Finalis #1DFanficContest13
by Felicia Rena , 18
LOLS
Kelima anggota One Direction turun dari
atas panggung setelah melakukan gladi bersih untuk konser mereka nanti malam.
Mereka langsung disambut oleh salah satu event
organizer konser dari Perancis. Saat ini mereka memang tengah mengadakan
konser di ibukota negara yang terkenal dengan Menara Eiffel-nya itu.
“Penampilan yang bagus sekali. Aku
yakin konser nanti pasti akan sukses,” kata event
organizer itu sambil menyalami personil One Direction satu-persatu.
“Terima kasih,” balas kelima personil
One Direction.
“Sekarang kalian bisa beristirahat
dulu. Masih ada waktu dua jam sebelum konser dimulai. Kalau kalian memerlukan
sesuatu, katakan saja padaku, oke?” lanjut si event organizer dengan bahasa Inggris yang lancar walaupun masih
kental dengan aksen Perancis.
Setelah itu Louis, Zayn, Liam, Harry
dan Niall kembali ke ruang ganti mereka untuk beristirahat sebelum memulai
konser. Sesampainya di ruang ganti mereka, Zayn langsung merebahkan dirinya di
atas sofa dan menutup matanya sementara Harry, Liam dan Niall pergi lagi ke
luar untuk mencari makanan. Louis duduk di salah satu kursi rias dan menyalakan
televisi, mengganti-ganti saluran untuk mencari acara yang menarik untuknya.
Sekitar sepuluh menit kemudian, pintu
ruangannya diketuk. Berhubung hanya ada dirinya dan Zayn yang sudah terlelap di
ruangan itu, maka Louis bangkit berdiri dan berjalan ke arah pintu. Louis
membuka pintunya dan menemukan seorang gadis berkacamata dan rambut diikat
berdiri di balik pintunya sambil menatap ke arah noteboard-nya.
“Can
I help you?” tanya Louis.
“Saya diminta untuk menyampaikan pada
Anda semua bahwa Anda diharapkan sudah bersiap di belakang panggung setengah
jam sebelum konser dimulai. Lima belas menit lagi tim make-up akan segera
merias kalian. Tim wardrobe juga akan
segera sampai dan membawa kostum kalian, jadi tolong kalian jangan pergi
terlalu jauh. Kalau kalian memerlukan sesuatu, katakan saja pada kami,” ucap
gadis itu panjang lebar tanpa melepas pandangan dari noteboard-nya.
Louis nampaknya tidak menyadari bahwa
dia sedang menatap gadis itu dengan mulut sedikit terbuka. Cara bicara dan
gerak-gerik gadis itu nampak tidak asing baginya, namun dia tidak bisa
mengingat lebih jauh. Satu hal yang menarik perhatian Louis adalah gadis itu
bicara dengan logat British, tanpa sedikitpun aksen Perancis di dalamnya.
Sebenarnya Louis merasa penarasaran
dengan gadis di depannya ini. Belum pernah ada orang yang berbicara dengan
salah satu personil One Direction tanpa menatap langsung, seolah noteboard yang berada di genggaman gadis
itu jauh lebih menarik daripada dirinya.
“Baiklah, aku mengerti,” kata Louis
akhirnya. “Harry, Liam dan Niall sedang keluar sekarang, tetapi aku akan segera
menelepon mereka. Aku akan memastikan mereka sudah berada disini saat tim wardrobe dan tim make-up datang. Terima
kasih.”
Louis sudah menggerakkan tangannya
untuk menutup pintu ketika tiba-tiba gadis itu mengangkat kepalanya. Di balik
kacamata tipisnya, mata biru gadis itu menatap langsung ke arah Louis.
“Lama tidak bertemu,” ujar gadis itu
sambil tersenyum kemudian melepas kacamatanya sehingga menampilkan mata birunya
yang terang. “Louis Tomlinson.”
Louis menatap gadis itu dengan kedua
mata terbelalak. Tangan kanannya masih memegang pintu yang sudah seperempat
tertutup. Mulutnya kembali terbuka ketika otaknya mulai mengenali gadis yang
saat ini tersenyum padanya.
“Katie? Cathrine Carter,” ucap Louis
lirih.
“Kau masih mengenaliku?” tanya Katie
tanpa sedikitpun melepas senyumnya.
Bagaimana mungkin Louis bisa melupakan gadis
itu serta senyumannya? Sementara senyuman yang sama sudah pernah menawan
hatinya beberapa tahun yang lalu. Senyuman itu jugalah yang seketika berhasil
membangkitkan kenangan yang sudah lama dikuburnya dalam-dalam.
“Apa yang kau lakukan disini?” Louis
balik bertanya.
Hanya berselang dua detik setelah
menyanyakan hal itu, Louis ingin memukul kepalanya sendiri karena merasa sangat
bodoh. Bukankah hal tersebut tidak perlu ditanyakan lagi? Tentu saja gadis itu
sedang bekerja.
“Bekerja, tentu saja,” jawab Katie
sesuai dugaan Louis. “Aku bekerja sebagai event
organizer sekarang dan kebetulan sekali hari ini aku dan tim-ku yang
bertugas untuk mengurus konsermu.”
“Kau—tinggal di Paris sekarang?” tanya
Louis.
“Ya. Aku pindah ke Paris tiga tahun
yang lalu. Sebelumnya aku bekerja pada sebuah majalah di New York,” jelas
Katie.
“Begitukah?” Pandangan Louis tampak
sedikit menerawang. “Sudah lama sekali kita tidak bertemu.”
Katie kembali tersenyum menanggapi.
Hanya saja kali ini terpancar aura sedih dari senyumannya. “Ya. Sudah enam
tahun lamanya,” kata Katie.
Sesaat tidak ada lagi yang berbicara di
antara keduanya. Mereka hanya saling menatap dalam diam, seolah berusaha untuk
menyelami pikiran masing-masing.
“Apa yang sedang kalian lakukan?”
Harry, Liam dan Niall tiba-tiba muncul dengan tangan yang sibuk memeluk
bungkusan makanan. Ketiganya menatap bingung ke arah Louis dan Katie yang
segera memakai kembali kacamatanya.
“Aku akan pergi sekarang kalau begitu.
Tolong sampaikan apa yang sudah ku katakan tadi pada yang lain. Permisi,” kata
Katie sebelum beranjak pergi meninggalkan Louis yang masih dalam posisi
mematung dan ketiga personil lain yang masih menatap heran pada mereka berdua.
“Siapa dia?” Liam bertanya pada Louis.
“Event
organizer,” jawab Louis singkat.
“Lalu untuk apa dia datang kemari? Apa
dia salah satu penggemarmu dan meminta tanda tanganmu?” Kali ini Niall yang
bertanya.
“Dia cantik juga. Tapi dia tidak
terlihat seperti orang Perancis,” tambah Harry sambil menoleh ke arah punggung
Katie yang semakin menjauh sampai gadis itu menghilang berbelok di lorong.
“Dia orang Inggirs,” sahut Louis tanpa
sadar.
“Darimana kau mengetahuinya?” tanya
Harry sambil mengernyitkan dahinya.
“Dia berbicara dengan aksen British,”
jawab Louis membuat ketiga rekannya mengangguk-anggukkan kepala. “Tidakkah
kalian mendengarnya ketika dia bicara tadi?”
Louis kemudian berbalik dan kembali
masuk ke dalam ruang ganti. Harry, Liam dan Niall mengikuti dibelakang Louis.
“Apa yang dia katakan?” tanya Niall
lagi.
“Dia hanya menyampaikan bahwa sebentar
lagi tim make-up dan tim wardrobe
akan tiba, jadi kita tidak boleh pergi kemana-mana. Kita juga diminta untuk
sudah siap di belakang panggung setengah jam sebelum konser dimulai,” jawab
Louis sambil membuka salah satu bungkusan makanan yang dibawa oleh Niall.
“Oohh,” Niall, Louis dan Harry
sama-sama membentuk ‘O’ dengan mulut mereka.
“Bangunkan Zayn sekarang!” perintah
Louis sambil menggigit burger.
Tidak lama kemudian datanglah tim
make-up dan tim wardrobe dengan membawa kostum yang akan dipakai oleh One
Direction di konser malam ini. Liam dan Niall adalah orang pertama yang di
make-up. Sementara itu Louis dan Harry mencoba kembali kostum mereka. Zayn yang
baru bangun sekarang sedang duduk di sofa sambil memakan burgernya.
Tiga puluh menit menjelang konser
dimulai, kelima personil One Direction sudah berkumpul di belakang panggung
untuk melakukan pengecekan terakhir. Sementara rekannya yang lain mempersiapkan
mik dan peralatan lain yang akan mereka gunakan, Louis justru berdiri dan
memandang berkeliling seperti mencari seseorang.
“Mencari siapa?”
Louis memutar tubuhnya dan menemukan
Katie sedang tersenyum padanya. “Kau ini mencari siapa?” tanya Katie lagi.
“Tidak. Aku sedang tidak mencari
siapa-siapa,” jawab Louis.
“Kalau begitu kenapa kau justru
memandang berkeliling seperti tadi? Bukankah rekan-rekanmu sekarang sedang
mempersiapkan mik dan lain-lain?” ujar Katie.
“Aku juga akan mengecek mik-ku
sekarang,” sahut Louis sambil beranjak pergi untuk kembali bergabung dengan
grup-nya.
“Good
luck!” ucap Katie ketika Louis melewatinya. Laki-laki itu berhenti
melangkah dan menoleh ke arah Katie yang hanya tersenyum kecil padanya. Louis
kemudian mengangkat ibu jari tangan kanannya sambil tersenyum dan kembali
melangkah.
.
Louis duduk termenung sendirian di
sebuah cafe di kawasan Paris. Tangannya mengaduk-aduk coffee latte-nya sampai
tercampur. Rangkaian kegiatannya di Paris sudah selesai hari ini dan besok pagi
dia beserta kawan-kawannya akan kembali ke Inggris.
Pikiran Louis melayang pada seorang
gadis yang belum lama ini ditemuinya lagi. Cathrine Carter. Louis tidak bisa
menahan diri untuk tidak tersenyum hanya dengan mendengar namanya. Gadis itu
benar-benar membangkitkan kenangan-kenangan yang Louis kira sudah dia lupakan.
Louis dan Katie adalah teman maca
kecil. Mereka tumbuh bersama di lingkungan yang sama, bahkan bersekolah di
tempat yang sama sampai mereka menginjak bangku SMP. Sayangnya, ketika akan
melanjutkan ke SMA, Katie dan keluarganya pindah ke New York. Sejak saat itu
Louis kehilangan komunikasi dengan Katie.
Louis harus mengakui bahwa dulu dia
sangat menyukai Katie. Dia menyukai segala yang ada dalam diri Katie. Kulitnya
yang putih, rambut cokelatnya yang bergelombang, mata birunya, bahkan sampai
cara Katie memanggil namanya. Namun sayangnya, Katie sudah terlebih dulu pergi
sebelum Louis bisa mengungkapkan perasaannya. Dengan kepergian Katie ke
seberang benua, maka kisah cinta pertama Louis berakhir begitu saja.
“Sendirian saja?”
Louis menoleh cepat mendengar suara
Katie memasuki indra pendengarannya. Laki-laki itu kemudian menemukan Katie
berdiri di samping tempat duduknya sambil tersenyum padanya. Gadis itu memegang
ice americano di tangannya.
“Ya,” jawab Louis. “Kenapa kau ada
disini?”
“Aku? Ah, cafe ini adalah cafe
langgananku. Aku memang sering sekali kesini,” balas Katie. “Bolehkah aku
bergabung denganmu?”
“Tentu saja,” kata Louis sambil balas
tersenyum. “Aku justru senang kalau kau mau menemaniku.”
“Apa kabarnya kedua orangtuamu?” tanya
Katie.
“Mereka baik-baik saja,” jawab Louis.
“Bagaimana dengan orangtuamu?”
“Mereka juga sehat-sehat saja,” ucap
Katie. “Bagaimana kabarnya Inggris?”
Louis tidak langsung menjawab
pertanyaan Katie melainkan memilih untuk menyeruput coffee latte-nya terlebih
dulu.
“Kenapa kau tidak datang berkunjung dan melihatnya sendiri?” balas
Louis sambil mengangkat sebelah alisnya.
Katie tersenyum. “Aku ingin sekali,”
katanya.
“Kau benar-benar tidak pernah lagi
mengunjungi Inggris setelah pindah ke New York?” tanya Louis yang dibalas
dengan gelengan kepala oleh Katie.
“Apakah kau merindukan Inggris?” tanya
Louis lagi.
“Ya. Tentu saja aku sangat merindukan
Inggris. Separuh dari umur hidupku aku habiskan di tempat itu, jadi bagaimana
mungkin aku tidak merindukannya?” ujar Katie sambil tersenyum kecil.
“Bagaimana denganku?” Pertanyaan Louis
membuat Katie menatapnya dengan bingung. “Apakah kau tidak merindukanku?”
Louis tidak tahu apa yang membuatnya
bertanya seperti itu. Kata-kata itu seolah meluncur begitu saja dari mulutnya
tanpa bisa dia cegah.
Katie tertegun menatap Louis sesaat.
Dia tidak menyangka Louis akan bertanya seperti itu. Tetapi kemudian senyum
kembali terukir di wajah cantiknya.
“Tentu saja aku merindukanmu, Lulu,”
balas Katie sambil memanggil Louis dengan nama panggilan yang biasa
digunakannya ketika mereka masih kecil.
“Kita tumbuh bersama kan? Bagaimana
mungkin aku tidak merindukanmu?” lanjut Katie sambil meminum ice americano-nya.
“Aku juga merindukanmu,” kata Louis
yang sukses membuat Katie terkejut dan nyaris tersedak ice americano-nya.
Katie tiba-tiba merasa tenggorokannya
kering sehingga dia sulit untuk menelan ludah. Hatinya terasa bergejolak
setelah mendengar kata-kata Louis tadi. Louis menatapnya dengan tatapan yang
sulit di artikan. Katie sendiri tiba-tiba seolah kehabisan kata-kata. Dia tidak
tahu lagi harus menanggapi Louis seperti apa.
“Bolehkah aku jujur tentang suatu hal
padamu?” tanya Katie dengan suara pelan namun masih bisa didengar oleh Louis.
“Apa?” tanya Louis.
Katie tersenyum sebelum melanjutkan. “Ketika
kita sama-sama duduk di bangku SMP, aku pernah menyukaimu,” ucap Katie.
Louis sedikit membelalakkan kedua
matanya mendengar pernyataan Katie.
“Sebenarnya aku ingin mengatakan hal
ini padamu sebelum aku pergi ke Amerika. Tetapi setelah kupikir lagi, kalau aku
mengatakannya saat itu, mungkin aku malah tidak akan sanggup untuk meninggalkan
Inggris dan meninggalkanmu,” tambah Katie sambil tertawa renyah.
“Tapi tenang saja,” lanjut Katie ketika
Louis belum merespon pengakuannya. “Aku tahu kalau kau sudah punya pacar. Aku
juga tidak punya maksud apa-apa. Aku tidak ingin dianggap mendekatimu hanya
karena sekarang kau terkenal. Aku hanya ingin mengatakan sesuatu yang ingin
sekali kukatakan tetapi belum sempat kukatakan padamu. Jadi, kau tidak perlu
khawatir—”
“Aku juga dulu menyukaimu,” potong
Louis. Kini giliran Katie yang membelalakkan kedua matanya tidak percaya.
“Kau benar. Kalau dulu kau
mengatakannya, kau pasti tidak akan sanggup pergi ke Amerika karena aku pasti
akan menahanmu sebisa mungkin. Aku juga tidak akan bisa membiarkanmu pergi
begitu saja,” ucap Louis.
“Benarkah?” tanya Katie sambil
tersenyum kecil.
Sesaat suasana hening menyelimuti Louis
dan Katie. Keduanya sama-sama tenggelam dalam pikiran mereka setelah
masing-masing mengakui perasaan mereka yang belum sempat tersampaikan dulu.
“Besok aku akan kembali ke Inggris.”
Ucapan Louis berikutnya membuyarkan
lamunan Katie. Gadis itu kembali tertegun. Louis akan segera kembali ke Inggris
dan dia—Katie—mungkin tidak akan bisa bertemu lagi dengannya.
“Begitukah?” ucap Katie pelan.
“Ya,” jawab Louis.
“Apakah kita bisa bertemu lagi?” tanya
Katie.
“Tentu saja,” jawab Louis sambil
menyunggingkan senyum.
“Datanglah ke Inggris kapan-kapan. Kita
bisa bertemu lagi disana. Kau juga bisa mengunjungi kedua orangtuaku. Mereka
pasti senang melihatmu lagi,” lanjut Louis yang membuat Katie tertawa.
“Jam berapa—“
“Aku akan berangkat dengan penerbangan
pagi,” sahut Louis sebelum Katie menyelesaikan pertanyaannya.
Louis menyesap coffee latte-nya kemudian
mengecek jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. “Maaf, tapi aku harus
pergi. Teman-temanku akan mencariku kalau aku tidak kembali sekarang.”
Setelah berkata seperti itu, Louis
bangkit berdiri dan tersenyum ke arah Katie. “Terima kasih sudah menemaniku,
Katie. Aku senang bisa bertemu lagi denganmu,” kata Louis. Katie hanya
mengangguk sambil memaksakan sebuah senyum.
“Goodbye,”
ucap Louis sambil melangkah pergi.
“Louis!”
Louis berhenti melangkah dan menoleh
ketika mendengar Katie memanggil namanya. Gadis itu masih duduk di tempatnya.
“Sampaikan salamku untuk Eleanor,” ucap
Katie sambil tersenyum. “Katakan padanya teman lamamu menitipkan salam. Aku
akan senang sekali jika bisa bertemu dan berteman dengannya.”
Louis hanya berdiri diam sambil menatap
Katie selama beberapa detik sebelum kembali menyunggingkan senyum. “Akan
kusampaikan,” ucapnya. Setelah itu Louis kembali melangkah pergi keluar cafe
meninggalkan Katie.
Katie masih duduk di tempatnya selama
beberapa saat. Kedua matanya menerawang memandang keluar jendela. Bibirnya
melengkung membentuk sebuah senyuman sedih.
Sebenarnya tadi Katie berbohong ketika
mengatakan bahwa cafe ini adalah langganannya. Sebenarnya dia bahkan baru
pertama kali menginjakkan kakinya di cafe ini. Tetapi ketika melihat Louis
duduk sendirian melalui jendela, Katie langsung memutuskan untuk menghampiri
laki-laki itu.
Gadis itu tidak bisa memungkiri bahwa
di dalam hatinya, nama Louis masih terukir begitu kuat. Namun Katie juga tidak
ingin menjadi perusak hubungan orang. Dari yang diketahuinya, Eleanor adalah
wanita yang baik dan sangat cocok untuk Louis.
Katie bangkit berdiri tanpa
menghabiskan ice americano-nya sambil menghela napas. Sudah saatnya, batinnya.
Sudah saatnya dia mengubur dalam-dalam kisah cinta pertamanya.
.
Louis mengedarkan pandangannya ke
sekeliling bandara kota Paris. Dalam waktu beberapa menit dia akan memasuki
pesawat dan terbang kembali ke Inggris. Walaupun begitu, entah kenapa sejak
tadi Louis tidak bisa menahan dirinya untuk menyapukan pandangannya ke setiap
sudut bandara seolah mencari seseorang. Atau dalam hatinya sebenarnya dia
memang mengharapkan kedatangan seseorang.
“Sebenarnya kau ini sedang mencari
siapa?” Zayn akhirnya bertanya karena bingung dengan sikap salah satu temannya
ini. Niall, Liam dan Harry juga menatap Louis dengan pandangan bingung.
“Tidak,” jawab Louis cepat. “Aku tidak
sedang mencari siapa-siapa.”
“Lalu kenapa kau menoleh ke kanan-kiri
terus seperti mencari seseorang kalau begitu?” tanya Liam.
“Tidak apa-apa. Aku hanya—eh—arsitektur
bandara ini bagus,” kata Louis yang jelas tampak berusaha untuk mengalihkan
perhatian keempat rekannya yang kini menatapnya sambil menggeleng-gelengkan
kepala mereka.
“Sejak kapan kau tertarik pada
arsitektur?” tanya Niall.
“Apakah kau sedang menunggu seorang
gadis?” tanya Harry dengan polos.
Pertanyaan Harry sukses menohok Louis.
Apakah dia sedang menunggu seorang gadis? Jawaban sejujurnya adalah iya. Dia
sedang menunggu gadis yang menjadi cinta pertamanya saat ini.
Louis sudah memberitahukan pada gadis
itu jam berapa dia akan pergi dan bertanya-tanya sendiri apakah gadis itu
datang untuk mengucapkan selamat tinggal? Ah, kemungkinannya sangat kecil
sekali gadis itu akan datang. Mungkin Louis memang harus lebih tegas melihat
realita yang ada.
“Aku benar!” seru Harry tiba-tiba. “Kalian
lihat kan? Aku menangkap basah dia! Dia sama sekali tidak menjawab pertanyaanku
dan tiba-tiba melamun seperti itu.”
Louis baru menyadari kalau ternyata dia
sedang melamun tadi. Dengan segera dia mengalihkan pandangannya ke arah lain
untuk menghindari tatapan penuh tanya dari personil One Direction lainnya.
“Benarkah? Kau sedang menunggu seorang
gadis, Louis? Siapa yang kau tunggu? Setahuku Eleanor tidak sedang berada di
Paris sekarang,” kata Niall
“Woa, kau benar-benar menunggu seorang
gadis? Nakal sekali kau ini, Lulu. Kau kan sudah punya Eleanor. Siapa lagi yang
kau temui?” goda Zayn.
“Cinta pertamaku,” jawab Louis.
Zayn, Niall, Liam dan Harry sukses
membeku mendengar jawaban tidak terduga yang keluar dari mulut Louis. Keempat
laki-laki itu saling bertukar pandang satu sama lain.
“Kau bertemu dengan cinta pertamamu
disini? Di Paris?” tanya Liam yang ingin memastikan kalau telinganya tidak
salah dengar.
“Ya. Aku bertemu dengannya di hari
konser kita kemarin,” kata Louis.
“Benarkah?” tanya Zayn, Niall, Liam dan
Harry serempak.
“Dia datang ke konser kita?” tanya
Harry.
Louis mengangguk. “Lebih tepatnya, dia
adalah salah satu event organizer
untuk konser kita kemarin.”
“Ah, apakah dia adalah orang yang kita
lihat bersamamu kemarin di depan ruang ganti?” Niall menepukkan tangannya
ketika mengingat hal itu.
Louis kembali mengangguk sambil
tersenyum membenarkan.
“Kau masih menyukainya?”
Louis mengangkat bahunya sebagai
jawaban. “Well, semua orang pasti setuju kalau cinta pertama memang sulit untuk
dilupakan bukan? Sama juga denganku.”
“Tetapi untuk saat ini, bagiku Eleanor
tetap segalanya,” lanjut Louis yang membuat keempat temannya tersenyum.
“Ayo kita berangkat!” ajak Zayn ketika
panggilan untuk memasuki pintu check-in mulai terdengar.
Kelima personil One Direction ini
kemudian membawa tas mereka masing-masing dan berjalan menuju pintu check-in. Sebelum memasuki pintu check-in, Louis kembali memandang ke
sekelilingnya untuk terakhir kali.
“Sampai jumpa lagi, Katie. Selamat
tinggal my first love,” batin Louis
sambil tersenyum.
.
Katie sedang menyetir mobilnya melewati
jalanan dimana bandara tempat Louis akan lepas landas berada. Katie melewati
tempat itu bukan karena dia akan mengantarkan Louis. Sama sekali bukan. Kantor
tempat dia bekerja memang berada di jalan yang sama dengan bandara itu.
Ketika terbangun pagi tadi, Katie
sempat ragu apakah dia akan mengantarkan Louis atau tidak. Pada akhirnya, gadis
itu memutuskan untuk tidak pergi ke bandara. Dia takut kalau dia justru akan
semakin susah melepaskan laki-laki itu jika dia pergi untuk melihatnya.
Katie baru saja sampai di depan gedung
kantornya ketika dia mendengar suara pesawat yang lewat di atasnya. Katie
mendongakkan kepalanya menatap pesawat yang baru saja lepas landas itu sambil
tersenyum. Dia tahu benar bahwa itu pasti pesawat yang ditumpangi oleh One
Direction untuk kembali ke London.
“Goodbye,
my first love,” bisik Katie pelan.