mengerti dengan yang dikatakan Harry.
“Jangan katakan kalau aku bukan kekasihmu lagi. Bagaimana kalau itu
benar-benar terjadi?” ucap Harry.
“Aaaahh … Jadi kau takut putus denganku? Cih! Kau takut putus denganku, tapi
kau berani menghukumku.” balas Lisya.
“Akukan sudah minta maaf.”
Harry terdiam sejenak. Dia menatap lekat Lisya yang duduk disampingnya.
Entah mengapa Harry tidak bisa mengalihkan pandangannya dari bibir tipis Lisya.
Sedangkan Lisya nampak sibuk mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat.
“Lisya” panggil Harry lembut.
Mendengar namanya dipanggil, Lisya langsung menoleh pada Harry dan …
Chups!
Harry mengecup lembut bibir Lisya yang spontan membuat Lisya kaget. Namun,
Lisya tidak berdaya menghindari bahkan menepis kecupan manis itu. Dia belum merasakan
kepuasaan dalam dirinya saat Harry tiba-tiba melepas kecupannya dari bibirnya.
Harry kemudian menatap lekat mata indah Lisya.
“Kita tidak bisa melakukannya lama-lama ditempat seperti ini.” bisiknya
pelan seraya tersenyum manis.
Sontak membuat pipi Lisya memerah seperti kepiting rebus menahan malu dan
langsung memukul lengan Harry cukup keras dengan kesal. “isshh. Dasar!”
Dan penyakit itu merenggutnya, merenggut semua kebahagiannya yang pernah dia rasakan sejak 3 bulan yang lalu….
No comments:
Post a Comment