by Shafira Deasy Hikmawati , 19
HLS
Siang itu di pertengahan musim semi Harry sedang menemani
ibunya—Anne, pergi berbelanja di sebuah pasar swalayan. Harry sedari tadi sibuk
menjentikan jari-jarinya di layar ponsel tanpa mempedulikan bahwa ibunya sedang
kerepotan mencari bahan-bahan makanan untuk persediaan bulanan.
Anne terlihat sedikit kesal dengan tingkah laku anaknya yang
satu ini. Harry sudah jarang berada di rumah karena sibuk dengan bandnya,
sementara saat ia memiliki waktu untuk berkumpul dengan keluarga ia justru
sibuk dengan ponselnya.
“Kau sedang berkomunikasi dengan siapa?” tanya Anne.
“Taylor.”
Kening Anne berkerut, “Bukankah hubungan kalian sudah
berakhir?”
“Ya. We just want to make anything’s clear, mum. Don’t
worry.”
Harry tau bahwa ibunya tidak begitu menyukai Taylor. Menurut
Anne, Taylor bukan gadis yang bisa menjaga Harry dengan baik. Kelakuannya tidak
sesuai dengan umurnya yang lebih tua lima tahun dari Harry. Itulah yang menjadi
masalah bagi Anne untuk bisa bersikap ‘welcome’
pada mantan kekasih anak kesayangannya itu. Anne bahkan merasa sedikit lega
saat Harry memutuskan hubungannya dengan Taylor, menurutnya Harry sudah
mengambil langkah yang benar.
Setelah hampir tiga jam berbelanja dan mengambil foto
bersama beberapa fans yang menghampiri mereka, Anne meminta Harry untuk menemaninya
pergi ke rumah sahabatnya, Ny.Hastings. Harry tidak tau sama sekali mengenai
rencana Anne dan sahabatnya mengenai sebuah ‘perjodohan’. Anne yakin jika
anaknnya tau mengenai hal ini, ia pasti akan menolak untuk pergi mengunjungi
rumah kediaman seorang pejabat konglomerat terkenal di London.
.....................................................................................................................................................
Mata dan mulut Harry terbuka lebar begitu ia mengetahui
bahwa ibunya memiliki seorang teman lama yang dikenal oleh banyak
pejabat-pejabat Inggris. Apalagi saat ia menginjakan kakinya di kediaman
Hastings, Harry berdecak kagum memperhatikan barang-barang antik dan guci-guci
porselain yang menghiasi rumah itu. Tiang-tiang yang indah menjulang tinggi menopang
rumah besar bak istana tersebut.
Mr.Hastings adalah salah seorang menteri di kerajaan
Inggris, sementara istrinya—Ellie Hastings—adalah seorang ibu rumah tangga yang
lebih senang diam dirumah bersama putri semata wayangnya, Sheera.
Sheera adalah seorang gadis berumur 19 tahun yang senang
menghabiskan waktunya untuk menyendiri. Sheera memang gadis yang pemalu, namun
disamping itu ia adalah gadis yang cukup ‘liar’, bukan dalam artian yang
negatif. Ia disebut ‘liar’ karena perilakunya yang seperti bocah laki-laki.
Sheera begitu senang dengan hal-hal yang menantang dan menguji adrenalinnya.
Jika ia turun dari tangga saja ia selalu berseluncur di lengan tangga. Hampir
setiap kali ia memakai rok atau gaun, pasti selalu saja ada bagian yang robek.
Walaupun ia gadis periang namun ia juga seorang yang pemalu disaat yang
bersamaan. Oleh sebab itu ia tidak memiliki banyak teman. Jumlah kawanannya bisa
dihitung oleh jari, tidak seperti Harry yang mungkin kesepuluh jari tangan dan
kakinya tidak bisa mewakili jumlah teman-teman dekatnya, atau bahkan gadis yang
pernah digosipkan dengannya.
Para pelayan keluarga Hastings menyambut Anne dan putranya
dengan baik. Ellie langsung menyuruh mereka berdua untuk duduk sembari meminum
teh hangat yang aromanya begitu luar biasa nikmat.
Setelah saling menanyakan kabar masing-masing, Ellie
langsung memanggil kepala pelayannya. “Anna, tolong panggilkan Sheera. Suruh ia
berpakaian yang pantas.” Ellie membisikan kalimat terakhirnya pada Anna.
Wanita paruh baya itu langsung beranjak ke lantai atas untuk
memanggil putri kesayangan keluarga Hastings.
Sheera yang saat itu sedang asik mendengarkan musik langsung
memasang tampang kesalnya begitu Anna menyuruhnya turun ke bawah dan menyapa
teman Ellie. Apalagi Sheera harus berganti pakaian segala.
Anna dan Sheera menuruni anak tangga satu-persatu. Untung
saja kali ini Anna menarik lengan Sheera saat ia hendak menuruni tangga dengan
‘caranya’, jadi Ellie tidak perlu malu jika terdengar suara dentuman yang cukup
keras saat Sheera ‘mendarat’ dengan bokongnya di lantai.
Gadis manis berambut hitam panjang tergerai itu pun langsung
menampakan batang hidungnya di hadapan Anne dan putranya, Harry Styles. Sheera
yang mengenakan sebuah dress panjang berwarna putih transparan membuat Harry
sedikit membuka mulutnya. Walaupun cara Sheera berjalan tidak terlihat seperti orang
dari kalangan bangsawan, tetapi dari penampilannya ia tau bahwa Sheera adalah
seorang putri dari khayangan.
“Kenalkan, ini putriku, Sheera.” Tutur Ellie.
Sheera hanya tersenyum dan menjabat tangan Anne dan Harry
secara bergiliran. Tidak ada kesan yang spesial saat Sheera dan Harry berjabat
tangan. Mereka benar-benar tidak terlihat saling tertarik.
“Dia cantik sekali. Sama seperti ibunya saat masih muda
dulu.” Puji Anne.
Ellie tertawa kecil mendengar pujian dari sahabatnya, “Kau
bisa saja Anne. Putriku bahkan tidak pernah peduli dengan penampilannya. Ia
selalu berpenampilan apa adanya. Aku dan pelayan-pelayanku bahkan harus selalu
memaksanya untuk berpakaian rapih disaat menghadiri acara-acara penting atau
diwaktu tamu-tamu penting kami datang seperti sekarang ini.”
“Ah Ellie, kami sama sekali bukan tamu penting. Kau selalu
berlebihan.”
Kini keduanya tertawa bersama. Sementara itu Sheera terlihat
bosan mendengar pembicaraan mereka yang tidak tau ujungnya dimana. Begitupun
dengan Harry, ia masih saja sibuk dengan ponselnya. Keningnya terus berkerut
ketika menerima pesan dari Taylor. Harry memang masih down dengan gagalnya hubungan mereka. Bayangkan saja mereka hanya
berpacaran selama 37 hari. Waktu yang begitu singkat dan kini keduanya seperti
saling menaruh dendam. Walaupun Harry berkata pada media bahwa ia tidak memiliki
dendam pada Taylor, tapi jauh di dalam lubuk hatinya Harry masih sakit hati
pada gadis yang pernah ia puja itu.
“Harry...” bisik Anne sambil menyikut lengan putranya.
“Hmm?” Harry mendongakan wajahnya pada wanita yang duduk di
sampingnya itu.
“Jangan diam saja. Ajak Sheera bicara.” Bisik Anne.
Harry pun berusaha untuk menuruti Anne. Ia berdeham dan
mulai menatap gadis yang duduk di sebrangnya. “Kau tidak pergi sekolah?”
Sheera justru tergelak mendengar pertanyaan Harry. “Aku?
Pergi sekolah? Kau kira umurku berapa? Hey tuan boyband, aku ini seumuran
denganmu. Aku sudah kuliah sekarang.”
Sontak Harry setengah terkesiap mendengar cara bicara Sheera
yang terkesan agak kasar. Tapi Harry masih berusaha untuk lembut dengannya. “Oh
maaf, kukira kau jauh lebih muda dariku.”
Detik itu juga Ellie langsung menegur Sheera yang sudah
berbicara tidak sopan pada Harry. Anak gadisnya itu memang terkadang cukup
blak-blakan. Apalagi jika moodnya sedang tidak karuan.
“Uh...jadi Ellie, apakah kita jadi dengan rencana kita waktu
itu?” tanya Anne.
“Ya, tentu. Itupun jika kau tidak keberatan untuk
mengatakannya pada mereka berdua.”
Anne tersenyum kemudian melirik ke arah Harry selama
beberapa detik. Namun kini kening Harry berkerut, ia sadar bahwa yang Ellie dan
Anne bicarakan adalah tentang dirinya.
“Well, Harry
sebenarnya maksud mum mengajakmu kemari adalah untuk mengenalkanmu pada
Sheera.” Tutur Anne. “Kami ingin menjodohkan kalian berdua.” Lanjutnya lagi
tanpa banyak basa-basi. Kedua mata Harry dan Sheera langsung terbuka lebar
begitu mendengar ucapan Anne.
Apa ia
bercanda?! Batin Harry.
Aku? Dan
si pria boyband playboy ini? Dijodohkan?? Yang benar saja! Sheera menggerutu dalam hatinya.
“Tunggu tunggu tunggu. Mum kau—“
“Kami tidak bercanda Harry.” ujar Ellie seakan-akan ia
mengetahui dengan apa yang akan dikatakan calon menantunya itu.
“You’re crazy mum.” Tutur Sheera sambil tergelak. Ia menatap
nanar pada Ellie—masih tidak percaya bahwa ibunya tega menjodohkan dirinya
dengan seorang Harry Styles.
Sheera tau bahwa Harry adalah pria yang sering digosipkan
oleh banyak gadis. Hampir setiap minggu pria di hadapannya ini dikabarkan
dengan gadis yang berbeda-beda. Bagaimana Sheera tidak terganggu dengan hal
itu?! Apalagi usia mereka masih sangat muda. Jelas-jelas Sheera menolak ide
perjodohan ini.
“Mengapa kau harus menjodohkan aku dengannya mum?” tanya
Sheera hampir berbisik sekaligus menggerutu.
“Tidakkah ia tampan dan menawan, Sheera? Ia pria yang baik
dan pantas untukmu. Lagipula bukankah kau mengidolakan One Direction?”
Ah! Kini kartu Sheera terbuka oleh ibunya sendiri. Detik itu
juga wajahnya memerah apalagi saat ia melirik ke arah Harry. Wajah Harry saat
ini terlihat sedang mati-matian menahan tawa. Sheera langsung menundukkan
wajahnya yang semerah tomat.
Sementara itu Harry tidak tau harus berkata apa. Ia tidak
mengetahui apapun mengenai Sheera. Bahkan di pertemuan pertama mereka saja
tidak ada kesan yang berarti baginya.
“Jadi bagaimana? Apa kalian bersedia?” tanya Anne.
Harry bergeming, namun Sheera sendiri masih tetap menolak.
“Ini sangat bodoh. Aku tidak mau.”
Ellie berusaha untuk tetap tenang dan masa bodoh mendengar
jawaban putrinya. “Kau Harry? Apa kau bersedia untuk dijodohkan dengan
putriku?”
Harry memutar bola matanya kesana kemari. Kemudian pandangannya
terhenti pada sesosok gadis berwajah malaikat yang ada di hadapannya. Ia
bingung harus menjawab apa karena ia tidak mau terlalu cepat mengambil
keputusan. Akan terkesan tidak dewasa jika Harry langsung menolaknya. Tapi
tiba-tiba saja wajah Taylor terlintas dalam pikirannya. Ia berpikir mungkin
orang-orang akan berhenti membicarakan ‘Haylor’ jika Harry kembali muncul
dengan gadis baru lagi. Tapi di sisi lain Harry juga khawatir jika orang-orang
akan berpikir bahwa ia seorang mata keranjang yang mudah berpindah ke lain
hati. Selain itu, ini bukan perjodohan biasa. Ini adalah perjodohan yang akan
berujung pada sebuah pernikahan.
“Ya. Aku bersedia dijodohkan dengan putrimu Nyonya
Hastings.”
Mata Sheera terbelalak ke arah Harry. Sebenarnya apa sih yang
ada dipikiran pria bodoh itu? Ia mengiyakan perjodohan ini begitu saja?? Ia
pasti sudah gila!
“Great!” seru Anne bersemangat mendengar jawaban putranya.
Ia sungguh bahagia bahwa putranya bersedia dijodohkan dengan Sheera. Anne
benar-benar tidak menyangka jika Harry akan berkata ‘ya’.
“Kau gila ya tuan boyband? Kau menyetujui perjodohan ini
begitu saja?! Ha! Jangan harap aku mau menikah denganmu.”
“Sheera jaga ucapanmu!” tegur Ellie. “Lagipula apa salahnya
dengan perjodohan ini? Kau kan juga tidak bisa mencari pasanganmu sendiri.”
“Kau tenang saja nyonya Hastings. Akan kubuat putrimu mau
menikah denganku.” Harry angkat bicara. Semua orang di ruangan itu langsung
menatap Harry tidak percaya akan kata-katanya barusan.
Detik itu juga Sheera langsung beranjak menuju kamarnya di
lantai atas. Ellie terlihat begitu khawatir karena putrinya enggan dinikahkan
dengan Harry. Ia sangat yakin jika Harry bisa menjaga Sheera baik-baik, karena
memang pada awalnya Ellie lah yang memohon pada Anne bahwa ia ingin menitipkan
putrinya pada putra sahabat kepercayaannya itu. Saat itu Anne sendiri kaget
mendengar permohonan Ellie, tapi Anne juga berpikir mungkin jika Harry
dijodohkan maka putranya itu akan berhenti mendekati gadis-gadis yang bisa
membuat karirnya terancam, mana lagi Sheera adalah seorang gadis yang manis
keturunan keluarga Hastings. Sudah pasti Anne mau menerima ide perjodohan ini.
......................................................................................................................................................
“Harry...” sahut Anne.
“Yes, mum?”
“Apa kau yakin dengan perkataanmu tempo lalu?”
Mengerti ucapan Anne, Harry langsung duduk tegap di sofanya,
“Ya. Aku yakin.”
“Seberapa yakin?”
“Sembilan puluh sembilan persen aku yakin.”
Anne bergeming selama beberapa saat. Jujur, ia sendiri masih
tidak percaya bahwa anaknya berkata ‘ya’.
“Bisa kau katakan padaku apa yang menjadi alasanmu menerima
perjodohan ini?”
“Karena aku yakin apapun yang menjadi pilihanmu adalah yang
terbaik untukku. Jadi kurasa tidak ada salahnya jika aku menerimanya.”
“Jadi kau tidak keberatan?”
Harry menggeleng pelan pada Anne. Tentu saja Harry merasa
keberatan, tapi Harry sudah memiliki rencananya sendiri. Ia akan menggunakan
kesempatan ini untuk mengalihkan perhatian media dari berbagai kabar miring
mengenai dirinya dengan ‘para gadis’. Toh,
Sheera juga menolak perjodohan ini bukan? Jadi mereka tidak akan mungkin menikah.
Setidaknya itulah yang Harry pikirkan saat ini. But, who knows?
.....................................................................................................................................................
Sementara itu di kediaman keluarga Hastings, Sheera justru
bermuram durja di balkon rumahnya sambil memandangi taman belakangnya yang
dipenuhi bunga-bunga dan sebuah air mancur besar yang sangat indah. Alasan
terkuatnya menolak perjodohan ini adalah Carl. Diam-diam Sheera sudah memiliki
seorang kekasih namun ia enggan untuk memberitahu kepada siapapun mengenai pria
yang sudah menjadi kekasihnya selama enam bulan. Carl adalah seorang pria tulen
yang romantis, penyayang, tapi juga ‘liar’ seperti Sheera. Bisa diibaratkan
jika Sheera sedang bersama Carl, ia merasa nyaman seperti berada dalam dekapan
seorang ayah. Ya, Sheera memang jarang mendapatkan perhatian dari ayahnya yang
selalu sibuk dengan pekerjaannya di kementrian Inggris. Oleh sebab itu ia
sangat menyukai Carl, apalagi Carl lah yang mengajarinya bermain skateboard,
panjat tebing, mengendarai motor gunung, juga balap mobil. Dan itu semua tanpa
sepengetahuan kedua orang tua Sheera. Carl selalu menjaga Sheera dengan baik.
Kini yang Sheera pertanyakan adalah apakah ia harus
memberitahu Carl bahwa ia akan dinikahkan dengan Harry? Atau ia harus diam saja
seolah-olah tidak terjadi apa-apa?
Ya,
mungkin jika Carl tidak mengetahui hal ini akan jauh lebih baik. Carl bisa
membunuh Harry jika ia tahu. Batin
Sheera.
......................................................................................................................................................
Pagi-pagi sekali Harry sudah meninggalkan rumahnya. Ia
mengendarai Range Rover-nya menuju rumah kediaman Hastings. Hari ini Harry
berencana untuk mengenalkan Sheera pada keempat sahabatnya dan memberitahukan
kejutan besar. Sebenarnya Harry malas untuk melakukannya tapi apa boleh buat?
Jika ia ingin rencananya berhasil keempat sahabatnya beserta manajemen harus
tahu.
“Mau apa kau kesini?!” bentak Sheera. Ia sangat terkejut
begitu Anna memberitahunya bahwa Harry datang untuk menemuinya.
“Aku ingin mengajakmu menemui teman-temanku.”
“Untuk apa?”
“Mengenalkanmu pada mereka.”
Bertemu
dengan Niall, Liam, Zayn, dan Louis?? Ya Tuhan! Apa ia bercanda? Batin Sheera.
“Mengapa aku harus dikenalkan dengan mereka?”
“Memang mengapa? Kau tidak mau? Bukankah kau menyukai kami?”
Harry tersenyum licik padanya.
Sheera bergeming selama beberapa saat. Tentu saja Sheera
ingin sekali bertemu dengan idolanya, tapi ia masih kesal pada Harry karena
dengan mudahnya ia menyetujui perjodohan bodoh itu.
“Baiklah. Tunggu disini.”
......................................................................................................................................................
Sesampainya di flat,
Harry langsung menggandeng tangan Sheera. Awalnya ia memang sempat menangkis
tangan Harry, tapi pria keriting itu memaksa untuk menggenggam tangannya.
Sekitar hampir satu menit Harry memencet bel apartemen,
akhirnya Louis membukakan pintu untuk mereka. Sheera terlihat sedikit kalap
saat memandangi keempat pria yang begitu ia idolakan. Tentunya, di dalam
hatinya ia fangirling habis-habisan. Ia
tidak pernah menyangka bisa bertemu dengan seluruh personil One Direction.
“Hello guys.” Sapa Harry sembari menarik tangan Sheera agar
masuk ke dalam dan bertegur sapa dengan keempat sahabatnya.
“Jadi ia yang kau maksud sebagai ‘kejutan’, Harry?” tanya
Louis begitu ia menutup pintunya. “Bagaimana bisa kau menghianatiku?” Louis
menunjukan tampang dramatisnya dihadapan Harry. Begitu melihat raut wajah
Sheera yang shock, Louis langsung
tertawa begitu puas. Leluconnya memang selalu berhasil.
Harry mengangguk dan tersenyum simpul, “Well, kenalkan. Ia Sheera. Sheera, mereka—”
“Ya, aku tau.”
“Jadi ia pacar barumu, Hazz?” tanya Zayn sambil tersenyum
ramah pada Sheera.
“Bukan. Ia calon istriku.”
Sontak, Liam, Louis, Zayn, dan Niall membuka mata mereka
lebar-lebar. Bahkan Niall tertawa kecil mendengar ucapan Harry yang terdengar
melantur.
“Kau bercanda.” Tutur Zayn.
Detik selanjutnya Harry mempersilahkan Sheera untuk duduk
diikuti oleh dirinya, “Tidak, Zayn. Kami dijodohkan.”
Selama beberapa saat keadaan menjadi hening dan sunyi.
Keempat pria tersebut memandang Harry dengan pandangan tidak percaya sekaligus
terkejut. Namun tidak lama kemudian Niall mulai tertawa diikuti oleh Louis dan
Zayn. Hanya Liam yang kelihatannya mempercayai kata-kata Harry. Dari sorot
matanya, Liam percaya bahwa Harry tidak berbohong.
“Kau konyol.” Tutur Liam hampir berbisik. “Well, Sheera maaf sebelumnya. Tapi ada
yang harus aku bicarakan dengan Harry berdua.” Liam segera bangkit dari
sofanya.
“Liam. Ada yang ingin aku jelaskan pada kalian semua. Dan
Sheera harus tahu mengenai rencanaku ini.”
Mendengar perkataan Harry, Liam mengurungkan niatnya dan
langsung kembali duduk manis di sofa.
“Jujur saja kami berdua merasa keberatan dengan ide
perjodohan Anne dan Ny.Hastings. Tapi aku menerimanya karena kupikir ini ide
cemerlang untuk mengecoh media.”
“Maksudmu?” tanya Liam yang sudah gemas dengan cara bicara
Harry yang lamban.
“Hey, aku belum selesai. Well,
kalian tahu sendiri kan bahwa sejak hubunganku dan Taylor berakhir aku masih
saja dihujani oleh banyak berita-berita yang tidak jelas. Bahkan aku semakin
mendapatkan banyak cibiran dan dikenal sebagai ‘manwhore’, aku ingin menghentikan itu semua.”
“Maksudmu kau ingin menggunakan Sheera sebagai bukti bahwa
kau bisa setia pada seorang gadis?”
“Yes, Li.”
“Tunggu tunggu....” Sheera mulai bersuara. “Aku tidak
mengerti maksudmu.”
“Kau harus berpura-pura menjadi kekasihku.”
Sheera tergelak mendengar jawaban Harry yang terdengar
sangat konyol.
“Tapi Hazz, apa
kau tidak memikirkan apa kata manajemen serta reaksi para fans nanti?” tanya
Zayn.
“Malam ini aku akan memberitahu mereka.”
“Tidak. Aku tidak mau.” Ujar Sheera cepat. “Aku?
Berpura-pura menjadi kekasihmu? Bergandengan tangan di depan publik dan
mengumbar kemesraan? Kau gila ya? Hey, asal kau tau tuan boyband aku sudah
memiliki seorang kekasih. Aku tidak mau jika ia sampai tahu bahwa aku
dijodohkan denganmu.”
Kini giliran Harry yang tergelak, “Siapa yang bilang aku
akan mengenalkan dirimu sebagai calon istriku? Hanya kekasih, bodoh.”
“Itu sama saja!” bentak Sheera. “Aku tidak mau.” Sheera
bangkit dari sofanya dan beranjak pergi. “Kalau kau ingin seorang kekasih palsu
ataupun sungguhan kau cari saja yang lain! Pokoknya aku tidak mau.”
“Hey hey hey.” Harry langsung menyusul Sheera dan meraih
tangannya. “Aku mohon. Empat bulan saja. Kita bisa berpura-pura dihadapan kedua
orang tua kita dan para fans bahwa kita sedang menjalin hubungan, lalu ditambah
sedikit drama kita bisa mengakhirinya seperti sebuah film layar lebar. Ayolah,
kumohon bantu aku.”
Sheera terkekeh kali ini, “Tapi sayangnya aku bukan seorang
pemain film.”
Harry langsung menarik tubuh Sheera mendekat ke arahnya,
“Aku mohon nona Hastings. Ini juga demi ibumu—dan ibuku.” Bisiknya tepat di
hadapan wajah Sheera.
Entah apa yang ada dipikiran Sheera kali ini. Ia menjadi
sedikit kalap dan gugup saat mendengar Harry berkata seperti itu. Bukan karena
ucapannya, tetapi dari sorot mata hijaunya yang tajam dan suara seraknya yang
begitu dalam membuat jantung Sheera sedikit tidak karuan hingga akhirnya Sheera
menyetujui permintaan Harry.
......................................................................................................................................................
“Setelah mendapat persetujuan dari manajemen, besok aku akan
memperkenalkanmu pada publik sebagai teman kencanku. Jika semuanya berjalan
lancar dalam beberapa hari kemudian semua orang akan tahu bahwa kau adalah
kekasihku, Sheera.” Tutur Harry tanpa menolehkan wajahnya ke arah Sheera. Ia
fokus memperhatikan jalan raya yang cukup padat saat ini.
“Okay.” Jawab Sheera parau. Sejujurnya yang ada di otaknya
saat ini adalah Carl.
Sekitar tiga puluh menit dalam perjalanan pulang, akhirnya
mereka tiba di kediaman Hastings. Namun sesuatu menarik perhatian Sheera ketika
ia melihat seorang pria berambut hitam sedang bersembunyi dibalik semak-semak
halaman rumahnya, yang tidak lain adalah....
“Carl?” sahut Sheera begitu ia turun dari mobil Harry.
Pria itu menolehkan kepalanya dan berdiri. Senyuman langsung
tersungging diwajahnya yang tampan bagaikan pangeran Disney ketika melihat
Sheera muncul di hadapannya.
“Sheera. Aku menunggumu dari tadi, kau darimana saja?” Carl
langsung memberikan pelukan hangat pada kekasihnya itu.
“A-aku—“
“Ia habis pergi bersamaku.” Tutur Harry saat ia turun dari
mobilnya.
Carl langsung menyipitkan matanya saat melihat pria yang
wajahnya begitu familiar di ingatannya itu.
“Who are you?”
Harry mengulurkan tangannya, “I’m Harry. Sheera’s fian—“
Dengan segera Sheera menutup mulut Harry dengan tangannya,
“Ia anak teman ibuku. Harry. Kau tau kan? Harry Styles?”
Kini Carl ingat sekarang. Bagaimana bisa ia melupakan
sekelompok pria yang begitu dipuja-puja oleh kekasihnya itu, yang salah satunya
adalah Harry. Carl pun menjabat tangan Harry. Namun mulutnya sedikit terbuka.
Ia tidak menyangka bahwa Sheera benar-benar bisa bertemu dengan idolanya.
“Carl. Carl Hermsworth.”
“Senang bertemu denganmu.” Tutur Harry sambil tersenyum
simpul.
“Aku juga.” Sebisa mungkin Carl berusaha untuk menjaga
kesopanannya di hadapan Harry. Karena terkadang ia juga dibuat cemburu ketika
Sheera membicarakan soal One Direction tanpa henti.
“So, ada apa kau
kesini?” tanya Sheera sambil memainkan bibirnya.
“Aku ingin mengajakmu ke arena balap. Malam ini
pertandingannya seru.”
Harry langsung melirik ke arah Sheera dan Carl secara
bergantian. Ia sedikit takjub ketika melihat ekspresi wajah Sheera yang
terlihat begitu bersemangat.
“Sure. Well, Harry
aku pergi kencan dulu dengan kekasihku. Bye.”
Sheera tersenyum licik dan melambaikan tangannya pada Harry. Kemudian ia
langsung menaiki sebuah motor gunung milik Carl.
Hey, ia
meninggalkanku begitu saja?Dasar perempuan. Batin Harry.
Ia hanya menggeleng pelan lalu kembali masuk ke dalam
mobilnya. Namun entah mengapa ia merasa sedikit kesal ketika Sheera langsung
meninggalkan Harry seorang diri di halaman rumah keluarga Hastings. Bahkan ia
berharap bahwa Sheera akan memperkenalkan Harry pada Carl sebagai calon
suaminya.
.....................................................................................................................................................
Setelah berdebat panjang lebar dengan manajemen, akhirnya
semalam Harry berhasil dan mendapatkan ijin untuk mempublikasikan Sheera
sebagai ‘kekasihnya’ pada media.
Tanpa pikir panjang Harry langsung mengajak Sheera untuk
pergi makan malam disebuah restoran mewah di kota London. Dengan
terang-terangan sekali Harry menggandeng tangan Sheera tanpa ragu. Ia
membiarkan paparazzi yang sedari tadi mengerubungi dan mengambil foto mereka.
Bahkan diantaranya juga melontarkan berbagai pertanyaan pada Harry.
“Hi, Harry. How are you?
“Harry. Apa kau bersedia memperkenalkan gadis yang ada disampingmu?
“Apa ia kekasih barumu, Harry?”
Namun Harry tidak banyak bicara. Ia hanya tersenyum dan
menjawab paparazzi yang menanyai kabarnya. Ia sengaja tidak memberi jawaban
terlebih dahulu mengenai Sheera agar semuanya terlihat ‘alami’ dan tidak mencurigakan.
Karena sebelumnya Harry belum pernah memberikan sinyal apapun mengenai gadis
baru tersebut yang telah masuk dalam kehidupannya.
“Aku harus bagaimana sekarang?” tanya Sheera hampir
berbisik. Ia terus menerus melirik ke jendela luar saat paparazzi terus-terusan
mengambil foto mereka.
“Bersikap biasa saja. Well,
kau mau pesan apa?”
“Apa saja.”
“Baiklah, aku yang memesankan untukmu kalau begitu.”
Sementara mereka berdua menunggu pesanan, Harry terus
mengajak Sheera bicara. Sesekali ia menyuruh Sheera menyengir lebar dan tertawa
seperti orang gila. Jujur saja Sheera merasa aneh karena ia harus berpura-pura
bahagia padahal sama sekali tidak ada yang lucu ataupun menyenangkan.
“Rahangku keram, Harry.” tutur Sheera dalam cengirannya yang
begitu lebar.
Harry hanya terkekeh melihat ekspresi Sheera yang
menggemaskan. “Alright. Bagaimana
kalau aku menceritakan sebuah lelucon untukmu?”
Sheera mengangkat kedua alisnya, “Setauku kau tidak pandai
melucu, Harry Styles.”
“Baiklah, bagaimana kalau aku menceritakan pengalamanku saat
kami pergi ke Jepang?”
“Boleh saja.”
“Jadi waktu itu kami pergi mengelilingi kota. Aku dan Zayn
mendatangi sebuah restoran Jepang. Lalu Zayn memakan gurita. Dan rasanya aneh
sekali.”
Kini Sheera memasang tampang bingungnya. Ia tidak mengerti
dengan apa yang Harry bicarakan.
Dimana
sisi menariknya? Batin Sheera.
“Okay, lalu?” Sheera masih berusaha untuk mendengar cerita
Harry yang hanya bisa dimengerti oleh dirinya sendiri. Semua orang tau itu.
“Aku makan udang waktu itu. Aku baru tau bahwa tempura
rasanya sangat enak. Kapan-kapan kau harus mencobanya.”
Sheera memaksakan dirinya untuk tersenyum, ia tidak pernah
menjalani malam yang begitu membosankan seperti ini sebelumnya.
Tidak lama kemudian seorang pelayan datang membawa pesanan
mereka. Harry pun kembali memulai pembicaraan sembari menyantap makanan
pembukanya.
“Apa kau tidak salah?” tanya Harry ketika ia melihat Sheera
memakan desertnya terlebih dahulu.
“Ada apa memangnya?”
“Kau menjadikan puding coklat sebagai makanan pembuka?”
Sheera tergelak, “Aku tidak peduli apa kata orang. Tapi aku
tipe gadis yang selalu mendahulukan kebahagiaan. Kita tidak tahu kapan hidup
kita akan berakhir. Jika tiba-tiba aku mati beberapa menit lagi, setidaknya aku
sudah memakan desert-ku.” Sheera
menyengir lebar kali ini.
Harry tergelak mendengar jawaban Sheera. Terdengar konyol,
namun ada benarnya juga. “You’re so unique. I like you.”
Sheera langsung tersedak mendengar ucapan Harry. “You said
what?”
“I like you.” Ujar Harry enteng.
Sementara itu wajah gadis yang ada dihadapannya tersebut
malah bersemu merah. Harry adalah pria kedua yang berkata ‘suka’
padanya—setelah Carl tentunya.
.....................................................................................................................................................
-Sheera’s
POV-
See? Carl is angry with me!
Setelah melihat acara tv siang tadi Carl langsung datang ke
rumahku dan meminta penjelasan mengenai apa yang telah terjadi semalam.
“Ini hanya sekedar drama, Carl. Percayalah padaku. Aku tidak
memiliki hubungan apa-apa dengan Harry. Ia yang—“
“Tapi kau kekasihku, Sheera! Mana mungkin aku mau berbagi
dengan pria lain?! Aku tidak peduli apakah ini sekedar drama atau bukan! Tidak
kah kau memikirkan bagaimana perasaanku saat melihat kemesraanmu dengannya
siang tadi?!”
“Tentu aku—“
Lagi-lagi ucapanku terpotong saat mendengar seseorang
mengetuk pintuku.
“Nona Sheera apa kau sedang berbicara dengan seseorang?”
sahut Anna.
Shit.
“No. I just...I just read a book loudly.” I lie.
“Can I come in?”
Oh no.
“Carl, I’m so sorry. You have to go now.”
Carl hanya memutar bola matanya lalu menghela napas
dalam-dalam. Kemudian ia langsung meloncat keluar dari balkon kamarku. Detik
itu juga Anna membuka pintu kamarku dan membawa senampan teh.
“Aku membawakan teh untukmu. Ini sudah waktunya bukan?”
tuturnya sambil menaruh secangkir teh di meja kecil dekat pintu balkonku.
“Ngomong-ngomong kau membaca buku apa?”
“Uh...Romeo and Juliet.”
Dustaku.
“Well, kau
ternyata pintar juga meniru suara laki-laki. Aku sempat mengira bahwa kau
memasukan seseorang ke kamarmu.” Anna terkekeh selama beberapa saat. “Baiklah,
kalau begitu aku kembali ke dapur dulu.”
Aku mengangguk pelan dan tersenyum simpul padanya.
Damn, nyaris saja!
......................................................................................................................................................
“Mengapa aku yang harus bertanggung jawab?? Hey, ini
kesepakatan kita berdua. Kita tidak pernah membicarakan soal kekasihmu itu,
okay? Jadi dia bukan urusanku.” Tutur Harry.
Sialan.
Ini sudah satu minggu sejak Carl tidak datang menengokku.
Bahkan aku sudah berusaha untuk menghubunginya tapi Carl justru me-reject nya.
“He’s my boyfriend, stupid!”
“So what? That’s your bussiness. Not mine. Sorry.”
What the heck?!
“Baiklah. Kalau begitu aku berhenti menjadi kekasih
bohonganmu.” Aku langsung mengambil tasku dan pergi meninggalkan rumahnya.
“Whut? You can’t!” Harry langsung meraih tanganku sebelum
aku sempat menyentuh gagang pintu rumahnya.
“Of course I can! Kau sudah menghancurkan hubunganku dengan
Carl.”
Harry memutar bola matanya, “Kita baru mengkonfirmasi
hubungan ini dua hari yang lalu. Apa kata orang-orang jika aku berkata bahwa
hubungan kita telah berakhir, huh?”
Aku tergelak, “So what? That’s your bussiness. Not mine.
Sorry not sorry.” Ujarku sarkastik. Aku langsung menghempaskan tangan Harry dan
membuka pintu rumahnya lebar-lebar. Aku membanting pintunya hingga menimbulkan
suara dentuman yang begitu keras.
-Harry’s
POV-
F*ck!
Sekarang aku harus bagaimana? Semua rencanaku bisa gagal
jika Sheera tidak mau berkompromi denganku lagi. Argh! Ini semua gara-gara
pacar bodohnya yang sialan itu. Lagi pula mengapa Sheera bisa menjadikan pria
seperti Carl sebagai kekasihnya sih?
Lihat saja penampilannya yang urakan. Well, sorry. Tapi memang begitu kenyataannya. Aku heran dengan
gadis ini. Seleranya benar-benar buruk. Aku yakin jika mereka benar-benar putus
nantinya, pria yang akan menjadi kekasih Sheera selanjutnya tidak akan kalah
jelek dan bodohnya seperti Carl. Lihat saja....
......................................................................................................................................................
“Kalau ternyata kekasih selanjutnya adalah kau sendiri
bagaimana Harold?” tutur Louis. Detik itu juga Niall dan Zayn langsung tertawa
puas.
“No way. She’s annoying. I won’t date her. Never.”
“Tapi kau sudah menghancurkan hubungan mereka Hazz. Remember, karma does exist.” Ujar Liam.
“Tapi karma tidak pernah berlaku bagiku.”
“Lalu apa rencanamu selanjutnya?” tanya Zayn.
Aku hanya mengangkat bahu. Aku masih belum memikirkan
apapun.
“Mengapa tidak kau datangi saja si Carl itu? Lalu katakan
padanya bahwa kau ingin meminjam—No,
that’s sounds rude—kalau begitu katakan padanya bahwa kau—.”
“You’re fucking crazy, Lou.” I cut him off. “But maybe
you’re right.”
Louis, Liam, Zayn, dan Niall langsung saling bertukar
pandang. Sementara itu aku langsung bangkit dari sofa dan meraih kunci mobilku.
Maaf, Sheera.... Tapi aku benar-benar harus melakukannya....
......................................................................................................................................................
“Apa katamu?! Hey, kid, dengarkan aku. Kau tidak akan pernah
bisa membuat Sheera jatuh cinta padamu. Ia tidak akan pernah memilihmu.” Tutur
Carl tepat di hadapanku.
“I’m sorry big man. But she will. Just ask her.” Aku
menyengir lebar padanya. “See you later.” Aku langsung masuk kembali ke dalam
mobilku.
Tidak aku sangka aku tidak perlu repot-repot meminta alamat rumah
Carl pada Sheera. Ternyata Carl baru saja menemui Sheera di rumahnya. Tepat
saat ia hendak pergi dengan sepedanya aku muncul di halaman belakang rumah
kediaman Hastings. Dan TADA! Aku berhasil mengatakan apa maksud dan tujuanku
pada Carl. Aku yakin jika kau melihat tampang Carl yang begitu kesal padaku
tadi, kau pasti akan tertawa lebar—itu pun jika kau berada di pihakku.
Tapi sekarang bagaimana caranya agar Sheera bisa jatuh cinta
padaku? Well, sebenarnya itu tidak
perlu, tapi hanya itu satu-satunya cara agar Sheera bersedia berkompromi
denganku lagi. Tapi apakah itu mungkin? Karena aku yakin setelah ini ia akan
marah besar padaku dan enggan untuk melihat wajahku lagi.
Aku segera merogoh saku celanaku dan melayangkan jari-jariku
di ponsel.
“Yes, Harry?” ujar seseorang di sebrang telpon.
“Hey, Matt. Would you do me a favor?”
“Hmm...sure. ‘Sup?”
“I want you to make a scandal. Not for public. Just for my
girlfriend.”
.....................................................................................................................................................
-Sheera’s
POV-
Aku terkejut setengah mati saat Carl datang pagi-pagi sekali
dan membentakku. Ia seperti orang gila. Ia marah-marah seorang diri. Aku bisa
melihat amarahnya yang begitu berkobar padaku. Ya Tuhan, ada apa lagi ini?
Padahal baru semalam kami berbaikan dan kini Carl kembali
lalu menyalahkan aku lagi? Tidak, bukan hanya itu. Ia meminta putus dariku!
“No, Carl...Please, tell me what happened? Mengapa kau
tiba-tiba seperti ini padaku?” tanyaku kalap.
Carl justru tergelak dan menyengir sinis, “Kau wanita
murahan.”
WHAT?!
“Excuse me?! You said what?!” aku membelalakan mataku
padanya. Tidak aku sangka, Carl berkata sekeji itu padaku??
“Aku seharusnya tau bahwa kau akan lebih memilih artis itu
ketimbang aku, Sheera. Sudahlah, aku muak dengan semua alasan drama yang kau
lontarkan. Tidak aku sangka ternyata ia juga sering mengunjungimu setiap hari.”
Apa? Sebenarnya apa yang sedang ia bicarakan sih? Aku tidak
mengerti sama sekali!
“What are you talking about?!”
“Katakan saja, kau memilih aku atau dia?”
See? Aku tidak tau sebenarnya Carl sedang membicarakan hal
apa. Tiba-tiba saja ia berkata bahwa aku wanita murahan?! Lalu sekarang ia
bertanya aku memilih siapa?!
“Him.” Ujarku tanpa berpikir. Mungkin saat ini emosikulah
yang sedang mengontrol kata-kataku sekarang. Aku sakit hati saat Carl berkata
bahwa aku adalah wanita murahan. “Is that clear?”
Carl memainkan bibirnya. Kemudian ia berdecak pinggang dan
bergumam, “Alright. I’ll leave now.”
......................................................................................................................................................
Aku menangis sekeras mungkin dihadapan kelima pria bodoh
yang melihatku dengan pandangan prihatin. Pada siapa lagi aku harus menangis?
Tidak mungkin pada Anna atau mom. Aku tidak memiliki teman dekat. Saat ini
mereka berlima lah yang memiliki hubungan paling dekat denganku setelah satu
minggu hidup dengan keadaan yang penuh dengan drama.
“Sudahlah Sheera. Mungkin setelah ini kau bisa menemukan
pria yang jauh lebih baik dari Carl.” Tutur Niall.
“Aku tidak menyangka ada pria sekejam itu. Kau tau, berkata
bahwa kau adalah wanita murahan? That’s
so rude.” Timpal Zayn.
“Mengapa kau tidak mencoba memulai hubungan dengan Harry
saja?” lanjut Louis.
Aku langsung berhenti menangis dan menatapnya nanar. “How
could you?!”
“Hey, kan kau sendiri yang berkata bahwa kau memilihnya. Bagaimana
sih?”
“Kan sudah kubilang saat itu aku sedang emosi! Aku tidak tau
apa yang harus kukatakan, Lou!”
“So move on. Tidak
ada gunanya kau menangisi pria yang sudah berkata sekasar itu padamu, Sheera.
Kau gadis yang manis. Kau tidak layak mendapatkan pria seperti itu.” kini Harry
angkat bicara. Aku tidak tau ia bisa berkata sedalam itu. “Populasi manusia
masih banyak. Kau bisa memilih siapapun yang kau mau.”
“Termasuk Harry. Hahaha!”
“Seriously, Lou. That’s not funny at all.”
“Alright. Sorry.” Kulihat bibirnya yang bergetar menahan
tawa.
“Well, apa kau
merasa lebih baik sekarang?” tanya Liam.
Aku mengangguk pelan padanya. Biasanya jika aku memiliki
sebuah masalah dengan Carl, aku selalu memendamnya seorang diri. Aku tidak
pernah mengatakannya pada orang lain karena mereka tidak akan pernah setuju
dengan hubungan kami. Pernah suatu hari Carl muncul di hadapan mom dan dad.
Saat itu niatnya Carl ingin meminta restu dari mereka, tapi melihat wajah Carl
saja dad tidak mau. Bukan karena status sosial—mengingat Carl juga seorang anak
dari pengusaha sukses—tapi dad tidak suka dengan attitude dan penampilan Carl yang urakan.
Kini aku merasa sedikit bersyukur memiliki kelima—maksudku
keempat pria yang ada di hadapanku sekarang. Mereka sungguh seorang pendengar
yang baik. Sebenarnya Harry juga, hanya saja aku masih sedikit kesal dengannya.
Bukankah ia penyebab dari semua ini?
“Hey.” Sahut Harry menghampiriku. Aku hanya mendongakkan
wajahku ke arahnya. “Ada yang ingin kutunjukan padamu. Bisa kau ikut aku?”
Harry membawaku ke balkon sementara Niall dan Zayn asik
bermain Wii, lalu Liam sibuk dengan ponselnya, kemudian Louis terlihat sedang
menghubungi kekasihnya, Eleanor.
“Ada apa?” tanyaku.
Detik itu juga Harry menyodorkan ponselnya ke arahku. Ia
memperlihatkan sebuah foto yang membuat mulutku terbuka lebar.
What the hell is this??
“Dari mana kau mendapatkannya?” suaraku kembali bergetar.
Lagi-lagi hatiku serasa diiris-iris saat melihat foto-foto Carl dengan dua
orang gadis berambut pirang di sebuah bar. Bahkan aku sempat lupa bernapas saat
melihat foto Carl dan salah seorang gadis pirang itu sedang bercumbu. Tunggu,
bukankah ini semalam? Carl mengenakan kemeja yang sama seperti yang ia kenakan
semalam!
“Dari temanku.” Jawab Harry. “Aku mendapatkannya semalam.”
“How?” kini aku menatap mata hijaunya dengan kalap.
“Aku juga tidak tau. Tiba-tiba saja aku mendapatkannya
tengah malam tadi. Well, ternyata dia
tidak seperti yang kau pikirkan Sheera. Maafkan aku.”
“No. I mean...bagaimana
bisa temanmu mendapatkan foto Carl dan mengirimkannya padamu?”
Harry tersenyum padaku, “Kau tidak perlu tau.”
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Rasanya aku telah
dibodohi. Carl mengatakan aku wanita murahan sementara semalam ia bercumbu
dengan dua orang wanita yang tentunya jelas-jelas murahan?!
“You’re welcome.” tutur Harry. Kemudian ia berjalan masuk ke
dalam.
“Harry.” sahutku. Ia langsung berhenti di ambang pintu dan
sedikit menoleh ke arahku. “Let’s continue the drama.”
......................................................................................................................................................
Sudah hampir satu bulan aku menjadi kekasih palsu Harry. Aku
dihujani banyak cacian, mereka bilang hanya karena aku anak seorang menteri aku
bisa dengan mudahnya mengencani seorang Harry Styles. Tapi tidak jarang ada
fans yang menyebut dirinya sebagai Sharry
shipper—sebuah panggilan untuk orang-orang yang mendukung hubungan kami
(Sheera-Harry). Tidak, bukan jarang. Justru Sharry
shipper jauh lebih banyak dibandingkan fans yang membenci hubungan kami.
Jadi sejauh ini semuanya berjalan dengan cukup lancar.
Aku jamin semua perlakuan para fans padaku tidak separah
dengan apa yang mereka lakukan pada Perrie dan Danielle. Mayoritas dari mereka
menerimaku dengan baik. Untunglah. Lagipula aku kan hanya kekasih bohongannya
saja. Toh, setelah tour mereka
berakhir, hubunganku dengan Harry juga akan berakhir.
-Harry’s
POV-
Sejauh ini semua rencanaku berjalan lancar. Tidak ada lagi
berita miring yang menerpaku. Tidak ada lagi cacian yang mengatakan aku seorang
‘manwhore’, tidak ada lagi
gadis-gadis yang digosipkan denganku. Semua media sedang sibuk dengan Sharry.
Tentu saja aku bisa bernapas lega sekarang. Anne bahkan semakin
sering mengubungiku hanya untuk menanyakan keadaan Sheera. Ia sangat senang
mengetahui bahwa aku berpacaran dengan Sheera sekarang. Begitu pun dengan Mr
dan Mrs Hastings.
Sekarang ini aku dan the
boys sedang menjalani tour untuk mempromosikan album kedua kami. Aku
sengaja mengajak Sheera dalam tour-ku. Awalnya ia sempat menolak karena ia
harus kuliah, namun aku memaksanya, toh
kuliah juga membosankan bukan? Akan lebih menyenangkan jika ia menghabiskan
waktunya bersama kami.
Namun sempat beberapa kali Sheera mengeluh karena merindukan
Carl. Tapi aku berusaha untuk membuatnya agar melupakan pria brengsek itu. Ha.
Aku sendiri saja awalnya tidak percaya saat Matthew mengirimkan sejumlah
foto-foto Carl dengan para gadis penggoda di sebuah bar. Jujur, ini memang
sangat memudahkanku tapi sungguh aku tidak ada hubungannya dengan semua
foto-foto tersebut. Aku hanya menyuruh Matthew untuk mengambil beberapa gambar
dari Carl agar terlihat seperti sebuah skandal, namun ternyata Carl sendiri
yang memasukan dirinya dalam masalah.
“Yeay!” seru Louis sambil melambungkan kedua tangannya di
udara. “Take off your shirt, Harold!”
Shit. Aku kalah lagi.
Dengan segera aku membuka kausku dan melemparnya ke
belakang. Kami berenam sedang berkumpul sambil bermain kartu di kamar hotel.
Sheera sangat hebat dalam hal ini. Belum satupun dari pakaiannya yang ia
lepaskan. Sementara aku sudah hampir telanjang dengan hanya menyisakan boxer-ku.
“Something wrong, miss?” tanyaku begitu aku menangkap Sheera
sedang memperhatikanku—maksudku, tubuhku. Ha!
“Wh-whut? N-no. Nothing.” Jawabnya terbata-bata. Ia langsung
menundukkan wajahnya dan kembali mengocok kartu.
Aha. Aku jadi tertarik untuk menggodanya. “Do you like my
tattoos?”
“Lumayan.” Ujarnya sambil mengangkat kedua alisnya. Kemudian
ia membagikan beberapa kartunya pada kami.
“This one is my favorite.” Aku menunjukan sebuah tattoo
bergambar kapal besar yang ada di lenganku.
Her jaw drops off to the floor. “Wow.” She flipped her hair
now. “Cause of her?”
“No. Tidak ada
hubungannya dengan gadis itu. Hanya saja aku berpikir gambar kapal ini begitu
keren. Bagaimana menurutmu?”
“Cool.” Jawabnya singkat sambil kembali menundukan wajahnya.
“Yeah, I know, ryt!” Aku menyengir lebar dan kembali memulai
permainan.
“FINALLY!” teriak Louis. “Sheera you lose!”
Aku langsung memalingkan wajahku ke arah Louis lalu kembali
ke arah Sheera. Kulihat wajahnya yang kebingungan. Jujur aku ingin tertawa
melihatnya. She looks cute.
“Wh-whu-whut? Am I?” ujarnya terbata-bata.
“Come on! Take it off, Sheera Hastings!”
Kini Sheera menggigit bibir bawahnya. Ia meremas ujung
kemejanya. Ia terlihat ragu untuk melepaskan pakaiannya di hadapan kami. Ah. Good girl.
“No, stahp.” Aku meraih tangannya yang gemetaran. “Ini sudah
malam, waktunya kau untuk tidur. Come on.” Aku mengajaknya berdiri dan kuraih
pakaian dan celanaku tanpa mengenakannya terlebih dahulu.
“Oh no Hazz. Kau
tidak seru ah!” erang Niall.
“Sejak kapan kau menjadi bocah mesum, Nialler?” aku terkekeh
lalu menarik tangan Sheera untuk meninggalkan kamar Niall dan Liam.
“Dan sejak kapan kau tidak tertarik melihat perempuan
membuka bajunya, Hazz?” timpal Louis. Detik itu juga ia, Niall, dan Zayn
menertawakanku.
“Good night, Sheera!” seru Liam.
Sheera memalingkan wajahnya ke arah mereka berempat,
“Night.”
-Sheera’s
POV-
“Thanks, Harry.” tuturku begitu Harry mengantarku hingga ke
depan pintu kamar.
“Don’t mention it.” Ia menyengir lebar padaku. “Good night.”
“Good night, curly.” Aku pun membuka pintu kamarku dan
langsung menyalakan saklar lampu. Tapi tunggu. Mengapa lampunya tidak mau
menyala? Aku menolehkan kepalaku dan kulihat Harry masih berdiri di depan pintu
kamarku.
“Any problem?” tanyanya.
“Lampunya mati.”
“Tunggu sebentar, biar kuhubungi pengurus hotelnya.” Harry
langsung berjalan masuk ke dalam kamarku dan meraih telpon. “Shit.”
“What?”
“Telponnya mati. Well,
biar kuhubungi dari kamarku. Kau tunggu disini.” Tuturnya.
Tunggu? Disini? Seorang diri dalam kegelapan? Gila!
Dengan segera aku mengikutinya dari belakang. Kutatap
punggungnya yang telanjang itu. Sadar bahwa aku membuntutinya hingga ke kamar,
Harry langsung memutar tubuhnya ke arahku.
“What’s wrong?” he frowned.
“Aku takut gelap.”
Harry tergelak, “Kau bisa takut juga ternyata?” kini suara
tawanya lebih keras. Dan kurasakan wajahku memanas dan memerah karena malu.
Lenyap sudah predikatku sebagai gadis ‘kuat dan liar’. “Well, kau bisa tidur di kamarku malam ini kalau begitu.”
“APA?!”
“Apa?” Harry malah balik bertanya.
“Kau bilang aku tidur di kamarmu malam ini?”
“Ya. Memang kenapa? Ada yang salah? Kau bilang kau takut
gelap kan? Atau kau tetap mau tidur di kamarmu sendiri?” ia menyengir lebar.
Kini aku bergeming. Tidak ada pilihan lain. Sial.
“Alright.” Tanpa banyak pikir aku berjalan melewati Harry
dan membaringkan tubuhku di kasurnya. Detik selanjutnya Harry menutup pintu
kamarnya dan menyusulku. “Hey. Kita tidur satu ranjang??”
Harry memalingkan wajahnya ke arahku, “This is my room so
this is mine. And I’ll share my bed with you. Is that clear?”
Aku hanya membuka mataku lebar-lebar dan menegapkan tubuhku.
“What?” tanyanya. “Jangan bilang kau ingin aku tidur di
sofa.” ia tergelak. Namun tidak ada yang berubah dari ekspresi wajahku yang
masih shock. “Oh my God. No, you can’t. Sudahlah Sheera, aku tidak akan
menyentuhmu. Promise.”
“Tapi kau—“
“Hey, come on. Jangan
mulai.” Sela-nya. “Tidurlah.”
Aku menelan ludah sebelum kembali membaringkan tubuhku. Aku
meraih sebuah guling dan menaruhnya di tengah-tengah kami. “Jangan
berani-berani melewatinya.”
“Pffftt. Okay. I won’t.” He chuckled.
Aku langsung memutar tubuhku dan memunggunginya. “Good
night, Harry.” kupejamkan kedua mataku yang memang sudah terasa berat sejak
awal.
“Good night, sweetheart.”
Sontak, aku membuka kedua mataku lagi. Ia bilang apa tadi? Sweetheart?
Aku memutar kepalaku dan kulihat Harry yang sudah memejamkan
matanya. Damn, he looks so cute when he
sleeps.
Wait, wait, wait. What are you thinking?! Stahp, Sheera.
Don’t go any further!
......................................................................................................................................................
Entah apa yang telah terjadi padaku. Sejak kejadian malam
itu aku jadi sering salah tingkah di hadapan Harry.
Ya Tuhan, Sheera! Kau hanya tidur satu ranjang dengannya dan
tidak terjadi apa-apa mengapa kau jadi seperti seorang idiot sih??
Tapi, ya ampun. Ini sudah satu minggu dan setiap kali Harry
muncul di hadapanku aku selalu menghindar. Dan memang jujur saja saat itu aku
tidak bisa tidur tenang. Beberapa kali aku membuka mataku dan menoleh ke
arahnya hanya untuk melihat wajahnya saat sedang tidur. Memperhatikan
lekuk-lekuk wajahnya yang membuat jantungku berdegup kencang. Melihat rambut
keritingnya yang sangat ingin kusentuh.
Ah Sheera! Kau ini kenapa??
“Are you done yet, babe?” tiba-tiba Harry masuk ke ruang make-up dan menghampiriku. Kami sudah
kembali ke London untuk beristirahat selama beberapa hari, dan hari ini aku
diminta olehnya untuk datang menemaninya ke sebuah acara awards yang artinya
aku akan bertemu dengan banyak artis terkenal?? WOW.
“Satu sentuhan lagi Harry.” jawab Lou Teasdale yang sedang
menata rambutku. “Now it’s done. She’s flawless.”
“Perfect.” Timpal Harry sambil menyengir lebar padaku dari
pantulan cermin. “Come on, babe.”
-Harry’s
POV-
“Harry.” sahut Sheera.
“Yes, babe?”
“Geez. Bisakah kau
berhenti memanggilku ‘babe’?”
“Why, babe?” aku terkekeh berusaha menahan tawa.
Sheera memutar bola matanya dan memandangi jalanan dari
jendela mobil. “Terserah.” Gumamnya.
Sesampainya di Red Carpet, aku, the boys, dan Sheera
langsung turun dari dalam limo. Kupersilahkan Sheera menuruni mobil bak seorang
putri. Awalnya Sheera menolak untuk menemaniku di acara awards, tapi aku
memaksanya. Mau tidak mau ia harus ikut. Mana lagi Taylor juga datang di acara
penghargaan ini. Tentu saja aku harus membawa Sheera bersamaku bukan?
“Jangan lupa untuk tersenyum dan jaga cara berjalanmu.”
Bisikku tepat di telinga Sheera.
“Kau sudah mengatakannya 12 kali sejak siang tadi, Harry.”
“Kau menghitungnya?”
“Menurutmu?” ia memutar bola matanya dariku. Well, kalau bukan karena penampilannya
yang mempesona dan menghipnotisku malam ini, mungkin aku sudah kesal dengannya
sekarang.
Kami berlima pun datang di red carpet dan mengambil beberapa
foto, lalu aku menarik Sheera untuk berjalan di red carpet bersamaku. Kami melakukan
beberapa pose intim di hadapan media. Kulingkarkan lenganku di pinggulnya, dan
Sheera menaruh sebelah tangannya di dadaku. Kami tersenyum lebar bak pasangan
sungguhan yang terlihat begitu bahagia. Lalu detik itu pula Taylor muncul dan
berjalan red carpet—seorang diri.
-Author’s
POV-
Acara penghargaan musik malam ini terkesan sedikit canggung
bagi Sheera. Walaupun ini pertama kalinya ia menghadiri acara semacam ini, tapi
ia memang merasa tidak begitu menikmatinya. Selain karena ia harus mengenakan
sebuah gaun yang ketat dan khawatir ia akan merusak gaunnya sendiri, sedari
tadi Sheera menangkap Harry yang beberapa kali melirik ke arah Taylor yang
duduk cukup jauh dari mereka berenam.
“Harry, are you okay?” tanya Sheera.
“Tidak. Tidak ada apa-apa. Well, sebentar lagi kami harus tampil. Aku dan yang lain harus ke backstage sekarang. Apa kau mau ikut
dengan kami?”
Sheera mengangguk. Ia tidak mau duduk seorang diri di bangku
penonton sementara kursi di sampingnya kosong semua.
Begitu masuk ke dalam backstage,
Sheera menunggu di ruang make-up One
Direction. Entah mengapa kali ini perasaan Sheera menjadi tidak enak. Ia
seperti mengkhawatirkan sesuatu. Berkali-kali ia bergumam dan mengulang
perkataan yang sama di dalam hati dan pikirannya.
‘There’s nothing to be
worried. There’s nothing to be worried.’
‘My dress
still looks fine, my hair isn’t messy, so everything is under control. You’re
okay. But, what happen with you Sheera?’ Batinnya.
Ini sudah hampir lima belas menit dan the boys belum kembali
dari atas panggung? Padahal jelas-jelas dentuman musik ‘Kiss You’ sudah lenyap.
Tapi tiba-tiba Sheera merasa dadanya sesak. Ia pun memutuskan untuk menunggu
the boys selesai tampil di luar ruang make-up.
Namun sesuatu langsung membuat mulutnya terbuka lebar.
Ya. Harry flirts with Taylor on the corner.
Mereka terlihat terkekeh dan tertawa bersama. Terlihat
begitu bahagia.
-Sheera’s
POV-
Apa aku salah liat? Mereka berdua....apa yang mereka
lakukan??
“Sheera?” kudengar suara yang begitu familiar memanggil namaku.
Dan benar saja saat aku menolehkan kepalaku ke sumber suara, kulihat Louis
datang bersama Niall, Zayn, dan Liam di belakangnya.
“He-hey Lou. Bagaimana perform-nya?”
“Amazing.” Ia tersenyum lebar padaku.
“Apa yang kau lakukan di luar sini?” tanya Liam.
“No-nothing. Well,
Liam. I think I should go now.”
“What?” tanya Zayn.
“Kau mau kemana?” timpal Niall.
“Aku tidak enak badan. Well,
sampaikan salamku pada Harry. Maaf aku tidak bisa menemaninya hingga—“
“Is that Harry?” Louis cut me off.
Ia menyadari Harry yang sedang berbincang-bincang dengan
Taylor di ujung koridor. Detik itu juga aku langsung berjalan melewati mereka
berempat dan keluar meninggalkan lokasi. Entahlah, tiba-tiba saja aku merasa
mual. Atau mungkin lebih tepatnya muak. Aku mengerti sekarang. Harry
‘menggunakanku’ bukan untuk menghindari berita-berita miring, tapi untuk
membuat Taylor cemburu sehingga ia bisa mendapatkannya kembali.
-Harry’s
POV-
Ada sesuatu yang aneh pada Sheera. Sudah beberapa hari ini
ia tidak banyak bicara. Ia berubah. Ia bukan hanya menghindariku saja, ia
menjawab pertanyaanku dengan sinis. Ada apa dengannya?
Ia marah padaku? Hey, seharusnya aku yang marah padanya! Ia
yang begitu saja meninggalkan acara penghargaan tempo lalu! Tidakkah ia
berpikir bahwa kelakuannya itu membuat banyak media bertanya-tanya karena kami
pulang secara terpisah?
“Sheera!” sahutku. Kuraih tangannya dan memutar tubuhnya
yang begitu ramping itu. “What happened with you? Are you mad at me?” I
frowned.
“No.” Ujarnnya singkat. Bahkan menurutku itu bukan sebuah
jawaban, tapi hanya sebuah gumaman yang tidak ada artinya.
“Oh yes you are. Tell me, what happened with you?”
Sheera menangkis tanganku dan menatapku dalam-dalam. “I’m
tired.”
“Of what?” tanyaku bingung.
“You. I’m tired of you Harry.” bibirnya bergetar. Dapat
kulihat air mata yang tertimbun di ujung matanya. “Aku ingin mengakhiri semua
ini. Katakan saja pada media bahwa aku punya kekasih lain dan lebih memilihnya
dibanding kau, Hazz, jadi image
orang-orang mengenaimu tidak akan jatuh.” Tuturnya terburu-buru. “I’m sorry.”
Ia langsung memutar tubuhnya dan masuk ke dalam kamar.
What the hell is wrong with her??
......................................................................................................................................................
“APA?! MENGAPA KALIAN TIDAK MENGATAKANNYA PADAKU SEJAK
DULU?!” bentakku pada keempat sahabatku. Mereka memasang tampang tidak
berdosa—atau lebih tepatnya bodoh.
“Karena kami pikir mungkin itu tidak ada hubungannya dengan
semua ini, Hazz. We’re so sorry.”
“Jk. Alright, yang
penting sekarang kalian sudah mengatakannya padaku. Thanks.” Aku langsung berjalan masuk ke dalam kamar. Aku duduk di
tepi ranjang dan menutup wajahku dengan kedua tanganku. Terlihat seperti orang
depresi. Ya. Memang.
Liam dan yang lainnya baru berkata padaku bahwa Sheera pergi
begitu melihat aku dan Taylor sedang berbincang-bincang berdua di backstage tempo lalu. Awalnya aku memang
mengira hal seperti itu tidak akan terjadi, tapi Taylor yang mulai menyapaku
dan mengajaku mengobrol. Akan terkesan kasar jika aku menolaknya bukan?
Tapi ya Tuhan. Mengapa Sheera sampai marah? Bahkan ia sampai
pergi meninggalkan apartemen kami begitu saja beberapa hari yang lalu. Apa
benar ia marah karena hal ini? Mengapa? Is
she jealous?
Kuraih ponselku di saku dan menjentikan jari-jariku di layar
ponsel.
To: Sheera
From: me
I’m so
sorry. I know why you mad at me. But that was not like it seemed, Sheera.
.xx
Okay, sent.
Wait, No.
Kalau aku salah dan terlalu percaya diri bagaimana?
Aku kembali menghapusnya dan kembali mencari kata-kata
To: Sheera
From: me
Are you
mad at me cause of her? Taylor?
Ya. Sent.
Wait, no no no.
Shit! Aku harus bilang apa??
To: Sheera
From: me
I need to
talk to you.
Please.
Meet me
at Starbucks in ten minutes.
.xx
This! Sent.
......................................................................................................................................................
Sudah setengah jam aku menunggunya di Starbucks, tapi Sheera
tidak kunjung muncul. Kulihat jam di ponselku berkali-kali dan memperhatikan
langit dari jendela besar. Ini sudah hampir larut malam.
Sambil menunggu Sheera, aku meladeni beberapa fans yang
meminta foto bersama.
“Aku senang melihatmu bersama dengan Sheera. You both are so
cute. You’re so fit togehter.” She smiled at me.
Aku membalas senyumannya, “Thanks.”
“I think she’s so lovely. Please get married.” Ujar temannya
yang satu lagi.
Aku tertawa kecil, “Yeah, she is. Well, akan kusampaikan
semua pujian kalian padanya.”
“Thanks Harry.”
Kini sudah hampir satu jam dan Sheera masih belum menunjukan
batang hidungnya. Dengan segera kuraih ponselku dan mencoba untuk
menghubunginya, namun detik itu juga seorang gadis dalam balutan blazer
berwarna putih dan celana legging berwarna hitam muncul. Rambut hitamnya yang
tergerai bebas membuat mataku terpaku memandanginya. She’s so beautiful. Stunning.
Kemudian gadis itu meraih ponsel di dalam tas Chanel-nya dan
memandangku dengan tatapan bingung.
“Sorry I’m late.” Gadis itu datang menghampiri dan duduk di
kursi kosong di hadapanku.
Aku menggelengkan kepalaku beberapa kali untuk menyadarkan
diri, “It’s okay. Aku juga baru datang.”
“Jadi ada apa?” tanyanya to
the point.
“Uh...ka-kau m-mau minum apa?”
Well, mengapa aku terbata-bata seperti ini?
“Aku datang kesini karena kau bilang kau ingin bicara
denganku, Harry. Bukan untuk minum kopi.”
“Alright, sorry.” Aku berdeham kali ini, “Well, aku ingin minta maaf padamu,
Sheera. Aku tau kau masih marah padaku karena...”
Tunggu, apa kau akan mengatakannya dengan begitu percaya
diri Harry? Kau konyol!
“Apa?” Sheera mengerutkan keningnya.
“Karena....” aku mati-matian berusaha untuk mencari
kata-kata yang tepat. “Sudahlah, Sheera, kau jujur saja. Kau marah padaku
karena melihatku....” lagi-lagi aku tidak sanggup menyelesaikan kata-kataku.
Sheera tergelak dan menyipitkan matanya ke arahku, “Kau ini
kenapa?”
“Um...apa kau marah karena...”
“Katakan saja Harry. Walaupun akan terdengar bodoh pun aku
tidak akan marah. Katakan.”
Aku menelan ludah, “Kau cemburu melihatku berbincang-bincang
dengan Taylor?”
Kini matanya terbelalak ke arahku. Bahkan Sheera membuang
wajahnya lalu menunduk. Tidak lama kemudian ia tergelak dan kembali menatapku
dengan ragu, “Mengapa kau berpikir seperti itu?”
“Karena memang terlihat seperti itu.”
Lagi-lagi Sheera membuang mukanya, “Jadi kau masih
menyukainya?” tanyanya parau.
“Whut?” aku terkekeh sekarang.
Sheera memandang ke arahku lagi, “Mengapa kau tertawa? Ada
yang lucu?”
“Ya. Kau.” Suara tawaku lebih keras kali ini. “Ya Tuhan,
Sheera mengapa kau berpikir seperti itu? Tentu saja aku sudah tidak memiliki
perasaan apapun padanya. Saat itu aku tidak tau harus bagaimana, ia menyapaku
lalu mengajaku sedikit berbincang-bincang. Akan terkesan begitu tidak sopan
jika aku menghindarinya. Demi Tuhan, Sheera. Kami tidak—“ She cut me off.
“But it looked like you were flirting with her.”
Aku tergelak, “Setiap kali aku mengobrol dengan wanita,
selalu terlihat seperti itu. Bukankah kau tau itu, Sheera Hastings? Percayalah,
tidak ada yang kami bicarakan selain masalah karir dan menanyakan kabar satu
sama lain.”
Sheera kembali menundukan wajahnya. “Alright.”
“Jadi...” aku tidak menyelesaikan kata-kataku.
Sheera kembali mendongakkan wajahnya, “Jadi apa?”
“Kau benar-benar cemburu?”
Kali ini gilirannya yang terkekeh, “You’re ridiculous.”
Detik itu pula Sheera berdiri dan berjalan meninggalkanku. Ada yang salah?
“Hey, where are you going? Sheera....Sheera!” aku berdiri
dan langsung mengejarnya keluar. Kuraih tangannya dan memutar tubuhnya, “Come
back, please.”
Sheera mengerutkan keningnya, “Aku—“
“I need you. Come on.” Kutarik tangannya dan menyuruhnya
masuk ke dalam Range Rover-ku.
“Your typical.” Gumamnya. Aku hanya bisa terkekeh dan
menginjak pedal gas menuju apartemen.
-Sheera’s
POV-
Sesampainya di apartemen, the boys menyambut kedatanganku
kembali. Sudah beberapa hari kami tidak bertemu dan bercanda bersama. Mereka
sudah seperti saudara-saudaraku sendiri.
“So, guys. Besok kita akan terbang ke Scotland.” Ujar Liam.
“WOOHOO! Scotland, baby!” seru Louis.
Semalaman ini kami berenam menghabiskan waktu untuk bermain
Wii. Namun karena mataku sudah terasa berat, aku pamit untuk tidur duluan pada
mereka berlima. Kulangkahkan kakiku menuju kamarku dan menyalakan saklar lampu.
Mengapa tidak mau menyala?
Kupencet saklar lampunya berkali-kali namun tetap saja tidak
mau menyala. Mengapa ini selalu terjadi padaku??
“I’ll share my bed.” Tutur Harry dengan suara seraknya yang
khas itu. Aku memutar tubuhku dan kulihat senyum Harry yang menyeringai.
“Oh no.” Gumamku. Aku membuka mataku lebar-lebar lalu
berjalan masuk ke dalam kamarnya yang berada tepat di samping kamarku.
Dapat kudengar Harry terkekeh lalu berjalan membuntutiku
dari belakang. “Mengapa kau mengikutiku?”
“Aku juga mau tidur.” Ujarnya sambil membuka pakaian dan
celananya.
Aku hanya memutar bola mataku. Untung saja sepulang dari
Starbucks tadi aku sudah berganti pakaian santai. Aku jarang tidur dengan
piyama.
Aku pun membaringkan tubuhku di kasur dan menaruh sebuah
guling di tengah-tengah. Tidak lama kemudian Harry menyusulku.
“Hey.”
“Hmm?” gumamku sambil memunggunginya.
“Boleh aku bertanya sesuatu?”
“Ya.”
“Apa yang kau suka dari Carl?”
Sontak aku langsung memutar tubuhku dan menatapnya heran.
“Mengapa kau bertanya seperti itu?”
“Kau jawab dulu pertanyaanku.”
“No, you first.”
“But I ask you first. Come on, answer it Sheera.”
Ugh. Okay he wins.
“Aku merasa nyaman berada di dekatnya.”
“Lalu?”
“Itu saja.”
“Apa kalian sudah ber—“
“Sekarang jawab pertanyaanku.” Aku memotong ucapannya.
“Tidak. Tunggu dulu. Apa ia sudah menidurimu?”
Sontak aku langsung melemparkan guling yang ada di
tengah-tengah kami ke wajahnya. “Mengapa kau bertanya seperti itu?!”
“Hey, apa salahnya? Well,
sudahlah aku yakin kalian belum pernah melakukannya bukan? Bahkan aku ragu jika
ia sudah menciummu.” Ia tergelak.
Aku tidak bisa berkata apa-apa sekarang. Bagaimana ia bisa
tau??
“Ya Tuhan, Sheera? Jadi benar bahwa kalian belum pernah
berciuman?” kini tawa Harry meledak. “He’s a gay?” Ia begitu puas menertawaiku
sementara pipiku merah padam karenanya.
“Terserah kau. Aku mau tidur.” Aku kembali memunggunginya
dan menenggelamkan wajahku di bantal.
Aku memang selalu menghindar setiap kali Carl hendak
menciumku. Entahlah, aku merasa tidak pernah siap setiap kali ada kontak fisik
diantara kami. Aku juga tidak tau apa alasannya. Tubuhku yang selalu menolak.
......................................................................................................................................................
Kini sudah empat bulan lamanya drama Sharry berlangsung. Jika sesuai dengan rencana, maka mulai minggu
depan aku tidak perlu lagi menjadi kekasih bohongan Harry. Kami akan kembali
menjalani rutinitas masing-masing. Tapi, apa yang harus kukatakan pada mom dan
dad? Mereka pasti kecewa jika tau bahwa kami putus—atau mungkin bisa dibilang
pura-pura putus karena kami tidak pernah benar-benar berpacaran. Mereka begitu
menyukai Harry. Sama halnya dengan Anne terhadapku.
“Harry.” sahutku.
“Hmm?” gumamnya. Ia terlihat begitu asik dengan ponselnya.
Jarang-jarang ia membalas mention
dari fans.
“Haruskah kita memberitahu kedua orang tua kita mengenai
semua ini?”
“You don’t need to be worried.” Harry menepuk-nepuk puncak
kepalaku yang menyender di bahunya. Ya, seiring berjalannya waktu kami semakin
dekat. Bahkan beberapa hari yang lalu Harry mencium pipiku di hadapan
paparazzi, tentu saja alasannya untuk memperkuat kabar mengenai hubungan kami.
“Lalu apakah setelah ini semua berakhir kita akan bertemu
lagi?”
Kini Harry memalingkan wajahnya ke arahku. Aku mengangkat
kepalaku dan menemukan sorot matanya yang sedikit terkejut.
“Uh—“
“Well, maksudku,
kau tau. Mereka sudah seperti keluarga bagiku.” Aku melirik ke arah keempat
pria yang sedang asik bermain xbox, kecuali Liam yang sedang sibuk dengan
laptopnya.
“Tentu saja. Kita bisa bertemu kapanpun.”
Aku tersenyum ke arah Harry. “Glad to hear that.” Aku
kembali menaruh kepalaku di pundaknya. Mungkin jika dilihat-lihat, kami
sekarang benar-benar seperti sepasang kekasih sungguhan. Tidak ada drama di
antara kami.
-Harry’s
POV-
Aku tercengang ketika Sheera berkata seperti itu. Kukira ia
sedih karena tidak akan bertemu lagi denganku. Jujur, jantungku sempat berdegup
kencang. Tapi sayangnya, ternyata itu semua karena keakraban kami lah yang
membuatnya sedih jika kami tidak dapat bertemu lagi. Dan aku sedikit kecewa
dengan itu.
Tunggu, apakah aku berharap lebih padanya?
No. No
way.
But,
well, yes way?
Bagaimana jika aku ternyata menyukai Sheera? Ya, aku memang
menyukainya. Tapi bagaimana jika ternyata perasaan sukaku lebih dari sekedar
teman? Am I?
Well, bukankah itu bagus? Berarti kami tidak perlu lagi
merekayasa hubungan ini. Tapi bagaimana jika Sheera tidak merasakan hal yang
sama terhadapku?
“Sheera.”
“Ya?”
“Let’s having dinner with me tonight.”
......................................................................................................................................................
“Tumben-tumbenan kau—“ I cut her off.
“Sudah lama kita tidak terlihat pergi keluar berdua. Jadi
tidak ada salahnya bukan jika kita pergi makan malam di restoran?”
Sheera menaikan alisnya, “Darimana kau tau tempat ini?”
“Louis. Ia bilang ini tempat yang bagus untuk makan malam
romantis di Paris.”
Sheera tergelak, “Tapi mengapa tempat ini sepi sekali?”
“Itulah sebabnya mengapa tempat ini cocok untuk pasangan
muda yang dimabuk cinta dan tidak ingin diganggu oleh siapapun.”
Kini suara tawa Sheera mengeras. Aku suka suara gelak
tawanya yang nyaring itu. Selalu membuatku ingin tersenyum saat mendengarnya.
“Kau bisa saja.”
“Sheera.” Aku meraih tangannya. Kulihat sorot matanya yang
menatapku canggung.
“A-ada apa?”
“Tidakkah sebaiknya jika kita...” aku berdeham sebelum
melanjutkan kata-kataku. “Jika kita memperpanjang jangka waktu mengenai semua
ini?”
Sheera tergelak, “Apa maksudmu?”
“Kita masih bisa berpura-pura berpacaran selama enam bulan
lagi. Atau mungkin satu tahun?” aku merendahkan suaraku.
Sheera terkekeh sekarang, “Kau gila. Mengapa kau tiba-tiba
berkata seperti ini?”
“Karena aku tidak mau jauh darimu.” Ujarku hampir bergumam.
“Huh?”
“Uh, maksudku. Aku nyaman berada dekat denganmu Sheera. Aku
ingin kau terus bersamaku—mak-maksudku bersama kami— Kau mau kan?”
“Kau bilang kita masih bisa bertemu—“
“Ya. Tapi aku ingin kau berada di dekatku setiap saat.”
Ujarku terburu-buru. “Atau mungkin kita bisa benar-benar berpacaran sungguhan?
Bagaimana?”
Namun Sheera justru terkekeh. “Kau bercanda? Mengapa
tiba-tiba kau berkata seperti itu?”
Tidakkah ia sadar bahwa aku menyukainya?
Hey,
Sheera Hastings. Aku menyukaimu.
Argh! Mengapa kata-kata itu begitu sulit untuk dilontarkan??
“Tidak. Lupakan saja. Aku hanya bercanda.” Tuturku.
-Sheera’s
POV-
Tidak.
Lupakan saja. Aku hanya bercanda.
Mengapa rasanya sakit? Mengingat kata-kata Harry saat makan
malam tadi membuatku sedikit kecewa. Tidak. Sangat kecewa lebih tepatnya.
Ah ada apa denganmu Sheera Hastings? Jangan bilang kau jatuh
cinta pada seorang Harry Styles! Kau tau kan ia pria yang bagaimana? Bisa-bisa
kau lelah sendiri jika benar-benar berpacaran dengannya. Menjadi kekasih
bohongannya saja kau sudah dibuat patah hati.
Kini apa yang harus kulakukan? Lagipula mengapa Harry jadi
tiba-tiba melantur seperti itu sih?
......................................................................................................................................................
Kukerjapkan mataku beberapa kali dan kulihat Harry bersender
di punggung tempat tidur sambil memencet tombol remote. Selama di Paris aku
sekamar lagi dengannya karena kamar hotel di tempat kami menginap sudah penuh.
Jadi mau tidak mau kami menginap di satu kamar.
“Morning sleepyhead.” Ujarnya tanpa melirik ke arahku
sedikitpun.
“Harry.” suaraku terdengar meraung saat baru bangun tidur.
“Ya?”
“What time is it?” Aku bangun dan menegapkan tubuhku.
“11 A.M.”
“Umh...Ada yang ingin aku bicarakan.” kuraih sebelah
tangannya yang menganggur.
“Tidak mau. Kau belum mandi.”
Aku menyipitkan mataku. Ugh.
Aku pun beranjak dari tempat tidur dan menginjakkan kakiku
di lantai. Namun Harry justru menarik tanganku hingga membuatku kembali
terduduk. “I’m joking. ‘Sup?” He giggled.
“Mengapa semalam kau berkata seperti itu padaku?”
Harry bergeming selama beberapa saat. “Kan sudah kubilang—“
“Ya, aku tau kau bercanda. Tapi, Harry....” aku tidak
melanjutkan kata-kataku.
“Apa?” Ia menatapku dalam-dalam. Shit. His green orbs’ driving me insane.
“Tidak. Tidak jadi. Lupakan saja.” aku pun kembali beranjak
dari kasur. Namun lagi-lagi Harry menarik tanganku dan membuatku terduduk lagi
di tepi kasur. Akan tetapi, detik itu juga aku merasakan sesuatu yang lembut
dan hangat di bibirku.
-Harry’s
POV-
Sudah hampir satu minggu Sheera menghindar dariku. Sejak
tiba-tiba aku mencium bibirnya ia jadi banyak berubah. Kali ini benar-benar
berubah. Ia menghindar, menatapku sinis, enggan menjawab pertanyaanku, tidak
pernah membalas sapaanku, dan satu lagi—ia jadi sering marah-marah padaku.
Padahal aku sudah minta maaf padanya. Tapi Sheera selalu
berkata ‘tidak apa-apa’, ‘tidak perlu kau pikirkan’, ‘aku tidak marah’, ‘aku
sudah melupakannya’. Tapi lihat kenyataannya!
Jujur saat aku menciumnya pun aku seperti seseorang yang
hilang kendali. Aku nekat melakukan itu karena tidak tahan. Aku tidak tahan
memendam perasaan sukaku padanya. Tapi bodohnya aku. Mengapa aku justru menciumnya?
Beberapa hari lagi kesepakatan antara aku dan Sheera akan
berakhir. Kami sudah kembali ke London. Dengan keadaan yang begitu canggung
antara aku dan Sheera, the boys berusaha untuk selalu mencairkan keadaan selama
di pesawat tadi.
Sesampainya di airport kami mengantar Sheera hingga ke
rumahnya. Semua pelayannya—termasuk Anna, menyambut kedatangan kami dengan
hangat. Tidak terlihat bahwa kedua orang tua Sheera berada di rumah. Ternyata
mereka berdua sedang pergi ke New York untuk beberapa hari.
“Ini bukan rumah. Ini istana!” sahut Louis.
“Apa kau punya gudang makanan, Sheera? Biasanya orang-orang
dari kalangan konglomerat selalu memiliki ruang pendingin sebesar kamar tidur.”
Timpal Niall.
“Ya, we have.”
“Seriously? Bisa
kau membawaku kesana sekarang juga??”
“Not now.” She giggled. “Jadi apa kalian mau sleep over di rumahku?”
“Why not?” ujar mereka berempat bersamaan penuh semangat.
......................................................................................................................................................
Sheera masih mengacangiku. Sedari tadi ia hanya asik bermain
monopoli dengan Zayn, Niall, Louis, dan Liam. Sementara itu aku hanya duduk di
balkon kamarnya sambil memandangi langit yang sudah gelap.
Mulai besok Sheera tidak akan bersama kami lagi. Mulai besok
Sheera tidak akan berada di dekatku lagi. Mulai besok Sheera tidak akan menaruh
kepalanya di pundakku lagi. Dan mulai besok aku tidak akan melihat wajahnya
lagi.
Apa kau siap untuk itu Harry?
Tidak. Aku tidak siap. Aku masih ingin bersama dengannya
untuk waktu yang lebih lama. Tapi bagaimana caranya? Keadaan kami tidak
mendukung. Sheera masih marah padaku. Lalu mau bagaimana lagi?
Tunggu, Harry. Apa kau telah jatuh cinta padanya? Mengapa
kau begitu takut kehilangan gadis ini?
“Kau tidak kedinginan? Masuklah. Yang lain sudah mau kembali
ke kamar mereka masing-masing.” Tanya Sheera memecahkan lamunanku.
Aku hanya mengangguk padanya lalu bangkit dari kursi dan
berjalan meninggalkan kamar Sheera bersama yang lain.
“Sheera.” Aku memutar tubuhku dan menahannya sebelum ia
sempat menutup pintu kamar. Aku menelan ludah.
Aku harus mengatakannya...
“Good night.” Tuturku.
Shit! Bukan itu yang mau kukatakan!
“Good night.” Detik itu juga ia membanting pintunya tepat di
hadapanku. “Stupid.” Gumamku pada diriku sendiri.
......................................................................................................................................................
Pagi harinya kami berlima menyantap sarapan pagi di ruang
makan keluarga Hastings yang begitu besar dan luas. Niall menagih janji Sheera
untuk membawanya ke ruang pendingin besar. Entah apakah karena kami sama-sama
penasaran atau seperti orang kampung, kami semua mengikutinya untuk melihat
lemari pendingin besar yang dipenuhi dengan banyak makanan. Niall terlihat
begitu bahagia bahkan ia membawa beberapa untuk dimakan oleh dirinya sendiri.
Setelah mengelilingi rumah kediaman Hastings, kami berlima
bersenang-senang di halaman rumahnya. Niall dan Louis langsung membuka baju dan
celana mereka lalu meloncat ke dalam kolam.
“Come on, Hazz!” ajak Louis.
Aku menggeleng, “No, thanks.”
Moodku hancur setelah semalam gagal menyatakan perasaanku
pada Sheera. Aku hanya bisa memandangi kelakuan bodoh mereka yang kemudian
disusul oleh Liam. Zayn yang tidak bisa berenang hanya duduk di kursi santai
sambil meminum jus jeruk.
“Mengapa kau tidak bergabung, Hazz?”
“Tidak apa-apa. Hanya sedang malas.” Jawabku tanpa menoleh
ke arah Zayn. Namun karena bosan aku melangkahkan kakiku ke dalam rumah dan
mendapati Sheera sedang berbicara dengan seorang pria. Yang tidak lain dan
tidak bukan adalah....Carl.
What the—??
Aku memperhatikan mereka dari kejauhan, entah apa yang
sedang mereka bicarakan, akan tetapi Carl mendapatiku dari ujung matanya.
Sedetik kemudian ia datang menghampiriku dan melayangkan pukulannya tepat ke
wajahku.
.....................................................................................................................................................
“Harry I’m so sorry.” Sheera menangis terisak-isak sambil
mengobati luka lebam yang ada di wajahku.
“It’s okay, Sheera.”
Ternyata Carl datang untuk meminta Sheera kembali padanya.
Untung saja Sheera menolaknya, jadi aku bisa bernapas lega. Akan tetapi Carl
tau bahwa akulah yang menunjukan foto-fotonya dengan wanita-wanita penggoda di
sebuah bar. Well, apakah perbuatanku
itu salah? Kurasa Sheera justru berterima kasih karena aku telah menunjukan
siapa Carl sebenarnya.
“Jangan menangis.” aku menghapus air mata yang membasahi
pipinya. “Hanya dipukul seperti ini bukan apa-apa bagiku. Bahkan rasanya seperti
digigit nyamuk.”
Sheera tersenyum dan tergelak dalam isak tangisnya. “You’re
idiot.”
Tiba-tiba aku meringis kesakitan saat Sheera menaruh plester
di wajahku. “Kau bilang tidak sakit.”
“Aku bilang seperti digigit nyamuk. Memang kau kira digigit
nyamuk itu tidak sakit?”
Sheera hanya menatapku bingung lalu kembali membereskan
barang-barang di kotak P3K-nya. Saat ia hendak berdiri aku langsung menarik
tangannya hingga ia terududuk kembali. Mata Sheera langsung terbelalak ke
arahku. “Kau tidak perlu takut. Aku bukan akan menciummu.” Aku terkekeh selama
beberapa saat. “Thank you.”
“You’re welcome.” Sheera tersenyum simpul lalu kembali
berdiri dan meninggalkanku di ruang tengah seorang diri.
.....................................................................................................................................................
Hari sudah gelap dan kini kami berlima bersiap-siap untuk
kembali ke rumah masing-masing. Liam, Louis, Zayn, dan Niall berpamitan pada
Sheera dan memeluknya. Begitupun denganku. Keadaan kami yang sudah mulai
mencair pun membuatku lebih mudah untuk mengajaknya bicara.
“Kau tenang saja. Mulai besok aku akan mengatakan pada media
bahwa hubungan kita sudah berakhir. Serahkan padaku.” tuturku dengan teramat
berat hati. “Terima kasih untuk semua bantuanmu, Sheera.”
Sheera menggeleng dan menundukkan kepalanya, “Kau tidak
perlu berterima kasih. Justru akulah yang harus berterima kasih padamu—dan
keempat sahabatmu. Karena kalian sekarang aku memiliki lima orang teman yang
begitu konyol dan menggelikan.”
Teman?
That’s
hurt.
“My pleasure Sheera.” Ujar Liam.
“Kami juga senang memiliki teman sepertimu, bahkan aku sudah
menganggapmu seperti adikku sendiri.” timpal Zayn.
“Come on guys, let’s leave these two lovebirds alone!” tutur
Louis sambil memberikan isyarat padaku dari sarat matanya. Detik selanjutnya
mereka berempat pergi meninggalkan kami berdua menuju mobil van milik kami.
Aku menelan ludah dan mengacak-ngacak rambutku. “Umm...
Sheera.”
“Ya?”
“Ada yang ingin kukatakan padamu.”
“Apa?”
Aku menelan ludah sekali lagi. Oh ayolah Harry. Kau seperti
belum pernah mengatakan suka saja. Tapi, ya, memang aku mengakui kali ini
berbeda. Aku benar-benar menyukai Sheera. Even
I fall for her....
The end
of the night
We should
say goodbye
But we
carry on
What
everyone’s gone
Never
felt like this before
Are we
friends or are we more?
As I’m
walking towards the door
I’m not
sure
“A-aku.” Aku memutar bola mataku lalu menatapnya lagi.
“Akumenyukaimu.” Ujarku cepat.
“What?”
“No. I mean— I’minlovewithyou.”
-Sheera’s
POV-
Of course
I hear that. Sontak degup jantungku langsung tidak
karuan. He’s in love with me?
But why? Bagaimana bisa? Ia bercanda?
“Is it another joke like—“
“No. I’m not joking. I’m serious.” He cut me off.
“Tapi—“
“Do you feel the same way with me?”
“I...don’t know.”
“Oh please, Sheera.
Yes or no? Hanya jawaban itu yang ingin kudengar darimu.” Ujarnya memelas.
“Entahlah Harry. Aku merasa ucapanmu tidak masuk akal.” Aku
langsung berjalan melewatinya dan membuka pintu rumahku lebar-lebar. “Kau bisa
pergi sekarang. Bisa-bisa mereka meninggalkanmu.”
“They’ll wait for me. Don’t worry.” Harry berjalan mendekat
ke arahku. “Sekarang jawab aku Sheera.” Ia meraih tanganku sekarang. “Aku
mengerti mengapa kau berkata bahwa ucapanku tidak masuk akal. Tapi percayalah
seiring berjalannya waktu, kau telah membuatku menyukaimu, bahkan aku telah
jatuh cinta padamu, Sheera Hastings. Kumohon. Percayalah padaku.”
Aku langsung menarik tanganku dan membuang muka darinya,
“Mereka menunggumu dari tadi Hazz.”
“Mereka akan mengklakson jika memang—“
“Please Harry. Just go.” I cut him off. Napasku tersengal.
Sulit bagiku untuk percaya dengan kata-katanya. Atau mungkin lebih tepatnya aku
kaget mendengar ucapannya yang terkesan begitu terburu-buru. Tapi demi Tuhan, I do feel the same way like him.
“Alright. I’ll go now.” Ujarnya parau. Harry melangkahkan
kakinya keluar dari rumahku secara perlahan.
-Harry’s
POV-
“Sheera.” Sahutku sebelum ia menutup pintu rumahnya yang bak
istana. Ia menatapku nanar, “I love you.” Tuturku. Aku menatapnya selama
beberapa saat, berharap ia akan memberikan respon, namun percuma. Aku pun memutar
tubuhku dan berjalan menuju mobil van kami. Lalu kudengar suara pintu rumahnya
yang tertutup.
But baby
if you say you wan’t me to stay
I’ll
change my mind
Cause I
don’t wanna know I’m walking away
If you’ll
be mine
Won’t go...
Won’t go...
So baby
if you say you want me to stay, stay for the night
I’ll
change my mind....
“Harry!” tiba-tiba kudengar Sheera meneriakkan namaku.
Begitu aku berbalik, Sheera langsung berlari memeluk tubuhku dengan erat.
“Don’t go. Please stay... With me...”
Kulingkarkan sebelah tanganku di punggungnya dan menyentuh
puncak kepalanya. “I will. I won’t go anywhere.” Bisikku padanya.
“I love you too.” Ujar Sheera. Suaranya bergetar dan rapuh.
“You do?” tanyaku tidak percaya.
Ia mengangguk dalam pelukanku. “I do. You?”
“I already said that. No doubt. I love you so much.” Aku
menarik tubuhnya dariku. Matanya yang berkaca-kaca membuatku ingin menghapus
air matanya yang hampir jatuh itu. “Don’t—“
Kata-kataku terpotong saat Sheera menempelkan bibirnya di
bibirku. Aku membalas ciumannya dengan hangat dan bergairah, membuat kami sulit
untuk melepasnya hingga akhirnya kami mendengar suara klakson dari dalam van
yang membuat kami terkesiap dan menjauhkan tubuh kami masing-masing.
Louis.
Who else?!
Namun detik itu juga mobil van di belakangku langsung melaju
perlahan. Niall mengeluarkan kepalanya dari jendela dan berteriak, “Good bye!”
“See you two, lovebirds!” Louis ikut mengeluarkan kepalanya
dan melambaikan tangan ke arah kami.
Aku dan Sheera hanya bisa terkekeh. Kemudian aku kembali menatap
matanya. Wajahnya yang bersemu merah membuatku gemas dan ingin merasakan
desiran di jantungku lagi saat menciumnya seperti tadi.
“Let’s go inside.” Ajaknya dengan senyuman lebar tersungging
diwajahnya yang sempurna.
“Sure. Come on.” Kuraih tangannya. Kami berdua kembali
berjalan ke dalam rumahnya yang terang benderang.
Yeah. She
changed my mind. And I’ll stay for her, no matter what, I won’t go anywhere.
And finally, this fake relationship goes real. Either with what our parents
wish.
Desert Strike Casino Resort | Play at SeaCasino Resort
ReplyDeletePlay at SeaCasino worrione Resort, the resort on the Gulf of 샌즈카지노 Mexico, with 40 table games and kadangpintar exciting online slots.