by Jasminesia Sekarsari Bayu , 15
NLS
Langit terlihat sangat gelap dari
balik jendela. Tidak ada bintang yang berani menampakkan dirinya ketika Dewa
Langit masih terus menangis. Kilatan-kilatan cahaya sesekali menerangi daratan
dengan cahaya menakutkannya.
“Niall, aku
takut…” Aku berkata pada sahabat baikku, Niall Horan, yang terus menemaniku di
balik pintu rumah sakit.
“Ssstt, semua
baik-baik saja, Alice. Aku di sini.” Niall memelukku erat, membuatku kembali
tersenyum dalam dekapannya. Ini sudah dua hari semenjak hari itu. Hari di mana
ada sebuah truk menyerempet sebuah taksi yang kami naiki dari rumah Niall
menuju studio. Sang sopir taksi itu meninggal dunia ketika dalam perjalanan
menuju rumah sakit. Untung saja itu tidak menimpa kami. Pendarahan di tangan
kiriku tidak membuatku mendekati kematian. Sedangkan Niall hanya mendapatkan
goresan kecil di dahinya.
“Nah, waktu
sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Kau harus tidur. Kau butuh istirahat
lebih.” Ucapnya membaringkanku di
atas tempat tidur.
“Kau juga harus tidur, Ni.” Lanjutku
sebelum dia beranjak dari kursinya yang berada tepat di sebelah ranjang tidur
ini.
Dia berdiri dari kursinya dan
menutup mataku dengan tangan besarnya. “Tentu saja aku akan tidur. Selamat
malam, little princess.” Niall
tersenyum padaku dan berbalik menuju sebuah sofa berwarna hijau pudar beberapa
meter dari tempatku. Dia masih terus memanggilku seperti itu.
Aku dan Niall adalah sahabat dekat
dari kami masih kanak-kanak. Kami adalah tetangga yang hanya berbeda beberapa
blok saja. Kami bermain, tertawa, berkelahi dan berangkat sekolah bersama.
Selalu bersama. Niall adalah orang yang baik. Ketika aku sedang sedih, dia
selalu menyemangatiku dengan bernyanyi dan memainkan gitar kesayangannya. Dia
juga orang yang sangat humoris. Selalu menyelipkan humor-humor khasnya disetiap
waktu. Aku ingat ketika kami pertama kali bertemu.
Sepuluh tahun yang lalu ketika
usiaku masih tujuh tahun, aku dan keluargaku –Ayah dan Ibuku– pindah ke sebuah
kota yang berjarak lumayan jauh dari tempat asalku. Kedua orang tuaku selalu
berkelahi dengan saling mengadukan kedua teriakan mereka dan membanting segala
benda di sekitar mereka. Aku hanya bisa menangis dan berlari kesebuah gua kecil
yang terletak tidak terlalu jauh dari rumahku. Kupeluk kedua kakiku dan terus
menangis tanpa tahu kapan aku akan kembali ke rumah.
“Hei, apa yang kau lakukan di sini?
Kau menangis?” Tanya sebuah suara dari mulut gua kecil ini. Aku mengangkat
kepalaku dan kudapati seorang anak laki-laki dengan mata birunya terlihat
bingung melihatku.
“Kau tidak boleh menangis. Biarkan aku
menghiburku.” Lanjutnya lalu duduk di sebelahku. “Somewhere over the rainbow, blue bird fly..” Dia mulai bernyanyi.
Perlahan air mataku tidak lagi turun dan sebuah lengkung manis menampakkan
wujudnya di wajahku ketika suara merdu itu mengalun indah masuk ke dalam
telingaku.
“… If happy little blue bird fly beyond the rainbow,
why oh why, can’t I…” Dia
mengakhiri lagunya. “Merasa lebih baik?” Tanyanya. Aku mengangguk dengan sebuah
senyuman lebar di wajahku.
“Niall Horan. Panggil saja aku
Niall.” Ucapnya memberikan tangannya padaku. Awalnya aku sempat bingung ketika
tiba-tiba dia menyebutkan namanya.
“Alice, Alicia Alana.” Kujabat
tangannya dan mulai berdiri dari dudukku.
“Alana? Arti namamu keren.” Serunya.
Nama artiku, ya, entahlah mengapa menurutnya keren. ‘Alana’ hanya berarti
‘sebuah kedamaian’ dalam bahasa Irlandia.
“Ayo kita bermain, Alice!” Dia
menarikku keluar dari gua dan mulai bermain di luar gua. Berayun disebuah
ayunan berwarna merah , berseluncur di seluncuran, berlarian ke sana kemari
saling mengejar satu sama lain layaknya anak kecil sepeti biasa. Semenjak saat
itu kami menjadi sahabat yang sangat dekat.
Waktu telah lama berlalu, kami
berdua semakin beranjak dewasa. Kini usiaku lima belas tahun dan Niall berusia
tujuh belas tahun. Dia sudah seperti kakakku sendiri. Menghiburku ketika aku
sedih, mendukungku disetiap hal buruk, dan tentu saja membantuku mengerjakan
tugas-tugas yang membuatku merasa gila.
“Hei, Alice! Ada apa?” Niall
bertanya padaku.
“Tidak ada apa-apa. Hanya
tugas-tugas memuakkan bertumpuk di meja belajarku. Argh! Ingin mati saja aku
rasanya!” Seruku dan membanting
tubuhku ke atas ranjang di kamar tidurku.
“Oh tidak! Kalau kau mati siapa yang
akan aku panggil adik tersayangku?!” Serunya dengan nada dan suara yang terdengar
sedikit bodoh.
Aku tersenyum sambil bangun dari
tempat tidurku lalu menerkamnya dan menjatuhkannya di atas tempat tidurku.
“Kalau begitu, aku akan membawamu mati bersamaku!”
Kami tertawa sangat keras sampai aku
mendengar teriakan Ibuku dari lantai bawah. Aku berlari membuka pintu kamarku
dan mendapati Ibuku telah terkapar dengan lumuran darah di bawah sana. Dia
telah tertembak oleh sebuah peluru pistol yang dipegang oleh… Ayahku. Aku tahu
hubungan mereka akhir-akhir ini semakin memburuk. Tapi aku tidak pernah
membayangkang jika hal seperti ini.. Aku kaget. Tubuhku sangat lemas dan
membuatku terduduk tak berdaya di atas lantai dengan air mata yang terus
mengalir. Mulutku terbuka lebar tanpa kata dan tubuhku masih tak bisa
digerakkan. Dia menatapku dengan mata yang gelap. Dia mabuk. Ayahku mulau
mengangkat pistolnya, seperti hendak menembakku seperti Ibuku. Tapi tiba-tiba
dia mengarahkan ujung senapan tersebut lalu menarik pelatuk itu dan sebuah
peluru perak menembus kepalanya.
BANG
Hanya itu yang dapat
aku dengar. Sebuah tangan besar menutup kedua mataku berusaha agar aku tidak
melihat apa yang terjadi.
“Jangan
menangis…. Sekarang,” Niall berkata pelan di telingaku. Dia mendekapku di
dadanya dan mulai bernyanyi. Air mataku semakin deras mengalir dan teriakanku
terdengar bergema di rumah besar ini. Semakin besar rintihan tangisku, semakin
erat pula dia memelukku. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya terus
bernyanyi ketika aku terus menangis.
Keesokan
paginya, aku mendapati diriku terbaring di atas sebuah tempat tidur. Bukan
tempat tidurku. Aku berusaha mengingat apa yang telah terjadi. Apa itu nyata?
Atau hanya sebuah mimpi bahwa ayahku menembak ibuku lalu menembak dirinya
sendiri? Aku melihat sekelilingku dan aku menyadari bahwa aku berada di kamar Niall.
Seseorang membuka pintu dan berlari
ke arahku. “Oh, kau sudah bangun, Alice!” Seru Niall kemudian memelukku erat.
“Niall…” Jawabku. “Semuanya hanya
mimpi, kan?” Niall tidak bicara sepatah kata pun. Hanya terdiam.
“Niall, jawab aku..” Pintaku mulai
kembali bergetar.
“Ma-maafkan aku, Alice..” Ucapnya
terbata-bata.
“Jadi, itu semua nyata, kan?” Aku
tersenyum tetapi air mata terus mengalir deras dari pelupuk mataku.
“Ssstt, jangan menangis. Aku di
sini, selalu di sini.” Aku berusaha menghentikan air mataku tetapi ini tidak
mau berhenti! Niall kembali memelukku erat sampai aku mulai tenang.
“Kau baik-baik saja?” Tanyanya
melepas pelukannya. Aku hanya mengangguk dan mulai menghapus air mataku
sendiri. “Ayo kita ke bawah. Sarapan telah menunggu. Lalu... Aku akan
mengantarmu kembali ke rumah.” Dia tersenyum padaku dan menarikku menuju lantai
bawah.
Esok harinya adalah hari pemakaman
kedua orang tuaku. Aku kembali menangis melihat kedua orang tuaku pergi. Pergi.
Ya. Selamanya. Kedua orang tua Niall juga datang kemari. Niall selalu berada di
sampingku. Memberikan bahunya untuk menopang kepalaku setiap kali aku menangis.
Acara pemakaman telah selesai. Semua orang telah pergi tetapi tidak dengan
Niall. Dia masih duduk di sebelahku.
“Alice…”
“Ya, Niall?”
“Em, kedua orang tuaku, dan juga
aku, menginginkan kau untuk tinggal bersama kami. Semenjak kedua orang tuamu
pergi, kedua orang tuaku akan menjagamu.” Ucap Niall. Aku hanya lima belas
tahun. Aku tidak mungkin bisa mengurus diriku sendiri. Aku masih di bawah umur
untuk melakukan sebuah pekerjaan sampingan dan aku tidak bisa hidup hanya
dengan uang yang orang tuaku berikan padaku.
“Jika ini baik untukmu, ini akan
baik untukku.” Jawabku.
Niall tersenyum dan mulai berdiri.
“Baiklah adik kecilku, kau mau tetap di sini seperti pengemis yang menunggu
seseorang memberikan uangnya padamu atau pergi mencari makanan?”
Kupukul pinggangnya secara
tiba-tiba. “Jangan panggil aku seperti itu!”
“Ouch!” Serunya menahan rasa sakit.
“Ayo, kakakku! Aku sudah lapar! Ayo
kita ke Nando’s!” Lanjutku menarik tangannya.
“Yey!” Teriaknya lalu menggenggam
tanganku sambil berteriak layaknya seorang anak kecil yang tidak diberi makan
selama seminggu.
Aku pindah ke rumah Niall dan
menjual rumah kedua orang tuaku. Uang hasil penjualan rumah tersebut kugunakan
untuk kebutuhanku setiap hari seperti pembayaran iuran sekolah. Walaupun kedua
orang tua Niall selalu membayarkan segala yang aku butuhkan. Aku merasa sangat
senang bisa berada di rumah keluarga Horan. Aku bisa merasakan kehangatan yang
luar biasa hebat di sini. Dan di sini pun ada Niall, ya, aku selalu menganggapnya kakak laki-lakiku sungguhan walaupun
pada nyatanya bukan. Aku selalu tidur sendiri semenjak usiaku enam tahun karena
orang tuaku selalu bertengkar. Tidak pernah mereka membacakanku sebuah cerita
dan menyanyikanku lagu-lagu pengantar tidur. Tidak dengan di sini. Niall
benar-benar bertingkah bahwa aku adalah adiknya sungguhan. Dia selalu
membacakanku cerita dan menyanyikanku sebuah lagu sebelum aku terlelap di dalam
mimpi indahku. Seperti saat aku meminta untuk diperbolehkan untuk tidur di
kamarnya. Pertama aku merasa dia akan menolakku, tapi apa? Dia menerimaku
dengan penuh senyum layaknya kami adalah saudara sungguhan.
“Alice, jika ada sesuatu yang
menakutimu dalam mimpimu, kemarilah dan tidurlah bersamaku. Aku kakakmu dan kau
akan selalu menjadi my little princess!”
Dia selalu berkata seperti itu jika aku datang ke kamarnya. Ibu Niall tahu
bahwa kami sering sekali tidur bersama –dalam satu ranjang– dan dia tidak
mempedulikannya sebagai sebuah masalah. Dia selalu menganggapku sebagai adik
Niall dan anak perempuannya sendiri. Ketika aku tidur di sebelah Niall, secara reflex dia mengambil gitarnya dan mulai bernyanyi lagu-lagu
pengantar tidur. Aku sangat menyukai bagaimana dia memetik keenam senar di
gitarnya dan menyanyi dengan sepenuh hatinya. Aku tertidur dan lagu-lagu itu
selalu mengarungi malamku.
“Niall, ayo kita ke taman!” Seruku
di suatu sore yang cerah.
“Maaf, Alice. Aku ada kencan dengan
pacarku. Kurasa lain waktu kita bisa ke taman.” Balasnya sembari merapikan
rambutnya di depan kaca.
“Jangan bersedih, Alice. Aku janji
lain kali kita akan ke taman berdua. Bye,
aku pergi dulu, ya.” Niall berjalan meninggalkanku sendiri di kamarnya
setelah mencium keningku. Aku sudah enam belas tahun. Mengapa aku masih
bertingkah seperti anak kecil?! Oke, aku tahu sekarang dia adalah bagian dari
One Direction dan sekarang dia memiliki…. Pacar… Ya, pacar. Mengapa itu
membuatku sakit setiap aku memikirkan bahwa dia memiliki pacar? Aku adalah adik
kecil kesayangannya dan dia selalu ada di sini untukku. Lalu mengapa AKU MERASA
SAKIT ketika tahu dia memiliki pacar? Apa aku cemburu? Hah, bodoh. Aku harus
mendinginkan kepalaku dan bersikap tenang.
Akhirnya aku berjalan ke taman sendiri.
Duduk di ayunan dan mengayunkannya pelan. Hatiku kembali sakit ketika aku
melihat Niall dan seorang perempuan berbincang dengan sangat akrab di seberang
sana. Dia memberikan tawanya padanya seperti dia memberikan tawanya padaku. Dia
memberikan senyumnya padanya seperti dia memberikan senyumnya padaku. Dia
memberikan pandangannya padanya sama seperti dia memberikan pandangannya
padaku.
Aku terus memperhatikan anak-anak
bermain riang bersama dengan ayah dan ibunya… Aku tidak pernah merasakan
kehangatan seperti itu sejak aku bertemu dengan Niall. Niall…. Dia seperti
kakak bagiku. Tapi mengapa? Mengapa aku merasakan sakit yang sangat ketika aku
melihat Niall bersama gadis itu? Aku merasa seperti jutaan ton batu bata
berjatuhan di hatiku. Ada apa denganku? Apa yang salah? Apa yang salah
denganku, Tuhan? Tiba-tiba aku merasakan rasa sakit yang tidak tertahankan
menyerang kepalaku. Aku berteriak sekencang mungkin menunjukkan betapa sakitnya
kepalaku sehingga semua orang di taman dapat mendengar suaraku. Aku merasa
tubuhku jatuh dari ayunan berwarna merah itu dan aku rasakan semua inderaku
mati.
Kubuka mataku dan kudapati semuanya
berwarna putih. Aku merasa bahwa aku berada di rumah sakit ketika bau
obat-obatan perlahan masuk ke hidungku. Kudapati Niall tengah tertidur di
sebuah kursi tepat di sebelah ranjangku. Aku menatapnya dan menyadari sesuatu.
Sesuatu yang selalu membuatku sakit ketika aku melihatnya bersama gadis itu…
Aku menyukainya. Bukan sebagai seorang kakak. Melainkan sebagai seseorang yang
aku inginkan terus menemaniku di sisa hidupku.
Aku merasa telingaku mendengar
sebuah langkah cepat menuju kamar ini. Benar saja, tiba-tiba pintu itu terbuka
dengan suara bantingan yang menggelegar. Aku menutup mataku berusaha agar dia
tidak menyadari bahwa aku telah bangun.
“Jadi ini maksudmu?!” Teriak gadis
itu yang kemudian membangunkan Niall.
Niall tidak merespon dan hanya terus
mengucek-ucek matanya. “Maksudku apa? Kau tidak jelas.”
“Kau ingin kita putus?!”
“Ssstt, kau bisa membangunkannya!”
Niall berdiri dari kursinya dan mulai berjalan mendekati gadis itu yang masih
terus berdiri kokoh di dekat pintu.
“Kau lebih mempedulikannya dari pada
mempedulikanku?!”
“Faktanya memang iya! Dia adikku dan
kau bukan lebih dari sekedar pacarku! Sudah pasti aku lebih mempedulikannya
dari pada mempedulikanmu!” Niall berjalan ke arahku dan kurasakan dia berdiri
di sebelahku. Aku mengintip dengan membuka mataku sedikit dan kulihat gadis itu
berlari keluar dari kamar sambil membanting pintu itu seperti apa yang dia
lakukan ketika datang kemari.
“Kau bisa membuka matamu sekarang,
Alice.” Ucapnya memintaku untuku membuka mataku. Aku masih diam untuk
memastikannya bahwa aku masih benar-benar tertidur. “Aku tahu kau telah bangun,
little princess.”
Aku membuka mataku dan melihatnya duduk
kembali di kursi di sebelahku. “Maaf, kau melihatku bertengkar dengannya di
depanmu…”
“Apa kalian putus gara-gara aku?”
Tanyaku padanya.
“Bukan, Alice. Bukan karena kau.
Karena aku menyukai orang lain.” Balasnya sambil memasang senyum lebarnya di
wajahnya.
“Huh? Siapa dia?” Tanyaku kembali
dengan penuh rasa penasaran.
“Suatu hari kau akan tahu.” Dia
kembali mengacak-acak rambutku.
“Hei!” Aku berusaha menangkapnya dan
tiba-tiba aku merasa kembali pusing dan hampir terjatuh. Niall menangkapku dan
membantuku kembali tidur di atas tempat tidur.
“Jangan bergerak. Kau butuh
istirahat.”
“Niall, kau tahu bahwa aku berumur
enam belas tahun, kan?” Aku bertanya padanya dengan nada serius.
“Yeah, jadi?” Tanya balik padaku.
“Dan kau delapan belas tahun.”
“Kau betul sekali, Alice!” Serunya
sambil terus tertawa.
Aku diam sebentar ketika Niall terus
tertawa. “Dan kau bukan kakak sungguhanku.” Dia berhenti tertawa dan melihatku
dengan serius.
“Apa yang sebenarnya ingin kau
katakan?” Kini nada suaranya bukan nada suara untuk candaan. Pandangan matanya
serius melihatku. Aku berusaha ingin mengucapkan apa yang telah aku sadari.
Tetapi aku merasa ini akan menjadi sebuah permulaan yang buruk bagi kami.
“Jangan dipikirkan, kakakku
tercinta!” Aku tersenyum dan bertingkah gembira kembali. Dia hanya tersenyum
ketika melihatku. Bukan sebuah senyuman bahagia. Senyuman itu terlihat sebagai
sebuah senyuman yang menyedihkan bagiku.
Beberapa hari kemudian, aku akhirnya
berhasil keluar dari rumah sakit. Aku bosan seharian penuh tertidur di atas
ranjang rumah sakit dan terus memakan makanan yang telah disediakan rumah sakit.
Semuanya terasa membosankan. Ibu Niall selalu menjengukku, tetapi dia sangat
sibuk. Tidak dengan Niall. Dia selalu berada di sampingku dan hanya pergi
ketika ada hal ‘darurat’ dengan One Direction. Teman-teman Niall selalu
menjengukku. Aku berteman baik dengan mereka semua.
Aku duduk di sebuah kursi di koridor
rumah sakit ketika Niall masih terus berbicara dengan seorang suster. Sesekali
dia melihat ke arahku dengan pandangan yang sangat takut. Tak berapa lama, dia berjalan ke arahku.
“Ayo, Alice!” Niall berjalan ke arahku
sambil menyembunyikan sesuatu.
“Apa yang dikatakan suster itu?”
Tanyaku penasaran.
Niall terdiam sesaat sambil melihat
ke arahku. “Bukan apa-apa. Ayo, Alice!” Aku menghiraukannya tanpa menggerakkan
tubuhku se-inch pun.
“Apa? Ayo!” Niall berjalan
menjauhiku. “Alice!!” Teriaknya ketika menyadari bahwa aku masih tidak
bergeming untuk mengikutinya. Seketika semua mata tertuju pada kami berdua.
“Ouch!” Kali ini Niall menarik
tanganku dengan sangat keras. Bukannya aku ber-akting. Tapi kali ini tarikan
tangannya sunggu terasa sakit di pergelangan tanganku. Niall bertingkah tidak
peduli dengan apa yang terjadi dan terus menggenggam tanganku. Kami berjalan
cepat tanpa ada sepatah kata pun yang keluar dari kedua mulut kami. Kami sampai
kembali di rumah Niall. Di rumah tidak ada siapa-siapa. Niall masih menggenggam
tanganku dan membawaku ke kamarnya lalu menutup pintu kamarnya.
“Niall…” Aku memanggil namanya pelan.
“Maaf aku…” Dia tidak mengakhiri
kalimatnya dan melepas tanganku lalu duduk di atas tempat tidurnya.
Aku berjalan ke arahnya dan duduk di
sebelahnya. “Ada apa, kakak?” Dia tetap terdiam. Wajahnya terlihat sangat
sedih. Kemudian dia memelukku erat. Rasa bingung di kepalaku kembali dipenuhi
oleh banyak pertanyaan.
“ Maafkan aku, Alice. Aku..” Aku
merasa pundakku basah. Niall, dia menangis…
“U-untuk apa?” Tanyaku bingung.
“Untuk semuanya…”
“Niall, apa sesuatu terjadi padaku?”
Lanjutku.
“Suster… Suster itu berkata…. Bahwa…
O-otakmu.. Terluka...” Niall kembali menangis. Belum pernah aku melihat Niall
seperti ini. Aku kaget. Otakku terluka. Parah.
“Itu bukan salahmu, Ni,”
“Suster itu berkata bahwa otakmu
terkena sebuah virus. Mereka tidak bisa melakukan apa-apa selain menghilangkan
rasa pusingmu. Dan dia berkata…. Hidupmu… Tidak akan lama..” Lanjut Niall
kembali menangis. Pelukannya bertambah erat setiap kali tangisannya bertambah
keras. Hidupku. Tidak akan bertahan lama. Hidupku. Hidup dimana aku dapat
merasakan kehangatan yang luar biasa hebat. Hidup di mana aku bisa hidup
bersama orang-orang yang aku cintai. Akan segera berakhir. Aku tidak bisa
menahan ini semua. Tidak bisa. Aku mulai menangis di bahu Niall dan pelukannya
dapat kurasakan semakin erat. Niall masih terus menangis tetapi dia terus
berusaha membuatku lebih tenang. Tanpa kusadari aku mulai tertidur di
pelukannya.
“Alice!” Niall memanggil namaku.
“Hei, Niall!” Aku menjawab dan
berbalik melihatnya. Aku tidak tahu ini di mana. Ruangan serba putih
mengelilingiku dan Niall. Hanya aku dan Niall. Kulihat Niall dengan jas putih,
celana panjang putih, sepatu putih dan dasi putih di balik jasnya. Sangat
tampan. Aku melihat diriku sendiri. Gaun putih seperti susu dengan high heel berwarna putih juga membalut
tubuhku.
Niall berjalan ke arahku dan
memberikan satu tangannya. “Mau berdansa denganku?” Tanyanya dengan penuh
senyum. Aku mengangguk dan meraih tangannya. Kedua tangannya berada di
pingganggu dan kami mulai berdansa mengikuti alunan melodi indah yang entah dari
mana. Aku tidak pernah ingat bahwa aku bisa berdansa selancar ini.
Kulihat kedua mata birunya sedalam
mungkin. Melihat kesedihan di dalam kedua bola matanya. Kami berhenti berdansa
ketika lagu tak berlirik itu berhenti berputar. Niall mendekatkan tubuhnya
padaku dan bibir kami sangat dekat.
“Niall, jangan pernah tinggalkan
aku. Kumohon.” Pintaku. Bibir kami hanya berjarak beberapa inch saja.
“Tidak akan. Tidak akan pernah, my little princess.” Balasnya ketika dia
akan menciumku. Tetapi ketika bibir kami belum sempat bersentuhan, lantai di
bawah kami retak dan memisahkan kami berdua.
“Niall!” Aku berteriak. Dia
melihatku khawatir dan berusaha meraih tanganku. Lantai di bawah kami semakin
tidak berbentuk. Aku terus berteriak memanggil namanya. Dia berusaha meraih
tanganku. Mulutnya seperti meneriakkan sesuatu tetapi aku tidak bisa mendengar
apa yang diucapkannya.
“NIALL!” Teriakkanku semakin
histeris ketika perlahan tubuh Niall mulai menghilang tenggelam dari hadapanku.
Teriakkan histerisku perlahan memudar ketika aku merasa tubuhku terjatuh dan
kegelapan kembali menyerang mataku. Tiba-tiba sebuah gelombang sontak membuatku
terbangun. Aku melihat sekelilingku dan kudapati diriku berada di dalam kamar.
Mimpi buruk. Mimpi yang sangat buruk!
“Hush, Alice. Aku di sini,” Niall
ada di sebelahku. Aku melihat jam di dinding seberangku dan kudapati jarum jam
menunjukkan pukul satu dini hari.
“Mengapa kau tidak tidur?” Aku
bertanya padanya.
“Aku mendengar kau berteriak-teriak
memanggil namaku.”
“Oh, maaf. Aku membangunkanmu.” Aku
berusaha mengingat apa yang terjadi dalam mimpi burukku itu. Aku bermaksud
untuk kembali menidurkan tubuhku tetapi tiba-tiba Niall memeluk tubuhku erat.
“Alice, kenapa kau takut? Aku di
sini. Aku akan selalu ada di sisimu. Alice, aku menyayangimu…. Seperti adikku
sendiri.” Hatiku mulai kembali sakit ketika mendengar sepotong kalimat terakhir
yang Niall ucapkan untukku.
“Aku menyayangimu juga, Niall.
Seperti kakakku sendiri.” Balasku. Aku berusaha menahan agar air mataku tidak
terjatuh. Niall, aku menyayangimu lebih dari sekedar kakak! Aku berteriak dalam
hatiku. Ini sudah terlambat. Aku tahu sekarang, Niall hanya menyayangiku
sebatas adik. Niall, kumohon dengarkan aku… Kumohon.. Aku mencintaimu.
Setelah itu aku mulai hidup normal.
Kedua orang tua Niall selalu berusaha mencari obat-obatan yang mungkin bisa
mengobatiku. Tetapi semuanya kembali pada angka nol. Semuanya sia-sia. Aku
tidak peduli berapa tahun, berapa bulan, berapa minggu, berapa hari, berapa
jam, berapa menit dan berapa detik lagi aku akan hidup. Ya, aku tidak takut
ini. Aku tetap berjalan dan tertawa bersama Niall. Tetap saja, perasaanku
padanya tidak akan pernah berubah. Aku akan selalu menyukainya lebih dari
seorang kakak.
Aku memutar kembali kenangan yang
sudah lama berlalu itu. Kegelapan masih terus membayangiku. Aku masih belum
bisa tertidur walau pun ratusan kali aku mencoba menutup kedua mataku dengan
tanganku. Sesekali aku melirik ke sebelah kiriku dan kudapati Niall yang belum
juga tertidur. Dia hanya terus melihat ke arah langit-langit tanpa tahu apa
yang sedang ia pikirkan.
Tiba-tiba aku merasa kepalaku sangat
sakit. Lebih sakit dari sebelum-sebelumnya. Kemudian aku memegang kepalaku dan
mulai berteriak.
“Alice!” Niall berteriak lalu
berlari ke arahku. Dia memelukku erat sembari menekan tombol pemanggil darurat
yang berada tak jauh dari tempat tidurku. Niall memelukku erat dan kepalaku
terbenam di dadanya. Aku mulai menangis keras menunjukku betapa sakitnya kepala
ini. Tiba-tiba aku merasa rasa sakit di kepalaku hilang. Aku merasa hidupku
akan segera berakhir.
“Kakak, Niall… Aku…” Aku menutup
mataku dan merasakan tangannya mengoyak-oyak tubuhku.
“Tidak! Alice! Bangun! Jangan tutup
matamu! ALICE!!!” Itu adalah hal terakhir yang dapat aku dengar sebelum nyawaku
benar-benar pergi dari tubuhku.
Niall’s POV
“Kakak, Niall… Aku…” Aku mendengar
kalimat terakhir yang dia ucapkan. Aku merasa nafasnya behenti.
“Tidak! Alice! Bangun! Jangan tutup
matamu! ALICE!!! Air mataku mulai deras mengalir. Aku memeluk dirinya erat.
Seerat mungkin berusaha membangunkannya walaupun aku tahu itu adalah hal yang
mustahil. Tubuhku tiba-tiba terasa lemas. Keadaan sekelilingku menjadi gelap.
Hal terakhir yang dapat kulihat adalah ketika aku terbaring di atas lantai
dengan keadaan setengah sadar dan orang-orang berbaju putih berteriak dan
berlari masuk ke dalam kamar ini.
Aku membuka mataku. Tembok putih,
tempat tidur putih, pintu putih. Rumah sakit.
“Niall! Kau bangun! Terima kasih
Tuhan!” Zayn berteriak lalu berjalan ke arah tempat tidurku diikuti yang
lainnya dan kedua orang tuaku.
“Di mana aku?” Tanyaku pada semua yang ada di kamar ini. Aku
berusaha duduk di tempat tidurku dan berusaha mengingat apa yang telah terjadi.
Liam terlihat akan menjawab pertanyaanku tetapi aku kembali bertanya.
“Alice! Di mana Alice?!” Aku panik.
Aku ingat ketika dia menghembuskan nafas terakhirnya, tapi tidak! Dia tidak
mati!
“Niall… Kami minta maaf… dia…” Louis
mencoba menjelaskan semuanya dengan wajah yang menghadap lantai.
“Di mana dia?!” Aku terus berteriak
ketika tidak ada satu pun dari mereka yang ingin melanjutkan ucapan Louis.
Mereka semua kembali melihat lantai dengan wajah sedih.
“Dia… Pergi.” Ucap Harry mengakhiri
kalimat Louis.
“Maaf, Niall.” Lanjut Zayn mencoba
membuatku tidak menggila.
“Tidak! Dia tidak mati! TIDAK!”
Teriakku panik. Dia tidak mati! Dia tidak boleh mati.
Tidak. Tidak. Niall. Itu hanya mimpi buruk…. Mimpi
terburuk…. Aku tetap menolak fakta bahwa dia telah pergi. Aku masih merasakan
nafas terakhirnya.
“Niall, kau
harus istirahat. Kau terlalu lelah,” Harry berkata padaku dan menidurkanku di
atas tempat tidur.
“TIDAK, HARRY!
DIA TIDAK MATI!” Aku kembali berteriak. Lebih, lebih dan lebih kencang dari
sebelumnya.
“NIALL, KAU
BUTUH ISTIRAHAT!!” Harry berteriak lebih kencang dari yang aku lakukan. Aku
takut padanya. Terlihat seperti gadis kecil yang ketakukan, shock dan berusaha menahan air matanya.
Tapi siapa yang peduli! Yang aku pikirkan sekarang hanya Alice!
“Maaf, Niall…
Kumohon istirahatlah.. ” Ucap Harry ketika dia melihatku ketakutan atas teriakannya.
Dia terlihat menyesal telah meriakiku sekencang ini.
“Maafkan aku
juga, Harry…” Aku balas ucapannya ketika dia membuka pintu kamar dan mulai
berjalan keluar. Pintu kamar tertutup perlahan.
“Sekarang, istirahatlah. Kau harus
tidur.” Lanjut Louis menepuk-nepuk kepalaku. Aku membaringkan tubuhkan dan
berusaha menutup mataku.
Aku berjalan
disebuah ruangan dengan warna putih menutupinya. Kulihat Alice berdiri di
seberangku dengan gaun berwarna putih yang sangat cantik. Rambutnya tergerai
menjuntai mengikuti gravitasi bumi. Dia terlihat seperti seorang malaikat.
“Alice, aku….”
Tiba-tiba tubuhnya menghilang perlahan seperti pasir yang ditiup angin sebelum
aku sempat mengakhiri kalimatku. Tubuhnya menghilang ketika dia memberikan
senyumnya padaku. Senyum yang sangat indah miliknya. Seketika cahaya memenuhi
kedua bola mataku dan semuanya kembali menjadi gelap.
Hari-hari telah
berlalu dan aku sudah bisa menerima apa yang sebenarnya telah terjadi. Semua yang
telah terjadi. Dan Alice… Dia pergi. Dia benar-benar pergi. Dokter berkata
bahwa tubuhnya tidak kuat menahan pendarahan di tangan kirinya dan dia tidak
dapat menahan rasa sakit di otaknya.
Hari ini adalah
pemakamannya. Aku berada di dalam gereja dengan pakaian serba hitam. Kedua
orang tuaku, Harry, Zayn, Louis dan Liam pun berada di bawah atap yang sama
denganku. Kedua orang tuaku terus menangis karena mereka sudah menganggap bahwa
Alice adalah anak perempuan mereka. Aku ingin menangis sekencang mungkin.
Tetapi aku berusaha menahannya. Aku berdiri di sebelah peti di mana Alice
ditidurkan. Aku melihat tubuhnya terbaring dengan pucat di dalam peti mati ini.
Tubuhnya dibalut gaun putih yang sama persis dengan apa yang aku lihat dalam
mimpiku. Kelopak-kelopak mawar merah menghiasi sekeliling tubuhnya. Kulihat
wajahnya. Dapat kulihat dia tersenyum bahagia. Aku ingat senyuman itu yang dia
buat ketika dia sedang senang, ketika dia tertawa, ketika dia tertidur di
tempat tidurku setelah aku menyanyikannya lagu tidur. Aku tidak bisa menahannya
lagi. Air mata turun di kedua pipiku. Kucoba untuk menghapusnya tetapi tetaplah
sia-sia. Air mataku tetap turun deras walaupun aku terus mencoba menahannya.
“Niall, kami
minta maaf…” Liam menepuk pundakku berusaha menenangkanku. Aku hanya mengagguk
dan terus menangis. “Ayo, pemakaman akan segera dimulai. Kursimu ada di sebelah
sana.”
Kami duduk di
kursi yang telah disiapkan. Pendeta mulai membuka upacara pemakan ini dengan
menceritakan apa itu arti hidup – suatu saat semua orang akan pergi dan
kematian bukanlah hal yang perlu ditakutkan. Karena kita akan bertemu Tuhan dan
akan berada di tempat yang lebih baik dari dunia ini. Aku hanya bisa mendengar
setiap kata yang diucapkan pendeta itu. Dan itu semua membuatku kembali menitikan
air mataku. Tak lama, pendeta telah selesai memberikan sambutannya. Dan kini
gilaranku naik ke mimbar.
“Selamat sore
semuanya. Kita berkumpul di sini saat ini untuk mengantar seseorang yang sangat
kita cintai ke tempat peristirahatan terakhirnya. Aku akan memberitahu semua
yang aku aku tahu tentang dia. Dia seperti malaikat, senyumnya memberikan
kebahagiaan. Ketika air mata jatuh ke pipinya, kita dapat melihat kesedihan
yang dia rasakan. Ketika dia tertawa, dia memberikan kita suatu hal yang menyamankan
hati. Dan dia sudah seperti adikku sendiri…” Aku menangis karena aku berbohong.
Aku menyayanginya bukan sebagai adikku. Sesuatu yang lebih! Aku mencintainya!
Aku berharap aku bisa mengatakan hal ini padanya suatu saat. Tapi semua telah
terlambat. Dia sudah pergi. Meninggalkan dunia ini. Jarak antara kami tidak
akan bisa terhitung. Aku melanjutkan sambutanku dengan isak tangis. Ketika aku
menyelesaikannya, aku kembali duduk di kursiku, menangis.
Peti telah di
bawa keluar dari gereja untuk dikuburkan di dalam tanah. Aku melihat peti mulai
ditutup, berusaha menahan air mataku dan berkata, “Selamat tinggal.. Alice..”
Dan untuk terakhir kalinya aku melihat wajahnya ketika peti sudah benar-benar
tertutup. Aku diam di sini dan menyaksikan tanah mulai mengubur peti kayu itu.
Kupandangi tanah di bawahku dan semua ingatan mulai memenuhi kepalaku. Ketika
aku bertemu dengannya, ketika aku melihatnya menangis, ketika aku menyanyikan
sebuah lagu untuknya, ketika kedua orang tuanya meninggal, ketika dia
bertingkah seperi anak kecil, ketika aku selalu berdoa pada Tuhan agar
memberinya satu hari lagi. Hari-hari telah berlalu dan aku kehilangan
kesempatan untuk mengucapkan sepotong kalimat penting padanya. Aku
menyayanginya lebih dari seorang adik. Aku mencintainya!
“Ayo, Niall.” Harry
menepuk pundakku dan mulai berjalan meninggalkan pemakaman. Aku masih terdiam
memandangi batu nisan di depanku dengan kekosongan di mataku.
“Nialler, ayo.
Dia berada di tempat yang lebih baik sekarang…” Lanjut Zayn mendekatiku diikuti
yang lainnya.
“Iya, Niall. Dia
berada di tempat yang lebih baik. Kau pasti akan bertemu dengannya suatu saat
nanti.” Liam mencoba menyentuh pudakku tetapi aku menahannya.
“Kalian tidak
akan bisa mengerti! Kalian tidak akan pernah bisa mengerti perasaanku padanya!”
Aku berlari tanpa tujuan menjauhi pemakaman. Perasaanku kali ini benar-benar
kacau. Aku berlari menyebrangi sebuah jalan besar. Entah mengapa tiba-tiba
pikiranku kosong dan sebuah kendaraan menghantamku keras. Aku merasa tubuhku
terhuyung lalu tidak ada lagi yang bisa aku ingat.
“Niall!” Sebuah
suara yang familiar di telingaku memanggilku. Aku membuka mataku dan mendapati diriku
tengah berdiri di ruangan serba putih seperti pada mimpiku sebelumnya. Aku
melihat Alice tepat berada di depan mataku.
“Alice! Aku
rindu padamu! Ke mana saja kau?” Aku memeluknya erat. Kuangkat dia lalu kuayunkan
dia seperti seorang putri. Kami berlari saling mengejar dan tertawa seperti
dulu lagi.
“Kakak, aku
merasa ada sesuatu yang ingin kau katakan?” Tanyanya padaku. Matanya bertemu
mataku secara langsung. Aku rindu bola mata hijaunya itu.
“Alice… Aku… Aku
cinta padamu.” Akhirnya kata-kata yang paling ingin aku ucapkan padanya
berhasil aku lontarkan lewat mulutku. Dia tersenyum manis padaku.
“Aku juga begitu,
Ni.” Awalnya kau kaget mendengar apa yang dia katakan. Tetapi aku sangat senang
ketika aku melihat senyum manisnya. Kucium bibirnya. Tidak lama tapi sangat
berarti.
Dia mendorongku
balik dan berkata, “Niall, aku harus pergi sekarang. Kita akan bertemu suatu
hari nanti. Teruslah hidup.”
“Tunggu Alice!
Aku akan ikut denganmu!” Aku berteriak ketika perlahan dia terbang menjauh.
“Kumohon, Niall.
Tetaplah hidup… Untukku?”
“Baiklah, Alice.
Kita akan bertemu lagi suatu hari nanti.” Balasku lalu tersenyum padanya. Kali
ini sosoknya semakin menjauh. Aku berusaha memfokuskan mataku padanya.
“Terima kasih,
kakak!” Teriaknya riang membalas senyumanku. Dia benar-benar menghilang dengan
senyum lebar di wajahnya.
Aku mendengar
tangisan bergema di sekelilingku. Dan aku merasa banyak tangan yang menyentuh
tubuhku. Aku mencoba membuka mataku. “NIALL!” Louis berteriak padaku kemudian
memelukku erat. Yang lainnya mulai berlarian ke arahku. Kulihat Zayn menangis
histeris, Liam berusaha menyembunyikan air matanya, sedangkan Harry terus
menggigiti kuku-kukunya dengan wajah yang tidak bisa kuungkapkan dengan kata-kata.
Mereka semua menyadari kesadaranku telah pulih dan memelukku erat dan hangat
dengan penuh perasaaan.
.
.
Beberapa bulan
telah berlalu sejak kejadian itu. Kehidupan baruku mulai tersusun kembali
dengan teratur. Kami telah selesai dengan album kedua kami dan dengan segala
tur serta promosi-promosi lainnya. Zayn masih tetap setia dengan Perrie, Harry
menikmati masa single-nya dengan
bahagia, Louis semakin mesra dengan Eleanor, dan Liam bermaksud untuk melamar
Danielle. Sedangkan aku? Terus tersenyum di depan publik, tertawa seperti
diriku yang humoris. Tapi di dalam hatiku, aku masih sangat sakit. Aku ingin
menangis. Aku selalu merindukannya, malaikat kecilku, Alice.
Aku dan yang
lainnya berencana untuk pergi ke pemakanan setelah pekerjaan kami selesai.
Tentu saja untuk mengunjungi makam Alice. Kami meletakkan beberapa ikat bunga
di dekat nisan bertuliskan namanya. Sebuah patung malaikat dengan sayap di atas
nisan itu kembali mengingatkanku padanya.
“Hei Alice, kami
sangat merindukanmu. Semoga kau baik-baik saja di sana. Kami merasa sepi tanpa
kehadiranmu. Terutama tawamu itu. Kau harus melihat kami. Kami telah berhasil
menyelesaikan album kedua kami dan tentu saja tur-tur mengelilingi duniamu dulu.
Kami yakin, suatu saat kami akan
bertemu dengamu lagi.” Ucap Harry setelah meletakkan tangkai bunga terakhir di
sebelah nisan ini. Aku melihat ke arah bunga-bunga itu dan tiba-tiba angin
menerbangkan sebuah kelopak bunga mawar merah. Seketika itu semua ingatanku
tentangnya kembali muncul ke otakku.
“Niall, kita
akan pergi sekarang. Kau mau ikut?” Tanya Louis mengajakku pergi.
Aku menarik
nafasku panjang. “Aku rasa aku akan di sini untuk beberapa saat. Kalian duluan
saja.”
“Baiklah.
Tetaplah kuat, Niall!” Mereka pergi meninggalkanku sendiri di pemakaman. Aku
duduk sendirian di sebelah batu nisan milik Alice.
“Hei, Alice….
Aku merindukanmu.” Aku berusaha bicara padanya. Kuharap dia melihat apa yang
telah aku lakukan selama dia pergi dan mendengar apa yang aku ucapkan.
Tiba-tiba angin besar seperti mendorongku keluar dari pemakaman. Mataku tertuju
pada sebuah ayunan bercat merah pudar bergerak dengan sendiri dengan
dikelilingi rerumputan yang tidak terawat. Lagi-lagi ingatan itu mulai kembali.
Aku ingat. Itu adalah ayunan tempat pertama kali aku berbicara dengannya. Dapat
kulihat sama-samar bayangan dua orang anak kecil bermain dan tertawa di sana.
Bayanganku dan bayangan Alice kecil berlari ke sana kemari tanpa memikirkan
waktu. Tiba-tiba angin besar itu lagi-lagi datang dan mendorongku beberapa yard ke belakang. Aku menoleh dan
kulihat sebuah gua kecil berlumut terlihat lembab di belakangku.
“Sudah sepuluh
tahun, ya…” Ucapku tersenyum menahan air mataku ketika aku mengingat ketika
pertama kali aku menemukannya menangis sendirian di dalam gua kecil itu. Aku
berjalan menuju mulut gua itu dan duduk di dalamnya dengan melipat kedua kakiku
di dadaku.
“Alice… Aku benar-benar
merindukanmu.” Kurasakan air mataku tidak bisa terbendung lagi. Tetesan-tetesan
air mulai jatuh dari mataku mengalir melewati pipiku.Aku merasa sebuah sesuatu
yang dingin menyentuh pipi kiriku. Kuangkat kepalaku dan kudapati seorang wanita
berdiri di depanku tersenyum hangat padaku.
Senyum itu, “Alice?”
Tanyaku tak percaya. Imaginasiku mulai semakin jelas, itu dia. Aku melihat
Alice berdiri di depanku dengan gaun putih dan… Tunggu. Apa? Apa itu? Ada kedua
sayap di belakang punggungnya. Bulu sayap itu terbang dan kugapai satu bulu
putih dan kumasukkan ke dalam saku jaketku. Kugapai dirinya dan kupeluk sekuat
tenagaku.
“Alice! Aku
rindu padamu!” Teriakku padanya. Kupeluk dirinya tanpa sesekali melonggarkan
pelukanku.
“Aku tahu,
Niall. Aku selalu memperhatikan kalian semua dari sana.” Ucapnya memelukku
balik.
“Bolehkah aku
menciumu?” Tanyaku. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun dan hanya tersenyum.
Tiba-tiba bibir dinginnya menyentuh bibirku. Setelah itu kami hanya terus
berpelukan sambil memejamkan kedua mata kami. Menikmati sebuah reuni penuh
emosi yang sama sekali tidak bisa aku bendung.
Aku membuka
mataku. Aku masih berada di dalam gua kecil ini. Mimpi. Hanya sebuah mimpi.
Kulangkahkan kakiku dan kudapati hari sudah gelap dan angin berhembus sangat
dingin. Kumasukkan kedua tanganku ke dalam saku jaketku dan kurasakan sesuatu
yang halus di dalam sana. Bulu. Jadi itu semua bukan mimpi, aku bertemu Alice
sebagai malaikat.
Aku melihat ke arah pemakaman dengan
senyum di wajahku. “Terima kasih, Alice.”
Kurasakan sesuatu yang dingin
menyentuh pipi kananku dan sebuah suara lembut berbisik, “sama-sama kakakku
yang paling kucintai. Tolong sampaikan salamku pada semuanya. Katakan pada ayah
dan ibu bahwa aku mencintai mereka seperti orang tuaku sungguhan. Dan untuk
yang terakhir, I love you..”
“I
love you too, Alice. Always and forever..” Sebuah angin besar kembali
bertiup dan dapat kurasakan dia pergi dari sisiku. Aku melihat ke atas langit
malam dan kulihat ratusan bintang bertaburan di langit hitam. Aku tidak lelah
untuk tersenyum. Aku tahu dirinya tidak ada lagi di dunia ini. Tapi aku yakin
di dunia sana dia akan selalu memperhatikanku, memperhatikan semua orang yang
berarti baginya. Semuanya.
Orang berkata bahwa masa lalu itu
lebih baik dilupakan karena kenangan buruk adalah masa lalu. Tapi berbeda
dengan teoriku. Aku tidak akan pernah melupakan masa laluku sampai kapanpun.
Walau pun masa laluku dipenuhi hal-hal buruk yang membuatku selalu menangis,
aku tidak akan pernah melupakannya. Tidak akan pernah. Aku akan melangkah ke
hari yang baru dengan terus membawa masa laluku. Karena aku percaya. Aku
percaya bahwa adikku tercinta selalu berada di sisiku.
yang 'your future' itu caranya gimana?
ReplyDelete