by @adindawungo , 17
Contestant of 1D Fanfic Contest
“Princess..”
Aksen Irlandia terdengar sayup di telingamu yang masih setengah terjaga.
Perlahan kau membuka kedua kelopak matamu, membiarkan berkas sinar matahari
menerangi iris mata cokelat gelapmu. Di sisimu, seorang pemuda pirang bermata
sebiru samudera menyambutmu dengan dekapan hangat. Kau bisa merasakan sepasang
lengan kekarnya memelukmu dengan protektif.
“Good morning, Nialler..”
“Mornin sleepy-head.” Sahut pemuda pirang tersebut lembut, “Today is a
big day for ya, isn’t it? I will take care of you all day long.”
Kau hanya tersenyum tipis, “You’re too hyperbolic. Aku sudah sering melewati
hari-hari semacam ini,” tukasmu sederhana, “Puluhan kali, just for your
information. This ain’t my first time.”
Pemuda yang kau sapa Nialler tadi hanya mengangguk singkat, “You’re
beautiful, and too strong for a little girl. That’s why I love you.” Sebuah
kecupan singkat mendarat mulus pada keningmu. Membuatmu tertawa renyah.
“I love you too, my Fiancée.”
Ya, kau---gadis yang beruntung bisa memiliki seorang Niall Horan di sisi
tempat tidurmu setiap hari---rupanya tak seberuntung kelihatannya. Mata cokelat
bersinarmu memang bisa menyembunyikannya, begitu pula dengan bibir merah mudamu
yang selalu merekahkan senyum. Jauh di dalam dirimu, ada sebuah penyakit
berbahaya yang mengancam hidupmu. Kau terlahir dengan kelainan jantung, dan
membuatmu kerap melakukan operasi klep jantung setiap beberapa bulan sekali.
Hari ini, adalah yang kesekian puluh kalinya kau menjalani operasi
tersebut. Niall tahu akan hal itu, dan hal itu pula yang membuat pemuda Irlandia
tersebut begitu mengagumimu sebagai tunangannya. Kau adalah gadis yang kuat,
sangat sangat kuat.
Niall mendaratkan satu lagi ciuman pada dahi mulusmu, “C’mon get up from
the bed. There’s some breakfast for you down stair, (Y/N).”
“Thank you, you’re the best.” Kau membawa Niall dalam pelukanmu, sebelum
akhirnya berdiri dan turun untuk sarapan.
------------------
Sepanjang hari dihabiskan oleh kalian dengan duduk berdampingan di sofa
dengan selimut, popcorn, soft drink dan setumpuk DVD. Siang telah berlalu dan
sore kini menjelang, Niall memeluk tubuhmu---kekasihnya yang telah mendampingi
hidupnya sejak dua tahun belakangan---dan menyandarkan dagunya pada bahu
mungilmu, seolah tak akan pernah ingin dipisahkan.
“I love you, (Y/N).. Too much. You’re like an ecstasy, and I’m
overdose.”
Kau tersenyum dengan rona merah pada pipimu. Tetapi sebelum kau sempat
membalas ucapan Niall, pintu apartemen kalian menjeblak terbuka tanpa diketuk
terlebih dahulu. Sedetik kemudian, muncul sosok pemuda berambut cokelat gelap
ikal, disusul dengan yang berambut hitam legam kemudian di belakangnya muncul
lagi dua pemuda berambut cokelat kacang. Yes, they are Harry, Zayn, Liam and
Louis..
“Hey massive lazy couple,” Harry datang dengan wajah ceria, “Don’t you
say that you guys spend all the day with a tons of DVD and cuddle up on
couch..”
Niall melemparnya dengan sebutir popcorn, “Haha! Unfortunately, that’s
pretty rite.”
Harry menangkap popcorn yang dilempar Niall dengan mudah, kemudian
memasukannya ke dalam mulutnya, “By the way (Y/N), how are you today? You will
go to the hospital tonight?”
“Yeah we’re here to support you.” Liam menyambung kalimat Harry.
Kau tersenyum simpul, memandang pada empat sahabat terbaikmu, “Yeah it
will be my.. twenty first time? Or twenty third, maybe? Hah, I don’t even count
that anymore..”
Kalian semua tertawa. Tetapi jauh dalam hatimu, kau bertanya-tanya.. Kapan semua ini akan berakhir?
Beberapa jam ke depan kalian habiskan dengan memasak dan menonton The
Dark Knight Rises, film favorit kalian berenam. Hingga akhirnya malam
menggantung di langit, kau harus bersiap-siap berkemas menuju rumah sakit untuk
operasi. Orang tuamu dalam perjalanan ke sana, menemanimu melewati semuanya
seperti biasa.
Harry bangkit berdiri dari sofa, “Well (Y/N), we have to go to do an
interview. And Niall, join us as soon as possible. It won’t take a long time.”
Ujarnya padamu dan Niall.
“We will visit you tomorrow with Perrie, El and Dani,” Zayn mengambil
jaketnya, disusul dengan yang lain, “Good luck babe!”
Kemudian Louis memelukmu, “Yeah, we love you (Y/N)! Good luck. See you
tomorrow.”
Keempat sahabat lelakimu bergantian mengucap salam, memelukmu dan
berjanji akan datang menjengukmu besok. Kemudian mereka meninggalkan
apartemenmu dan kau bersiap-siap menuju rumah sakit.
------------------
Hujan turun membasahi London pada malam itu. Kau duduk nyaman di dalam
mobil sementara Niall memegang kemudi. Kalian berdua terdiam, menunggu satu sama
lain untuk mengucap kata.
“Princess..”
“Yes, babe?”
“Are you alright?”
Kau hanya tertawa kecil, “Yes of course. Ini hanya operasi klep jantung
biasa, Nialler… Bukan operasi besar, apalagi pencangkokan jantung..”
“Kapan kira-kira kau akan mendapatkan donor?”
Raut wajahmu berubah muram, “I don’t know.. Maybe someday.” Jawabmu
singkat. Bertahun-tahun kau menunggu untuk mendapatkan donor, tetapi sampai
sekarang hasilnya masih nihil. Hanya itu satu-satunya cara untuk memulihkanmu.
Selama kau belum mendapat donor untuk operasi cangkok jantung, kau tak akan
pernah sembuh.
“Yeah, Princess.. I believe one day you’ll be healthy as everyone else.
I will always be by your side. I won’t go anywhere. I promise, Princess..” Niall berkata lirih dengan
senyum khasnya. Senyum yang selalu membuatmu tergila-gila.
Bentley yang dikemudikan Niall berhenti pada lobby rumah sakit yang
sangat familiar denganmu. Kau melihat kedua orang tuamu berdiri di dekat meja
front office, menunggu kehadiranmu.
“I gotta go for a while to do a short interview.” Ujar Niall sembari
menghela nafas.
Kau mengangkat bahu, “Okay, no problem.”
Niall menggenggam tanganmu, kemudian membawamu pada pelukannya. Ia tahu
kalau kau sangat suka dipeluk, dan ia selalu mencoba melakukannya sesering
mungkin. Bagimu, tak ada tempat yang lebih nyaman dibanding berada dalam
pelukan Irish leprechaun-mu.
“You will survive, Princess.. You will life until you get very very old.
We will make a good family..”
Setengah heran, tetapi kau hanya mendekap Niall-mu lebih erat lagi, “Yes
babe, I will, we will. I love you.”
Nafas Niall berhembus hangat di tengkukmu, “I have a surprise for you.
But you have to do your surgery first,” suara kekasih pirangmu berubah menjadi
sebuah bisikan, “Aku akan menjadi orang pertama yang kau temui ketika kau
bangun besok, as usual Princess.. And I will bring the surprise.”
Kau menjadi penasaran, tetapi rupanya kau menikmati rasa penasaran
tersebut sehingga kau enggaan mendesak Niall untuk membeberkan rencananya,
“Well, Prince.. Promise me?”
“I promise babe.”
Kemudian Niall mendekatkan wajahnya pada wajahmu, menciummu tepat di
bibir untuk beberapa saat.
“Well, masuklah ke sana. Aku akan menyusulmu nanti, Princess..”
Kau mengangguk, kemudian mengambil tasmu dan membuka pintu mobil.
“Princess..”
Kau berbalik, “Yes, Nialler?”
“I really love you.”
------------------
Niall Horan mengemudikan Bentleynya dengan kecepatan sedang. Hujan belum
kunjung reda, namun kabut mulai menipis. Si pemuda pirang kini berada dalam
perjalanannya menuju rumah sakit setelah ia selesai dengan beberapa interview
mendadak dari sebuah stasiun radio. Kota London mulai sepi, mengingat ini
hampir tengah malam. Operasi tunangannya akan berlangsung kira-kira satu jam
dari sekarang dan ia telah memperkirakan bahwa ia akan datang tepat waktu.
Tangannya merogoh saku jaketnya. Ia menggenggam kotak kecil berbahan
beludru yang telah ia persiapkan jauh-jauh hari. Besok adalah saatnya, pikir
Niall. Ia mencintai kekasihnya sebegitu dalamnya, walaupun ia tahu kalau
kekasihnya sangat ringkih dan lemah. Tetapi hal itulah yang membuat Niall jatuh
cinta. Bagaimana bisa ia melupakan sepasang mata bersinar yang selalu
memancarkan kekuatan besar dibalik penyakit berbahaya yang membayanginya? He
loves her, so damn much..
Kemudian pemuda tersebut meraih BlackBerrynya, membuka menu message dan
mengetik pesan singkat. Ketika matanya sedang terpaku pada layar telepon
genggamnya, tak sadar mobilnya melaju menerobos lampu merah.
“Shit, shit!”
Dan dalam tempo waktu bersamaan, sebuah truk besar datang dari arah
samping. Niall menginjak pedal rem sedalam-dalamnya, namun naas sekali
segalanya telah terlambat. Bunyi klakson truk dan Bentley pemuda Irlandia
tersebut membahana, kemudian sepersekian detik selanjutnya, bunyi hantaman memekakkan
telinga antara dua buah material sama keras membelah malam dan hujan.
Bentley Niall terhempas begitu saja sejauh beberapa puluh meter. Bunyi
tubrukan antara logam dan aspal yang menyayat hati berkali-kali terdengar
sebelum akhirnya mobil mewah tersebut teronggok mengerikan di pinggir jalan. Teriakan
beberapa orang terdengar, meminta pertolongan kepada siapapun.
“Hey!! Is he still alive?”
“He’s still breathing!”
“Hold on, Kid! Please hold
on!”
“Damn! His body stuck
between the dashboard and seat!”
“Holy shit, he’s bleeding! So
freakin much!”
Selanjutnya bunyi sirene ambulans menyusul. Orang-orang segera
mengangkat tubuh tak berdaya Niall setelah menariknya paksa dari jepitan
dashboard, air bag dan jok mobil.Lalu detik berikutnya, bau obat-obatan di dalam
ambulans adalah hal terakhir yang dirasakan Niall Horan.
‘Good luck for your surgery.
I’ll be there as soon as possible. I love you forever and always princess xx’
His message was still waiting to be sent.
------------------
“Mom, where’s Niall? He said he would be here before my surgery.” Kau
bertanya pada ibumu dengan setengah kesal, “I was trying to call him but
there’s no answer.”
Ibumu hanya mengangkat bahu, “I don’t know. Maybe he’s on his way, Sweetie..”
Seorang dokter dan beberapa suster memasuki kamar rawatmu. Ini berarti
operasimu akan segera dimulai.
“No, no.. Can you delay my surgery? Just for a few minutes.. I’m still
waiting for someone.” Tukasmu pada tim dokter yang akan mengoperasimu. Mereka
hanya mengangguk, dan kemudian meninggalkan kamarmu.
“Damn, Nialler! Where are you?” kau mengumpat pada layar telepon
genggammu saat operator telepon yang menjawab panggilanmu, not your Nialler.
Pintu kamarmu dibuka lagi, kali ini ayahmu yang muncul, “Hey, I wanna
talk to you about something.” Ujarnya kepada ibumu. Kemudian tanpa berkata
apa-apa mereka keluar kamar, meninggalkanmu sendirian yang masih sibuk dengan rasa
kesalmu.
------------------
“Niall kecelakaan…”
Wanita paruh baya tersebut terperanjat mendengar pernyataan suaminya.
Matanya membesar, “Then?”
“A truck hit his car. They can’t help him.. He’s dead.”
Wanita tersebut tak merespon, di wajahnya hanya tergambar keterkejutan
yang amat sangat, seperti langit runtuh. Tubuhnya merosot, terduduk pada kursi
di ruang tunggu.
Niall? Bagaimana bisa?
“Dia meninggal saat perjalanan ke rumah sakit,” pria tadi melanjutkan
ucapannya, “And you know what? Nurses in the ambulance said that..” nadanya
berubah, lirih sekali, “Niall’s last word was.. ‘If he was dead, gave his heart
to (Y/N). He loved her so much.”
Ada hening yang sangat panjang, sebelum wanita tersebut pecah dalam
tangis, “You must be kidding me! How could… Oh my God, Niall! I can’t believe
it!”
“Yeah, yeah.. Me too. He’s too young, talented, and.. He loves our
daughter, so does she..” ujar sang pria sembari memeluk istrinya.
Masih dalam tangisan memilukan, wanita tersebut bertanya, “Lalu,
bagaimana?”
“Orang tua Niall tahu tentang hal ini. Mereka dalam perjalanan dari Mullingar
menuju London. Dan mereka setuju untuk memberikan jantung Niall pada (Y/N). You
know, his parents love (Y/N) so much.. Niall’s mother crying so hard.. Oh my
God..” terang pria tersebut, berusaha menyembunyikan dukanya, “Niall ada di
rumah sakit ini, jantungnya telah diambil dan golongan darahnya cocok. Tim
dokter pencangkokan jantung dalam perjalanan ke sini. Kondisi (Y/N) dinyatakan
prima untuk menjalani operasi besar ini.”
Wanita tersebut hanya diam, menangis pilu. Tak membayangkan reaksi
anaknya jika tahu tentang hal ini. Semuanya akan menjadi sangat sulit.
Kemudian, derap langkah terburu-buru terdengar. Zayn, Harry, Liam dan
Louis tergopoh-gopoh menghampiri pasangan paruh baya tersebut.
“Is Niall.. Is Niall…”
Louis bertanya panik, tak ada lagi ekspresi jenaka pada wajahnya. Hanya
kengerian dan ketakutan yang amat sangat, sementara sang pria baya hanya mengangguk
dan memeluk pemuda bermata cokelat tersebut.
Detik berikutnya, empat pria muda tersebut jatuh dalam tangis. Tangis yang
paling pilu semenjak mereka tergabung dalam sebuah keluarga.
------------------
“They can’t wait anymore, (Y/N).”
Kau hanya menatap kesal pada telepon genggammu, kemudian gantian
memandang ayahmu, “Well, well.. Let say Niall got a massive discount in Nandos
and now he’s spending his time there. Very funny.”
Ayahmu hanya menatapmu pilu, tak bisa membayangkan reaksimu jika tahu
yang sebenarnya. Kau bisa saja sangat shock dan penyakitmu kambuh, kemudian
mengancam nyawamu juga, “Okay, love? Good luck. I love you.”
Kau membaca kekhawatiran dan kesedihan mendalam di mata ayahmu, “Oh
c’mon dad, just a little surgery. I’m not the first-timer.. Where’s mom, by the
way?”
“Yeah not a huge surgery..” ayahmu berusaha keras menutupinya, “Your mom
is talking with the doctor.” Bohong ayahmu. Karena sesungguhnya ibumu sedang
berada di Unit Gawat Darurat---tempat Niall sebenarnya berada---dan tak bisa
menemuimu karena takut tak bisa membendung air mata.
Beberapa suster kemudian mendorong tempat tidurmu menuju ruang operasi.
Kau tak tahu, kalau beberapa saat lagi jantung orang yang paling kau cintai akan
menggantikan jantungmu.
------------------
“Well done, well done..”
Suara tim dokter berbisik di dalam ruangan operasi. Operasi selama
beberapa belas jam telah berhasil ditaklukan, dan tak ada reaksi penolakan dari
tubuhmu atas jantungmu yang ‘baru’.
Jantung Niall rupanya berfungsi. Sangat berfungsi dan cocok untukmu.
Because.. He loves you so much
until the rest time of his life, perhaps?
------------------
Four days later..
“Hey (Y/N)! You’re finally awake!”
Kau merasa begitu lelah, tubuhmu kaku, tetapi kau tak pernah merasa
sesehat ini sebelumnya. Suara husky Zayn menyadarkanmu dengan cepat.
“Hello Zayn..” ujarmu lirih, “Where’s Niall? Where’s my mom and dad?
Where’s the other lads?”
Zayn menggigit bibirnya---kebiasaannya ketika ia panik dan nervous, “Uh, emm.. The other lads are
going to get their brunch. Your parents are talking to the doctor.”
“And Niall? Where’s that Irish bastard?”
Kini Zayn mengacak rambutnya, makin panik, “Uh, Niall.. He went to..
Mullingar! Yeah, he went to Mullingar yesterday..”
Wajar, kau merasa begitu marah, “WHAT? MULLINGAR? He promised me that he
would be the first person I saw when I opened my eyes..” dan memberimu kejutan,
tentu saja.
“Err.. I don’t know, (Y/N).. Really.” Tukas Zayn cepat, “Are you feeling
great now?”
Kau mengacuhkan Zayn dan meraih telepon genggammu untuk menghubungi
Niall, tetapi ketika kau melihat tanggal dan hari yang tercantum, kau terperangah.
“Zayn! Today is Sunday!”
“Yeah rite. Why?”
“God! I supposed to wake up at Thursday! I slept for 4 days! Something’s
wrong here!”
Zayn makin panik, “Err.. Why did you ask me? I don’t know anything
babe..”
Kemudian pintu kamarmu dibuka dan tiga sosok pemuda serta tiga perempuan
menghambur ke arahmu, menghujanimu dengan pelukan. All the rest of the lads are
here, except your lovely Nialler..
“Hello El, Perrie, Dani, Liam, Louis, Hazza..”
“Hi (Y/N)! How are you?” Eleanor mengusap rambutmu dengan senyum.
“I’m feeling so damn great and healthy..” jawabmu pendek, “Guys, where’s
Niall? He went back to Mullingar? Is he kidding me?”
Pertanyaanmu dijawab dengan keheningan.
“Why did he left me and break his promise? He supposed to be here when I
woke up! He said he had a surprise for me!” kalimatmu berurut panjang,
mengabsen kekecewaanmu pada pria pirang yang kau cintai.
Tak ada jawaban, hanya Danielle dan Eleanor yang keluar dari kamar tanpa
permisi.
Harry berdeham, “Err.. Ehm, (Y/N).. Niall was..”
“Sweetie?”
Ucapan Harry dipotong oleh suara ibu dan ayahmu yang tiba-tiba memasuki
kamarmu.
“Tell me the truth.. Where’s Niall?” kekecewaan dan kekhawatiranmu tak
bisa disembunyikan, “Mom, Dad.. Where’s Niall?”
Ada jeda panjang yang diisi oleh keheningan. Ibumu mulai terisak. Kau
mencium ada sesuatu yang tidak beres, “Mom, why did I sleep for 4 days? It
supposed to be only a day..”
“(Y/N), listen to us.” Akhirnya ayahmu angkat bicara.
“Yeah I’m currently listening to you.”
“Niall isn’t here.”
“I know, he’s in Mullingar. Isn’t he?”
Ayahmu mengangguk, “Yeah..”
Semua tertunduk, kini giliran Perrie yang keluar kamar, menahan tangis.
Kau heran, jelas sekali ada sesuatu yang salah di sini. “Damn, what
happened? Why all the girls cried?” tukasmu. Kemudian ibumu menghampirimu,
memelukmu erat sembari ayahmu memberikan penjelasan. Ayahmu tahu, cepat atau
lambat semuanya akan terbongkar. Tak ada gunanya merahasiakan semua darimu.
“His body is in Mullingar.. Lay down forever there..”
Semakin tak mengerti, kau mulai histeris, “What?!”
“When Niall drove his car to back to this hospital, he had a car accident..”
Kau terperanjat, merasa duniamu hancur saat itu juga.
“Then…” kalimatnya tertahan di tenggorokan, “He’s dead..”
Lagi, kau hanya terdiam. Tubuhmu mendadak kaku, dan buliran-buliran air
mata membasahi pipimu. Pikiranmu kosong, seperti dirampas tiba-tiba. Kau tak
bisa berpikir, berbicara, atau bahkan bergerak. Kau pasti hanya bermimpi..
Mungkin ini adalah salah satu dari rencana Niall untuk mengejutkanmu.. Ya,
pasti begitu.. Niall tak mungkin pergi meninggalkanmu.. Apalagi untuk
selamanya..
“And the nurses in the ambulance said..” ayahmu menarik nafas panjang,
suaranya hanya menjadi sekilas bisikan, “Niall last word was.. Commanded to
gave you his heart..”
Air matamu mengalir deras, sangat deras. Kau merasa seperti ada palu
besar yang menghantammu tepat di dada. Sakit, sangat sangat sakit.
“You lie!” kau mulai menangis, “Niall said.. He would never leave me..
He would always be with me..” kalimatmu mengalir pilu, “And you know? NIALL
HORAN NEVER BREAKS HIS PROMISE!”
Ibumu memelukmu erat, begitu juga dengan Zayn, Liam, Harry dan Louis. Saat
itu juga kau sadar kalau mereka tak berbohong. Louis tak bisa pura-pura
menangis, begitu pula Zayn, Harry dan Liam. Tetapi kini kau melihat mereka pun
menitikan air mata pilu. Kau berontak, berusaha menangis sejadi-jadinya dan
memukul-mukul dadamu, berharap kau akan jatuh pingsan seperti biasanya jika kau
merasa terlalu marah atau sedih. Tetapi semuanya nihil, jantung Niall dalam
dirimu bekerja terlalu baik.
“I DON’T NEED HIS HEART!! ALL I NEED IS HIM!”
“We know.. We know, (Y/N).. We need him too..” suara Liam terdengar
pecah, “But that already happened..”
“BULLSHIT!! HE SAID HE WOULD BE HERE AND GAVE ME A SURPRISE!” kau
berteriak, masih berharap kau akan jatuh pingsan dan terbangun dengan Niall
berada di sisimu dengan lengannya yang memelukmu erat seperti biasanya, “I
DON’T NEED A SURPRISE LIKE THIS HORAN!”
Kau tak pernah membayangkan akan kehilangan Nialler-mu, tak pernah
sedetikpun. Yang kau takutkan selama ini adalah kau yang akan meninggalkannya
karena penyakitmu, bukan sebaliknya. Kini kau tak akan pernah lagi mendengar
sebutan ‘Princess’ yang sangat kau sukai, atau menghabiskan waktu dengan
bersandar pada dada bidangnya sembari bercerita tentang hari-hari yang kalian
lewati.
“Nialler.. You’re a liar.. WHY DID YOU LEAVE ME? YOU’RE A FUCKIN BASTARD!
”
Kau begitu mencintai pemuda pirang Irlandia-mu. Kau menyukai caranya
tertawa, kau menyukai kejutan-kejutan kecilnya, kau menyukai caranya menciummu
atau caranya bermain dengan rambutmu. Dia selalu bilang bahwa kau begitu wangi,
itu sebabnya ia selalu memelukmu. Kau masih ingat saat terakhir kau bertemu
dengan Niall-mu, bagaimana ia memelukmu, bagaimana ia mengecupmu, bagaimana ia
memanggilmu princess, dan bagaimana
caranya berkata kalau dia mencintaimu.
Ayahmu kemudian menghampirimu, dengan matanya yang mulai berkaca-kaca, ia
merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah.
“They found this in Niall’s pocket..” ayahmu meletakannya di telapak
tanganmu yang gemetar hebat, “I guess.. That’s the surprise.. I’m so sorry
sweetie..”
Kau menggenggamnya dan kemudian dengan tanganmu yang lemah dan gemetar
kau membukanya.
Adalah sebuah cincin perak dengan berlian berwarna kebiru-biruan yang
berkilau indah---mengingatkanmu pada warna mata Niall-mu, mata yang membuatmu
tak pernah bisa melupakannya sejak pertama bertemu. Di dalamnya terukir halus
sebuah frasa sederhana---membuat tangismu semakin pecah.
‘Forever yours, xx’
No comments:
Post a Comment