oleh Poppy Amelia Sevina , 19
LOLS
*Louis’ Pov*
“Tommy….”
Akhirnya aku menemukan anak lelakiku,
setelah hampir saja mengelilingi seisi rumah untuk mengetahui keberadaan
dirinya. Ternyata, ia tengah duduk di bawah jendela yang berselimutkan gorden
hijau.
Mrs Hatrew, pengasuh Tommy, melapor
padaku jika sejak siang tadi, Tommy enggan untuk menyentuh makan. Aku panik,
bahkan nyaris tidak percaya jika anak sekecil dia sudah pandai untuk mogok makan
seperti ini.
“ Tommy, Ayo habiskan supmu” aku
menatap mata bocah lelaki yang genap berusia 4 tahun itu, bola matanya berwarna
biru shafir, benar-benar persis seperti mata ibunya.
“Aku tidak mau Dad, aku tidak mau jika
bukan Mom yang menyuapiku..” Tommy menggelengkan kepalanya dan melipat
tangannya di Dada.
“Aku ingin bertemu dengan Mom…”
lanjutnya lagi, kali ini di pelupuk matanya tergenang air.
“Tommy, Mom sedang sakit, supaya Mom
lekas sembuh makanya Dad membiarkannya menginap di rumah sakit. Di sana Mom
akan di rawat dengan baik oleh dokter dan suster” aku mengambil tangan mungil
milik Tommy, lalu menggendongnya.
“Apakah Mom masih lama berada di rumah
sakit? Aku sudah sangat rindu padanya”
“Tidak, Mom sebentar lagi akan sembuh.
Sekarang Tommy Dad suapkan sup jagung ini ya. Mom pasti tidak suka kalau Tommy
tidak mau makan seperti ini, sebab nanti kau akan sakit dan Mom pasti akan
sedih..”
Tommy terdiam menunduk, seakan
memikirkan ucapanku barusan.
Untuk ukuran balita, ia adalah anak
lelaki yang cerdas.
“Kalau kau mau menghabiskan Sup ini, Dad
janji akan mengajakmu menjenguk Mom setelah itu”
Raut wajahnya yang muram menDadak
berubah berseri-seri, ia mengangkat wajahnya dan menatap mataku.
“Ah, sungguh Dad? Promise?”.
Ya Tuhan, dia sangat mencintai ibunya.
Lagi pula, anak mana yang tidak
mencintai ibunya Louis? Kau bodoh.
“ Tentu saja,pinky promise” Aku
mengaitkan kelingkingku pada kelingkingnya yang mungil.
“Hm baiklah Dad, aku mau menghabiskan
soup ini! Aku ingin Mom cepat sembuh, supaya aku bisa menemani Mom ke taman
dengan kursi rodanya lagi hehe”
“Nah anak pintar, that’s my boy!” aku
mengusap-usap puncak kepala Tommy dan memeluknya erat.
Lagi-lagi mata biru shafir itu
membuatku terenyuh, Tommy Scott Tomlinson, anak lelakiku satu-satunya yang aku
miliki. Satu-satunya juga yang dapat membuat aku tersenyum saat ini.
Isabella Smith, istriku yang juga
menjadi ibu dari Tommy.
Aku sudah mengenalnya bahkan sejak
sebelum aku tergabung dalam boyband yang hampir 6 tahun ini bersamaku, everyone
knows it as “One Direction”.
Bella. Benar, kesedihanku di selimuti olehnya. Sekarang ini, ia sedang
dirawat di rumah sakit.
Bella mengalami gagal ginjal sudah
sejak dulu saat aku pertama kali mengenalnya.
Salah satu ginjalnya sudah tidak
berfungsi lagi karena mengalami kerusakan. Hal ini pula menyebabkannya harus
bolak-balik ke rumah sakit untuk melakukan cuci darah. Cuci darah sendiri sudah
menjadi ketergantungan bagi Bella.
*
Seusai aku menyuapkan Tommy makan,
seperti yang tadi kujanjikan padanya, aku akan pergi menjenguk Bella
bersamanya.
Tommy pasti merindukan Bella, sudah
hampir 3 hari mereka tidak bertemu. Bukannya aku tidak mau mengajaknya
menjenguk Bella, namun Bella sendiri yang menyuruhku untuk tidak sering-sering
membawa Tommy ke rumah sakit, “Ia masih terlalu kecil untuk bersahabat dengan
tempat seperti ini” ujar Bella ketika aku bertanya apa alasannya melarangku
membawa Tommy.
Aku menyalakan rangerover hitamku dan berangkat menuju ke salah satu rumah sakit
yang berada di Manchester.
Setibanya di rumah sakit, aku segera
menuju ke kamar di mana Bella di rawat.
Tok..tok..tok..
Aku mengetuk pintu kamar
“Ya, masuk”
Suara yang lemah menyambut kedatangan kami.
“Mommmyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyy I miss
you so much!”
Tommy langsung menghampiri Bella, ia
berlari ke dalam pelukannya..
“Bella, bagaimana keadaanmu?” tanyaku
sembari mengecup dahi Bella, wajah cantiknya terlihat semakin pucat.
“Beginilah, badanku masih sering sakit.
Oh iya..tadi ibu dan Lottie menjengukku…” tuturnya dengan suara parau.
“I knew, tadi Johanna mengatakannya
padaku, maaf aku baru bisa datang hari ini. Aku ada sedikit urusan di kantor
kemarin”
Aku memiliki perusahaan kecil, dan berhubung
aku sedang vakum di One Direction, aku bermaksud untuk memegang kembali
perusahaan itu setelah selama ini dikendalikan oleh asistenku.
“Tidak apa, aku mengerti keadaanmu” Lekukan
bibirnya yang membentuk senyuman kembali tersungging. Di antara ketidak
berdayaannya, Bella selalu saja bertindak seolah ia perempuan yang sangat tegar,
ya..ia memang tegar.
“Mom, kapan Mom pulang? Rumah tanpa Mom
menjadi sangat sepi.. aku sangat mengkhawatirkan Mom” tukas Tommy yang masih nyaman berada di
pelukan Bella, bahkan ia memeluknya dengan sangat erat.
Ya Tuhan, Tommy benar-benar mencintai Bella.
Bagaimana aku harus menjelaskannya pada
Tommy jika sampai detik ini tidak ada yang menjamin keselamatan Bella, bahkan
aku belum menemukan donor ginjal yang tepat untuknya?
Sedangkan kondisinya sendiri semakin
memburuk karena keselamatannya bergantung pada cuci darah. Tommy masih terlalu
kecil untuk mengetahui hal ini..
“Mom akan segera pulang sayang, Tommy
jangan mengkhawatirkan Mom ya.. Mom juga sangat merindukanmu..setiap malam Mom
selalu melihat ini, agar rindu Mom sedikit terobati padamu dan Dad”
Bella mengambil sebuah frame kecil dari
balik bantalnya dan memperlihatkannya pada Tommy, di sana terdapat foto kami
bertiga ketika mengunjungi
Disneyland di hongkong tahun lalu.
“So sweet! Lihat Dad, Mom begitu
mencintai kita hehehe”
“Iya, Dad tahu..Mom akan selalu
merindukan kita my little Tommo ….” Aku mengangguk dan tersenyum.
Aku patut bersyukur karena sekarang
ini, One Direction sedang vakum selama 3 tahun.
Sebab aku, Liam, Harry, Niall, dan Zayn
masing-masing memiliki urusan pribadi yang harus diselesaikan dan itu memakan
waktu lama, oleh karena itu kami, serta semua anggota dari management One
Direction menyetujui hal tersebut.
Hari ini aku memutuskan untuk bertemu
dengan the boys di apartement milik Niall di Mullingar.
Yap! Sudah hampir 4 bulan kami tidak
bertemu secara langsung satu sama lain. Terakhir kali kami bertemu adalah
ketika Harry dan Amelioratte melangsungkan pernikahan mereka pada bulan Maret
lalu. Selebihnya, kami hanya berkomunikasi melalui email dan skype.
“Hi Boys! Bagaimana kabar kalian? Haha
long time no see!” pekikku begitu melihat sosok-sosok jahil mereka.
“Hey Louuuuu akhirnya kau datang juga! Ah
ternyata pantatmu semakin seksi saja hahahaha”
“Harry hentikan itu haha, kau tidak
sadar kalau rambutmu semakin mengembang seperti sarang burung?” sambung Zayn
sembari menyeruput Coffee miliknya.
“By the way, Niall mana?” aku
mencari-cari sosok Niall, masa tuan rumahnya tidak kelihatan dari tadi.
“I’m coming…” Ujar Niall yang tiba-tiba
datang dan membawa beberapa kotak Pizza. Mulutnya sudah penuh dengan makanan.
Kurasa kebiasaannya yang satu ini agak sulit untuk dihilangkan.
“Hey jangan melihat saja…bantu aku, ini
terlalu banyak”
“Oh Niallerr, still your typical HAHAHAHA” Liam
menggeleng-gelengkan kepalanya lalu berjalan menghampiri Niall, membantunya
membawakan beberapa botol minuman bersoda dan gelas kosong.
Kami duduk membentuk lingkaran, seperti
yang biasa kami lakukan dulu ketika kami masih berusia remaja.
Sejujurnya aku sangat rindu dengan
masa-masa seperti ini, masa di mana kami masih sendiri dan bebas melakukan apa
saja. Masa di mana kami sangat digilai oleh fans kami yang tentunya masih setia
hingga sekarang. Masa di mana kami tidak memiliki tanggung jawab besar sebagai
seorang kepala rumah tangga.
Rasa-rasanya, semua berubah begitu
cepat, 4 dari kami telah menikah, sedangkan Niall sendiri sudah bertunangan
dengan Saoirse Ronan, artis yang juga berasal dari tempat asalnya, Irlandia.
Aku adalah member One Direction yang
menikah pertama kali, lalu di susul oleh Zayn yang menjalani pernikahan dengan
seorang gadis cantik keturunan Pakistan yang bernama Sabrina, kemudian Liam
yang menikahi Danielle Peazer, pacarnya sejak kami berada di X-Factor, dan yang terakhir adalah Harry yang
menikahi seorang penulis berbakat yang Bernama Amelioratte Hally.
“Lou, bagaimana kabar Tommy dan Bella?,
aku merindukan Tommy” Ujar Harry yang membuka kembali percakapan sore itu.
Raut wajahku yang tadinya berseri-seri
perlahan menjadi redup.
“Tommy? hmmm sangat baik, tetapi tidak
dengan Bella…”
“Apa maksudmu Lou?”
“Kalian tahu kan, Bella mempunyai
penyakit gagal ginjal”
Mereka mengangguk.
“ Ya, ginjalnya memiliki kelainan, aku
sudah berusaha mencari donor ginjal kemana-mana tapi aku gagal karena memang
tidak ada ginjal yang cocok dengan Bella, dia tidak bisa melakukan
transplantasi ginjal. Sekarang ini yang membuatnya bertahan hidup adalah cuci
darah, Penyakit ginjal juga menyebar kebagian tubuhnya yang lain..komplikasi,
begitu dokter menyebutnya”
“dan…dokter memvonis jika umur Bella
tidak akan lama lagi” desahku pelan, hampir terdengar seperti berbisik.
“ARE YOU SERIOUS LOU?” Zayn begitu
shock hingga ia mengencangkan volume suaranya.
“Oh my god, we’re so sad to hear that
Lou”
“Be patient Lou” Liam merangkulku.
“Thanks mate”
“Hm Lou, bolehkah aku bertanya padamu?”
Tanya Niall dengan hati-hati. Sebenarnya aku sudah menduga apa yang akan ia
tanyakan padaku.
“Tentu Nialler, silahkan”
“Bukankah kau tidak pernah mencintai Bella?
Dan bukankah kalian menikah satu sama lain hanya karena keterpaksaan?”
Semuanya diam begitu mendengar Niall melontarkan
pertanyaannya. Dugaanku terbukti
tepat. Niall akan menanyakan hal itu..
“Hm..kau benar Nialler”
“Awalnya memang seperti yang kalian
tahu, aku dan Bella menikah karena itu semua adalah permintaan dari mendiang
ibu Bella-yang juga sahabat Johanna, padaku. Ia berkata bahwa aku harus menjaga
Bella dan menikahinya sebelum ia meninggal, aku sama sekali tidak mencintai
Bella, aku masih memiliki perasaan pada Eleanor saat itu”
Aku meneguk air mineral banyak-banyak,lalu
melanjutkan ceritaku.
“Namun setelah kami menikah, Johanna
dan Mrs Smith terus mendesakku dan Bella untuk memberi mereka cucu. Hingga
akhirnya ketika kandungan Bella memasuki usia 6 bulan, Mrs Smith menghembuskan
nafas terakhirnya.3 bulan kemudian Bella melahirkan Tommy.
Walaupun Bella dan aku sama-sama tahu
kalau kami berdua tidak saling mencintai, ia sangat memperhatikanku, ia selalu
rajin mengurus semua keperluanku, ia memasak untukku, ia mengurus Tommy dengan
telaten, intinya dia telah menjadi istri yang baik untukku. Dari semenjak itu
aku berusaha untuk menerimanya, aku berusaha untuk mencintai Bella sebagaimana
aku mencintai Eleanor, dan aku berhasil…”
“Jadi..sekarang kau benar-benar sudah
berhasil mencintainya Lou?”
“Iya, Liam.. dan disaat aku sudah bisa
mencintainya, malah sekarang dia yang akan pergi meninggalkanku dan Tommy”
Tak terasa air mata yang sedari tadi
aku tahan, telah siap untuk mengalir. Oh God..mengapa
kisahku harus selalu seperti ini?
“Lou! Jangan berkata seperti itu…Bella
pasti bisa bertahan, demi kau dan Tommy!” Harry yang kali ini memelukku, yang
lain mengikuti.
“Harry benar Lou, kau masih punya kesempatan…Bella
tidak akan meninggalkanmu.. “
Hari ini perasaanku sangat tidak
tenang, rasa nervous menyelimutiku.
Aku hanya memikirkan Bella, Bella, dan
Bella semalaman. Aku takut jika dia tiba-tiba pergi meninggalkanku.
Aku memutuskan untuk pergi ke rumah
sakit bersama Johanna siang ini. Aku sengaja tidak membawa Tommy, aku
menitipkannya pada Mrs Hatrew dan kedua adik kembarku;Daisy dan Phoebe.
Kondisi Bella semakin memburuk,
mulutnya sudah sedikit susah untuk di gerakkan, begitupun kakinya yang seperti
mati rasa, efek obat-obat yang di konsumsinya serta “cuci darah” ini sangat
mengerikan.
Aku tidak tega melihatnya menderita
seperti ini…rasanya aku ingin bertukar tubuh saja dengannya. Ia tersiksa oleh
peralatan-peralatan medis yang memenuhi tubuhnya.
“Lou….” Desahnya perlahan.
Aku mengambil tangannya yang terlihat
semakin kurus lalu menciumnya.
“Iya dear aku di sini, kau pasti akan sembuh.
Aku yakin itu”
Yang bisa aku harapkan sekarang,
hanyalah keajaiban, sebab untuk donor atau pencangkokan ginjal sudah tidak
mungkin lagi di lakukan, Ginjalnya berbeda. Sedangkan kondisinya saat ini
semakin kritis.
“Kau pasti akan sembuh” Ulangku.
Ia menggeleng.
Apa maksudnya?.
“Lou..apa….kau…mencinta…i..ku?” Tanya
Bella dengan terbata-bata karena mulutnya terlihat sangat susah untuk
digerakkan, ia sulit untuk berbicara.
Ini adalah pertama kalinya Bella
bertanya seperti itu padaku sejak pernikahan kamu 2 tahun lalu. Sebelumnya ia
tidak pernah menanyakan hal itu… sama sekali tidak.
Air mataku mengalir dengan deras
Kenapa kau siksa aku dengan penderitaan
seperti ini?
“Bella, kenapa kau tanyakan hal itu?
Aku mencintaimu.. awalnya memang aku belajar untuk mencintaimu, namun aku telah
berhasil mencintaimu Bella..” aku menatap bola matanya dengan nanar, aku
mengelus pipinya, dan mencium dahinya.
“A..ku..Juga…men..cin..ta..i..mu..Lou”
Ia berusaha tersenyum diantara air
matanya yang mengalir.
“Kau..Ha rus ..ber..jan jii..
un..tuk..men..jaga Tommy… kau..harus..mencari..i..bu ya..ng
pan..tas..untuk..nya..”
“BELLA! Kenapa kau bicara seperti itu!
Bella, kau yang akan mengurus Tommy hingga besar bersamaku. Tolong jangan
katakan hal itu Bella, aku mohon…”
Genggaman tanganku padanya semakin erat.
Dan secara perlahan-lahan mata Bella
terpejam. Aku sontak panik dan terkejut. Aku berlari dan memanggil ibuku.
OH SHIT!
“Mom help me..please call the doctor!”
“What happen to Bella Louis?”
“Aku tidak tau Mom, tolong panggilkan
dokter sekarang!”
“Baiklah boo, baik..Mom akan
memanggilnya….”
Tidak lama kemudian dokter beserta para
suster datang dan memasuki ruangan tempat Bella di rawat.
Aku dan Mom menunggu di luar dengan
perasaan tidak karuan.
Ya tuhan aku tidak mau kehilangan
Bella, bagaimana dengan Tommy yang begitu menyayangi ibunya? Bagaimana aku
menjelaskan hal ini pada Tommy?
“Mr Louis Tomlinson”
“Yes I am, bagaimana keadaan Bella dokter Jill? dia masih bisa di usahakan
kan?”
“Iya dokter bagaimana keadaan Bella?” kali
ini Mom yang berbicara.
Dokter Jill hanya diam membisu.
“Hey, jawab aku Dokter! Jangan diam
saja!” aku mengguncangkan tubuh yang terbalut serba putih itu.
“Maaf..istri anda telah tiada, kami
telah berusaha semaksimal mungkin..”
Hari yang kelabu, begitu aku menyebutnya.
Semua orang yang berada di sini berpakaian serba hitam.
Ya, hari ini adalah hari di mana
Isabella Smith akan dimakamkan, Bella..istriku.
Mataku sudah sembab, air mataku terasa
kering sebab aku tidak berhenti menangis sejak semalam.
The boys dan semua crew One Direction
mendatangi pemakaman Bella hari itu.
“Bro, kami turut berduka cita atas
kejadian ini.. kau pasti bisa melaluinya…”
“Kau tidak usah khawatir Louis, kami
akan di sini mendampingimu”
“Ya, kami akan selalu ada jika kau
membutuhkan bahu untuk menangis..” Niall mengusap air matanya yang jatuh ke
pipi.
Mereka memelukku.
“Thank you mate.. thank you so much..”
“Dad, kenapa Mom dimasukkan kedalam
peti?” rengek Tommy yang sedari
tadi digendong oleh ayah tiriku, Dan Deatkin, berjalan mendekati.
“Mom, akan bahagia di sana Tommy, itu
adalah tempat terindah untuk Mom”
“Iya, benar! Sekarang Mom akan tinggal
di sana, di tempat yang bernama surga”
“Surga? Apakah itu jauh uncle Zayn? Aku
ingin ke surga…”
“Not now Tommo, nanti kau akan ke surga
dan bertemu Mom” Harry mengambil Tommy dari gendongan…
“yeay!..aku akan surga dan bertemu Mom”
“Lou…be patient” Liam menepuk-nepuk
bahuku, ku lihat matanya mulai me-merah.
Sekarang hidupku benar-benar
menyedihkan, aku akan merawat Tommy tanpa Bella. Membuatku harus memutuskan
untuk tinggal di Australia untuk sementara waktu. Aku tidak sanggup jika harus
terus-menerus berada di London saat ini, sebab kenangan tentang Bella masih
membekas begitu kental.
Rasanya sulit untuk menerima kenyataan
jika orang yang kau cintai sudah menginjak dunia yang berbeda denganmu.
Kau tidak akan pernah bisa merasakan,
jika kau sendiri tidak pernah mengalami hal itu.
2 tahun kemudian, ketika Louis sudah kembali ke kota London.
*Author’s Pov*
“Ya Tuhan, aku meninggalkan Tommy!
SHIT!”
Lelaki berjas hitam tersebut panik
bukan kepalang, Bagaimana tidak? Ia kehilangan anak lelakinya di Mall sebesar
ini. Walaupun ia tahu Tommy sudah berusia 6 tahun, ia tetap saja panik. Louis
tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri jika terjadi sesuatu pada Tommy.
…
Seorang wanita bersama anak
perempuannya yang berusia mungkin sekitar 4 tahun sedang duduk di salah bangku
yang terdapat di sebelah toko ice cream. Ia dan anak perempuannya itu memiliki
wajah yang luar biasa cantik.
“Emily, apakah kau suka ice creamnya
sayang?” Tanya wanita itu sambil mengusap puncak kepala anak perempuannya.
“Yeah Mom, I love it!”
“Aku juga suka Ice cream..” tiba-tiba terdengar
suara renyah dari seorang bocah lelaki yang kini duduk bersamanya dan Emily di
bangku itu.
Wanita itu terus mengamati wajah si
bocah lelaki tampan dan memiliki warna mata yang menarik. Ia memperhatikan
setiap detail yang ada pada bocah lelaki itu, lebih-lebih pada style berpakaiannya
yang nampak familiar. kaus superman yang dihiasi dengan suspender berwarna
coklat, mengingatkannya pada seseorang.
“Kau juga suka ice cream? Kita sama!
Hehehe” tutur Emily pada bocah lelaki itu.
“Ya, Dad suka membelikan ice cream
terlezat untukku haha”
“By the way, namamu siapa anak tampan?”
sapa wanita itu dengan ramah sambil menyunggingkan senyum terbaiknya.
“Namaku Tommy”
“Tommy? Such a good name.. ”
Wanita itu nampak berfikir seolah ia
mengingat sesuatu tentang nama itu. Entah hanya perasaannya saja yang berpikir berlebihan
atau memang anak ini mendeskripsikan seseorang yang begitu dikenalnya.
“Namaku Emily….nice to meet you Tommy..”
Emily menjabatkan tangannya pada tangan Tommy.
“Nice to meet you to Emily, and what’s ur
name Mrs?” Tommy melirik ke arah wanita berblazer hitam tersebut.
“Oh ya, aku belum memperkenalkan diri.
Namaku Eleanor Jane Calder”
“Kalian mempunyai nama yang cantik, tak kalah cantik seperti wajah
kalian ” Ujar Tommy dengan lugu, ia tersenyum memperlihatkan deretan gigi
rapihnya.
“Hey, kau ini sudah pandai merayu ya
haha. Kau sendirian di sini? mana ibu dan ayahmu?”
Eleanor memperhatikan sekelilingnya, ia
tidak menemukan tanda-tanda yang menunjukkan jika orang tua Tommy berada di
sekitar sana.
“ Ya ampun ayahku! Tadi aku pergi
bersama ayahku. Namun aku tidak tahu dia berada di mana, dia menghilang
tiba-tiba”
“Hah? Jadi kau tersesat?, yaampun! Apa
kau ingat di mana kau terakhir bersama ayahmu?”
“Entahlah aku tidak tahu. Aku lupa,
tiba-tiba saja aku sudah berada di sini” ia menggelengg sambil memegangi
perutnya.
“Mom, sepertinya dia lapar…”Emily
menunjuk ke arah Tommy sambil berbisik ke Eleanor.
Eleanor mengangguk.
“Tommy, kau lapar? Ayo kita makan siang
dulu. Kau boleh ikut bersamaku dan Emily, aku akan sangat senang jika kau mau
bergabung”
“Kau memaksaku Mrs Eleanor?”
“Iya, aku memaksamu hahaha”
“Baiklah Mrs Eleanor jika kau memaksa,
aku ikut” timpal Tommy, yang di iringi dengan anggukan.
*Louis’ Pov*
Ya tuhan, kemana anak sih bocah lelaki
itu? Lain kali aku benar-benar harus memberikannya sebuah handphone agar dapat
berkomunikasi dengan mudah. Aku sudah mondar-mandir mencarinya ke sana ke mari.
Bahkan sudah mengelilingi tempat yang sama dan bertanya pada satpam untuk yang
kesekian kalinya, namun tetap tidak ada. Mana sudah jam makan siang, Tommy
pasti kelaparan.
Aku memutuskan untuk membeli 2 paket
makan siang terlebih dahulu. Setidaknya jika aku sudah menemukan Tommy, aku
bisa langsung memberinya makan.
Aku memasuki Mcd yang berada di Mall
itu, dan segera memesan orderan paketanku.
“DAAAAAAAADDDDDDDDDDDDDDDDDD”
Aku seperti mengenal suaranya…
“DAAAAADDDDDDYYYYYYYYYYY”
“Tommy?! Oh my god!” Aku menghampirinya
dan langsung memeluknya
“Dari mana saja kau bocah nakal? Dad
mencemaskanmu, tiba-tiba kau hilang begitu saja. Kau baik-baik sajakan? Kenapa
kau bisa berada di sini?”
“Keep calm Dad hehe, aku juga bingung
kenapa aku bisa terpisah denganmu. Iya tadi aku ke sini di ajak oleh Emily dan
Mrs Eleanor yang cantik dan baik hati” tukasnya dengan mulut penuh makanan.
‘Eleanor’? Tidak perlu waktu lama untuk
mengingat nama itu. Tapi tidak mungkin itu “dia”.
“Oh ya? Mereka mana? Aku dari tadi
tidak melihat siapapun di sini”
“Tadi mereka ke toilet, but wait..Itu
mereka!”
Mata ku menoleh ke arah sosok yang di
tunjuk oleh Tommy, seorang wanita yang cantik terbalut Blazer hitam dan kaos
bermotif spiral, serta anak perempuan kecil.
Jantungku berdegup kencang.
Aku berusaha untuk meyakinkan jika
pandanganku keliru, atau salah. Namun tidak. Aku tidak salah sama sekali.
Itu benar-benar Eleanor .
Eleanor mantan kekasihku, astaga dan
itu? Apakah itu putrinya? Cantik sekali.
Mataku dan mata Eleanor saling
bertautan, seolah sama-sama tidak percaya jika kami akan bertemu lagi. Mantan
kekasih yang terpisah dengan cara yang begitu terhormat. Karena kebaikan hati
Eleanor yang mengerti keadaanku waktu itu, ia rela mengorbankan perasaannya
terhadapku.
Bahkan ia mengikhlaskan aku untuk
menikahi Bella walau awalnya aku sangat terpaksa menjalaninya. Namun, Eleanor
menghilang dari hidupku sejak saat itu.
Kami terpisah bertahun-tahun tanpa ada
komunikasi melalui apapun.
“Louis? Kau Louis kan?”
“Iya, Mrs Eleanor. Dia ayahku, Louis
Wiliam Tomlinson, kalian saling kenal?” Tommy mengerenyitkan dahinya.
Aku masih terpaku dan diam sampai
akhirnya Tommy mencubit pantatku.
“Ouccch Tommy what are you doin, huh?”
Eleanor tergelak.
“Heey Eleanor, kau Eleanor Jane Calder kan?!
long time no see..” sapaku canggung. Aku hanya mampu menyunggingkan senyumku.
“Yeah, bagaimana kabarmu? Ternyata dia
benar anakmu, aku tadi hampir menduganya..lihat saja suspender dan kaus
superman itu haha”
“You still remember it Ele..”
Muka Ele menDadak jadi merah seperti tomat.
Oh god, need your help.
“How about you? Is that your children?”
Ujarku sambil memperhatikan Emily yang sedang bermain bersama
Tommy.
“Iya, dia anakku. Emily Jane Calder…”
“Cantik sekali, dia sangat mirip denganmu”
“Terima kasih, anakmu juga tampan.
Sepertimu, dan tentu ibunya yang juga cantik…” kata Eleanor sambil tersenyum.
“Louis, aku minta maaf jika 2 tahun
lalu aku tidak menghadiri pemakaman Bella, terus terang aku sedang tidak berada
di London, I’m really sorry” lanjutnya lagi.
“Tidak apa Ele aku mengerti. Kau kemana
saja selama ini? Sejak saat “itu” kau menghilang dari ku, dari the boys, dari
semua orang terdekat kita..”
“Hm, aku melanjutkan kuliahku ke Canada
Louis. Aku memang sengaja tidak memberi tahu siapapun. Aku memulai hidupku yang
baru saat itu..” tutur Eleanor.
“Well, it’s okay! Hehe Suamimu mana?
Aku dari tadi tidak melihatnya..”
“Suami? Haha aku single Louis. Aku
sudah bercerai dengan suamiku tahun lalu”
“Sorry Ele, I just—“
“Nope Louis. Santai saja, itu semua
sudah berlalu”
Eleanor melirik jam tangannya dan
menepuk dahinya.
“Oh my God! Aku punya meeting sore ini.
Louis so sorry..i gotta go”
“Okay, but may I have your phone
number?”
“Of course you may Louis. Haha This”
Ele memberikanku secarik kertas yang bertuliskan beberapa
digit angka.
“Emiillll come here dear! Ayo kita
pergi, Mom punya janji sore ini”
“But Mom, aku masih ingin bermain
dengan Tommy” rengek Emily pada Ele.
“Hey cantik, kau bisa bermain dengan
Tommy kapan saja kau mau. Nanti kita akan bertemu lagi, ya kan Ele?”
Ujarku sambil tersenyum dan mencubit
pipi bocah cantik dan menggemaskan itu.
“Tentu” Ele mengangguk.
“Whoaaa uncle Louis, you’re da best!”
“Okay, kami pergi dulu ya, bye Tommy..bye
Louis.. see you later”
“Bye…”
Sejak pertemuanku dengan Eleanor saat
itu, hubungan kami semakin akrab. Aku semakin sering bertemu dengannya di waktu
senggangku. Hubungan Tommy dan Emily pun semakin akrab layaknya kakak dan adik.
Perasaanku yang dulu seakan tumbuh lagi
dengan Ele, sosok wanita yang tegar dan rela berkorbannya masih membekas di ulu
hatiku sampai detik ini.
Bukan maksudku untuk menggantikan
posisi Bella, Bella akan selalu hidup di hatiku. Namun, aku juga harus terus
melanjutkan perjuanganku sebagai seorang ayah bagi Tommy. Aku rasa aku
membutuhkan seseorang lagi sebagai pendamping hidupku, untuk menemani aku membesarkan
Tommy dan menikmati kehidupanku selanjutnya.
Liam, Niall, Harry, dan Zayn langsung
tertawa begitu mendengar ceritaku mengenai hal ini.
“Lou,
kalau jodoh itu tidak akan kemana, mau bagaimanapun caranya..dan di manapun.
Jika kalian memang di takdirkan untuk bersama, kalian akan bertemu lagi. Dan
perasaan itu akan tumbuh lagi secara murni”
Kata-kata Harry di telpon tempo hari
terus terngiang di telingaku.
Right, aku telah menemukan lagi
tambatan hatiku, aku sudah berjanji pada Bella untuk menemukan penggantinya
yang ‘pantas’. Kurasa..Eleanor adalah orang yang tepat. Mengingat Eleanor yang begitu menyayangi Tommy
seperti dia menyayangi Emily, begitupun aku yang menyayangi Emily seperti
anakku sendiri.
“Ele….” Panggilku dengan lembut malam
itu saat kami berdua sedang makan malam di restoran Italia favoritku.
Wajah Ele benar-benar sangat cantik, ia
masih terlihat seperti remaja meskipun Emily sudah berusia hampir 5 tahun.
Apalagi dengan balutan dress hitam yang ia kenakan malam ini, perfecto.
“Yeah Lou.. ?”
“Kurasa sudah saatnya aku mengatakan
ini padamu”
“Mengatakan apa?”
Aku berlutut dan mengeluarkan sebuah
kotak kecil yang berisi 1 cincin yang memiliki 2 berlian sebagai hiasan di
bagian atasnya.
“Aku hanya ingin kau menjadi pendamping
hidupku, memulai semua dengan awal yang baru. Aku ingin kita bersama-sama
merawat dan membesarkan Tommy serta Emily, aku ingin kau yang membuatkan
sarapan dan memasangkan dasiku saat aku pergi ke kantor pagi hari. Aku ingin
melihatmu disampingku jika aku sedang lelah dan butuh teman bersandar. Aku
ingin menyayangi dan memilikimu seutuhnya. Aku ingin bahagia bersamamu. Aku
ingin kau menjadi istriku Eleanor Jane Calder, I love you so much.. would you
marry me?”
Tangis Ele pecah detik itu juga. Aku
tidak tahu apakah aku salah atau benar mengatakan hal ini. Aku hanya ingin
mengatakan apa yang sebenarnya aku rasakan padanya. Hanya itu.
“Lou….aku….aku….”
“Maaf Ele aku tidak bermaksud membuatmu
menangis begini. Maafkan aku..”
“Tidak Louis! Kau tidak perlu meminta maaf
bodoh. Kenapa kau tidak pakaikan cincin itu di jari manisku?”
Matanya yang merah dan masih
mengeluarkan air mata berubah menjadi senyuman dan tawa.
“Ja..jadi kau menerimaku?”
“Tentu saja Lou. Yes I would baby,
cause I love you, and I love Tommy, you guys are the reason behind my smile…”
“Thankyou so much Eleanorrrr”
Aku memakaikan cincin itu di jari manis
miliknya.
Dengan ini, aku resmi melamarnya.
Dalam hati aku benar-benar
berterimakasih pada tuhan. Karena ia yang telah mengatur segalanya. Ia
membuatku menepati janjiku pada Bella, menemukan penggantinya yang tepat.
Bella, jika kau mendengar aku sekarang, kau jangan khawatir..hembusan
nafasmu masih terasa di ruangku.
Aku akan menikahi Eleanor dan membahagiakannya,
membahagiakan Tommy serta Emily.
Semoga kau selalu tenang di surga sana Isabella Smith..
No comments:
Post a Comment