Finalis #1DFanficContest13
by Anindya Putri Kariza ,16
NLS
Lizzy’s
P.O.V
“Jared! Dimana kau?” Seruku di telepon.
“Tunggu,
Liz, aku masih di jalan, sabarlah, sayang..” Ujar Jared melalui telepon.
“Sorry.
I mean, today is our special day.” Ucapku.
“I
know, baby girl. I know.” Dapat kudengar dari suaranya, Jared tersenyum manis.
“Cepatlah,
disini mulai dingin.” Ujarku.
“I’m
sorry, baby.” Ujar Jared.
“Okay,
cepat ya? Hati-hati di jalan.” Ucapku.
“I
will, babe. Bye, I love you.” Ucap Jared.
“Bye.
Love you too.” Aku pun menutup telepon.
Aku
dan Jared telah berpacaran selama 3 tahun. Dan hari ini adalah peringatan 3
tahun kami. Aku sangat bahagia, karena Jared mengajakku piknik malam hari di
tempat kesukaan kami. Aku sangat menyayangi Jared. Dia adalah cinta pertamaku.
Kami bertemu saat kami duduk di kelas 1 SMA. Jared dulu adalah seorang murid
pindahan dari Amerika. Ia menyelamatkanku dari para penindas. Aku jatuh hati
pada mata Jared yang indah dan senyumannya yang manis. Setelah beberapa bulan
kami berteman, dia menyatakan cinta padaku ketika Hari Valentine berlangsung.
Dan, ya, hari ini adalah Hari Valentine.
Aku
telah berdiri di depan gang selama 1 jam. Menunggu kekasihku, Jared, untuk
menjemputku. Dia terlambat, karena ia terjebak dalam kemacetan di jalan utama.
Inilah mengapa aku benci tinggal di Yorkshire.
Kurasakan
telepon genggamku berdering. Seseorang meneleponku.
“Halo?”
Ucapku setelah mengangkat telepon.
“Babe,
I’m near now. Be ready.” Kata Jared.
“I
will,” ujarku seraya menutup telepon .
Setelah
menunggu selama beberapa menit telepon genggamku kembali berdering.
“Hey,”
ucapku.
“Berputarlah,”
Ucap Jared.
Aku
memutar badanku untuk melihat Jared berada dalam mobilnya di seberang jalan. Ia
melambaikan tangan sambil tersenyum. Aku balas senyumannya dan menutup telepon.
Segera aku menyeberang jalan. Jared keluar dari mobilnya. Ia berdiri tersenyum
di sana bagaikan seorang malaikat. Hal terakhir yang aku ingat adalah suara
klakson mobil yang keras dan tiba-tiba semuanya terlihat gelap.
>>>>
“Kami tidak yakin, Nyonya. Tapi kami pastikan dia baik-baik
saja.” Aku mendengar seseorang berkata.
“Tolonglah
kami. Dia adalah satu-satunya bagi kami.” Kudengar suara yang berbeda dan aku
merasa aku mengenal suara itu.
Ingin
aku membuka mataku, tetapi entah mengapa, hal itu terasa berat bagiku. Lalu,
kucoba gerakkan seluruh anggota badanku. Dan lagi, hal itu seperti beban
bagiku. Apa yang terjadi?
Jared.
Aku
ingin bertemu Jared. Aku harus menemuinya. Sekali lagi kucoba menggerakan
seluruh anggota badanku. Kemudian aku mendengar seseorang terkesiap.
“Sepertinya
dia sudah bangun!” seseorang memekik.
“Panggil
seseorang!” suara lain berkata.
Kemudian
yang dapat kudengar adalah suara seseorang berlari. Setelah beberapa saat,
kudengar beberapa orang berlari ke arahku.
“Lizzy,
bukalah matamu. Ayo, Nak! Aku tahu bahwa hal itu berat tapi setidaknya
berusahalah, Liz!” suara seorang wanita berkata.
Aku
menuruti suara tersebut. Dengan perlahan kubuka kedua mataku. Kudapati ibu dan
ayahku serta beberapa orang yang tak kukenal menatapku penuh harap.
“hmm.”
Gumamku. Kerongkonganku terasa perih.
Aku
menatap ibuku yang sedang menangis. Kemudian kutoleh ayahku yang sedang
memeluknya.
“Apa
... yang terjadi?” tanyaku.
“Nn.
Gerard, bagaimana perasaan anda saat ini?” tanya seorang pria tambun yang
kuyakini adalah seorang dokter.
“Ha—us..”
ujarku, lantas berdeham.
Segera
seorang suster memberiku segelas air. Kuteguk air tersebut, dan kerongonganku
terasa segar.
“I-ibu?
Mengapa kau menangis? Apa yang kulakukan di rumah sakit?” tanyaku.
“Kami,
akan membiarkan kalian berbicara.” Sang Dokter berkata seraya meninggalkan
ruangan bersama seorang suster. Aku kembali menoleh pada ibu dan ayahku,
menanti sebuah jawaban yang pasti.
“Kau..
kau pingsan selama beberapa saat.” Ujar ibuku terisak.
“Lalu,
mengapa kau menangis?” tanyaku kembali.
“Ibu
khawatir padamu.” Ibu kembali terisak.
“Sudahlah,
Bu. Berhenti menangis. Lihatlah aku baik-baik saja.” Aku tersenyum.
Kemudian,
aku mengingat sesuatu.
“Dimana
Jared? Apakah dia datang menjengukku?” tanyaku.
Pandangan
ayah dan ibu teraku padaku. Alis mereka mengernyit. Raut wajah mereka sedih, bercampur
dengan kebingungan.
“Kau
tidak ingat?” Ayah bertanya padaku.
“Apa
yang harus kuingat?” Aku merasa kebingungan. Dan entah mengapa jantungku
berdegup kencang.
‘Apa yang terjadi?’ pikirku.
“Jared...
Jared telah pergi ke tempat yang aman, sayang.” Ujar ayahku.
“Dia
di rumah?” tanyaku.
“Tidak..
Dia tidak sedang berada di rumah.” Ucap ibuku.
“Lalu?”
Jantungku semakin berdegup kencang.
“Bagaimana
aku mengatakan ini?!” Ayah bergumam.
“Katakan
saja padanya Robert. Aku tidak tahan melihatnya kebingungan seperti ini.” Ibuku
meremas tangan ayahku.
“Katakan
apa? Apa yang terjadi?” Aku menatapi ayah dan ibuku secara bergantian.
Ayahku
mengambil nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Kemudian ia mendekatiku,
menggapai tanganku dan meremasnya perlahan. Aku menatap mata ayahku.
“Jared,
sekarang telah berada di tempat yang lebih aman. Seperti.... seperti surga.”
Ayahku menundukkan kepala.
Jantungku
berhenti berdetak, mataku membelalak. Aku menggigil bukan karena kedinginan.
Tatapanku kosong.
“Maksudmu
dia meninggal?” suaraku goyah.
Ayah
dan ibu menganggukkan kepala perlahan.
Kini,
kurasakan dadaku sesak. Pelupuk mataku mulai terpenuhi oleh air. Seluruh
tubuhku terasa lemah. Aku tak berdaya. Ingatan itu terulang di kepalaku.
FLASHBACK
Aku
memutar badanku untuk melihat Jared berada dalam mobilnya di seberang jalan. Ia
melambaikan tangan sambil tersenyum. Aku balas senyumannya dan menutup telepon.
Segera aku menyeberang jalan. Jared keluar dari mobilnya. Ia berdiri tersenyum
di sana bagaikan seorang malaikat. Jared mencoba menyeberang jalan untuk
menjemputku. Ia tersenyum bahagia menatapku dengan penuh kasih sayang. Kemudian
kami mendengar suara klakson mobil berkali-kali. Dan saat kami menoleh, mobil
itu menyambar tubuh kekasihku. Dan pergi begitu saja.
“JAREEEEEEEEEEEEEEED!!!!!!!”
Teriakku. Menatap kekasihku tergeletak tak berdaya.
Kudekati tubuh Jared. Kutatap muka
pucatnya. Kosong. Tidak ada semangat ataupun kegembiraan di mata birunya.
Kurasakan tangan dingin milik Jared menyentuh pipiku.
“Maafkan aku, Liz. Aku tidak pernah
bisa menjadi pacar yang terbaik.... Aku.. aku menyayangimu.” Jared menutup
matanya,
Jared telah pergi. Jared-ku telah pergi
meninggalkanku. Satu-satunya anak lelaki yang kusayangi dan yang mengertiku. Ia
telah hilang. Tuhan telah mengambil Jared dariku.
“TIDAK! TIDAK! JARED!” Aku
menggoyangkan tubuhnya.
“Ja... red..” Kemudian semuanya menjadi
gelap.
Lizzy’s
P.O.V
Dadaku
terasa semakin sesak air mata mengalir deras. Aku melepas genggaman ayahku.
“Tidak...
tidak.” Gumamku seraya memegang kepalaku.
“Liz,
hentikan.” Ayahku mencoba menggapaiku.
“Tidak!”
Aku menghindari gapaian ayah.
“JARED!
JARED!!!!!” Kupanggil namanya, berharap ia akan kembali. Duduk disebelahku
menenangkanku.
Tetapi
tidak, Jared tidak akan kembali. Ia telah pergi bersama Tuhan dan malaikat. Aku
merasakan bertubi-tubi serangan pisau menusuk jantungku. Aku merasakan sebagian
dari diriku menghilang. Aku merasakan kekosongan dalam diriku. Aku merasakan
seseorang merobek jantungku.
“Kenapa?”
gumamku menatap ketiadaan.
“Liz...”
Ibu terisak.
“Kenapa
Tuhan?!! Kenapa kau mengambil Jared? Kenapa tidak aku saja yang kau ambil??!!”
Aku berteriak keras. Air mata tak ada habis-habisnya mengalir deras di wajahku.
“Liz!
Hentikan!!” Ayah menggapaiku.
“Kenapa
ayah?! Kenapa?!” Aku menangis di pelukan ayahku.
Menangisi
kepergian malaikat penjagaku.
>>>>
“Aku
merindukanmu, Jared.” Aku berbisik lembut pada seseorang berkulit pucat yang
terbaring damai di depanku. Kedua matanya tertutup, bibirnya pucat dan kedua
tangannya tersilang. Rambut cokelatnya tertata rapi. Jared memakai setelan yang
pernah ia pakai saat kami pergi ke prom. Aku mencoba untuk menahan diri. Dia
tak akan pernah dapat menjawabku lagi. Dia tak akan pernah lagi tertawa lepas
seperti biasanya. Aku merasakan air mata kembali mengalir. Aku tidak akan
pernah melihat senyuman manisnya kembali.
“Ayolah,”
Ibu memelukku erat menuntuku untuk duduk kembali.
“Kami
rasa ada seseorang yang ingin mengucapkan beberapa kata untuk Jared?” sang
pengkhotbah berbicara.
Semua
orang terdiam. Aku segera berdiri dan mengambil alih posisi sang pengkhotbah.
“Jared...”
Suaraku terpecah.
“Jared
kau adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku. Senyumanmu dapat
membuat hari-hariku semakin cerah. Membuat hari-hari terburukku menadi hari
terbaikku.” Aku tersenyum menatapnya terbaring di hadapanku.
“Aku
akan selalu mencintaimu. Selama-lamanya. Tidak ada yang dapat menggantikanmu.
Tidak ada yang dapat menyamai
kita. Cinta kita.” Air mataku terus mengalir.
“Aku..
aku merindukanmu. Aku sangat-sangat merindukanmu. Aku merindukan pelukan
hangatmu! Aku merindukan ciumanmu! Aku merindukan tawamu! Aku merindukan
lelucon payahmu! Aku merindukanmu! Hanya dirimu!” Aku mulai berteriak. Ayahku berdiri dari tempat duduknya.
“Kembalilah,
Jar!” Lanjutku.
Aku
tidak dapat menahannya kembali. Ayahku mencoba menarikku pergi.
“Jangan
sentuh aku!” bentakku pada ayah.
“Jared!”
Aku memanggilnya. Tapi tidak ada apapun yang terjadi.
“Aku
mohon, Jar.. Kembalilah!” Aku berteriak kembali, sebelum jatuh berlutut dan
terisak-isak.
Aku
menanti kehangatannya. Aku menanti pelukannya. Aku menanti tatapan lembutnya.
Aku menanti dia mengatakan bahwa hanyalah aku satu-satunya gadis tercantik
baginya.
“Dia
harus kembali..” Aku terisak.
“Aku
tidak dapat hidup tanpanya.” Lanjutku. Kemudian ayah memelukku.
“Aku
membencimu karena kau meninggalkanku, Jared!” Aku berteriak kembali. Tapi Jared
tidak akan pernah membuka matanya kembali.
Dapat
kulihat senyuman manisnya. Dapat kulihat ia terduduk dan menghampiriku.
Kemudian dia memelukku erat dan tertawa kecil. Lalu, ia berbisik padaku,
“Maafkan
aku. Semua ini hanya lelucon. Lihatlah aku baik-baik saja kan? Jangan menangis,
sayang.”
Kemudian,
ia tertawa dan menuntunku pergi.
Tapi
tidak. Itu semua hanya khayalan. Jared tetap terbaring disana. Tak ada
tanda-tanda kehidupan dalam raut wajahnya. Jaredku benar-benar telah pergi. Dan
aku masih menangis dalam pelukan ayahku.
Biasanya
aku memperhatikan dadanya naik turun menandakan bahwa ia masih bernafas. Tapi
yang kulihat saat ini adalah kehampaan. Tidak ada lagi nafas hangat Jared yang
dapat kurasakan, dadanya tidak lagi bergerak naik turun. Dan semua hal itu
membunuhku.
>>>>
“Liz,
kau harus pergi ke sekolah.” Ibu berkata padaku dari luar kamar.
Aku
hanya menatap kekosongan di luar sana.
“Ibu
mohon padamu, Liz.” Ibu duduk di sampingku.
“Untuk
apa? Aku tidak punya siapa-siapa lagi.” Ujarku hampa.
“Sayang,
ibu tahu bahwa Jared adalah segalanya bagimu. Tapi, kau masih punya ayah, ibu
dan Liam.” Ujar ibu.
Ibu
memang benar, aku masih memiliki mereka, tetapi kini, hanya ada Jared
dipikiranku.
“Baiklah,
terserah kau saja. Tapi setidaknya, cobalah menelepon Liam. Dia
mengkhawatirkanmu.” Ibu mengecup keningku dan pergi meninggalkanku sendiri di
kamar.
Ibu
benar, aku harus menelepon Liam. Kugapai telepon genggamku dan kucari nama Liam
dalam kontak. Kemudian, kutekan tombol panggil.
“Hello?
Liam Payne’s here.” Liam menjawab setelah beberapa deringan.
Liam adalah sahabatku dan juga sahabat Jared. Liam bagaikan
kakak laki-lakiku. Ia sangat menyayangiku begitu pula aku yang menyayanginya.
Liam adalah anak lelaki yang cukup populer. Karena selain tampan, Liam juga
baik hati, sabar dan pintar. Ia adalah ketua siswa di sekolah. Dan kekasihnya,
Danielle adalah seorang dancer yang
populer.
“Li...” aku mencoba terdengar selembut mungkin.
“Liz?
Is that you?” Liam terdengar kaget.
“Yeah,
it’s me..” jawabku.
“Babe,
how are you doing?” Liam berkata dengan lembut.
“I’m...
I... I’m doing.. just.. fine..” aku berbohong.
“No,
you’re not.” Kini Liam terdengar sangat tegas.
“I
know, I’m not...” suaraku bergetar.
“I
miss him so much..” lanjutku disertai beberapa tetes air mata.
“I
know, Liz. I miss him too.” Liam berkata padaku.
“I
need to see him again. I have to.” Aku terisak.
“But,
you can’t. He’s in heaven now.” Ujar Liam.
Aku
tak berkata apa-apa. Hanya dapat menangis.
“Satu
minggu, Liam. Sudah satu minggu dia pergi dan aku merindukannya.” Ucapku.
“Aku
tahu. Dan tolonglah berhenti menangis. Aku yakin Jared tidak akan senang
melihatmu sedih seperti ini.” Ucap Liam.
“Aku
tidak dapat bahagia tanpanya, Liam.” Kataku.
“Apa
yang dapat kulakukan untuk membuatmu tersenyum, Liz? Aku mohon, aku tidak dapat
melihatmu sedih seperti ini.” Ucap Liam.
“Aku
tidak tahu.” Gumamku.
“Bagaimana
kalau kita berkumpul bersama di tempat makan kesukaanmu?” Ucap Liam.
“Yah,
kita bisa mencoba.” Kataku.
“Baiklah.
Kutunggu besok pukul 3 sore. Di Nando’s, ok?” ujar Liam.
“Ok.”
Gumamku.
“Cool,
I’ll be there with Danielle. Is that alright?” Tanya Liam.
“Yeah,”
gumamku.
“Nice.
Bye, Liz. Don’t forget to smile. See you tomorrow.” Dapat kudengar dari
suaranya, Liam tersenyum.
“Okay,
bye, Li.” Aku menutup telepon.
Mungkin,
aku memang harus dapat menjadi kuat. Tidak untuk melupakan Jared, tapi untuk
menunjukkan pada Jared bahwa aku dapat menjadi seseorang yang kuat untuknya.
Mungkin, ini adalah awal dari sesuatu hal yang baru.
>>>>
Aku
duduk di salah satu meja, menunggu Liam dan Danielle untuk datang ke Nando’s.
Nando’s adalah restoran kesukaanku dan Jared. Di mana kami memulai kehidupan
sebagai sepasang kekasih.
“Hei,”
aku melompat terkejut.
“Liam?”
panggilku.
“Ya,
haha, maaf kami mengagetkanmu.” Ucap Liam yang bergandengan tangan dengan
Danielle.
“Iya,
tak apa.” Ucapku seraya duduk kembali.
Liam
dan Danielle duduk di depanku.
“Apakah
kau sudah memesan makanan?” tanya Danielle.
“Belum.”
Gumamku.
Kemudian
Danielle memanggil salah satu pelayan.
“Selamat
sore. Ada yang dapat saya bantu?” Ujar pelayan lelaki itu.
Kami
tidak melihat bagaimana rupa pelayan itu, karena kami terlalu sibuk menelusuri
buku menu.
“Berikan
kami Ayam dengan saus Peri-Peri.” Ucap Liam sambil tetap memandangi buku menu.
“Untuk
minumannya?” Pelayan itu bertanya.
“Berikan
aku kopi.” Ucap Liam.
“Berikan
aku soda saja.” Kata Danielle.
“Bagaimana
denganmu?” Pelayan itu menanyaiku.
“Aku
rasa aku ingin milkshake Strawberry.” Aku menengadah.
Aku
terkesiap saat aku menatap pelayan itu.
Tidak.
Mungkin.
Pelayan
itu mirip sekali dengan Jared. Matanya, wajahnya, perawakannya. Hanya saja
rambut pelayan ini berwarna pirang.
Aku
menatap Liam dan Danielle yang terlihat syok.
Pelayan
itu menatap kami kebingungan.
“Apakah
ada sesuatu yang salah?” Pipi pelayan itu memerah.
“Ja..
Jared?” Aku tergagap.
“Maaf,
nona. Nama saya Niall. Anda mungkin salah orang.” Dia tersenyum.
Kemudian
semua ingatan tentang Jared terlintas dibenakku. Dalam sekejap semua menjadi
gelap.
>>>>
NIALL’s
P.O.V
“Pelayan?”
seorang gadis berambut keriting memanggilku.
Segera
aku berlari ke arahnya. Kulihat 3 orang remaja yang sedang menelusuri buku
menu. Seorang anak lelaki dengan berambut cokelat, seorang gadis berambut
keriting yang tadi memanggilku, dan WOW! Gadis ini, adalah kesempurnaan. Dengan
rambutnya yang berwarna merah dan matanya yang berbinar, berwarna hijau
bagaikan batu emerald. Sesuatu dalam diriku menyuruhku untuk berkenalan dengannya.
“Selamat
sore. Ada yang bisa saya bantu?” Tanyaku.
Mereka
bertiga sama sekali tidak menatapku. Mereka sangat terpaku dengan buku menu.
“Berikan
kami Ayam dengan saus Peri-Peri.” Ucap anak lelaki itu.
Segera
kutulis ke dalam buku.
“Untuk
minumannya?” tanyaku.
“Berikan
aku kopi.” Ucap anak lelaki itu.
“Berikan
aku soda saja.” Kata gadis berambut keriting itu.
“Bagaimana
denganmu?” Aku menanyai gadis cantik berambut merah itu.
“Aku
rasa aku ingin milkshake Strawberry.” Ia menengadah.
Kemudian
gadis itu terkesiap. Gadis itu memandangiku dari ujung kepala sampai ujung
kakiku dengan tatapan syok. Lalu, ia menatap kedua temannya yang sama-sama
terlihat syok.
“Apakah ada sesuatu yang salah?” Dapat
kurasakan wajahku memanas, karena tatapan gadis itu.
Tunggu,
apa yang kupikirkan?
“Ja..
Jared?” gadis itu tergagap.
“Maaf,
nona. Nama saya Niall. Anda mungkin salah orang.” Aku tersenyum, mencoba
mencairkan suasana.
Gadis
itu kemudian memegangi kepalanya. Dan mulai terlihat lemas.
“Miss?
Are you okay? What happen to her?” Aku mulai panik.
“Lizzy?
Liz? Are you okay?” Gadis berambut keriting itu memegangi tangan gadis cantik
yang kuyakini bernama Lizzy.
Hal
selanjutnya yang terjadi adalah tubuh Lizzy jatuh dan ia terbaring tak berdaya.
>>>>
LIZZY’s
P.O.V
“Lizzy?”
Aku mendengar seseorang memanggilku ketika aku mulai membuka mata.
“Apa
yang terjadi?” tanyaku seraya mencoba duduk dan memegangi kepalaku yang terasa
berat.
“Kau
pingsan. Lagi.” Kudengar Danielle berkata padaku.
“Kau
tidak apa-apa?” Seseorang memegang pundakku membantuku duduk dengan baik.
“Yah,
sedikit pusing.” Kutatap DIA.
“Jared?
Mengapa rambutmu menjadi pirang?” tanyaku.
Ia
terkekeh.
“Liz,
dia bukan Jared.” Ucap Liam.
“Oh,”
aku menunduk.
“Dia
adalah Niall.” Kata Danielle.
“Hai,
aku Niall. Maafkan aku, aku bukan Jared.” Niall tersenyum lemah padaku.
“T—tak
apa.” Aku tergagap.
Niall
membantuku berdiri.
Sisa
hariku, kuhabiskan untuk berkumpul bersama Liam, Danielle dan Niall.
>>>>
“Maafkan
kami, Liz. Kami tidak dapat mengantarmu pulang.” Liam terlihat sedih.
“Tidak
apa-apa.” Aku mencoba tersenyum.
“Aku
dapat mengantarmu pulang.” Niall tersenyum malu.
“Baiklah,
kami duluan, ya?” Danielle memelukku.
“Bye,
Liz.” Liam memelukku.
Kemudian
Danielle dan Liam pergi meninggalkanku dalam keadaan canggung bersama Niall.
“So...
shall we go?” Ajak Niall.
“Yeah,”
aku mengangguk kecil.
Seluruh
perjalan terasa awkward.
“Terima
kasih banyak, Jared.” Gumamku.
“Uh...
I’m not, Jar—“
“Oh,
sorry. Thanks, Niall.” Aku tersipu.
“Iya,
tak apa.” Niall tersenyum.
“Jadi...
bisakah kita besok bertemu?” Lanjut Niall.
“Tentu.”
Jawabku singkat.
“Aku
akan menunggumu di Nando’s, besok hari liburku.” Niall menyeringai.
“Ok.”
Jawabku.
“Dah,
Niall.” Ucapku seraya menutup pintu.
>>>>
Niall’s
P.O.V
Dia
menutup pintu begitu saja. Aku mendesah. Mengapa dia bersikap sangat dingin
padaku? Apa yang telah kulakukan? Dan siapa Jared itu?
Mungkin
dia bersifat seperti ini karena dia belum mempercayaiku. Atau mungkin karena
dia tidak suka padaku?
Hentikan,
Niall apa yang kau pikirkan? Bodoh.
Kau
terus saja memikirkan apa yang dia rasakan, Niall. Bagaimana dengan dirimu
sendiri? Apa yang kau rasakan padanya?
Tunggu...
Mengapa kau berbicara pada dirimu sendiri, Niall? Bodoh sekali.
Baiklah.
Pernakah kalian merasakan sesuatu berterbangan di dalam perutmu saat kau
pertama kali melihat seseorang yang begitu indahnya?
Itulah
yang kurasakan saat ini pada Lizzy. Dia... sempurna. Dan jujur saja, aku
menginginkannya untuk menjadi milikku selamanya. Tapi apakah dia mau
menjadikanku sebagai miliknya?
>>>>
Lizzy’s
P.O.V
Aku
tidak dapat menyukainya. Tidak. Hatiku hanya untuk Jared. Rasa sayangku hanya
untuk Jared seorang. Aku tidak dapat membaginya.
Tapi
dapatkah aku menahannya rasa ini? Bila seseorang yang ada dihadapanku ketika
itu adalah seseorang yang mirip sekali dengan Jared? Tidak hanya tampang dan
perawakannya. Tetapi juga, cara dia berbicaranya, cara ia tersenyum, caranya
tertawa. Mengapa mereka dapat menjadi begitu mirip? Tidak mungkin, ini semua
hanyalah kebetulan. Aku harus mengetahui segalanya. Antara Niall dan Jared.
>>>>
“Ibu,
aku akan pergi ke rumah Jared.” Seruku.
“Tunggu.
Apa?” tanya ibu.
“Ya,
aku ingin mengunjungi keluargannya.” Jawabku singkat.
“Oh.
Ok.” Ibu mengangkat bahu pertanda ia tidak ingin pembicaraan ini menjadi
panjang lebar.
“Bye.”
Sahutku seraya menutup pintu dan berjalan keluar.
Beberapa
menit setelah menyetir, sampailah aku di depan rumah Jared dan keluarganya.
Rumah milik Jared-ku. Dimana kami pertama kali berciuman. Dimana aku mulai
mengenal keluarganya. Aku menarik nafas dalam-dalam. Menahan air mata yang
memaksa untuk turun mengalir di pipiku. Aku mengetuk pintu perlahan.
Setelah
beberapa ketukan, seseorang membuka pintu.
“Hai—“
orang itu berhenti.
“Hai,
Nyonya Marvin.” Aku tersenyum lemah.
“Elizabeth?”
Ibu Jared mengernyitkan dahi.
“Ya,
sudah lama saya tidak kemari.” Aku kembali tersenyum.
“Iya...
sudah lama. Ada keperluan apa, sayang?” Ny. Marvin tersenyum lemah.
“Saya
ingin mengambil barang saya yang tertinggal disini. Bolehkah saya masuk?” Aku
bertanya.
“Tentu
saja, kau adalah keluarga disini. Anggap saja rumah sendiri.” Ny. Marvin
mempersilahkanku masuk.
“Kau
boleh langsung menuju kamar Jared. Jika kau mau. Kami tidak keberatan sama
sekali.” Ujar Ny. Marvin ketika aku masuk ke dalam rumah.
Dapat
kulihat rasa sakit di matanya ketika ia menyebut nama Jared.
“Kau
boleh langsung ke kamar Jared.” Ny. Marvin tersenyum.
“Terima
kasih.” Ucapku seraya menuju ke kamar Jared.
Wangi
parfum Jared menghiasi seluruh ruangan kamarnya. Aku merasakan air mata di
kedua pelupuk mataku. Masih ada sehelai pakaianku di ujung kasur Jared.
Kuteringat saat-saat dimana kami bersama sampai larut malam. Aku merindukannya.
“Jared..
andai kau masih disini...” gumamku.
Kutemukan
sebuah buku, ketika aku mengambil pakaianku. Kemudian kugapai buku itu dan
kubuka perlahan. Betapa kagetnya aku mendapati foto Niall dalam buku itu.
‘apa-apaan ini?’ pikirku.
Dibawah
foto-foto itu tertulis :
Niall Horan. 13 September 1993.
Mullingar, Wesmeath, Irlandia.
Pelayan Restoran Nando’s.
Orang Tua: Bobby
Horan.
Maura
Gallagher.
Saudara: Greg
Horan.
Semua
data mengenai Niall ada dalam buku ini. Di setiap foto terdapat
keterangan-keterangan tentang dimana foto ini diambil dan kapan foto ini
diambil.
Kekagetanku
semakin menjadi ketika foto pertama diambil saat Jared pertama kali tinggal
disini, setelah pindah dari Amerika.
Aku
melompat kaget karena telepon genggamku berdering.
NIALL.
“Halo,
Niall?” sahutku.
“Oh,
hai, Liz.” Ujar Niall.
“Darimana
kau mendapatkan nomorku?” tanyaku.
“Err..
Kemarin aku sempat meminta nomormu pada Liam. Maafkan aku.” Ujar Niall.
“Ah,
tidak apa.” Ucapku.
“Err,
Liz. Maukah kau bertemu sekarang di Nando’s?” tanya Niall.
“Tentu.
Aku memiliki sesuatu yang harus kubicarakan denganmu.” Ujarku singkat.
“Oh
ya? Em. Ok. Kutunggu kau sekarang juga. Dah.” Dapat kudengar Niall tersenyum.
“Dah.”
Aku menutup telepon.
Kuambil
buku dan pakaianku. Segera aku keluar dari rumah keluarga Marvin, dan menyetir
secepat mungkin ke Nando’s.
>>>>
NIALL’s
P.O.V
Aku meneguk kopiku. Menunggu Lizzy untuk datang. Jantungku
berdegup kencang. Lizzy bilang, ia ingin membicarakan sesuatu. Aku berharap
bahwa ia akan mengatakan sesuatu yang telah kunanti.
Lihatlah
dia, begitu cantik dalam pakaian hangatnya. Mengapa dia harus menjadi begitu
cantik? Apa yang dapat kulakukan agar dia dapat tersenyum karenaku? Selama ini
dia tersenyum, tapi, masih ada kesedihan dalam matanya.
“Niall.”
Sapanya sebelum duduk di depanku.
“Hai,”
Aku tersenyum.
“Aku
ingin bertanya padamu.” Ucap Lizzy.
“Silahkan.”
Aku tersenyum kembali.
“Apakah
kau memiliki saudara kembar?” tanya Lizzy.
“Apa?”
aku menatapnya kebingungan.
“Apakah
kau memiliki saudara kembar?” Lizzy mengulangi pertanyaannya.
“Uh,
aku tidak tahu. Ibuku pernah bilang bahwa aku memiliki kembaran, tetapi, ia
meninggal saat ibu melahirkannya.” Jelasku.
Lizzy
menatapku dalam-dalam.
“Tidak
mungkin. Coba lihat ini.” Lizzy memberikanku sebuah buku berwarna hitam.
“Apa
ini?” Tanyaku kebingungan.
“Sudahlah,
buka saja.” Ujarnya.
Kubuka
buku itu perlahan, dan kudapati beberapa foto saat melakukan aktifitas, dan
terdapat sebuah dokumen berisi data diriku.
“What
the hell?” seruku.
Lizzy
hanya menatapku.
“Apa-apaan
ini?” tanyaku kembali.
“Aku
menemukan buku ini di kamar Jared. Aku rasa Jared mengenalmu.” Jawab Lizzy.
“Liz..”
aku menutup buku itu.
“Lupakan
semua ini. Aku mengajakmu kemari untuk berkenalan lebih dekat denganmu. Bisakah
dia lupakan semua ini dan memulai hal baru?” tanyaku lembut.
“Tapi
ini Jared, Niall.” Nada berbicara Lizzy melemah.
“Lizzy,
aku menyukaimu, aku mohon...” pintaku.
“Tidak,
Niall. Aku tidak bisa melakukannya.” Lizzy menggelengkan kepala.
“LIZ!
AKU DAPAT MEMBUATMU BAHAGIA. LUPAKANLAH JARED, ENTAH SIAPAPUN DIA. AKU TIDAK
PEDULI! AKU MENCINTAIMU!” aku berteriak padanya.
Lizzy
menundukkan kepalanya. Matanya berair. Oh tidak.
“Kau
tidak mengerti apa-apa mengenai Jared!” Lizzy balas berteriak.
Dengan
cepat kupegang wajah Lizzy dan kucium bibir manisnya. Lizzy hanya terdiam.
Setelah beberapa detik, aku melepaskan ciuman.
Kemudian
kurasakan panas pada pipiku. Lizzy menamparku dengan keras.
“TEGANYA
KAU MELAKUKAN HAL ITU?! TEGANYA KAU MENGAMBIL KEUNTUNGAN SAAT AKU SEDANG
SEDIH?!” Lizzy berteriak sambil menangis.
“A—aku
tidak bermaksud—“
“Cukup!”
Lizzy berlari menuju mobilnya dan pergi.
Apa
yang telah kulakukan?
>>>>
LIZZY’s
P.O.V
Aku
menyetir mobil pada satu tujuan; JARED.
“Hi,
Jar..” gumamku seraya membelai nama Jared.
“Aku
merindukanmu.” Aku mencium batu nisan Jared.
“Maafkan
aku, Jared. Aku merasa seperti berselingkuh darimu dengan Niall.” Kataku.
“Aku
tidak pernah bermaksud berselingkuh darimu. Niall lah yang memulai.” Aku
membelai batu nisan Jared.
Aku
tetap berbicara meski kutahu, bahwa Jared tidak akan menjawab apa pun yang
kukatakan.
“Aku
menyukai Niall. Tapi, aku tidak sanggup menyayanginya. Karena, hanya kaulah
satu-satunya, Jar.” Ucapku.
“Tak
ada yang seperti kita.” Aku tersenyum lemah menatap tempat dimana Jared
berbaring.
“Tak
ada yang seperti dirimu. Bersama kita lalui segalanya.” Lanjutku.
“Aku
memberimu segalanya, Jar. Segala yang kupunya. Tapi mengapa kau meninggalkanku?
Semua hal menjadi lebih susah saat kau pergi.” Aku menahan tangis.
“Ingatkah
kau saat kita tertawa sangat keras? Waktu itu kau mencoba gerakan tari baru dan
kau terpeleset di depan umum?” Aku tertawa kecil.
“Ingatkah
kau saat, aku menangis karena hal bodoh?” lanjutku.
“Tapi,
semua itu hanya masa lalu. Kita tidak bersama selamanya. Kematian mendatangimu,
sayang. Aku rindu padamu. Benar-benar rindu padamu.” Aku tak tahan lagi, air
mata mulai mengalir di wajahku.
“Lizzy?”
seseorang memanggilku.
Aku
menoleh untuk mendapati Niall berdiri di belakangku dengan raut muka yang
sedih.
“Apa
maumu?” Aku menyeka air mata.
“Ma—maafkan
aku. Aku tidak bermaksud membuatmu menangis. Kau benar, aku tidak tahu apapun
mengenai Jared. Dan aku tidak tahu bahwa dia segalanya bagimu.” Niall menatapku
lembut.
“Terserah
saja.” Ujarku seraya berdiri.
“Dan
aku sadar bahwa aku tak dapagt menggantikan Jared dalam hidupmu. Tapi aku
mohon, biarkan aku berusaha membantumu.” Lanjut Niall.
“Maaf,
Niall. Aku tidak butuh bantuanmu.” Ujarku seraya pergi meninggalkannya.
“Tunggu,”
Niall menggapai tanganku.
“Aku
benar-benar dapat membantu.” Mata biru Niall menatapku dalam-dalam.
“Apa
maksudmu?” Tanyaku.
“Kita
dapat pergi ke rumahku. Dan menanyakan ibuku, mengenai Jared.” Jawab Niall.
“Kau
benar-benar akan membantuku?” Tanyaku.
“Iya,
aku melakukannya sebagai permintaan maaf.” Niall tersenyum.
“Terima
kasih,” aku membalas senyumannya.
“Tentu,”
Niall meremas tanganku. Membuat diriku melemah dalam genggamannya.
Kamipun
memulai perjalanan ke rumah Niall.
>>>>
“Mum!”
Seru Niall.
“Wha—Hi..
Who is this?” Ibu Niall menunjukku.
“This
is Lizzy, Mum.” Niall tersenyum.
“Oh..
THAT Lizzy.” Ibu Niall tersenyum padanya.
Aku
hanya dapat memandangi mereka dalam kebingungan.
“Uh,
Ibu, Lizzy ingin menanyakan sesuatu.” Ucap Niall.
“Tentu,
silahkan,” Ibu Niall mempersilahkan kamu duduk.
“Nyonya,
apakah anda mengenal anak lelaki ini?” Aku menyodorkan foto Jared.
“Tentu,
ini Niall.”
“Bukan,
coba perhatikan. Niall berambut pirang, dia berambut cokelat.”
“Oh,
tidak aku tidak mengenalnya.”
“Dia
adalah Jared Marvin.”
“Jared
Marvin?”
“Ya.”
Ibu
Niall terdiam sebentar, memandangi foto Jared. Kemudian ia tersenyum lemah pada
kami.
“Kembaranmu,
Niall. Iya kan?” Ibu Niall menatap Niall.
“Aku
punya kembaran? Tapi ibu bilang dia telah meninggal?” Tanya Niall.
“Iya,
ibu pikir dia telah meninggal. Karena keadaannya yang sangat lemah. Akhirnya,
ayah dan ibu hanya membawamu pulang.” Ujar Ibu Niall.
“Setelah
beberapa tahun. Ibu mendapat telepon, dari seseorang bernama Jared Marvin. Dia
bilang bahwa ia ingin kembali. Ibu tidak tahu apa maksudnya. Dan ibu juga tidak
tahu bagaimana rupa Jared itu.” Lanjut ibu Niall.
“Ia
juga bilang bahwa ia telah memperhatikanmu selama ini. Ia ingin bertemu
denganmu, Niall. Tapi ia tidak tahu bagaimana caranya.” Ibu Niall memandangi
lantai.
“Mengapa
ibu tidak pernah mengatakan sebelumnya padaku?” Tanya Niall.
“Karena
ibu berpikir bahwa ia adalah ancaman. Dan kini ibu tahu siapa Jared itu.” Ibu
Niall terisak.
“Maafkan
aku, Mrs. Gallagher.” Aku mengelus pundaknya.
“Tak
apa.” Ibu Niall tersenyum lemah padaku.
>>>>
Aku dan Niall menjadi sangat dekat sejak saat itu. Niall
telah mengungkapkan perasaannya padaku. Dia bilang bahwa dia mencintaiku. Tapi,
aku menolaknya. Meskipun, Niall dan Jared memiliki banyak kesamaan, dalam hal
kepribadian dan perawakan mereka. Aku masih tidak dapat melupakan Jared.
Satu-satunya lelaki yang sangat mengertiku.
“Kau ingin makan apa?” Tanya Niall yang sedang menyetir.
Kami
akan pergi makan malam sebagai teman. Kami melakukan hal itu hampir setiap
hari.
“Terserah
kau saja.” Jawabku.
“Bagaimana
dengan Nando’s?” Niall menyeringai.
“Bosan.”
Kataku.
Niall
terkesiap.
“Teganya
kau!” Kami tertawa.
“Memang
membosankan. Kita telah makan disana setiap hari.” Ujarku
“Hei!
Nando’s itu tempat yang menyenangkan! Aku bekerja disana!” Sahut Niall.
Kamipun
bertengkar selama perjalanan.
Dan
hal selanjutnya yang kuingat adalah kegelapan.
>>>>
NIALL’s
P.O.V
Aku
membuka mata perlahan. Kulihat sekelilingku dengan seksama.
‘Ini bukan kamarku.’ Pikirku.
Dinding
ruangan ini berwarna putih. Tidak kutemukan TV atau laptopku dimanapun.
‘Dimana aku?’ tanyaku pada diriku sendiri.
“Ah,
Mr. Horan! Good morning.” Seseorang berjaket putih masuk ke dalam ruangan.
“Are
you a doctor?” Tanyaku.
“Yes,
sir. I am.” Pria itu menjawabku.
“It
means I’m in a hospital?” tanyaku kembali.
“Yes.”
Jawab sang dokter.
“Why?
Am I sick?”
Dokter
itu terdiam.
“Kau
telah mengalami kecelakaan mobil, tadi malam.” Jawab dokter.
“Apa?
Kecelakaan?” Seruku.
Kecelakaan?
Tadi malam? Saat aku pergi bersama Lizzy...
LIZZY.
“Dimana
Lizzy?” Tanyaku.
“Lizzy?”
dokter itu kembali bertanya.
“Iya.
Elizabeth Geldof?” ucapku.
“Oh.
Dia masih dalam perawatan. Saat kecelakaan, tubuh anda terlindungi. Sedangkan
Elizabeth tidak. Dan kami meyakini, dia harus menjalani koma.” Dokter itu
mengerutkan dahi.
“Biarkan
aku bertemu dia. Aku mohon.” Pintaku.
“Tentu,
keadaan anda telah stabil. Anda boleh menemuinya.” Ujar dokter.
“Ruang
135.” Lanjut dokter.
Segera
aku berlari menuju ruang dimana Lizzy dirawat. Dia harus baik-baik saja. Dia
tidak boleh pergi.
Aku
menatap tubuh kecilnya terbaring. Liam dan Danielle duduk di sofa dalam ruangan
tersebut.
“Niall?”
panggil Liam.
“Hei.
Apakah dia baik-baik saja?” tanyaku seraya mengelus tangan Lizzy.
“Dia
masih tertidur. Dokter bilang dia mengalami koma.” Jawab Liam.
“Berapa
lama?” Tanyaku. Menatap wajah Lizzy yang terlihat damai.
“Entah.
Koma dapat berlangsung sampai beberapa tahun, Niall.” Jawab Liam.
“Dimana
orang tuanya?”
“Mereka
sedang mencari makan. Mereka telah menunggunya semalaman.”
Kami
terdiam. Tak ada satupun dari kami yang berkata. Liam merangkul Danielle yang
sedang khawatir. Dan aku hanya dapat duduk di sebelah tubuh Lizzy yang
terbaring.
“Kau
harus bangun, Liz. Aku mohon padamu. Aku membutuhkanmu. Kami semua
membutuhkanmu.” Bisikku pada Lizzy.
>>>>
Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Tahun berganti
tahun. Tetapi, Lizzy tidak juga terbangun dari komanya. Aku, Liam, Danielle dan
orang tua Lizzy terus bergantian menjaganya. Lizzy telah menjalani koma selama
3 tahun. Ketika ia ulang tahun, kami hanya dapat membawa kue kecil dan
berpura-pura bahwa Liz berada disitu, dan hidup. Setiap hari aku menangis,
memohon pada Lizzy untuk membuka matanya. Tetapi semua hasil adalah nihil.
Lizzy masih terbaring di kasur rumah sakit. Setiap hari kubisikan nyanyian lagu
untuknya. Setiap hari kuceritakan keseharianku padanya. Berharap ia akan
terbangun dan ikut tertawa. Aku merelakan segalanya untuk Lizzy. Aku merelakan
pekerjaanku. Aku merelakan kesehatanku. Aku tidak memiliki apa-apa lagi. Tak
ada yang dapat kupegang. Tak kumiliki sandaran hati.
“Hey,
princess.” Gumamku ketika aku duduk di sebelah Lizzy yang terbaring.
Kukecup
kening Lizzy.
“Today,
Liam proposes Danielle. It was wonderful! He proposed her in a beach. Danielle
can’t stop crying because of it. And Liam almost dropped the ring.” Aku
tersenyum menatap Lizzy.
“But,
we wish you were there, princess.” Aku menundukkan kepala. Tak kuasa lagi
menahan rasa rindu dan sedihku.
“I
always wish that you were here with me. Laughing with me.” Ucapku seraya
menggenggam tangan Lizzy.
“I
miss your smile. I miss your laugh. I miss the way you pouted. I miss you.” Aku
mulai menangis.
Aku
terus menangis sampai kusadari aku telah tertidur.
>>>>
LIZZY’s
P.O.V
Setiap
hari aku mendengar banyak orang berbicara. Setiap malam aku mendengar seseorang
membisikkan nyanyian yang indah. Tetapi, aku tidak dapat melihat apa yang
terjadi. Yang kuketahui adalah aku berada dalam koma.
Saat
ini aku berada dalam sebuah ruangan putih. Aku tidak tahu ruangan apa ini.
Ruangan ini kosong. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Hanya ada aku dan kehampaan.
“Lizzy?”
Aku mendengar seseorang memanggilku.
Aku
menoleh untuk mendapati seorang anak lelaki seumuranku, tersenyum manis padaku.
“Niall?”
tanyaku.
Anak
lelaki itu tertawa kecil.
“Bukan.
Ini aku, Jared.” Ia tersenyum.
“Jared?
Apa yang kau lakukan disini? Dimana aku? Apakah aku sudah meninggal? Apakah ini
surga?” Tanyaku.
“Bukan,
sayang, bukan.” Jared tersenyum.
“Apa
yang kau lakukan disini, Jar?” tanyaku kembali.
“Aku
disini untuk membantumu.” Ujarnya.
Aku
menatapnya kebingungan.
“Aku
tahu kau tidak dapat melupakanku. Aku pun tidak pernah bisa melupakanmu,
sayang.” Jared membelai pipiku.
“Tapi
kau harus menjalankan hidupmu. Aku tak kuasa melihatmu sengsara.” Ujar Jared.
“Aku
hanya merindukanmu.” Ucapku.
“Aku
tahu. Dan aku akan lebih bahagia bila kau dapat melanjutkan hidupmu.” Jared
tersenyum.
“Ada
orang lain disana yang sedang menantimu untuk terbangun dan mencintainya.”
Lanjut Jared.
“Siapa?”
tanyaku.
“Saudara
kembarku, Niall.” Jawab Jared.
“Tidak.
Bagaimana kau mengetahuinya?” tanyaku.
“Kau
harus percaya ini. Karena dia ditakdirkan untukmu. Bukan aku.” Jawabnya.
“Tapi—“
“Dia
menungguimu setiap hari. Dia rela tidak makan beberapa saat demi kau. Dia rela
keluar dari pekerjaannya, agar dapat menemanimu setiap hari. Bagaimana kau dengan
mudah menolaknya?” Jared bertanya padaku.
“Dia
benar-benar melakukan itu?” Jared mengangguk pelan.
“Aku
tahu kita saling menyayangi. Dan aku tahu kau menyayangi Niall seperti kau
menyayangiku. Tetapi kau sangat takut untuk menyayanginya. Karena bagimu hal
itu salah.” Ujar Jared.
“Tapi,
kau harus tahu, bahwa aku ingin kau mengatakan padanya bahwa kau juga
mencintainya. Bahwa kau ingin dapat hidup bersamanya. Karena, sebagian dari
diriku ada bersamanya, dan selalu bersamamu.” Dengan itu, Jared menghilang.
Jared
benar aku harus melakukannya.
Kucoba
membuka mata perlahan. Kudapati diriku sedang terbaring di dalam sebuah kamar
rumah sakit. Aku mencoba untuk duduk, dan melihat Niall sedang tidur pulas di
sebelahku, dengan tangan terkait dengan tanganku. Niall terlihat sangat damai
dan lucu saat tidur. Tetapi, ada yang berbeda. Wajahnya dibasahi oleh air mata.
Apakah dia menangis sebelumnya? \
Kubelai
pipi merah Niall.
“Iya,
Ibu. Aku akan pulang..” Niall bergumam dan masih setengah tidur.
Aku
tertawa kecil, melihat keluguannya. Kemudian aku kembali membelai pipinya
kembali.
“Niall..”
panggilku.
Niall
mulai membuka mata. Dan betapa kagetnya dia melihatku.
“Li...
Lizzy?” Niall membelalakkan mata.
“Hai.”
Aku tersenyum.
“Kau...
Kau terbangun!” Seru Niall, kemudian tersenyum lebar.
“Aku
tidak menyangka! Maafkan aku atas—“ aku memotongnya dengan mencium bibir
lembutnya.
Niall
terlihat kaget dan tidak membalas ciumanku.
“Aku
mencintaimu. Dan terima kasih telah menemaniku selama ini.” Ucapku setelah
melepas ciuman.
Niall
tersenyum, “Sama-sama”
Perutku
melintir dalam kegembiraan dan kebahagiaan, saat tangan Niall menyelipkan
sehali rambutku ke telingaku. Mata biru lautnya menatapku penuh kaish sayang.
Bibir Niall hanya berjarak beberapa inci dari bibirku. Niall semakin mendekat,
membuat dada kami bertemu. Niall meletakkan kedua tangannya di pinggangku
ketika tanganku terkait di lehernya. Mata Niall kemudian memperhatikan bibirku.
Kemudian, kedua mata indah itu tertutup saat ia mulai menciumku kembali. Rambut
pirangnya menyapu keningku. Bibir kami bergerak secara seksama. Dia membuatku
meleleh dalam pelukannya. Jantungku berdegup sangat kencang, ketika Niall
mengeratkan pelukannya.
“I
love you, Lizzy. Forever and always.”
No comments:
Post a Comment